Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Cerita Nara Sang Pramuria #2




“Yoda…,” ujar Nara sambil memainkan ujung rambutnya.

“Ya…,” sahutnya Yoda yang pandangannya masih melekat pada sebuah buku di tangannya.

“Mengapa kau memilihku?” tanya Nara.

Yoda terkejut dengan pertanyaan Nara. Mau tidak mau, ia menutup buku yang sedari tadi ia baca dan meletakkannya di atas meja kerja. Ia menghampiri Nara yang tengah duduk di sofa.

“Aku tidak mengerti pertanyaanmu, Nara. Memilihmu sebagai apa?”

“Aku tahu kau mengerti maksudku. Aku ini… ehm… bukan seorang wanita baik-baik. Aku ini… pelacur kelas rendah. Tapi mengapa kau masih sudi berbicara denganku?”

“Jika yang kau maksud bicara adalah berteman denganmu, apa yang salah dengan hal itu? Bukankah aku berhak dan bebas memilih siapapun yang ingin kujadikan teman?! Dan kau, Nara…. Kau bukan sekedar teman biasa bagiku. Kau… yang telah membuatku bisa melihat seorang wanita dari sisi lain. Kau juga yang telah membuatku lebih memaknai kehadiran wanita dalam hidupku.”

“Benarkah itu?! Akhir-akhir ini, kau menjadi semakin pintar bicara, Yoda.”

“Aku tidak hanya sekedar bicara, Nara. Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Tidakkah kau mendengar nada kejujuran dalam ucapanku?!”

“Pria terkadang berbohong demi menenangkan hati wanitanya. Aku melihat hal itu sekarang.”

Yoda menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengacak-ngacak poni Nara dan beranjak dari samping wanita itu.

“Kau selalu saja menyamakan kisahmu dengan milik orang lain. Sekali lagi kukatakan, tolong…, jangan lalukan hal itu lagi.”

“Oke. Aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi kau seorang penulis. Aku tahu, penulis biasanya terlalu senang berkhayal. Maksudku, semakin sering kau menulis, semakin kau berkhayal sesuatu yang absurd tentang diriku. Kau menganggap aku sebagai wanita impianmu. Begitulah yang aku baca dari bukumu. Padahal aku teramat sangat tak layak menerima hal itu.”

“Aku… tak pernah menganggapmu sebagai seorang pelacur, Nara. Aku tetap menganggapmu sebagai seorang wanita seutuhnya. Apa yang terjadi padamu saat ini, aku tidak punya hak untuk mengusiknya. Kubiarkan kau dengan apa yang kau pilih. Aku menyayangimu… lebih dari yang kau tahu, Nara…. Mungkin baru kali ini aku mengatakannya, tapi kuharap kau menyadari hal itu sebelum hari ini. Dan aku menulis tentangmu, bukan berarti aku ingin kau menjadi seperti apa yang kutulis. Aku ingin semua orang tahu, bahwa seorang pelacurpun, tetaplah seorang manusia. Ia selalu menganggap dirinya tidak sempurna. Tapi ia lupa bahwa ada seseorang yang bisa membawanya menuju kesempurnaan itu.”

“Itu… terlalu berlebihan, Yoda. Aku benar-benar tak layak menerima itu semua darimu.”

“Semakin kau menolaknya, makin dekat pula hal itu menghampirimu. Kau tidak bisa hidup terus menerus dalam kesendirian, Nara. Suatu saat, kau pasti merindukan hadirnya seorang teman. Dan aku… ingin hadir mengisi peran itu untukmu. Tapi aku tidak pernah memaksakan kehendakku padamu. Tetap, kau punya hak untuk menyingkirkanku dari hidupmu. Walaupun aku tak pernah mau itu terjadi.”

Bahkan pelacur sepertikupun tetap membutuhkan seorang teman, ujar Nara dalam hati. But this is more than I expected. Yoda berhak mendapatkan yang lebih baik. Bukan wanita sepertiku yang tidak pernah memiliki masa depan. Batin Nara berkecamuk.

“Aku tahu kau berpikir bahwa aku seharusnya bersama wanita lain yang bukan sepertimu,” Yoda memulai percakapan lagi.

“Kau membaca pikiranku?!” Nara terkejut, karena apa yang dikatakan Yoda memang benar.

“Tidak. Aku bukan mind reader. Tapi aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku mengenalmu bukan satu atau dua tahun, Nara. Lebih dari itu, kan?! Dan itu waktu yang cukup untukku mengenalmu lebih jauh. Aku tahu kau sebenarnya tersiksa dengan pekerjaanmu. Dan kau ingin secepatnya lari dari kenyataan itu. Tapi semakin kau ingin lari, kau malah semakin terbelenggu dengan sumpahmu sendiri.”

“Sumpah?! Sumpah apa?”

“Kau katakan dirimu telah mati rasa. Tapi kenyataannya kau hanya ingin membalas dendam terhadap perlakuan yang kau terima di masa lalu.”

“Mengapa kau jadi membicarakan hal itu, Yoda?”

Sejenak Nara dan Yoda terdiam. Bunyi mesin pendingin udara menggantikan riuhnya percakapan mereka berdua. Yoda hanya memandang Nara dengan tatapan iba. Tapi Nara balas menatap Yoda dan seolah berteriak di antara tatapannya bahwa ia tidak butuh dikasihani. Ia hanya butuh dirinya dianggap sebagaimana mestinya, yaitu sebagai seorang pelacur jalanan. Tidak lebih. Namun Yoda tidak pernah setuju dengan hal itu.

“Nara…. Aku memilihmu karena aku yakin, kau adalah wanita yang luar biasa. Aku bisa melihat itu dari pancaran kedua matamu. Kedua mata yang selalu aku rindukan ketika kita saling berjauhan. Kedua mata yang selalu membuatku merasa nyaman di tengah kehangatan yang kau suguhkan, Nara. Kau… bukanlah seperti yang orang lain lihat.” Yoda menghela napas panjang. “Aku menunggumu… dan akan tetap menunggumu, sampai kau bisa menyayangiku dengan tulus. Aku tidak menginginkan wanita lain dalam hidupku. Aku hanya ingin dirimu.”

“Seandainya saja semua pria sepertimu, Yoda, tentu aku bisa merasakan kebahagiaan lebih awal. Rasanya aku sudah lupa bagaimana manisnya hal itu.”

Yoda kembali duduk di samping Nara. Ia merengkuh Nara ke dalam pelukannya. “Tapi jika itu terjadi, kau tidak akan pernah mengenalku, Nara,” ujarnya. “Tuhan sudah menggariskan hal ini pada hidupmu. Dan percayalah padaku, Nara. Aku bisa membuatmu kembali menikmati manisnya kebahagiaan.”

***

Sumber gambar Red Rose.
Kisah lain, cari dengan keyword “cerita nara” tanpa tanda petik.

Rindu




Aku mengingatmu. Selalu. Kau sudah berada di otak kecilku sejak pertama kali kita bersua di chat room beberapa tahun yang lalu. Ya…, aku mengingatmu…, walau belum pernah bertemu denganmu….

Senyum Nina merekah ketika ia membaca ulang coretan iseng yang ia buat malam sebelumnya. Ia menyimpan kembali selembar kertas itu di atas meja kerjanya dan beranjak ke arah jendela. Ia membuka jendela kamarnya dan membiarkan udara pagi yang segar menerobos masuk.

Hari sudah terang walau jarum jam masih menunjukkan pukul enam pagi waktu Denpasar. Nina memandang dunia luar dari balik jendela kamarnya. Apa yang ia lihat memang bukanlah pemandangan pegunungan atau pantai dengan bentangan air laut yang biru, tapi hanyalah atap dari deretan rumah-rumah di sebuah pemukiman padat penduduk. Walaupun begitu adanya, ia tetap tersenyum. Karena hari ini adalah hari yang sangat ia tunggu sejak bertahun-tahun lamanya. Ia akan bertemu Pram untuk yang pertama kalinya.

Ponsel Nina berdering. Ada telepon masuk. Ia segera menyambar benda itu dari atas meja riasnya. 

“Halo,” sapanya.

“Halo, Ade,” jawab seseorang di ujung telepon.

Nina tersenyum mendengar sapaan yang sudah sangat ia kenal. “Mas….”

“Kau sudah bangun?!”

“Sudah. Mas sedang di mana ini?”

“Masih di bus, menuju bandara.”

“Jadi… nanti kita bertemu di mana?”

“Di hotel saja. Nanti mas kabari lagi jika sudah mendarat di Ngurah Rai.”

“Baiklah. Aku tunggu.”

“Ehm… Nina….”

“Ya….”

“Akhirnya hari ini terjadi juga. Kau… dan aku…, akhirnya bisa bertemu setelah delapan tahun lamanya.”

“Iya, Mas…. I just can’t wait.”

Pukul sepuluh lebih tiga puluh menit, ponsel Nina berbunyi lagi. Kali ini ada pesan singkat yang masuk ke inbox ponselnya. Buru-buru Nina membuka pesan itu. Blue Ocean Hotel, Kuta. Room 339. Itulah isi pesan singkat yang dikirim Pram untuknya.

Nina bergegas menuju tempat yang diminta Pram. Motornya dipacu sekencang yang ia bisa. Ia bahkan tidak peduli panasnya udara di luar membuat peluhnya bercucuran. Dua puluh lima menit kemudian, ia sampai di hotel dan langsung bertanya letak kamar 339 kepadareceptionist. Seseorang mengantarnya sampai persis di depan kamar nomor 339.

Sejenak Nina ragu. Ia kembali berpikir, apakah yang dilakukannya sekarang ini tidak akan menimbulkan masalah. Tangannya sudah akan mengetuk pintu kamar itu, tapi tiba-tiba daun pintu itu bergerak, menciptakan sedikit celah.

“Masuklah,” ujar sebuah suara dari dalam kamar.

Nina agak bingung. Tapi ia menurut saja. Ia masuk ke kamar itu dan seorang pria langsung tersenyum ke arahnya.

“Bagaimana kau tahu kalau itu aku?”

“Hmm…. Katakanlah aku mempunyai indera keenam untuk mengetahui kedatanganmu, Nina.”

“Kau bohong. Pasti receptionist itu sudah mengatakan padamu perihal kedatanganku.”

It’s that matter?!” Pram perlahan mendekati Nina. Dan sekarang, wajah Pram hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Nina. “Aku… merindukanmu…,” ujarnya sambil membelai wajah Nina.

Me too….”

Satu pagutan tercipta dari bibir Nina dan Pram. Kini… rindu mereka telah bersatu. Dan atas nama cinta, impaslah sudah tahun-tahun yang telah mereka lalui, terbayarkan dengan terrangkainya lisan di satu udara yang sama.

***

Sumber gambar

Artikel dapat dilihat juga di sini.

Friend or Foe - Chapter Three





Kisah sebelumnya di Chapter Two.

Beberapa pelayan yang disewa Robert keluar dengan segera ketika pintu dapur dimasuki dengan langkah buru-buru oleh Nala dan Marion. Nala membelakangi Marion yang ragu-ragu untuk menyentuh pundaknya yang bergetar. Kemarahan, kesedihan, dan rasa gusar yang tak tertahankan membuat Nala merasa lemah tak berdaya. Dari cermin Marion melihat wajah sahabatnya dalam ekspresi yang sulit dilukiskan. Sementara Nala yang mengetahui kehadiran Marion, pada mulanya lebih suka mengabaikan, tapi dia tahu itu tak berguna. Sekian lama Nala menyimpannya, dan mungkin inilah waktunya untuk dia menumpahkan segalanya – seperti dia menumpahkan sisa Wine yang dia tumpahkan ke wastafel dengan gelasnya begitu saja.

“Siapa yang bisa kupercaya sekarang?” Nala menghela nafasnya yang berat, seberat ketidaknyamanan yang ia rasakan selama ini. “Jebakan dan pengkhianatan! Apa lagi yang bisa dijelaskan?” Nala ingin bicara dalam nada kasar tapi kemarahannya tertahankan karena tiba-tiba dia diselimuti kelelahan.

I’m so sorry…,” Marion menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Kupikir masih belum terlambat untuk memperbaiki segalanya.”

“Akan lebih baik membiarkan segalanya berantakan daripada memaksa menyatukan banyak retakan yang berujung menyakitkan,” sahut Nala yang masih membelakangi Marion.

Nala tiba-tiba memikirkan banyak hal. Waktu yang sudah begitu lama berlalu, seharusnya dia tak pernah tahu. Segala sesuatu yang tak diketahuinya tidak akan menyakitinya. Pengkhianatan terasa menyakitkan dan menghancurkan kepercayaannya terhadap sebuah hubungan yang bernama persahabatan. Nala merasakan sentuhan tangan Marion di kulitnya, rasanya seperti terbakar. Kini Nala tak ingin lagi menyangkal.

“Kau pikir mengapa aku pergi? Mengapa aku terlihat seperti membenci diri sendiri? Yeah, I hate myself and I wanna die.” Nala seperti sedang memperolok dirinya. “Tanyakan dirimu sendiri!” Kali ini Nala menatap lurus ke cermin, hingga mata hijaunya berpandangan dengan mata hazel Marion. “Because the reason is you!” ada nada menghakimi. “Mungkin aku orang paling egois di dunia, but…. Oh, God! Aku memandangmu sebagai kembaran jiwaku, saudara secara emosional.” Sedikit berat, saat Nala ingin menyampaikan kata-kata selanjutnya. “Kau menyembunyikannya, tak ingin fakta itu diketahui oleh diriku. Tapi sesuatu yang kau lakukan dengan Dalton di balik punggungku – sejujurnya – tak ingin kumaafkan. Tapi bahkan untuk orang sepertiku, bijaksana kurasa perlu.”

Nala berbalik, hingga keduanya saling bertatapan. Tapi tak lama Marion memilih untuk menatap ujung sepatu Christian Loubotinnya. “Walau menyakitkan…,” sambung Nala lagi, “kau ada di sana saat aku terpuruk. Kau menyelamatkan aku nyaris di sepanjang hidupku. Kupikir menutupi kecintaanmu terhadap kekasihku.” Nala memilih menatap langit-langit sekarang, dia tak ingin menumpahkan air matanya yang menggenang. “Aku berusaha mencari alasan agar aku bisa membencimu.” Suara Nala lebih serak sekarang. “Tapi aku tak bisa.” Nala menggelengkan kepalanya perlahan. “Menyalahkan perselingkuhanmu dan Dalton membuat segalanya terasa nyata. Sehingga baik buatku untuk pura-pura membuat alasan lain untuk mempertegas kepergianku. Kau tahu itu menyakitiku, tapi di sini bukan hanya aku yang tersakiti.” Nala tak lagi kuasa menahan air matanya. “Tapi kita semua.”

Marion menatap Nala yang ingin menghapus air matanya. Tapi di saat yang sama, Marion bahkan tak sanggup menghapus air matanya sendiri.

“Kadang aku bertanya. Apa, mengapa, dan bagaimana.” Nala bicara lagi. “Tahukah kau apa yang kita dapatkan?” Ia seolah bertanya pada Marion. “Hanya alasan!” Nala menjawab pertanyaannya sendiri. “Sementara kita tahu yang paling kita butuhkan adalah pemahaman, hingga aku mendapat satu keputusan untuk melupakan kebenaran. Kuubah kenyataan menjadi khayalan. Dan yang kupilih adalah pergi dan tak lagi percaya hati.”

Nala menatap Marion, tapi Marion masih tak mampu untuk membalas tatapan sahabatnya. “Kau tahu, kerusakan dalam hidupku takkan menyakiti siapapun. Tapi noda dalam hidupmu yang sempurna, itu bisa mengubah segalanya. Bisakah kita berhenti sekarang dan biarkan segalanya berjalan seperti alurnya?” tanya Nala pada sahabatnya.

“Demi kesalahan yang telah terlewatkan, I beg you a mercy.” Marion sungguh-sungguh, tangisan meleleh di wajahnya. “Inilah yang bisa kulakukan untuk memperbaiki segalanya. Kumohon kembalilah pada Dalton.”

“Seharusnya segalanya tidak perlu terjadi. Dan tidak ada yang perlu untuk diperbaiki.” Nala sudah mulai dengan nada bicara seperti biasanya, terdengat seperti orang yang tidak peduli segalanya. Bahkan jika ada Anaconda di sampingnya, ia hanya perlu menyingkir tanpa perlu berteriak histeris seperti kebanyakan wanita.

“Aku dan Dalton,” ujar Marion. “Mungkin kau harus tahu sekarang. Dalton hanya obsesiku. Pada akhirnya, aku kembali pada seseorang yang mencintaiku. Dan Dalton, seharusnya ia bisa bersama seseorang yang tak pernah hilang dari hatinya. Aku tak bisa sepertimu, Nala. Kau tak harus belajar keras, kau tak harus berusaha menjadi teladan, dan kau bebas menentukan pilihan. Kadang aku iri. Tapi pada akhirnya aku tahu, aku tidak boleh begini. Kau sahabatku, yang terbaik yang pernah ada dalam hidupku.” Marion menatap Nala, untuk meyakinkannya.”Kembalilah seperti dulu.”

“Katakan padaku bagaimana cara menghidupkan rasa yang telah mati?” tanya Nala pelan. Ia berharap Marion tak punya jawaban untuknya.

“Bisakah kita memulainya dari nol?” Marion bertanya. “Anggaplah ini kali pertama kau dan Dalton bertemu. See?! Tidakkah kau berpikir aku dan Robert tak melewati saat seperti ini? Jika tidak, mungkin ini bukanlah pesta pre-wedding kami. Mungkin ini tak lebih dari reuni SMA kita saja.”

Nala tertawa, sejenis tawa lelah terpaksa. “Sayang sekali, honey….” Ia menyapukan jemarinya di rambut merah Marion yang membandel. “Hidup kita bukan seperti komedi romantis tontonanmu. Realistislah!”

I need you to rethink about that. Aku akan kembali ke dalam, banyak tamu yang harus kutemui.” Marion menghela nafas panjang, lalu berkata ”Talk to him, please.” Marion memohon. “I’m begging you.” Dan Marion pun meninggalkan Nala yang kini membelakanginya.

Nope! Aku lebih suka membenamkan diri di lautan dari pada bertemu dengannya.” Nala bicara dengan marah pada dirinya sendiri.

Marion menghampiri Robert dan Dalton yang masih berdiri di samping bar. Sekilas ia melihat memar semu yang berada di pelipis Dalton. Lalu beralih melihat Robert dan langsung menghujani tunangannya itu dengan pandangan menyalahkan. Marion tidak meminta Robert bertindak sampai sejauh itu. Namun sepertinya Robert tetap tidak ingin disalahkan. Robert tidak ingin harga dirinya turun hanya gara-gara tatapan Marion yang terlihat menghakiminya.

“Robert. Bisa kupinjam Dalton sejenak?” Marion masih memberikan tatapan tajamnya pada Robert, seolah memaksa Robert untuk meminta maaf padanya di kesempatan pertama.

Robert tidak menjawab pertanyaan Marion. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia langsung menjauh dari Marion dan Dalton untuk menemui tamu undangan yang lain.

“Kau bisa bicara dengannya sekarang, Dalton,” ujar Marion setelah memastikan Robert cukup jauh untuk bisa mendengar percakapan dirinya dan Dalton.

“Nala yang ingin berbicara denganku, atau kau yang memaksanya untuk bicara denganku?” tanya Dalton dengan nada menghakimi.

Is that matter now?” Marion balik menyerang ucapan Dalton.

“Oke. Aku akan bicara dengannya.”

Dalton beranjak dari samping bar menuju dapur. Dari jauh ia melihat Nala sedang menatap microwave. Gadis itu tidak tahu Dalton sedang berjalan ke arahnya.

“Nalton!” setengah teriakan Dalton mengagetkan Nala.

Nala sangat mengenal suara itu. Dan lebih parahnya lagi, Nala merindukan suara itu. Seketika itu juga, ia langsung berbalik untuk melihat si empunya suara.

“Begitu mereka menyebut kita di High Schoolhuh?!” Dalton masih berbicara denga nadanya sama, selalu menggoda. “Tidakkah kamu merindukan episode di saat masih bersama, saat masih saling jatuh cinta?”

Nala memasang pertahanan, tapi dia kebingungan tak tahu harus bagaimana. Jadi wajah angkuhnya adalah tameng terbaik yang dia punya. “Ada yang tak ingin melupakan masa lalu rupanya,” sindir Nala. “By the way…, senang melihatmu belum terpanggang di neraka.”

“Kau merindukanku. Itu, kan, artinya?” Dalton membalas dengan nada jahil seperti biasanya.

“Itu hal terakhir yang ingin kurasakan.”

“Dan aku orang pertama yang ingin mempercayainya.” Dalton tertawa renyah, ada beberapa orang di ruang tengah yang sempat menengok sebentar ke arah mereka. “Bisa kita bicara?”

“Kau pikir apa yang sedang kita lakukan?” tanya Nala. Sesaat kemudian, ia merasa tangan Dalton menyentuh lengannya. Masing-masing dari mereka merasakan sensasi yang mereka rindukan. “Hei! Sopan sekali kau! Menyentuh tanpa izin dikategorikan sebagai bentuk pelecehan seksual.”

“Kau terdengar seperti Robert. Membosankan.”

Nala membuang muka. Mereka terlihat seperti sepasang remaja yang tengah bertengkar.

Come on!”

Dalton masih menatap Nala. Tatapannya memohon. Tapi Nala tak bisa menolak ketika Dalton membawanya menuju rooftop. Di sana, mereka duduk di tepi kolam, saling memandang.

“Apa yang kamu inginkan?” Nala bertanya cepat, dia ingin mengakhiri segalanya dengan mudah.

“Menikahlah denganku.” Dalton merogoh sakunya. Tanpa kotak beludru, benda mungil itu terlihat berkilauan di bawah cahaya bulan. Sayang, Nala tak terkesan.

Please…,” Dalton memohon.

Nala ingin membuang muka. Tapi ketika mata Dalton bertemu pandang dengan matanya, tatapan mata pria itu seolah menghipnotisnya. Ia ingin berhenti terpesona, tapi tak bisa. Apalagi ketika ia teringat gambar permanen wajahnya di lengan kiri Dalton, ia hanya ingin tersenyum. Selanjutnya, Nala benar-benar tidak menolak ketika pada akhirnya bibir Dalton menyentuh bibirnya.

Dari kejauhan Robert dan Marion menatap mereka. Keduanya berharap malam ini kisah Dalton dan Nala akan seindah mereka. Walaupun sejujurnya, Robert masih menyimpan marah. tapi ketika dia melihat binar bahagia saat Marion menatap Nala dan Dalton, Robert memilih menyerah, dan memberikan ciuman hangat penuh cinta untuk kekasihnya.


— T H E  E N D —

Silvermoon Sparkling - Chapter Nine




Kisah sebelumnya di Chapter Eight.

Sang waktu memang tidak pernah mau kompromi dengan manusia. Apalagi ketika manusia di bumi memiliki kesenangan akan suatu hal, mereka tidak ingin sang waktu cepat berlalu. Bahkan, jika mereka bisa, mereka ingin menghentikan sang waktu kapanpun mereka mau. Agar mereka bisa terus menikmati kesenangan demi kesenangan itu. Tapi nyatanya, sang waktu tidak mau tugas-tugasnya direndahkan seperti itu oleh manusia. Sang waktu tetap menjalani takdirnya. Ia tidak pernah mengubah satuan hitungnya demi menyenangkan manusia.

Tidak terkecuali dengan Nana dan Rama, dua anak manusia yang sedang dimabuk cinta, yang mungkin bisa dikatakan cinta terlarang bagi sebagian orang. Mereka masih ingin menikmati kebersamaan ini, tanpa harus peduli pada orang lain.

“Keputusannya sudah keluar. Minggu kedua Februari, aku mulai kerja di Denpasar. Tanggal 31 Januari ini, adalah hari terakhirku bekerja di Jakarta,” kata Nana.

“Hmm, gak kerasa ya. Tau-tau udah akhir bulan Januari. Padahal aku berharap kita masih bisa bersama lebih lama lagi.”

“Rama,” ujar Nana sambil menatap pria yang ia cintai itu, “kita gak bisa terus seperti ini. Kita berdua harus kembali melihat kenyataan. Kamu harus memenuhi tanggung jawab kepada keluargamu. Apa kata orang-orang di sana ketika tahu bahwa kita bersama?”

“Aku tidak peduli, Na. Yang penting aku bisa bersamamu.”

“Itu egois namanya. Aku gak suka itu. Kamu memang pria yang aku cintai, aku sayangi, dan aku masih menginginkanmu untuk hari tuaku. Tapi aku tidak ingin pria itu menjadi egois karena diriku. Mungkin memang benar bahwa cinta tidak harus memiliki. Tadinya aku hanya tertawa mendengar kalimat itu. Tapi, setelah aku mengalami hal ini, aku baru mengerti arti kalimat itu.”

“Lalu apa yang harus aku lakukan, Na? Aku gak mau menikah dengan orang yang tidak aku kenal. Aku cuma ingin dirimu.”

Nana membelai lembut wajah Rama. Ia mencium pria di hadapannya itu dengan tulus. “Menikahlah dengan gadis itu. Itu hal yang terbaik untuk kita berdua.”

“Gak, Na. Kamu pasti akan sakit. Aku udah pernah bilang. Kamu terlalu indah untuk bisa merasakan sakit ini.”

“Aku akan mencari obatnya.”

“Bagaimana kalau kamu gak bisa sembuh?”

Nana tersenyum. “Aku pasti sembuh.”

Malam semakin larut, dingin semakin menusuk tulang, dan kenyataan pahit mulai mengiris-iris hati. Namun, semua hal itu harus dihadapi dengan tegar. Nana yakin, jika ia membela keinginan pribadinya, pasti akan lebih banyak lagi jiwa yang terluka. Biarlah ia sendiri yang menjadi satu-satunya yang terluka di sini.

Awal Februari, Nana dan Rama berangkat menuju Denpasar. Mereka berdua sudah sepakat, setelah saat ini, mereka akan memulai lembaran baru kehidupan masing-masing. Tidak boleh ada yang menengok ke belakang. Kisah mereka, hanya mereka saja yang tahu.

Tanggal sudah ditetapkan, prosesi demi prosesi mulai dilaksanakan. Semakin dekat dengan puncak prosesi, hati Nana masih dan mungkin akan tetap sakit rasanya. Tapi Nana berusaha untuk kuat. Ada saatnya nanti, dirinya juga akan merasakan kebahagiaan itu.

Malam harinya, sebelum upacara pernikahan di gelar di pagi hari, Rama dan ayahnya berbicara empat mata di sebuah ruangan. Hanya ada mereka berdua.

“Apa kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini?” tanya ayah Rama.

“Iya, Pa.”

“Betul?”

“Iya. Rama sudah yakin.”

“Bagaimana dengan Nana?”

“Emm, Nana…, dia baik-baik saja. Justru dia yang berperan besar dalam mengambil keputusan ini.”

“Rama. Papa tahu, ini berat buatmu, dan pasti berat juga buat Nana. Tapi ini bukan hanya demi masa depan keluarga besar kita. Ini lebih kepada masa depanmu dan Nana. Jika kalian memaksakan diri menikah, memang sih hal itu masih dibolehkan. Tapi yang Papa khawatirkan adalah keturunan kalian kelak. Lagipula, kalian berdua berbeda keyakinan. Itu lebih menyulitkan lagi nantinya.”

“Iya, Pa. Rama mengerti hal itu.”

“Syukurlah kalau kamu sudah mengerti.”

“Emm, Pa. Ijinkan aku bertemu Nana sekali lagi. Boleh?”

“Untuk apa?”

“Ada yang mau aku sampaikan padanya.”

Pria paruh baya itu tidak menjawab. Hanya mengangguk pelan, lalu meninggalkan Rama sendirian di dalam ruangan itu.

Ada semburat kebahagian di wajah Rama. Ia bisa bertemu dengan Nana sekali lagi. Ini untuk pertama kalinya setelah perpisahan mereka di bandara Ngurah Rai.

Ketika itu, Rama langsung pulang ke rumah. Sedangkan Nana langsung menuju rumah kost yang sudah dipesankan oleh ibunya. Tidak ada kata-kata yang terucap kala itu. Hanya bahasa tubuh yang menandakan bahwa mereka belum merelakan sepenuhnya akhir kisah mereka.

Rama merogoh saku celananya dan mengambil ponsel. Lalu ia menghubungi Nana.

“Halo, Na.”

“Rama. Ada apa? Kok kamu bisa telepon aku?”

“Kenapa? Gak boleh ya?”

“Emm, gak apa-apa sih. Tapi kan besok pagi kamu mau menikah. Besok kan aku juga datang ke sana.”

“Tapi besok aku udah gak bisa bicara lagi denganmu, Na.”

“Rama…, bukan begitu maksudku.”

“Memang itu yang akan terjadi, Na. Aku yakin hal itu. Makanya, aku ingin bertemu denganmu malam ini.”

“Bertemu?”

“Aku akan ke tempatmu sekarang. Aku jemput kamu. Ibumu juga ingin bertemu denganmu.”

Nana belum menjawab permintaan Rama, namun sambungan telepon sudah terputus.

Rama keluar ruangan mencari ibu Nana. Ia mendapati wanita itu sedang membantu berbenah di dapur.

“Tante, bisa bicara sebentar.”

“Ada apa, Ram?”

“Aku minta alamat kost Nana. Aku mau jemput dia.”

Ibu Nana tidak langsung menjawab. Ia menarik lengan Rama dan mengajaknya ke sudut ruangan. Nampaknya ia tidak ingin pembicaraan ini didengar oleh orang lain.

“Tante tahu apa yang sudah terjadi pada kalian berdua. Hanya saja, Tante tidak mau memberitahukan kepada orang lain di keluarga ini.”

“Maafkan kami, Tante. Kami memang salah. Seharusnya kami tidak begitu.”

“Sudahlah. Itu sudah berlalu. Tataplah yang ada di hadapanmu sekarang.”

“Iya, Tante. Tapi, apa aku masih bisa bertemu dengan Nana?”

“Tempat kost-nya di jalan Anggrek no. 20 C. Kamar nomer lima.”

“Terima kasih, Tante.”

Rama langsung menuju garasi rumahnya, menyalakan mesin sepeda motornya dan langsung meluncur di jalan raya.

Rama dapat dengan mudahnya menemukan tempat tinggal Nana. Ia memarkir motornya di pelataran depan dan mendatangi kamar nomer lima. Ia mengetuk pintu kamar. Sejenak kemudian pintu terbuka dan terlihat seorang gadis ayu berambut panjang yang menjadi belahan jiwanya.Rama langsung menyerbu masuk dan memeluk gadis itu dengan erat.

“Aku rindu kamu, Na.”

“Aku juga.”

I know that it might sound more than a little crazy, Na. Tapi, apa bisa kita lari dari keadaan ini dan kembali hidup bersama?”

“Itu mustahil, Ram. Dan kamu tahu hal itu.”

“Aku mungkin tidak bisa hidup tanpamu.”

Sure, you do. Aku akan selalu mendoakan kalian berdua.”

“Kamu mau ikut aku ke rumah sekarang?”

“Sepertinya gak bisa, Ram. Gak etis rasanya. Apalagi di sana ada ajik. Beliau pasti marah besar jika melihatmu bersama denganku.”

“Kamu adalah cintaku, sahabat baikku, teman paling yang mengerti diriku. Aku ingin kau bahagia, Na.”

“Pergilah, Ram. Mereka pasti mencarimu. Kalau kamu memang benar mencintaiku, pergilah sekarang juga. Esok, kau masih bisa bertemu denganku.”

Rama mencium Nana – mungkin — untuk yang terakhir kali. “Jaga dirimu baik-baik, Na. Aku tidak ingin kamu terluka lagi.”

Nana tersenyum. “Pergilah, Ram. Jangan sampai terlambat untuk acaramu sendiri besok pagi.”

Pukul sepuluh pagi, Nana sudah berada di rumah neneknya. Orang-orang sibuk berlalu lalang mempersiapkan segala sesuatu. Upacara pernikahan akan dilaksanakan tiga puluh menit lagi.

Para kerabat dan tamu undangan sebagian besar telah hadir. Bahkan pedanda pun sudah tiba beberapa menit yang lalu.

Nana memilih tempat duduk di sebelah seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh tahun. Anak itu datang dengan ayah dan ibunya. Nana mengenali orang tua anak itu sebagai salah satu saudara jauh dari ibunya. Ia tersenyum kepada ibu dari anak itu dan wanita itu pun membalas senyuman Nana dengan ramah.

Tak lama kemudian, kedua mempelai memasuki tempat upacara. Tatapan mata Nana langsung tertuju pada gadis yang berjalan di samping Rama. Gadis itu cantik sekali dengan pakaian adatnya. Sesungguhnya Rama patut berbahagia. Ajik pasti tidak akan sembarangan dalam memilih calon istri untuk Rama.

Nana baru tahu nama gadis itu dari kartu undangan yang dipegang anak laki-laki di sebelahnya. Namanya I Gusti Ayu Mahakharisma Putri. Nama yang indah, pikir Nana. Nama gadis itu sangat cocok bersanding dengan nama I Gusti Ngurah Rama Swardhana.

Nana kembali melihat ke arah kedua mempelai. Mereka sudah duduk bersanding dan upacara akan segera dimulai. Mata Nana langsung bertemu dengan tatapan mata Rama dari kejauhan. Lama sekali mereka saling berpandangan. Seolah ingin menceritakan semua keluh kesah lewat mata hati mereka.

Nana mengangguk pelan. Ia tahu, Rama akan mengerti maksud anggukan kepalanya. Dan, betul saja, Rama balas tersenyum ke arah Nana.

Anak laki-laki di sebelah Nana menggoyang-goyang lengan Nana. Nana langsung menoleh ke arah anak itu.

“Tante, Tante…. Om itu tadi ngeliatin Tante ya? Om itu temennya Tante ya?”

Nana tersenyum menengar kepolosan dari pertanyaan anak itu. Nana mengangguk dan menjawab, “Iya. Om itu temen Tante yang paling baik.”

Upacara pun dimulai. Pedanda (dibaca pedande, pemuka agama Hindu) mulai membacakan doa-doa untuk kedua mempelai.

Bulir-bulir air berkumpul di ujung mata Nana. Nana hanya membiarkannya. Ia mengijinkan tetesan itu jatuh di wajahnya. Namun hanya satu tetesan. Karena tetesan-tetesan berikutnya malah akan menambah rasa sakit yang teramat parah di hatinya.

Nana tersadar dari lamunannya karena ponselnya bergetar. Ada telepon masuk. Nana bangkit dari duduknya dan mencari tempat yang agak sepi untuk menjawab telepon tersebut.

“Halo,” sapa Nana kepada si penelepon.

“Halo, Na. Apa kabarmu? Kok udah gak pernah keliatan lagi di halte? Kamu pindah kerja ya? Sekarang di mana? Aku kangen, Na, pengen ngobrol berdua lagi sama kamu. Ketemuan yuk.”

Nana tersenyum simpul mendengar rentetan pertanyaan dari si penelepon. Namun, Nana tidak menjawab seluruh pertanyaan itu. Ia malah berbalik mengajukan pertanyaan.

“Ya, Rey. Aku baik-baik saja. Apa kamu punya waktu luang untuk terbang ke Denpasar hari ini? Aku tunggu.”


t a m a t

Silvermoon Sparkling - Chapter Eight





Kisah sebelumnya di Chapter Seven.

Sudah satu minggu Rama ada di Jakarta. Dan sudah satu minggu pula Nana masih menyimpan hal itu. Nana masih takut untuk menanyakan langsung kepada Rama. Tapi dia harus menanyakan secepatnya.


Sebab, Nana baru mendapat kabar dari Pak Darwis, pamannya, bahwa kepindahan itu ditunda sampai bulan Februari tahun depan. Dan itu berarti Rama akan tetap berada di Jakarta sampai bulan Februari pula. Nana tidak sanggup menahan rasa penasaran itu lebih lama lagi. Nana harus bertanya kepada Rama.


“Ram, kita harus bicara.”


“Ada apa?” tanya Rama sambil menutup buku yang sedang dibacanya.


“Minggu lalu aku berjanji pada diri sendiri, gak akan menanyakan hal itu lagi padamu. Tapi nampaknya aku harus melanggar janjiku sendiri. Dan minggu lalu juga, kamu bersumpah akan meninggalkan Jakarta jika aku menanyakan hal itu. Yang jelas aku harus bertanya hal itu lagi.”


“Langsung aja, Na. Anggaplah aku gak pernah bilang apa-apa minggu lalu.”


“Sebenarnya apa tujuanmu kemari?”


“Untuk menjemputmu. Aku akan tetap di sini sampai kamu dapat kepastian tentang kabar kepindahanmu.”


“Sebaiknya kamu katakan sejujurnya. Aku udah tahu, sesuatu telah terjadi di rumah. Tapi aku hanya ingin mendengarnya langsung dari kamu.”


“Gak ada apa-apa, Na. Kenapa kamu ngotot gitu? Emangnya kamu dapat cerita apa dari rumah?”


“Rama!! Aku tahu kamu kabur dari rumah. Dan yang belum aku tahu, kenapa kamu kabur? Ada apa antara kamu sama ajik? Atau mungkin, ada apa dengan dirimu sendiri?”


Rama terdiam. Ia menghela napas panjang. Raut wajahnya kini jelas-jelas menggambarkan bahwa dirinya memang sedang memiliki masalah yang tidak ringan.


“Duduk dulu, Na. Akan aku jelaskan semuanya.”


Nana menuruti tawaran Rama. Ia duduk di samping Rama, tapi tetap menjaga jarak.


“Aku udah dijodohkan, Na.”


Nana menatap Rama dengan tajam, seolah tidak percaya dengan perkataan Rama. “Jadi cuma karena itu kamu kabur?!”


“Nana!! Dengarkan sekali lagi. Perhatikan bicaraku. Aku dijodohkan dengan gadis yang belum aku kenal. Gadis yang belum aku tahu sifat dan karakternya. Gadis yang belum tentu dia pun bersedia dijodohkan denganku. Tentu saja aku menolak. Sekarang coba bayangkan seandainya hal itu terjadi padamu.”


Nana diam saja. Ternyata alasan itu yang membuat Rama pergi dari rumah. Ternyata perjodohan tidak semenarik kelihatannya. Pasti ada saja pihak yang tidak setuju. Nana pun tidak menginginkan hal itu terjadi pada dirinya. Nana hanya ingin menikah dengan pilihannya sendiri.


“Sebenarnya dari dulu pun, rencana pernikahanku telah diatur.”


“Tapi kenapa ajik membiarkan kamu pacaran sama Dayu?”


“Itu juga yang aku gak ngerti. Mungkin, karena perjodohanku sudah pasti, jadi mereka gak peduli aku pacaran sama Dayu. Toh, menurut mereka, aku gak akan nikah sama Dayu. Tapi yang yang jadi pacarku itu Dayu. Bukan gadis yang entah siapa namanya itu.”


“Kalau memang benar itu sudah diatur dari dulu, kenapa kamu baru diberi tahu minggu lalu?”


“Sepertinya ajik gak mau aku mencari gadis lain yang mirip denganmu,” jawab Rama.


“Mirip denganku? Maksudmu apa? Aku gak ngerti arah bicaramu.”


“Apa kamu gak sadar, Na, kalau kamu dan Dayu punya banyak kesamaan? Kalian sama-sama seorang gadis yang mandiri dan tegas. Kalian sama-sama pintar, gampang bergaul, dan bisa dengan mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang baru. Dan ada kalanya kalian berdua sama-sama bersikap manja terhadap pasangan. Manja yang tidak berlebihan, dan aku suka itu.”


“Kamu gila ya, Ram.” Nana setengah berteriak sambil bangkit dari duduknya. “Apa maksudmu menyamakan aku dengan Dayu? Udah jelas aku dan Dayu adalah dua orang yang berbeda. Dari mana kamu dapat ide seperti itu? Gak masuk akal, Ram.”


“Percayalah, Na. Kalian berdua punya banyak kesamaan.”


“Tunggu dulu. Jadi Dayu hanya pelarian bagimu? Bener-bener sakit kamu ya, Ram. Pantas aja ajik menjodohkan kamu dari kecil. Ternyata ajik udah merasa kamu punya perasaan yang salah terhadapku.”


“Memangnya kamu gak merasa seperti itu, Na?” tanya Rama dengan tenang.


“Enggak.”


“Jangan bohong, Na. Aku tahu kamu. Dan aku kenal kamu.”


“Enggak, Ram. Kamu gak kenal aku. Yang kamu kenal adalah seorang Kalina Mahayuni kecil yang belum mengerti apa-apa. Kamu gak tahu apa-apa tentang diriku yang sekarang.”


“Na. Yang aku tahu sekarang, kamu masih suka melihat bulan purnama. Dan aku tahu, kamu tidak bisa melakukan itu sendirian. Kamu pernah mencobanya dan kamu gagal. Aku tahu apa maksud di balik pernyataanmu itu. Kamu gak bisa mencari pengganti diriku. Harus aku yang menemanimu melihat bulan purnama. Begitu juga aku. Aku gak bisa kalau partnerku bukan kamu. Karena kamu jauh, jadi aku terpaksa mencari seseorang yang persis sepertimu. Tuhan menjawab doa-doaku. Aku menemukan Dayu. Tapi ternyata dia gak se-antusias kamu ketika menikmati sinar bulan. Dia bilang, hal itu cuma buang-buang waktu. Aku paksakan dia menemaniku, tapi percuma. Sejak saat itu aku tahu, gak ada yang bisa menggantikan kamu. Dan, memang benar, ajik udah tahu hal itu dari dulu. Hanya ajik yang tahu. Karena aku sendiri yang mengatakannya. Aku bilang, kalau aku sudah dewasa nanti, aku ingin menikahimu. Ajik gak komentar apa-apa waktu itu. Tapi rupanya ajik udah menyiapkan amunisi terakhir untuk menyadarkan aku.”


Nana bingung harus berkata apa saat ini. Seakan tidak percaya apa yang baru saja keluar dari mulut Rama adalah tentang dirinya. Antara sedih dan kecewa, Nana bingung menentukan sikap.


Lalu Nana memilih untuk pergi ke kamarnya. Ia menutup pintu dan menguncinya dari dalam, membiarkan Rama seorang diri di ruang tamu.


Nana duduk di tepi ranjang. Tak terasa, bulir-bulir air mata mengalir pelan di wajah Nana. Ia membenarkan perkataan Rama tempo hari. Andai saja dirinya dilahirkan sebagai orang lain. Maksudnya adalah antara Nana dan Rama seharusnya tidak terikat hubungan keluarga, sehingga mereka mereka bisa memiliki ikatan yang lain.


Nana beranjak dari tepi ranjang menuju jendela. Ia melihat dari balik kaca jendela. Bulan masih tergantung di langit. Sinarnya kadang tertutup awan kelabu, tapi masih nampak jelas di mata Nana. Makin lama, sinar bulan mulai menghilang, tertutup tebalnya awan mendung. Dan tidak berselang lama, hujan turun. Derasnya air hujan seolah mewakili kesedihan Nana saat ini.


Sementara itu di kamar tamu, Rama mengambil kursi dan meletakkannya di dekat jendela. Ia membuka jendela dan membiarkan percikan air hujan menerpa wajahnya. Ia mengambil sebatang rokok dan menyulutnya lalu duduk di kursi.


Rama menghisap rokoknya dalam-dalam, dan menghembuskannya ke udara di depannya. Kepulan asap itu langsung buyar terkena percikan air hujan. Rama kembali menghisap rokoknya dan membuang kepulan asapnya. Pengaruh nikotin mulai dirasakannya. Membuatnya dapat berpikir lebih jernih lagi.


‘Mungkin memang seharusnya aku tidak perlu mengatakan hal itu kepada Nana. Tapi, kalau tidak dikatakan, sampai kapanpun Nana tidak akan tahu isi hatiku,’ ujar Rama dalam hati.


Batang rokok itu kini telah habis terhisap. Rama mengambil sebatang lagi dari bungkusnya. Baru saja Rama akan menyulutnya, batang rokok itu kini telah berpindah ke tangan Nana.


“Lebih baik aku langsung membunuhmu, daripada kamu mati perlahan karena benda ini,” ujar Nana.


“Aku minta maaf, Na. Seharusnya tadi aku gak bilang hal itu.”


“Gak perlu minta maaf. Gak ada yang salah di antara kita. Kita hanya dipertemukan dalam ikatan yang tidak sesuai dengan keinginan kita.”


Rama merengkuh tubuh Nana ke dalam pelukannya.


“Aku sayang kamu, Na. Aku gak peduli jika kamu gak merasakan hal yang sama. Aku tulus mencintaimu.”


“Rasa sayang kita bukan pada tempatnya, Ram.”


Rama melepaskan pelukannya. Lalu ia memandang wajah Nana nyaris tanpa berkedip. Rama membelai lembut rambut Nana yang panjang. Jemari Rama menari lembut menyentuh bibir Nana.


“Aku tahu. Dan aku tidak peduli itu.”


Rama mencium Nana. Ciuman itu hanya sekilas, namun sudah cukup bagi Nana untuk membuktikan ketulusan Rama. Hati Nana kembali berdesir. Desiran yang sama seperti yang pernah ia rasakan bertahun-tahun lalu. Dan hatinya kembali merasa hangat.


Hawa dingin yang masuk melalui jendela mulai menyadarkan Nana. Ia ingin sekali melepaskan diri dari pelukan Rama. Namun sebagian hatinya tidak ingin kehilangan kehangatan yang sudah terlanjur menjadi candu.


Mereka berdua kembali berpagutan, menyatukan kerinduan yang terpendam sekian lama. Tidak peduli rintangan apa yang akan merka hadapi jika hal ini diketahui orang lain. Bagi mereka, cinta tidak pernah salah. Yang salah hanyalah takdir yang mempertemukan mereka dalam satu lingkaran keluarga. Walaupun dengan begitu, sama saja artinya dengan menyalahkan kuasa Tuhan atas penentuan takdir. Mereka tidak peduli itu.


Hujan reda dan cahaya bulan kembali bersinar. Memang bukan bulan yang bulat sempurna, tapi tetap saja sinarnya mampu memberi kehangatan semu bagi Nana dan Rama. Pagutan demi pagutan tercipta di antara sinar bulan. Menemani dua anak manusia yang sedang rapuh jiwanya.


“Apa rencanamu selanjutnya, Ram? Kamu gak mungkin pergi dari rumah selamanya. Ajik membutuhkanmu.”


“Entah. Aku masih malas untuk berpikir. Aku ingin membiarkan mereka akhirnya kelelahan mencariku. Mereka tidak tahu aku di sini. Dan kalau sampai mereka tahu, aku akan menyalahkan dirimu. Karena, hanya kamu yang tahu aku di sini.”


“Rencana kepindahanku ditunda sampai Februari tahun depan.”


“Oya?! Baguslah. Akhirnya kita punya waktu lebih lama untuk bisa bersama.”


Nana tersenyum dan membenarkan perkataan Rama dalam hatinya.


“Aku senang melihatmu tersenyum, Na. Selalu bisa membuat aku tenang. Malam ini, kamu tidur di sini aja ya.”


“Emm, sepertinya gak bisa, Ram.”


“Kenapa? Kamu takut?”


Nana mengangguk perlahan. “Sebagian dari perasaanku masih belum percaya sepenuhnya apa yang telah terjadi pada kita berdua.”


“Tenang, Na. Aku tidak akan menyakitimu. Dan aku tidak mungkin menyakitimu. Kau terlalu indah untuk bisa disakiti.”

(bersambung)


Chapter Nine