Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Tentang Luna



Luna membuka matanya. Kelopaknya bengkak. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Ia hanya ingat, wajahnya masih penuh air mata ketika kantuk itu menyerang. Luna bangkit dari ranjang. Ia mendapati banyak sobekan kertas di lantai kamarnya. Tidak! Itu bukan sekadar kertas! Itu foto kekasihnya. Dengan tergesa ia mengumpulkan serpihan-serpihan kecil itu dan membawanya ke meja. Ia susun lagi potongan demi potongan, hingga terlihat lagi sebentuk paras tampan yang ia cintai. Luna kembali tersenyum.

Alat pemutar compact disc di mejanya ternyata masih menyala. Samar terdengar suara penyanyi pria. Luna menekan beberapa tombol hingga suara yang dihasilkan alat itu lebih keras dari sebelumnya.

Dan terjadi lagi…
Kisah lama yang terulang kembali…
Kau terluka lagi…
Dari cinta rumit yang kau jalani…

Luna memandang lagi foto kekasihnya. Ada air mata lagi yang keluar dari liangnya. Mulanya hanya isakan samar. Lama-lama isakan itu bercampur dengan teriakan-teriakan histeris. Persis seperti yang ia lakukan sebelum ia tertidur.

“Harusnya aku tidak pernah mengenalmu, Biyan!” teriak Luna sambil menunjuk-nunjuk foto kekasihnya. “Kau hanya bisa membuat luka. Kau tidak bisa membuat aku tersenyum. Begitu bodohnya aku, sampai aku harus merasa sakit seperti ini. Dan tidak hanya sekali, Biyan! Tapi dua kali! Dua kali kau melakukannya. Apa aku tidak cukup baik untukmu? Aku memaafkanmu pada kesalahanmu yang lalu. Tapi sekarang?! Haruskah aku memaafkanmu lagi?!”

Luna membuyarkan lagi susunan serpihan foto kekasihnya. Ia biarkan serpihan-serpihan itu kembali berantakan di lantai.

Aku ingin kau merasa…
Kamu mengerti… aku mengerti kamu…
Aku ingin kau sadari…
Cintamu bukanlah dia…

Luna duduk kembali di balik mejanya. Ia membuka salah satu laci di sisi kanan meja. Ia mengambil sebuah foto dengan bingkai plastik berwarna merah muda. Ia menegakkan foto itu dan berlama-lama memandanginya. Terkadang ia membelai foto itu. Air mata Luna menetes lagi.

“Mungkin selama ini kau benar, Ariel. Sayangnya, aku terlalu egois hanya untuk mendengar ucapanmu. Jika saja, aku bisa memutar jarum jam kembali ke belakang, aku ingin sekali membenarkan ucapanmu. Tapi itu tidak mungkin, kan?! Dan tolong…. Jangan tertawakan kekonyolanku. Aku memilih Biyan karena aku punya alasan. Mungkin alasanku memang sulit kau terima. Tapi cobalah melihat dari sisiku. Kau akan mengerti, Ariel.”

Luna membelai lagi foto berbingkai itu. Ia tersenyum.

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku… dirimu…

“Terkadang aku memang mendengar suaramu, Ariel. Walau itu hanya dalam mimpiku. Tapi itu melegakan. Seolah aku telah terbebas dari gersangnya gurun tandus. Dan suaramu adalah serupa cairan yang lalu membasahi kerongkonganku. Aku menikmati setiap tetesnya.”

Luna bangkit dari duduknya sambil membawa foto berbingkai di tangannya. Sekarang ia mendekap foto itu. Tubuhnya berayun, mengikutin alunan nada dari alat pemutar compact disc. Mata Luna terpejam. Ia benar-benar menikmati bebunyian itu di telinganya.

Ku ada di sini…
Pahamilah kau tak pernah sendiri…
Karena aku selalu…
Di dekatmu saat engkau terjatuh…

“Aku ingat, saat pertama aku tahu bahwa Biyan bermain api denganku, kau datang padaku, Ariel. Kau menghapus air mataku, kau kuatkan hatiku, kau ajak aku tersenyum lagi. Dan kau memastikan bahwa aku menyelesaikan semua masalahku dengan Biyan. Ya, Biyan memang mengaku bersalah. Ia tergoda bujukan gadis itu dan Biyan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi rupanya Biyan tidak bersungguh-sungguh, Ariel. Aku menjadi sakit lagi karena dia. Tidakkah kau melihat lukaku sekarang kembali menganga, Ariel?! Dan lubangnya lebih besar dari sebelumnya!”

Luna masih mendekap foto berbingkai itu. Tapi posisinya tak lagi berdiri. Ia terduduk di lantai, kakinya bersila. Lalu ia lepaskan dekapannya terhadap foto berbingkai itu. Lama sekali ia memandangi lagi foto itu. Isaknya kembali terdengar.

Aku ingin kau merasa…
Kamu mengerti… aku mengerti kamu…
Aku ingin kau pahami…
Cintamu bukanlah dia…

“Ya. Sekarang aku benar-benar paham ucapanmu sebelum kau pergi, Ariel. Biyan memang bukan orang yang tepat untukku. Tapi siapakah yang tepat untukku, Ariel? Sejak kepergianmu, aku tidak bisa lagi menemukan yang sepertimu. Jika kau kenal seseorang yang sepertimu, tolong beritahu aku, Ariel. Karena aku hanya bisa dengan seseorang yang sepertimu. Bukan dengan yang lain.”

Sejenak Luna melepas pandangannya terhadap foto berbingkai itu. Ia bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia tidak menyangka, hari telah beranjak senja. Foto berbingkai itu masih di tangannya sementara ia manjakan pandangan sejenak ke arah warana jingga yang menyeruak di langit barat.

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku… dirimu…

“Aku mendengar suaramu lagi, Ariel. Sepertinya suaramu muncul dari horizon barat. Berbaur dengan warna jingga yang indah. Aku suka itu. Oh, Ariel. Aku masih tak mengerti, mengapa kau pergi begitu saja. Kau pergi dengan kalimat terakhirmu yang masih juga menjadi tanda tanya bagiku. Kau bilang bahwa separuh dirimu adalah aku. Benarkah?! Aku masih belum memahaminya.”

Kembali Luna memandangi foto berbingkai di tangannya.

“Seandainya aku bisa melihatmu lagi, Ariel. Aku ingin berteriak lantang di hadapanmu, bahwa aku menyesal. Aku menyesal telah membuatmu pergi. Walaupun belum tentu itu karena aku. Ah, aku jadi malu, Ariel. Aku malu karena keegoisanku ternyata telah membunuh hatimu padaku.”

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku…
Menyentuh laramu…
Semua lukamu telah menjadi lirikku…
Karena separuh aku… dirimu…

Nun jauh dari tempat Luna, seorang pemuda sedang berdiri di tepi danau. Ia memandang ke arah terbitnya matahari. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket kulitnya. Di saku sebelah kanan jaket itu, ada selembar foto yang sedikit lusuh karena dibiarkan tak berbingkai. Namun Ariel menjaga foto tanpa bingkai itu dengan segenap hatinya.

“Aku tahu kau mendengarku, Luna. Di manapun kau berada, aku yakin kau mendengarku. Mengertilah, Luna. Bahwa aku punya alasan meninggalkanmu di sana. Aku biarkan kau menjelajahi ragam rasa untuk hatimu. Karena dengan begitu – ketika kau merasa terluka, yang juga aku rasakan di sini – kau akan memahami bagaimana hebatnya cintaku padamu. Dan dari setiap lukamu yang tertoreh di hatiku, terlantun kata-kata indah bak kidung surgawi. Percayalah, Lunaku.”

--- @@@ ---

Foto sunset.