Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Asa Asha



Rinai hujan minggu kedua Desember masih saja memberikan pemandangan sendu untuk mata Asha. Tapi, ia menikmatinya. Sangat menikmatinya. Ia membuka salah satu daun jendela kamarnya agar ia leluasa menikmati rinai itu. Liang telinganya dibiarkan menerima alunan nada yang mengalir dari pengeras suara laptopnya. Matanya kadang terpejam, menghayati lirik lagu. Kadang terbuka lebar, kala rinai menderas. Kelopaknya terbuka lebar, seolah pandangannya ingin menembus lebatnya rinai yang datang tanpa diminta. Asha sangat berharap, rinai kali ini membawakan sesuatu…, seseorang untuknya.

Ponsel Asha bergetar. Dengan malas, ia bergerak dari tepi jendela menuju meja kecil di samping lemari. Rupanya ada pesan singkat dari Milly.

Apa sudah ada kabar dari Ronald? Kemarin aku mendengar kabar dari seorang teman Ronald, katanya ia akan kembali ke kota ini minggu depan.

Asha menghela napas panjang, sekaligus menghalau bulir bening yang hendak keluar dari liangnya. Dengan segera ia membalas pesan singkat dari Milly.

Belum. Dan, lebih baik kau jangan mempercayai kabar apa pun tentang Ronald, dari siapa pun.

Setelah pesan terkirim, Asha mematikan ponselnya. Kali ini ia memasukkan benda mungil itu ke dalam laci meja. Ia berjalan ke tepi jendela, duduk di kursi, dan kembali bercengkerama dengan hujan. Sekarang rinainya melemah, membuat Asha bisa melihat rimbun Bougainville di halaman.

Pandangan Asha mengabur, tertutup air mata. Lalu, kelopak matanya menutup dan itu membuat bulir bening keluar dari liangnya. Saat terpenjam itu, Asha selalu membayangkan sesosok pria. Selalu sosok yang sama selama bertahun-tahun. Hampir empat tahun tepatnya. Dan, Asha tak pernah lupa siapa sosok itu. Ronald.

***

Asha duduk di hamparan padang rumput. Beberapa batang rumput itu menjulang setinggi lutut dan ujungnya berupa kumpulan kelopak kuning cerah. Ada dua, tiga kupu-kupu hinggap bergantian. Tepat di sebelah Asha, batang rumput yang menjulang berujung kumpulan kelopak warna kuning pucat. Agak berbeda dengan kumpulannya yang lain. Ingin sekali Asha memetik bunga itu. Hanya saja, keinginannya tidak sebesar niatnya yang sedang menunggu sesuatu…, seseorang.

“Jika aku terlambat lima menit, mungkin kau sudah memetik bunga itu, Asha.”

Sebuah suara berat tiba-tiba muncul di dekat telinga Asha. Asha tersenyum. Ia memang belum melihat siapa yang datang, tapi ia tahu siapa pemilik suara berat itu.

“Dan, jika kau terlambat sepuluh menit, apa yang akan terjadi pada bunga itu?” tanya Asha tanpa memalingkan wajahnya. Pandangannya masih tertuju pada bunga kuning pucat itu.

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian,” jawab si suara berat.

Asha tersenyum lagi. Kali ini ia memberanikan diri untuk memalingkan wajahnya, melihat apakah tebakannya benar. Ternyata memang benar. “Lalu, bagaimana jika kau terlambat lima belas menit, dua puluh menit, dan tiga puluh menit?” tanyanya. “Katakan padaku, Ronald.”

Ronald mengerutkan dahinya, bibir bawahnya ia gigit, mungkin ingin memperlihatkan pada Asha kalau ia sedang berpikir keras. Lalu, ia mencabut satu batang rumput dan mempermainkan benda itu di tangannya. Beberapa detik saja, lalu dibuangnya. Berganti menengadahkan kepalanya, menatap langit yang kala itu sangat cerah. Sambil memicingkan mata, ia mengamati satu persatu gumpalan awan yang bertengger di langit. Semua yang Ronald lakukan membuat Asha bosan menunggu.

“Ayolah,” ujar Asha sambil mencubit lengan Ronald, “jawab saja.”

Ronald tertawa. Ia senang membuat Asha kesal.

“Kau selalu begitu,” ujar Asha lagi.

Ronald menghentikan tawanya dan mendekap tubuh Asha. “Tidak akan terjadi apa-apa, Asha,” jawabnya, “karena aku tidak akan terlambat untukmu. Aku selalu menepati janjiku. Apa kau masih ingat, kapan aku pernah terlambat datang menemuimu?”

“Ehm….”

“Tidak pernah, kan?!” potong Ronald.

Asha tersenyum lagi. Kali ini, ia makin membenamkan diri ke dalam pelukan Ronald. “Berjanjilah kau akan tetap seperti ini, Ronald, selalu hadir untukku. Berjanjilah kau akan selalu menepati janjimu. Janji apa pun itu.”

Terdengar hela napas berat Ronald, hampir bersamaan dengan bunyi Humming Bird yang kebetulan mampir ke salah satu bunga kuning di sekitar keduanya. Sungguh pagi yang indah.

“Aku berjanji, Asha. Aku… berjanji.”

*

Petang itu rasanya matahari berangkat ke peraduan terlalu dini. Atau, memang gumpalan awan di langit terlalu tebal dan berwarna abu-abu pekat, sehingga menghalangi sinar matahari. Asha tidak peduli. Ia mempercepat langkahnya ke taman kota. Ronald sudah menunggunya di sana.

Dari jarak dua puluh meter, Asha melihat Ronald duduk dengan gelisah di sebuah bangku taman. Asha menghentikan langkahnya. Ronald tidak seperti Ronald hari ini, ucapnya dalam hati. Asha merasa ada sesuatu yang ganjil. Seolah dapat meramal masa depan, Asha takut apa yang ada di pikirannya benar-benar terjadi. Jangan! Itu tidak boleh terjadi!

Asha berjalan lagi. Langkahnya lebih hati-hati sekarang. Jika bisa, ia ingin lari saja dari tempat itu dan urung bertemu Ronald. Tapi, Ronald sudah melihatnya datang. Asha tidak jadi pergi. Ia tetap melangkah, mendekati Ronald dengan senyum yang baru saja ia pasang di bibirnya.

“Biasanya hari Rabu seperti ini kau tidak bisa keluar rumah, Ronald.” Asha memulai basa-basi untuk menghilangkan kecemasannya. “Ada perlu apa memanggilku kemari?” tanyanya.

“Ada sesuatu….”

“Duduklah dulu,” potong Asha. Lagi, ia mencari cara untuk membuat dirinya sedikit lebih tenang.

Ronald menuruti pinta Asha. Ia duduk, tapi raut wajahnya menegang. Ada satu, dua bulir peluh di pelipisnya. “Aku harus menyampaikan ini padamu, Asha.”

Dahi Asha berkerut. “Menyampaikan apa?”

“Aku… harus pergi.”

Asha tertawa. “Jadi, hanya itu? Kau, kan, bisa meneleponku. Seperti biasanya. Tidak perlu kau berpura-pura, seakan-akan kau tidak tahu kapan harus kembali ke kota ini. Iya, kan?!” Ada nada tidak yakin pada kalimat terakhir Asha. Rasanya, ia seperti baru saja menebak apa yang hendak dikatakan Ronald.

“Tapi…, aku memang benar akan pergi, Asha. Pergi cukup lama.”

Air muka Ronald begitu serius. Hampir tidak mungkin tercipta senyum di saat seperti ini.

“Benarkah?!” tanya Asha dengan lirihnya.

Ronald mengangguk. Pelan, tapi terlihat mantap. “Mungkin beberapa bulan.”

Sekarang, air muka Asha yang berubah. Kesedihan segera saja menggelayut manja pada paras ayu Asha. “Ke mana?”

“Aku tidak akan mengatakannya padamu.”

“Kenapa? Aku tidak berhak tahu?”

“Aku takut… kau akan mencariku.”

Asha mendengus pelan. “Memangnya apa yang akan kau lakukan di luar sana, sampai kau yakin kalau aku akan mencarimu?”

Ronald tidak menjawab. Ia malah menunduk, menekuni lantai batu yang ia pijak. Sejenak, beberapa jenak, Ronald masih diam. Langit mulai menghitam, namun masih menyisakan sedikit jingga di sebelah barat.

“Baiklah.” Asha berdiri. Dalam hati, ia merasa hebat karena tidak sampai menumpahkan air mata untuk momen sesakit ini. “Kali ini aku tidak memintamu berjanji. Kembalilah jika memang kau ingin kembali. Dan…, jika memang kau tidak ingin…, jangan kembali.”

Ronald masih menunduk, bahkan ketika Asha mulai menjauh dari bangku taman. Seolah baru tersadar dari tidur lama yang melelahkan, Ronald memalingkan wajah dan melihat punggung Asha yang menjauh. Seketika itu ia berdiri, lalu berteriak, “Tunggulah, Asha! Aku akan kembali untukmu. Tunggu saja! Hanya beberapa bulan.”

Asha mendengarnya, dan ia tetap melangkah.

“Sudah kubilang, Ronald. Jangan berjanji kali ini. Jangan berjanji,” gumam Asha dalam isaknya.

***

“Bodohnya aku,” gumam Asha. “Seharusnya aku memaksamu bicara saat itu. Aku yakin, kau akan memberitahu kemana kau pergi, Ronald.”

Mata Asha terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada rimbun Bougainville di halaman. Sekarang rinai hujan tak lagi mengganggu helai-helai daun di rerimbunan itu. Dan, sekilas Asha melihat ada lengkung warna-warni di langit timur. Asha tersenyum. Dalam hatinya, ia masih sangat berharap Ronald datang padanya. Namun, harapan itu segera ia tumpuk dengan kenyataan, bahwa Ronald tidak mungkin kembali. Ini bukan lagi ‘beberapa bulan’ seperti yang ia pernah dengar. Ini sudah beberapa tahun. Hampir empat tahun, tepatnya.

Asha bangkit dari duduknya. Ia menuju meja dan membuka salah satu lacinya. Ia mengambil ponsel, lalu menghidupkan kembali benda mungil itu. Ia hendak menelepon ibunya. Namun, ketika ia sedang mencari nomor telepon ibunya, ada pesan singkat masuk. Asha urung menelepon dan membuka pesan tersebut. Pesan itu dikirim oleh nomor asing.

Datanglah… ke tempat terakhir kita bertemu. Aku menunggumu. Sekarang juga.


Mendadak, Asha sulit bernapas. Perasaannya terlalu penuh dengan kejutan.


Carousel

1370924458669536741

Aku kembali lagi ke tempat ini. Sebentar, kuhitung dulu. Satu, dua, tiga, empat…. Ya, lima tahun. Lima tahun lamanya aku baru melihat lagi tempat ini. Tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah danau kecil di tepian kota, yang aku nikmati dari tempat duduk favoritku, sebuah tonjolan akar pohon yang cukup besar. Tidak banyak juga yang berubah dari tempat ini, kecuali menjadi lebih sepi. Entah mengapa. Mungkin karena manusia-manusia itu lebih memilih bersantai di sebuah kafe atau bar. Atau juga, mereka hanya tidak peduli dengan danau ini. Dingin dan membosankan, sepertinya itu pikir mereka. Tapi tidak dengan pikirku. Meskipun memang kenyataannya udara di sini lebih dingin, tapi aku tidak pernah bosan dengan danau ini.

Akar pohon itu masih ada, dan pohon itu sudah pasti lima tahun lebih tua dibanding terakhir kali aku melihatnya. Kuhempaskan bokongku di atas akar itu, dan langsung saja kusapukan pandanganku sejauh-jauhnya. Ini sore yang damai. Danau sangat tenang, dengan sekumpulan angsa putih berenang di antara teratai yang tumbuh liar. Dan pendengaranku dimanjakan dengan ceracau beberapa burung gereja yang hinggap di ranting pohon. Itu sedikit meramaikan tempat ini.

Aku dan tempat ini seperti burung jalak dan kerbau. Bersimbiosis, saling membutuhkan. Tempat ini membutuhkan aku agar tetap bernyawa, agar terlihat ini bukan sesuatu yang mati dan tak punya jiwa. Sedangkan aku membutuhkan tempat ini untuk menyepikan hatiku, mengistirahatkan pikiranku, dan memutar kembali pita rekaman yang terlanjur menumpuk di otakku. Aku senang mengingat-ingat banyak kejadian di masa lalu. Dan aku lebih senang lagi ketika bisa tersenyum – atau bisa juga menangis – karena memori itu. Dan satu lagi, tempat ini sudah memberiku banyak cinta.

Banyak?! Tidak! Hanya dua. Tapi dua itu sudah cukup banyak untukku. Karena sejatinya aku hanya butuh satu, bukan dua. Maka harus ada yang mengalah. Ah, baiknya aku runut lagi pita rekaman itu. Aku ingin – sekali lagi – tenggelam dalam kotak kenanganku.

Sekarang aku ingin membuka loker memori masa kecilku. Dulu, selama satu bulan penuh setiap tahunnya – selalu di bulan April – ada pasar malam. Di sana, aku menyukai satu permainan klasik. Carousel. Hampir tiap malam aku menaiki komidi putar itu. Jika ayah dan ibuku melarang, aku akan menelepon temanku. Aku menyuruhnya datang ke rumahku dan mengajakku pergi ke pasar malam. Rencana itu selalu berhasil. Jadi, setelah temanku kembali pulang ke rumahnya, aku akan mengantri sendiri membeli tiketnya. Aku rela tidak memakai uang jajanku agar aku bisa membeli tiket permainan itu. Waktu itu harga tiketnya masih seribu rupiah.

Tahu bagaimana carousel bekerja?! Ya, benda besar itu hanya berputar-putar. Tidak ada gerakan lain yang bisa membuatmu berdecak kagum. Aku masih ingat, kuda-kuda itu banyak yang mengelupas catnya. Rombongan itu sudah puluhan tahun memakai benda itu. Rupanya uang hasil penjualan tiket belum bisa untuk memperbaiki cat pada kuda-kuda itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku yang saat itu berumur delapan tahun, hanya tahu bahwa permainan itu menyenangkan.

Ketika benda itu berputar, di satu titik aku selalu melihat pedagang gula kapas berdiri di balik kios kecilnya. Lelaki kurus itu kelihatan seolah tertimbun benda aneh berwarna merah muda. Ia, lelaki itu, selalu tersenyum ketika melihatku naik carousel. Sepertinya ia sudah hapal betul dengan wajah mungilku saat itu. Well, aku tidak heran. Karena selama tiga tahun berturut-turut, ia selalu berada di sana. Dan setiap ada kesempatan untuk melihat permainan yang aku naiki, ia tersenyum untukku. Aku dan lelaki kurus itu tidak pernah saling mengenal. Pun aku tidak pernah membeli gula kapas padanya – ibuku bilang, makanan itu bisa membuat gigiku menghitam. Tapi seolah ada belasan tahun – atau mungkin puluhan tahun – yang terbentang dan berisi sebuah kenangan pertemanan. Jika kuingat lagi, wajah lelaki kurus itu tidaklah rupawan. Tapi senyumnya benar-benar membuatku merasa tenang. Aku selalu sabar meniti 360 derajat putaran carousel itu hanya untuk melihat senyum ramah si penjual gula kapas.

Terkadang, ketika carousel terhenti di tengah putaran untuk menaikkan penumpang, aku menjadi sangat kesal. Mengapa harus terhenti di tengah jalan? Aku sangat ingin melihat lagi senyum si penjual gula kapas itu. Dan meskipun nantinya dia tidak tersenyum kepadaku – mungkin karena ia tengah sibuk melayani pembeli – aku tetap ingin melihat lelaki kurus itu. Paling tidak, aku merasa tenang karena ia masih berada di tempat yang sama.

Suatu hari, saat malam terakhir keriaan di sana, suasana benar-benar sangat ramai. Aku di sana menaiki carousel itu – well, ada ibuku di luar pagar wahana itu, dia tidak mau anak perempuannya pergi sendirian di tengah keramaian yang luar biasa itu. Sesuatu terjadi dengan lelaki kurus itu. Seorang bapak yang membawa putri kecilnya datang menghampiri kios kecil lelaki penjual gula kapas itu. Pria itu marah-marah. Aku melihat putri kecilnya penuh bintik-bintik agak besar dan berwarna merah di wajah dan tangannya. Seperti iritasi kulit, aku tidak paham saat itu. Tapi yang aku lihat, lelaki kurus itu hanya menunduk ketika ia dimarahi. Lalu aku lihat lagi si penjual gula kapas itu menunjukkan botol kecil berisi cairan warna merah. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi saat itu. Baru setahun kemudian, ketika akupun sudah sedikit lebih mengerti tentang banyak hal, aku memberanikan diri bertanya kepada wanita yang menjual tiket di wahana carousel. Wanita penjual tiket itu berkata, ketua rombongan pasar malam itu tidak mengijinkan lagi lelaki penjual gula kapas bergabung dengan mereka. Lalu aku bertanya, mengapa?

Tapi, jawaban yang kudapat tidak seperti yang kuharapkan. Wanita penjual tiket itu hanya mengangkat bahu. Entah ia benar-benar tidak tahu, atau hanya malas menjelaskan pada anak kecil sepertiku. Dan baru bertahun-tahun kemudian ada seorang tetangga yang bercerita padaku soal rumor penggunaan pewarna tekstil pada gula kapas itu.

Aku tidak tahu apakah itu sebuah fakta, atau hanya kabar burung yang tidak jelas asalnya. Tapi hatiku berontak. Aku tidak terima. Meskipun akhirnya aku hanya bisa diam. Bingung, dan tidak tahu apa yang harus aku lalukan. Toh, sudah bertahun-tahun juga lelaki kurus itu tidak pernah muncul lagi di pasar malam. Beberapa kali aku mencari tahu soal lelaki itu. Aku bertanya pada penjaga wahana lainnya, atau pada beberapa pedagang di rombongan itu. Tapi mereka hanya menggelengkan kepala. Aku jengkel, aku marah, dan aku ingin menampar wajah-wajah mereka yang seolah menyepelekan lelaki penjual gula kapas itu. Entah mengapa, tapi aku yakin lelaki kurus itu tidak bersalah.

Aku tidak pernah melihatnya terlibat obrolan dengan para pedagang lain. Bahkan tidak dengan si penjual balon warna-warni yang berada satu meter darinya. Dan terkadang aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa mungkin aku bisa melihat lelaki penjual gula kapas itu di kemudian hari? Jika iya, aku akan memberanikan diri untuk bicara padanya. Mungkin aku akan membeli sebungkus gula kapas miliknya, walaupun aku tidak mungkin memakannya.


Hei! Langit mulai menjingga. Pemandangan yang indah. Aku baru menyadari warna jingga itu begitu mempesona. Ah, ke mana saja kau, Nita?! Terlalu sibuk dengan urusan cinta membuatmu tidak pernah melihat dunia dari sisi lain. Hahaha…. Kadang aku serasa gila bicara dengan diri sendiri. Tapi memang benar. Lima tahun terakhir adalah tahun-tahun terberat dalam hidupku. Jika tadi aku dengan ringannya bercerita soal carousel di masa kanak-kanakku, seharusnya aku juga bisa melakukan yang sama dengan kisah cintaku. Bukankah hidup ini adalah carousel raksasa?! Buktinya, aku bisa kembali ke titik dimana aku mulai menaiki carousel raksasa ini.

Tidak percaya?! Awalnya aku pun tidak percaya. Dan aku sangat berharap hidupku tidak perlu berputar-putar lagi. Lima tahun belakangan ini, putarannya terlalu kencang. Aku bahkan sampai tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekitar carousel raksasa ini. Sedikit menyesal, tapi itu percuma. Yang harus aku hadapi sekarang adalah satu detik di depanku. Dan untuk saat ini, aku hanya berharap tempat kosong pada akar pohon di sampingku segera terisi.

“Hai….”

Aku melihat seseorang yang sudah duduk di sampingku. Ia tersenyum padaku. Apakah akhir-akhir ini keinginanku lebih cepat terkabul?! Hmm…, tidak juga. Aku memang sedang menunggunya.

“Kamu terlambat,” kataku.

“Benarkah?!”

Raut wajah menyebalkan itu ia munculkan lagi. Berlagak heran tapi sesungguhnya ia sadar kesalahannya. Benar-benar menyebalkan, sekaligus membuatku merindukan wajah bengalnya.

“Tidak,” jawabku. “Maksudku, aku tidak peduli. Toh, kamu sudah datang.”

Pria itu, yang sekarang duduk di sampingku, tiba-tiba saja meraih tanganku. Ia mengecupnya lalu lama sekali memandangi wajahku. Aku sampai kikuk dibuatnya. Aku ingin bertanya, tapi jujur saja, aku malu. Bodoh sekali aku masih saja membawa bahasa tubuh remajaku. Dan sepertinya pria itu menyadari apa yang aku rasakan.

“Kamu yakin dengan keputusanmu, Nita?”

Haahh…. Pria ini rupanya senang bermain bara api. Baiklah, akan kutemani dia bermain. Akan kulihat sampai sejauh mana ia sanggup bermain-main denganku.

“Janu…. Jika aku tidak yakin dengan yang terjadi sekarang, pastilah aku masih memakai cincin dari Pram. Benda bulat dengan berlian biru muda itu tentu masih melingkar di jari manisku. Dan, kita…. Kita tidak mungkin sedang duduk di sini. Kamu tidak mungkin bisa menyentuh jemariku. Dan, angsa-angsa di sana tidak punya penonton atas atraksi mereka yang membosankan.”

Janu tersenyum lagi. Segaris senyum liar yang selalu mengajakku menjelajah lebatnya belantara kehidupannya. Belantara yang sepertinya belum habis kujelajahi. Belum habis, karena masih ada banyak langkah untuk menghabiskannya.

“Apa kamu sudah siap?” tanyanya.

“Siap untuk apa?”

“Siap melihat wajahku selama sisa hidupmu?”

“Hanya wajahmu saja? Tidak ada wajah lain?”

“Ya. Hanya wajahku saja.”

“Itu akan sangat membosankan, Janu,” gumamku. “Lalu, bagaimana dengan wanitamu?”

“Satu anak tangga lagi, maka aku adalah pria bebas.”

“Pram akan sangat membencimu, Janu. Terlebih lagi Rania. Dua kakak beradik itu akan membenci kita selamanya,” kataku serius.

“Itu bukan masalah besar. Kita bisa pergi dari kota ini.”

“Semudah itu?”

“Ya. Memang mudah, kan?!”

“Kamu selalu saja menganggap semuanya mudah. Ke mana kamu, ketika aku hendak kembali menikmati indahnya hidup? Kamu rela menemaniku selama tahun-tahun terpahitku hidup dengan tubuh rusak. Tapi, setelah satu ginjalmu tertanam di tubuhku, kamu malah menghilang. Itukah yang kamu rencanakan? Jawab saja, Janu. Ke mana kamu, ketika aku sedang sekarat?”

Aku marah. Bukan sesuatu yang ingin aku rasakan sekarang. Tapi ini terjadi begitu saja.

“Aku minta maaf, Nita. Sungguh. Bukan maksudku meninggalkanmu. Tapi, aku pun butuh menenangkan diri. Aku hanya berniat menyepi selama beberapa bulan. Tapi, ketika aku hendak kembali lagi ke kota ini, aku tidak dapat menahan cinta yang aku dapat dari Rania.”
“Hmm…. Kamu memang tidak bisa menahan cinta dari siapa pun, Janu.”

Itu pun seperti aku yang tak dapat menolak cinta dari Pram. Di tempat ini pula, aku bertemu Pram. Aku yang kala itu lebih sering menangis daripada tersenyum, menerima begitu saja kehangatan yang Pram tawarkan. Aku pun seperti seorang bocah yang mendapat selimut tebal untuk musim dingin yang entah kapan akan berakhir. Aku memakai selimut itu ke mana pun aku melangkah. Sampai akhirnya aku berniat menjadikan selimut itu sebagai pakaianku.

“Ya, itu betul.” Janu membuyarkan lamunanku tentang Pram. “Terlebih lagi cinta darimu, Nita.”

Oh, tidak. Kuharap ini adalah mimpi. Sebab aku mulai ragu. Bagaimana Janu bisa berucap soal cintaku tapi ia malah meninggalkan aku yang sedang berjuang untuk kembali hidup? Apa pria harus selalu seperti Janu yang punya dua sisi lidah yang berlawanan?

“Kamu tahu, Janu?! Di hari ketika aku tahu kamu pergi, aku mendatangi tempat ini. Aku duduk di akar pohon ini sejak siang. Aku terus duduk sampai aku tidak dapat melihat lagi teratai-teratai yang mengapung di sana. Bulan sepotong yang bertengger di atas juga seolah enggan menemaniku di tepi danau ini. Aku duduk…, berpikir…, dan menunggu. Berharap kamu tiba-tiba duduk di sampingku. Persis seperti yang hari kamu lakukan.”

Janu hanya diam. Ia menunduk dan nampak sedang menekuni dedaunan kering di dekat sepatunya.

“Aku duduk dan berpikir di sini,” kataku lagi. “Mencari-cari apa yang salah selama ini. Mungkinkah aku yang salah? Jika memang benar aku yang salah, tolong beritahu aku. Karena aku tidak dapat menemukannya.”

“Tidak, Nita. Kamu tidak salah.”

“Terus, kenapa kamu pergi?”

Aku memandang wajahnya, kuselami tatapan bengalnya, dan meniti kerut bingung di dahinya. Ia membalas tatapanku. Terlihat di sana, ia berusaha meminta maaf lewat tatapan matanya.

“Menikahlah denganku, Nita.”

“Bagaimana jika aku menolak?”

Ya, Tuhan! Mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku?

“Jika kamu menolak…. Entahlah…. Mungkin aku akan menunggu sampai kamu tidak lagi menolak permohonanku.”

Janu memohon?! Pria bertampang pongah dan bengal ini memohon padaku?! Benarkah?! Ia memohon, bukan meminta. Kuharap aku salah mendengar.

“Aku…. Aku tidak tahu, Janu. Bisakah kamu memberiku waktu sedikit lagi? Aku ingin memikirkan segalanya.”

“Tidak.”

Apa?! Kenapa aku tidak boleh meminta waktu untuk berpikir?

“Kamu harus menjawabnya sekarang, Nita.”

“Kenapa harus?”

“Karena aku tidak mau kehilangan dirimu lagi. Yang pertama kali, begitu menyakitkan. Yang kedua kalinya pasti akan membuatku mati perlahan. Itu bukan cara yang keren untuk meninggalkan alam fana ini, Nita. Kamu pasti mengerti itu.”

Oke. Itu artinya aku harus menerima permohonannya. Ya, Tuhan. Ini sangat konyol. Jadi, inilah akhirnya. Aku kembali lagi ke titik awal – sebuah titik lawas – di mana aku untuk pertama kalinya menaiki carousel raksasa. Di sini, sepuluh tahun yang lalu, aku bertemu Janu. Lima tahun kemudian, aku harus kehilangan dia, setelah satu ginjalnya tertanam di tubuhku. Dan sekarang, aku kembali bersamanya. Atau lebih tepatnya, dia yang menginginkan kebersamaan itu lagi. Apakah nanti aku akan berpisah lagi dengannya, lalu bertemu untuk yang ketiga kalinya? Ah, kehidupan memang gila! Berputar seenaknya, lalu berhenti seenaknya pula. Seperti carousel. But I think, I love the way I live.


Sumber gambar, klik image.

Menunggu Kereta



Bangunan hijau itu sudah di depan mataku. Aku berhenti sejenak untuk melihat wujud raksasa tempat singgahnya para kuda besi. Ada sesuatu yang ingin membuncah begitu saja di dadaku. Seperti sudah bertahun-tahun terpendam begitu saja. Padahal, aku tidak sedang merindukan apapun. Kecuali – ya, ada yang kurindukan, aku baru ingat – suara-suara bising di peron tempat aku menunggu satu kuda besi yang akan membawaku menjauh dari hiruk pikuk ibukota.

Aku sampai di pintu masuk. Terakhir aku kemari, hanya ada dua orang yang berjaga memeriksa karcis. Sekarang tidak lagi. Bahkan kulihat ada tiga orang anggota Brimob yang berdiri di sana sambil ikut memeriksa karcis. Ya, sistem boarding pass yang baru ditetapkan institusi ini membuat antrian sedikit mengular di pintu masuk menuju peron. Tapi, aku tidak kaget. Aku sudah tahu. Jadi, langsung saja kubuka dompetku, kuambil tiket dan KTP, lalu ikut mengantri.

Sudah berjarak jauh dari tempat aku berdiri tadi, sekarang aku berada di depan seorang petugas Kereta Api. Wajahnya menunjukkan lelah dan jemu secara bersamaan. Tapi, agak aneh kupikir. Dia seperti tidak melihatku. Mungkin dia hanya berkonsentrasi melihat tiket dan tanda pengenalku. Ah, toh aku tidak peduli. Yang penting aku sudah bisa masuk peron dan segera menuju lantai tiga.

Itu dia. Sebuah bangku kosong di dekat pilar. Aku bergegas sebelum ada orang lain yang memakai bangku itu. Kuhempaskan tubuhku, lalu kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Ramai, tapi tidak seramai biasanya. Mungkin karena ini masih pagi. Kereta jarak jauh biasanya baru akan muncul siang nanti. Sedangkan keretaku baru akan tiba satu jam lagi.

“Mama bilang juga apa?!”

Sebuah suara tiba-tiba saja menyeruak ke dalam indera pendengaranku. Aku mencari sumber bunyi itu dan mendapati seorang ibu berdiri tak jauh dari bangku yang aku duduki. Di hadapan wanita tambun itu, berdiri seorang gadis berrambut panjang yang berpakaian sedikit mencolok, celana panjang warna kuning terang dan kaos oblong merah muda menyala. Aku bertanya dalam hati, apakah sang ibu tidak mengajari anaknya dalam memadukan warna pakaian.

“Kan, Mama udah ingetin dari semalem! Siapin semuanya dengan teliti!”

Suara itu menggetarkan gendang telingaku lagi. Aku merasakan dahiku berkerut secara otomatis. Apa gerangan yang terjadi hingga sang ibu tega memarahi anaknya di depan orang banyak? Apa ada yang tertinggal?

“Boneka beruang itu, kan, kado untuk sepupumu. Apa gunanya kita ke Cirebon tanpa bawa kado itu?”

Ah, benar rupanya, ada yang tertinggal.

“Dion sudah memesan dari sebulan yang lalu. Apa kamu tega lihat sepupumu yang masih umur lima tahun itu nangis gara-gara boneka itu lupa kita bawa?”

Aku lihat gadis itu hanya menunduk, menekuni flat shoe hijau terang. Ya ampun, setelah kupikir-pikir lagi, gadis itu lebih mirip traffic light berjalan. Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi urung kulakukan. Suara sang ibu kembali memenuhi liang telingaku.

“Kamu selalu saja begitu, Mirna! Nggak pernah menyiapkan segala sesuatunya dengan benar. Kamu selalu saja lupa sesuatu. Bahkan hampir setiap hari, ada saja buku pelajaranmu yang tertinggal.”

Oke! Kupikir ada yang salah dengan sang ibu. Wanita dengan jilbab motif macan tutul itu terlalu menyalahkan anaknya. Bukankah dia juga harus mengecek kembali semua barang bawaan? Kalau dia merasa anak gadisnya tidak bisa diandalkan, apa salahnya menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Toh si anak – aku menduga – baru berumur sebelas atau dua belas tahun. Jika aku jadi wanita itu, aku akan mengambil ponselku dan meminta seseorang di rumah membawakan boneka itu ke stasiun. Kereta Cirebon Ekspres – yang juga akan kunaiki pagi ini – baru akan datang satu jam lagi. Kupikir itu waktu yang cukup. Ya, kecuali jika ibu dan anak itu hanya tinggal berdua di rumah, siapa yang akan membawakan boneka itu kemari.

Kutinggalkan pandanganku pada ibu dan anak itu. Mereka masih saja berdebat soal boneka beruang. Membuatku sedikit penasaran dengan bentuknya.

Tiba-tiba seseorang sudah berdiri tepat di hadapanku. Seorang pria dengan celana denim dan kemeja abu-abu dan sebuah buket bunga di tangan kanannya. Tatapannya sendu, juga setengah sedih. Tapi, bibirnya menyungging senyum tulus. Dia melihat ke arahku. Ah, tidak! Dia melihat kursi yang aku duduki!

***

“Nggak bawa tas, Mas?” tanya petugas pintu masuk padaku. Kuperhatikan petugas itu hanya sekilas saja memeriksa tiket dan tanda pengenalku. Lalu, ia membubuhkan stempel ‘SESUAI IDENTITAS DAN TELAH DIPERIKSA’ pada tiketku.

“Nggak, Pak,” kujawab meski enggan.

“Mau ke Cirebon?” tanyanya lagi.

“Iya.”

Ayolah. Sudahi saja basa-basi ini. Aku ingin segera sampai ke peron.

“Bunga mawarnya nggak takut layu duluan sebelum sampai ke Cirebon?”

“Ah, tidak. Aku hanya butuh satu jam saja. Setelah itu bunga ini bisa berpindah tangan.”

Kulihat sambil lalu, wajah petugas itu mendadak seperti orang yang baru saja melihat hantu. Bingung dan penasaran menjadi satu. Tapi, aku tidak peduli. Aku langsung beranjak menuju eskalator. Toh aku tidak ingin menyumbat antrian di pintu masuk.

Aku sampai di peron. Suasana sudah mulai ramai, meskipun tidak sepadat sore hari. Ah, itu dia! Bangku panjang di dekat pilar. Kupercepat langkahku ke sana. Kebetulan bangku itu kosong. Jadi aku bisa berlama-lama memandang bangku itu.

“Ngapain kursi diliatin gitu, Mas?”

Sebentuk suara renyah membuyarkan lamunanku. Seorang pemuda yang bekerja sebagai petugas kebersihan di stasiun hijau ini sudah berdiri di sampingku sambil tetap memegang gagang sapu.

“Eh…, oh…, nggak apa-apa.” Ah…. Mengapa aku harus tergagap seperti ini?

“Itu bunga, buat siapa?” tanya pemuda itu sambil mengerutkan dahinya.

“Ini…. Ini… untuk kekasihku.”

“Terus, sekarang pacarnya di mana? Belum dateng? Atau lagi ke toilet?”

Rupanya aku terlalu menarik perhatian dengan membawa beberapa kuntum mawar ini di tanganku. Sungguh, aku tidak berniat seperti itu. Tidak bisakah aku melalui pagi ini sesuai apa yang aku inginkan?

“Dia… ada di tempat yang indah,” jawabku.

***

“Pram….”

“Ya, sayang. Ada apa?”

“Sakit…,” ujar Nita lirih.

Pram menarik napas panjang. Hatinya teriris melihat kekasihnya menderita seperti ini. Ia lebih merengkuh Nita ke dalam pelukannya. Ia tahu Nita sangat butuh kenyamanan. Paling tidak, ia tidak boleh menderita terlalu jauh lagi.

“Sebentar lagi kita sampai di Stasiun Gambir, Sayang.” Pram berharap kata-katanya bisa menghibur Nita.

Dua puluh menit berlalu, taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan Stasiun Gambir. Pram turun lebih dulu dan membiarkan Nita masih terduduk di jok penumpang. Sepuluh menit kemudian, Pram kembali menjemput Nita.

“Aku sudah dapat tiketnya, Sayang. Keretanya satu jam lagi.”

Nita tersenyum. Pram melihatnya. Dan, ia tahu, gadisnya mengeluarkan banyak tenaga untuk tersenyum seperti itu. Setelah menyelesaikan pembayaran taksi, perlahan Pram membantu Nita keluar dari taksi. Sang supir taksi rupanya seorang yang sigap. Tadi ia berlari ke lobi untuk mengambil kursi roda.

“Pakai ini saja, Mas,” ujarnya pada Pram.

“Tidak.” Suara lirih Nita lebih dulu terdengar.

“Kau yakin, Sayang? Perjalanan ke peron akan terasa sangat jauh untukmu.”

“Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya.”

Pram melihat ke arah supir taksi, seolah mengucap maaf dengan pandangan matanya. Dan, sang supir pun sudah mengerti.

“Nggak apa-apa, Mas. Nanti saya kembalikan lagi ke tempatnya.”

Pram mengangguk, lalu mulai berjalan pelan sambil memapah Nita.

Perlu waktu hampir tiga puluh menit untuk menuju peron di lantai tiga. Pram langsung menuju sebuah bangku yang terletak tak jauh dari tangga, juga bersebelahan dengan salah satu pilar besar penyangga atap. Ia dudukkan Nita di sana, kemudian merapatkan cardigan warna marun yang membungkus tubuh kurus gadis itu. Setelah itu, Pram menempatkan diri di sisi gadis yang baru bulan lalu menjadi tunangannya.

“Pram…. Masih lamakah?”

Suara Nita hampir tak terdengar di antara keramaian peron pagi ini. Atau mungkin Nita sudah hampir kehabisan tenaga untuk sekadar mengeluarkan kalimat singkat?! Pram hanya berharap dugaan terakhirnya salah total. Ia percaya, kekasihnya masih sanggup bertahan.

“Setengah jam lagi, Sayang.”

“Cukupkah untukku, Pram?”

Pram memejamkan mata. Hatinya menangis. Pedih rasanya, seperti luka yang terkena air laut. Ia memohon dalam hati agar Nita berhenti bicara.

“Setengah jam lagi keretanya datang, Sayang. Bersabarlah.”

Pram tidak menjawab pertanyaan Nita. Bukan karena tidak bisa, ia hanya tidak sanggup. Ia ingat apa perkataan dokter tahun lalu. Dengan kanker paru-paru stadium empat, Nita diprediksi hanya bertahan selama lima bulan. Tapi, Nita berhasil melalui satu tahun penuh dengan semangat yang luar biasa. Bahkan hari ini, ia minta diantar ke Cirebon hanya untuk berkunjung ke Taman Ade Irma Suryani, tempat di mana semasa kecil ia sering menghabiskan waktu akhir minggu di sana.

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.” Napas Nita terengah-engah. “Ini sudah setengah jam sejak kita duduk di sini. Sebentar lagi, keretanya pasti datang. Bukankah menunggu kereta itu mengasyikkan, Pram?!”

Pram tahu, ini bukan waktunya ia menjawab. Nita hanya butuh pendengar. Dan itu adalah kalimat-kalimat terpanjang yang Nita ucapkan dalam beberapa bulan terakhir. Kalimat-kalimat yang rupanya menjadi rangkaian kata terakhir yang Nita ucapkan. Karena selepas itu, bersamaan dengan datangnya rangkaian kereta Cirebon Ekspress, Nita memejamkan matanya. Dan, mata itu tidak pernah terbuka lagi.