Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Cerita Nara Sang Pramuria



“Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran mereka. Maksudku, para pria. Apakah mereka selalu enggan mengingat kejadian penting dalam sebuah tanggal?” Nara tiba-tiba mengoceh di tengah hiruk pikuk kencangnya dentuman musik di sebuah ruang diskotik.

“Apa maksudmu?” tanya Yoda sembari menghembuskan asap rokok dari cuping hidungnya.

“Aku pernah mengenal seorang pria. Dulu…, jauh sebelum aku bertemu denganmu, Yoda. Katakanlah… aku dan pria itu, pernah punya cerita yang ya… cukup indah. Paling tidak, itu menurut versiku. Tapi sayangnya, keindahan itu tidak bertahan lama.”

“Apa yang terjadi dengan kalian?”

“Kami menikah.”

“Kau?! Pernah menikah?! Jangan katakan itu benar!!’ Yoda setengah tak percaya.

“Itu memang benar,” ada sedikit amarah tersirat dari ucapan Nara. “Walaupun tidak berjalan lama. Hanya dua tahun.”

“Jadi kau berpisah dengannya hanya karena ia tak mampu mengingat tanggal pernikahan kalian?” Yoda melihat Nara mengangguk lemah. “Hmm…. Itu… aneh,” sambungnya lagi.

“Hahahaha…, “ tawa lepas Nara menyeruak di antara kepulan asap rokok di ruangan diskotik. “Itu bukan penyebab utama, Yoda. Butuh lebih dari sekedar itu untuk membuatku memutuskan untuk berpisah darinya.” Nara berhenti sejenak dan meneguk bir yang tersisa sedikit di gelasnya. “Dia… tidak pernah menganggapku sebagai seorang wanita yang seharusnya ia muliakan dalam hatinya. Disamakannya diriku dengan kebanyakan wanita yang pernah ia jumpai. Ia… memaksaku untuk bertingkah seperti apa yang ia inginkan. Kau boleh menyimpulkan, aku ini hanya sekedar boneka plastik pelengkap tampilannya.”

Yoda terdiam memandang Nara. Ia ingin mengomentari perkataan Nara. Tapi ia urungkan niatnya itu. Ia tahu, Nara sedang tidak ingin ucapannya dibela ataupun disanggah. Nara hanya ingin seseorang bersedia mendengar keluh kesahnya. Dan Yoda, selalu hadir mengambil peran itu. Seperti yang terjadi sekarang ini.

“Ia,” lanjut Nara, “yang menjadikan diriku seperti yang kau lihat sekarang ini.”

Yoda bingung. Ia tidak berkata apa-apa, tapi Nara melihat raut keheranan diwajahnya.

“Oh, bukan. Bukan seperti yang kau duga,” Nara buru-buru menambahkan. “Apa yang aku kerjakan saat ini… adalah buah kekesalanku padanya. Tapi ini murni keputusanku sendiri. Tidak ada intervensi dari siapapun.” Nara berhenti sejenak. “Dahulu,” katanya lagi, “sejak aku berpisah dengannya, aku selalu menganggap semua pria sama seperti dirinya. Aku menganggap semua pria berpikiran sama terhadap seorang wanita. Bahwa wanita, hanya dijadikan sebagai pemanis kehidupan pria belaka, dan tak layak untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi diri wanita itu sendiri. Ah, sungguh sesuatu yang menyakitkan untuk diingat. Aku jadi heran. Apakah Tuhan memang menciptakan wanita dengan otak yang selalu mudah menyimpan dan mengingat memori yang penuh luka? Ataukah Tuhan lupa menambahkan sebuah software yang pada otak para pria?! Sebuah software yang dapat mengingatkan mereka akan tanggal-tanggal penting dalam kehidupan mereka. Atau mungkin sebuah software yang bisa membuat pria mengerti apa keinginan seorang wanitanya, walapun sang wanita tak pernah mengatakannya secara langsung. Hmm… sounds weird, huh?!”

“Kau terlalu naif, Nara,” akhirnya Yoda angkat bicara. “Tidak semua pria seperti itu.” Yoda mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. “Kau terlalu marah terhadap masa lalumu sendiri sehingga kau tidak bisa melihat setitik warna lain pada selembar perkamen hitam,” ucapnya lagi.

“Ah, kau terlalu membela diri, Yoda,” ucap Nara yang kesal mendengar perkataan Yoda.

“Tidak. Aku tidak membela diri. Karena aku bukan seperti pria yang kau bicarakan tadi. Dan aku memang bukan dia. Jujur saja, aku pun terkadang lupa pada suatu hal yang sesungguhnya itu teramat penting di dalam kehidupanku. Aku tidak menyangkal itu. Tapi yang ingin aku katakan kepadamu, bahwa lembar kehidupan itu masih luas. Kau tidak boleh berdiam diri hanya pada satu lajur. Keluarlah sejenak dari track yang sudah sangat kau hapal itu. Lihatlah sekelilingmu, apakah ada yang menarik perhatianmu. Jika tidak, silahkan kau kembali ke lajur semula.”

“Aku berharap… ah, bukan…. Lebih tepatnya bermimpi, aku bisa kembali ke masa lalu untuk menyadarkan diriku sendiri. Apa yang menjadi pilihanku dahulu, ternyata malah menyakitiku.”

“Jadi kau menyesal dengan apa yang sudah kau jalani?” tanya Yoda.

“Hmm…. Bukankah setiap manusia pernah paling tidak satu kali mengalami rasa itu?!” sahutnya sembari tersenyum simpul. “Dengarkan aku, Yoda. Apa yang terjadi padaku saat ini, dan apa yang menjadi pekerjaanku saat ini, tak lebih karena aku sudah mati rasa, Yoda. Aku tidak bisa lagi membedakan antara nafsu dan cinta yang sesungguhnya. Termasuk kepadamu juga. Please, no offense,” ujar Nara lagi. “Pria itu… yang telah membuat hatiku tak sanggup lagi menerima secuil cinta untuk kunikmati. Tapi bukannya aku tak ingin kembali menjadi wanita normal, yang bisa merasakan cinta dari seorang pria. Aku sangat mengharap hal itu. Karena aku… tetaplah seorang wanita. Dan seorang wanita… tetap membutuhkan seorang pria di dalam hidupnya.”

Nara berlalu meninggalkan ruangan diskotik. Ia membiarkan Yoda menghabiskan sisa malam ini sendirian. Saat melangkah menyusuri jalanan yang gelap dan sepi, ia memang terlihat seperti wanita yang kuat. Padahal tidak. Raut wajah Nara memang tegar dan tubuhnya masih sanggup menjalani kerasnya hidup. Namun sesungguhnya, hatinya serapuh dedaunan kering. Jiwanya seolah hampa dan haus akan cinta. Sempat Nara berpikir, akankah dirinya terus menerus hidup dalam situasi seperti ini. Ia ingin berlari sekencang-kencangnya, tak peduli arah. Yang ia butuhkan hanyalah menemukan tempat berlindung, tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah. Siapapun membutuhkan rumah, gumamnya dalam hati, termasuk diriku.

sumber gambar

Blue Dragonfly - Chapter Ten



Chapter Ten – From This Moment

kisah sebelumnya Chapter Nine

9 Oktober 2011

Aldo menjabat tangan pria paruh baya yang duduk tepat di hadapannya. Kemudian Aldo mengucapkan ikrar suci yang ditunggu-tunggu oleh semua yang hadir saat itu.

“Saya terima nikahnya Kirana Utari binti Suryo Dewantara, dengan mas kawin uang sebesar lima juta rupiah, lima belas gram emas, dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai.”

“Sah? Sah?” tanya pria paruh baya itu kepada ayah Kirana dan ayah Aldo, juga kepada dua orang saksi yang ikut hadir di meja itu.

“Sah,” jawab mereka hampir bersamaan.

Alhamdulillah,” balas orang-orang yang hadir pada akad nikah ini.

Kirana, yang sedari tadi berada di kamar bersama ibunya dan juga ibu Aldo, mendengarkan suara Aldo mengucap ikrar itu. Tak terasa satu tetes air matanya kembali jatuh ke punggung tangannya. Ini air mata kebahagiaan, batin Kirana. Saat ini dirinya telah resmi menjadi istri Aldo. Lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, ikut menjadi saksi bisu terbentuknya sebuah hubungan baru antara dirinya dan Aldo.

“Ayo, Ran. Kita keluar,” kata ibu Kirana.

“Iya, Ma.”

Kirana berdiri dan berjalan perlahan keluar kamar. Kebaya dan kain yang ia kenakan hari itu mengharuskan ia berjalan perlahan. Namun, Kirana terlihat sangat cantik dengan pakaian pengantin itu. Aldo membantunya mendesain kebaya itu bersama seorang perancang kenamaan di Jakarta.

Di beranda rumah itu, tempat akad nikah dilaksanakan, Aldo sudah berdiri menyambut Kirana. Raut bahagia terpancar dari wajah Aldo. Dan ketika Kirana muncul, senyum Aldo mengembang. Wanita yang menjadi kekasihnya, kini telah resmi menjadi pendamping hidupnya.

Kirana mencium tangan Aldo. Lalu Aldo mengecup kening istrinya. Keduanya saling memandang. Seolah saling menegaskan janji yang sudah mereka buat. Mulai saat ini, mereka akan bersama-sama mengarungi samudera luas yang bernama kehidupan.

TAMAT

sumber gambar

artikel dapat dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Nine



Chapter Nine – Blue Dragonfly

kisah sebelumnya Chapter Eight

Aldo menepati janjinya mengajak Kirana ke tempat rahasianya. Mereka berangkat hari sabtu pagi selepas sarapan.

Di perjalanan, Aldo tetap tidak mau menceritakan ke mana mereka akan pergi. Aldo hanya mengatakan kalau tujuannya ada di luar Jakarta.

Kirana menurut saja. Dia percaya Aldo tidak akan membuatnya lebih penasaran lagi dari saat ini. Paling tidak, Kirana bisa menikmati waktu berdua dengan kekasihnya itu. Beberapa minggu belakangan, mereka jarang bertemu. Kirana sibuk mengerjakan laporan akhir tahun dan Aldo sibuk menjamu klien-klien yang kebetulan datang untuk liburan tahun baru di Indonesia. Bahkan saat malam pergantian tahun pun mereka tidak bertemu.

Sampai selepas tahun baru, Kirana masih sulit bertemu dengan Aldo. Walaupun begitu, mereka tetap berkomunikasi lewat telepon. Keduanya sudah saling memahami kesibukan masing-masing. Dan kepercayaan yang mereka bangun, sudah cukup kokoh untuk menghadapi tantangan seperti ini.

Saat sampai di kota Cirebon, mereka rehat sebentar untuk makan siang. Mereka memilih restoran yang menyajikan menu ikan bakar.

“Al, masih jauh ya tempat tujuan kita?” tanya Kirana semakin penasaran. “Ini udah sampai Cirebon, lho. Kalau lebih jauh dari Cirebon, berarti kita masuk Jawa Tengah, dong.”

Aldo tertawa medengar pertanyaan Kirana. “Katamu tadi gak akan tanya-tanya lagi ke mana tujuan kita. Kamu bilang mau terima beres aja.”

Kirana merengut mendengar jawaban Aldo. “Jadi tetep gak mau bilang nih.”

“Eit, jangan marah dulu dong. Gini deh, aku kasih tahu sedikit aja ya. Kita memang akan ke Jawa Tengah. Tepatnya, aku gak akan bilang nama daerahnya. Yang jelas sekitar dua sampai tiga jam perjalanan. Mudah-mudahan lancar.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Kirana tidak henti-hentinya mengamati setiap daerah yang mereka lalui. Makin lama, Kirana makin cemas. Mereka sudah memasuki daerah Slawi. Dan kawasan yang mereka masuki sekarang, sudah bukan jalanan umum. Walaupun jalanannya sudah beraspal, tapi areal di kanan dan kiri jalan adalah kebun teh yang luas.

“Ini satu hal yang belum pernah aku ceritakan padamu,” kata Aldo. Aldo memperlambat laju mobilnya dan berbelok ke sebuah pelataran yang cukup luas. Ada berbagai macam tanaman hias tertata apik di pelataran tersebut.

Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah. Rumah itu tidak besar, dan juga gaya arsitekturnya sudah cukup kuno. Tapi semua itu kelihatan pas untuk dipandang. Pelataran dan rumah tersebut didesain saling mendukung, sehingga membuat penghuninya merasa nyaman.

“Ini aset orang tuaku juga. Tidak besar. Luas kebun itu hanya 10 hektar. Ada beberapa keluarga petani yang mengelolanya. Mereka yang menikmati hasilnya. Orang tuaku hanya meminta sedikit bagian untuk dimasukkan sebagai dana tak terduga dan untuk membayar pajak bumi dan bangunan.”

Mereka memasuki beranda rumah. Ada satu set meja kursi dari kayu jati, dan tepat di atas meja, tergantung sebuah lampu hias bermodel antik.

“Tapi aku mengajakmu kemari bukan untuk menunjukkan seberapa besar kekayaan orang tuaku. Aku tidak pernah dididik menjadi pemalas yang hanya bisa menghamburkan harta orang tua. Di atas kertas, rumah ini masih milik orang tuaku. Tapi, aku sudah setengah jalan untuk memiliki rumah ini.”

“Kamu membeli rumah dari orang tuamu sendiri?! Bukannya suatu saat seluruh aset orang tuamu akan menjadi milikmu?! Kamu kan anak tunggal,” kata Kirana.

“Itu berarti, untuk mendapatkan rumah ini, secara gak langsung aku mengharapkan orang tuaku cepat mati, dong.”

“Umm…, bukan itu maksudku.”

“Ah, sudahlah. Kamu gak akan mengerti kondisinya. Ini sudah perjanjian antara aku dan orang tuaku. In fact, nothing comes for free, right?!”

Kirana tersenyum. Ya, dirinya mungkin tidak akan mengerti prinsip apa yang diyakini oleh keluarga Aldo. Yang penting, tidak ada yang merasa dirugikan di antara mereka.

“Oke. Apa kamu siap untuk melihat kejutannya?”

“Yap, I’m ready.”

Kirana dan Aldo memasuki rumah. Kesan antik sangat terasa di dalam ruangan itu. Ada satu set kursi tamu yang juga terbuat dari kayu jati. Kesan modern hanya terdapat pada perangkat home theater yang terletak di ruang keluarga. Selebihnya, Kirana yakin umur benda-benda itu sudah tidak muda lagi. Namun, semuanya itu nampak terawat.

Aldo menggandeng tangan Kirana, mengajaknya ke sebuah kamar tidur yang luas di belakang ruang keluarga.

Pada dinding ruangan itu, tergantung lukisan-lukisan hasil karya Aldo. Kirana menghitung kesemuanya ada sembilan lukisan. Ada lukisan sebuah kebun bunga, lukisan deretan gedung bertingkat, lukisan anak-anak di taman bermain, lukisan sepasang kekasih, lukisan bunga matahari, lukisan seorang ibu dan anaknya, serta tiga lukisan abstrak.

“Apa kamu bisa melihat satu kesamaan dari sembilan lukisan ini?” tanya Aldo.

“Hmm…, apa ya? Dari dulu kamu memang pandai melukis. Tapi sembilan lukisan ini berbeda satu sama lain.”

“Ada satu, Ran. Satu hal yang aku buat sama di setiap lukisan ini. Ukurannya memang berbeda pada satu lukisan dengan lukisan lainnya. Tapi benda itu sama wujudnya. Kamu bisa melihatnya?”

Kirana kembali mengamati kesembilan lukisan Aldo. Pada lukisan kebun bunga, ada dua ekor kupu-kupu, satu ekor kumbang, dan satu ekor capung yang tergambar tepat di tengah kanvas. Pada lukisan gedung bertingkat, ada gambar sekawanan burung terbang di langit kota. Tapi ternyata tidak semuanya berwujud burung. Ada satu bentuk lain. Kirana mengamati lebih dekat lagi, dan ternyata itu capung.

Kirana beralih pada lukisan taman bermain. Pada lukisan itu, Kirana langsung menangkap gambar seorang anak yang sedang mengejar kupu-kupu. Tapi, tunggu dulu. Itu bukan kupu-kupu, pikir Kirana. Lagi-lagi, itu adalah wujud capung.

Dengan cepat pandangan Kirana berlari di antara lukisan-lukisan yang tersisa. Pada lukisan sepasang kekasih, si pria menggenggam seikat bunga yang disembunyikan di balik punggungnya. Dan bunga itu dihinggapi seekor capung. Dan satu dari dua bunga matahari, juga dihinggapi capung. Dalam lukisan ibu dan anak, capung itu tergambar hinggap di jemari si anak. Sedangkan dalam tiga lukisan abstrak, Kirana melihat sebuah pola berbentuk capung.

Kirana tertegun. Lalu beralih memandangi wajah kekasihnya.

“Gimana? Udah ketemu?” tanya Aldo.

“Capung. Kamu melukis capung.”

“Dan semuanya berwarna biru,” tambah Aldo.

“Jadi, laki-laki dalam mimpiku itu ternyata… kamu,” ucap Kirana secara perlahan.

Aldo bingung dengan pernyataan Kirana. “Mimpi?! Did I miss something, Ran? Apa ada yang belum kamu ceritakan padaku?” tanya Aldo.

Pelan-pelan, Kirana mulai menceritakan tentang mimpinya tempo hari, juga tentang pertemuannya dengan Ari.

“Untung saja Femi punya inisiatif untuk memancing lelaki itu bercerita tentang tatonya,” kata Kirana. “Kalau enggak, mungkin aku akan terus penasaran dengan arti mimpiku itu.”

Aldo menyimak penuturan Kirana dengan serius. Dia tidak ingin Kirana mengira dirinya tidak tertarik mendengar tentang mimpi Kirana. Dan di akhir cerita Kirana, Aldo hanya tersenyum. Dia tahu, Femi memang senang sekali membuktikan kalau pendapatnya benar.

“Tadi kamu menyebut tentang padang rumput dalam mimpimu?!”

“Ya. Kenapa?”

Aldo beranjak menuju sebuah jendela dan Kirana mengikutinya dari belakang. Aldo membuka tirai tipis yang menutupi jendela itu.

“Mungkin padang rumput itu, wujudnya seperti ini.”

Kirana terkejut melihat apa yang ada di hadapannya. Padang rumput itu hampir mirip dengan yang ada di mimpinya.

“Al, bagaimana semua ini terjadi? Apa semua ini cuma kebetulan?”

“Aku juga tidak mengerti, Ran. Tapi perlu kamu tahu, tempat ini juga pernah singgah dalam mimpiku ketika aku masih di Melbourne. Aku langsung tahu, kalau tempat itu adalah padang rumput di belakang rumah ini. Makanya aku langsung berunding dengan orang tuaku, bagaimana caranya aku bisa memiliki tempat ini. Mereka setuju saja waktu kutawari 80% dari tabunganku untuk membayar rumah ini. Walaupun kenyataannya sampai sekarang mereka tidak pernah mengambil uang itu dari rekeningku. Dan untuk lukisan-lukisan itu, mereka semua hadir di mimpiku. Maksudku, capung itu tidak hanya satu atau dua kali masuk dalam mimpiku.”

“Benarkah?” tanya Kirana. “Jadi ini memang bukan kebetulan. Ya kan, Al?!”

Aldo menghela napas panjang. “Entah Tuhan sedang merencanakan apa untuk kita berdua lewat mimpi-mimpi itu. Aku hanya bisa mengucap syukur, bahwa Tuhan telah mempertemukan kita berdua. Dan saat ini, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

“Apa itu, Al?”

“Kirana, maukah kau menikah denganku?”

(bersambung)

Chapter Ten

sumber gambar

artikel dapat dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Eight



Chapter Eight – Pertemuan Kedua, an Explaination

kisah sebelumnya Chapter Seven

Bulan Januari, satu minggu setelah pergantian tahun, Kirana dan Femi berada di sebuah toko kaset. Mereka biasa mengunjungi toko itu sebulan sekali sekedar untuk mendengarkan lagu-lagu keluaran terbaru atau membeli CD film.

Ketika pandangan Kirana sedang asyik menyusuri deretan kaset yang terpajang di rak, tiba-tiba saja Femi mencolek lengannya.

“Ran, coba lihat siapa itu.”

Kirana mengalihkan pandangannya pada seseorang yang Femi maksud. Tapi Kirana tidak menemukan siapapun yang ia kenal di sana. “Siapa, Fem? Gak ada, ah.”

“Itu. Laki-laki yang lagi berdiri di deretan rak lagu oldies.”

Kembali pandangan Kirana menyapu ruangan toko tersebut, mencari rak yang Femi maksud. Kirana menemukannya dan melihat seorang pria sedang berdiri sambil mengamati isi rak tersebut. Tapi tetap saja, Kirana tidak kenal siapa pria itu.

“Yang itu, maksudmu. Emangnya dia siapa? Kamu kenal?”

“Ya ampun. Kamu lupa ya? Dia kan pelayan di kafe yang sering kita datengin.”

“Hmm…, apa iya?! Aku lupa,” jawab Kirana sambil lalu. Dia kembali mengamati deretan kaset di hadapannya.

“Kita samperin, yuk,” ajak Femi sambil menarik tangan Kirana. Tapi Kirana menahannya.

“Eit, tunggu dulu. Mau apa kita nyamperin dia?”

“Ya iseng aja. Kita ajak ngobrol di food court di lantai atas.”

“Buat apa? Kita kan gak kenal dia.”

“Ran, dia emang gak mungkin jadi pacarmu. Tapi sapa tau aja dia bisa jadi pacarku.”

“Ih, desperate amat sih. Iya kalau dia mau diajak ngobrol. Kalau enggak?”

“Ya makanya kita coba deketin dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Kirana, Femi kembali menarik tangan Kirana, mengajaknya menghampiri pria yang ia maksud.

“Permisi,” sapa Femi.

Kirana berdiri di belakang Femi, nampak seperti orang yang tidak sabaran. Inilah yang tidak Kirana suka dari sahabatnya. Terkadang Femi bersikap terlalu ramah pada orang yang belum dikenalnya.

“Ya,” balas pria itu.

“Mas waiter dari Kafe Alamanda ya?”

“Iya. Maaf ya, apa kita saling kenal?” tanya pria itu.

“Ehmm…, belum sih. Nama saya Femi dan ini temen saya Kirana. Kita berdua sering ke kafe itu. Tapi kayaknya kita gak pernah ngeliat mas tugas lagi di sana.”

“Oh gitu. Saya masih kerja di sana kok. Tapi cuma part time dan waktunya terserah saya. Kebetulan kafe itu milik tante saya. Jadi saya bebas mengatur jadwal kerja saya. Mungkin pas saya tugas, kalian berdua kebetulan gak ke kafe.”

Pria itu lalu melihat Kirana. Dia mengamati Kirana sejenak, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“Tapi saya ingat dia,” kata pria itu sambil menunjuk ke arah Kirana.

Kirana agak kaget. Mengapa pria itu malah mengingat dirinya.

“Kalau gak salah, temanmu pernah bertanya tentang tato di tangan saya.”

“Umm…, betul banget,” jawab Femi. “Gimana kalau kita ngobrolnya di food court aja. Biar lebih santai. Aku yang traktir,” ajak Femi.

“Oke. Terserah kalian aja,” jawab pria itu.

Mereka bertiga keluar dari toko itu dan beranjak menuju food court di lantai tiga. Mereka memesan minuman, lalu melanjutkan obrolan mereka.

“Oya, namamu siapa?” tanya Femi. “Maaf banget, aku lupa.”

“Ariyan. Panggil aja Ari.”

“Oke deh. Ari. Kegiatanmu apa lagi selain kerja di kafe?”

“Aku masih kuliah, baru selesai semester tiga. Sekarang lagi libur, nunggu awal semester baru.”

“Oya. Kuliah dimana?”

“Trisakti. Fakultas hukum.”

Femi dan Ari asyik berbincang. Sementara Kirana hanya memperhatikan mereka berdua. Kirana merasa tidak punya kepentingan, jadi dia memutuskan tidak ikut campur dalam obrolan itu. Tapi bukan berarti Kirana tidak tahu sopan santun. Kirana tetap membalas pertanyaan singkat yang mereka tujukan pada dirinya.

“Aku mau tanya satu lagi. Tapi ini sifatnya lebih personal. Boleh?” tanya Femi.

“Silahkan.”

“Tentang tato di tanganmu itu. Kenapa kamu milih gambar capung berwarna biru?”

Kirana kaget dengan pertanyaan Femi. Dia langsung menatap Femi dengan tajam, seolah ingin tahu apa maksud Femi menanyakan hal bodoh itu.

Femi tahu, dirinya sedang diperhatikan oleh Kirana. Tapi Femi tidak peduli. Dia berpikir, suatu saat Kirana bahkan akan berterima kasih karena dia mengajukan pertanyaan itu pada Ari.

Sementara itu, Ari nampak biasa saja menanggapi pertanyaan dari Femi. Raut wajahnya tenang, seperti sebelumnya.

“Oh ini. Tato ini dibuat setelah pengumuman kelulusan SMA. Dulu di SMA aku gabung sama geng. Tapi bukan geng sembarangan. Sebenarnya kami cuma sekumpulan murid yang menyukai komputer. Suatu hari, salah satu dari kami mengusulkan untuk membuat tato. Alasannya simpel, supaya kita punya sesuatu yang bisa diingat kemudian hari. Awalnya ini tato temporari. Karena aku dan temen-temen yakin, tato permanen akan menimbulkan masalah ketika ospek kampus. Dan waktu itu, warnanya hitam. Karena tinta temporari memang biasanya hitam. Mengenai bentuknya, kita pilih capung cuma karena iseng.”

“Terus, kapan kamu bikin tato permanen itu?” tanya Femi lagi.

“Ini aku bikin beberapa minggu setelah ospek kampus. Jujur aja, aku memang suka sama bentuknya. Jadi aku bikin yang permanen dan warnanya biru.”

“Apa ada lagi yang punya tato seperti itu selain kamu?” tanya Kirana tiba-tiba.

Sekarang giliran Femi yang terkejut.

“Hmm…, aku gak yakin. Tapi, di tempat aku bikin tato ini memang ramai pengunjung. Dan aku pikir bentuk ini banyak juga dipilih oleh orang lain. Hanya saja mungkin warna dan ukurannya berbeda. Dan pastinya anggota tubuh yang dipilih juga berbeda.”

Ari melihat jam di tangannya dan mohon pamit pada Kirana dan Femi.

“Aku pamit dulu ya. Ada yang harus aku kerjakan. Mungkin lain waktu kita bisa ketemu lagi di kafe. Thanks atas traktirannya.”

“Sama-sama,” balas Femi.

Ari pergi meninggalkan Kirana dan Femi.

Ran, I know you’ll be thank me someday.” Femi mengucapkannya dengan nada menggoda Kirana.

Kirana menghela napas panjang. Sahabatnya itu benar. Femi mengajak pria itu mengobrol bukannya tanpa tujuan. Bukan juga dengan tujuan iseng seperti yang Femi katakan sebelumnya. Femi hanya ingin membantu dirinya mencari jawaban dari pertanyaan yang sempat memenuhi otaknya.

Well done, Fem. Thank you now.”

You’re welcome.”

(bersambung)

Chapter Nine

sumber gambar

artikel dapat juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Seven



Chapter Seven – Hot Cappucino

kisah sebelumnya Chapter Six

Pukul sepuluh lebih, Aldo sudah kembali ke rumah Kirana. Kali ini dia membawa mobil karena banyak yang harus dibawa untuk mendukung pekerjaannya. Aldo membawa laptop dan perangkat lainnya, juga beberapa bundel dokumen.

Kirana menyambut Aldo di depan pintu masuk. Dia sudah merapikan diri. Sebuah kecupan ringan dihadiahkan Aldo pada dirinya.

“Kamu udah sarapan?” tanya Aldo.

“Udah. Roti dan selai kacang.”

“Udah minum suplemennya?”

“Udah kok.”

“Udah telepon kantormu?”

“Udah. Suratnya udah sampai.”

Sepuluh menit kemudian, Aldo sudah berkutat dengan pekerjaannya. Ia sibuk membalas email dari klien-klien perusahaan. Kadang dia berbincang dengan mereka lewat media Skype. Juga ada beberapa panggilan lewat ponsel.

Kirana tidak berani mengganggu Aldo. Ia tahu pekerjaan itu tidak mudah. Kirana memilih untuk mengerjakan yang lain. Kebetulan ia berada di rumah ketika hari kerja, jadi ia bisa mengerjakan hal yang tidak mungkin ia kerjakan sebelumnya. Kirana memasukkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci otomatis.

Sementara mesin cuci bekerja, Kirana beranjak menuju kulkas, melihat kedalamnya. Dia mulai berpikir, apa yang bisa ia siapkan untuk makan siang. Ada wortel, buncis, brokoli, kubis, sedikit daging sapi yang ia simpan di freezer, dan dua butir telur. Kirana mengambil semua bahan itu dan membawanya ke meja dapur.

Selama dua jam berikutnya, Kirana berkutat di dapur. Setelah semuanya siap, ia beralih ke mesin cuci. Ia menjemur baju-baju yang sudah setengah kering. Tak terasa jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah satu siang.

Pekerjaan Kirana sudah selesai. Begitupun dengan Aldo, target pekerjaan untuk hari itu sudah ia tuntaskan. Sekarang ia bisa bersantai.

“Udah selesai, Al?”

“Untuk bagian hari ini, udah semua. Eh, kamu tadi masak ya?”

Kirana mengangguk. “Ya. Cuma bikin sayur sama lauk. Seadanya. Aku belum belanja lagi. Makan yuk.”

“Oke. Tapi sebentar lagi ya. Ada yang harus aku telepon sekarang.”

“Oke.”

Aldo bangkit dari kursi tamu dan beranjak menuju teras. Lalu Aldo menelepon seseorang. Dari ruang makan, pembicaraan Aldo hanya sayup-sayup terdengar. Mungkin Aldo sengaja merendahkan suaranya karena ini pembicaraan tentang bisnis, pikir Kirana.

“Kamu telepon siapa, Al?” tanya Kirana ketika Aldo sudah duduk di ruang makan bersamanya.

“Oh. Aku telepon kantor. Aku minta tolong office boy untuk mengantarkan sesuatu ke sini. Soalnya aku butuh hari ini juga. Aku males keluar. Panas, macet, dan capek nyetirnya. Kan enakan nunggu di sini. Aku bisa makan siang sama kamu.”

Kirana tersenyum mendengarnya. “Kamu kena sindrom ya?”

“Sindrom apa?”

“Sindrom gak ketemu pacar setahun lebih,” jawab Kirana, disusul tawa renyah dari keduanya.

“Ada-ada aja kamu, Ran.”

“Tapi memang benar kan?!”

“Ah, udahlah, terserah kamu mau menyebutnya dengan istilah apa. Yang penting sekarang kita makan. Hehehe…. Hmm…, ada sayur sop sama dadar telur. Sederhana, tapi cukup membangkitkan selera makan.”

“Halah, bahasanya aneh-aneh aja. Bilang aja kamu lapar.”

“Nah, tuh ngerti.”

“Nanti jangan protes ya kalau masakanku gak enak atau keasinan.”

“Ya enggak, dong. Paling juga nanti aku update di facebook kalau masakan seorang Kirana Utari keasinan.”

“Yee, apaan sih?!” balas Kirana sambil mencubit lengan Aldo.

Mereka menikmati makan siang pertama, setelah terpisah sekian lama. Nampak sudah tidak ada masalah lagi di antara mereka. Selesai makan siang, mereka bersantai di kamar Kirana sambil mendengarkan musik.

Tak berapa lama, ada seseorang yang datang. Rupanya orang itu adalah office boy suruhan Aldo. Aldo beranjak keluar menghampiri orang itu. Kirana mengintip dari balik jendela kamar. Tapi Kirana heran dengan apa yang dibawa oleh office tersebut. Sebelumnya Kirana berpikir bahwa Aldo minta diantarkan berkas-berkas dari kantor. Namun, yang dibawa oleh office boy itu justru sebuah bungkusan. Nampak seperti bungkusan makanan atau minuman.

Kirana melihat Aldo mengambil dompet dari saku belakang celananya dan memberikan beberapa lembar uang kepada office boy tersebut. Lalu office boy itu pergi.

Aldo masuk kembali ke kamar Kirana.

“Aku pikir kamu minta dibawain dokumen untuk kerjaanmu.”

“Aku gak bilang gitu kan. Aku cuma bilang minta dibawakan sesuatu. Dan ini dia, sesuatu yang sudah lama ingin aku nikmati bersamamu.”

Aldo membuka bungkusan itu. Ternyata isinya dua buah gelas minuman dari Starbucks. Aldo memberikan satu gelas kepada Kirana.

Isinya adalah hot cappucino, minunan favorit Kirana. Kirana tersenyum. Tak menyangka dirinya kembali mendapat kejutan dari kekasihnya. Baginya, ini satu lagi bukti kalau Aldo memang tidak pernah berniat melupakan dirinya.

artikel dapat juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Six



Chapter Six – Miss You Like Crazy

kisah sebelumnya Chapter Five

Kirana terbangun di pagi hari. Matanya masih terasa berat karena ia hanya tertidur beberapa jam saja. Namun dipaksanya untuk bangun karena matahari sudah mulai tinggi.

Semalam, Kirana dan Aldo terus mengobrol sampai lewat tengah malam. Aldo pun tidak pulang ke apartemennya. Dia tidur di kamar tamu.

Kirana beranjak dari ranjang dan keluar kamar. Dia langsung menuju kamar tamu. Pintunya tidak di kunci. Dilihatnya Aldo sudah tidak ada di tempat tidur. Kirana mendengar suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di kamar tamu tersebut. Rupanya Aldo ada di sana. Kirana duduk menunggu Aldo keluar dari kamar mandi.

Pintu kamar mandi terbuka dan Aldo muncul dari dalam kamar mandi. Pakaiannya masih sama, hanya saja tidak memakai jaket.

“Gimana tidurmu, Al?”

“Mau jawaban jujur?!”

“Maksudmu?”

“Semalam tidurku jelas gak nyenyak,” jawab Aldo sambil duduk di samping Kirana. “Karena aku gak bisa memeluk kamu sambil tidur.”

Kirana tersipu. Wajahnya memerah karena malu. Senyumnya mengembang lepas seolah tanpa beban. “Sabar, Al. Semua ada waktunya. Kita gak boleh mendahului apa yang sudah jadi aturan. Walaupun aku bukan orang yang taat ibadah, tapi untuk hal yang satu itu aku gak berani.”

“Aku tahu itu, Ran. Dan aku bilang begitu bukan berarti aku ingin seperti itu. Aku hanya ingin menggambarkan bagaimana besarnya kerinduan ini. Kamu pun tahu, aku juga masih harus belajar banyak soal agama. Dan aku menghargai keputusan apapun yang kamu ambil. Katakanlah, aku juga tidak ingin membuka bungkus makanan sebelum aku membayarnya.”

“Dan kapan hal itu akan terjadi? Maksudku, kapan kamu membayar makanannya?”

Aldo tersenyum. “Apa ini semacam pertanyaan jebakan untukku?”

Kirana tertawa. “Gak, Al. Bukan begitu maksudku. Kamu tahu?! Aku juga sudah tidak sabar menantikan momen indah itu.”

“Nanti kamu juga akan tahu. Pastinya gak lama lagi.”

Kirana tersenyum.

“Oya, Al. Apa di sana kamu sempat mengerjakan hobimu?”

“Hobi yang mana?”

“Memangnya kamu punya banyak hobi? Hobimu kan cuma melukis.”

“Syukurlah kalau kamu masih ingat hobiku. Hmm…, ada beberapa lukisan yang aku buat. Tapi gak aku taruh di Jakarta.”

“Lukisan apa? Kenapa gak kamu taruh di apartemenmu?”

“Itu kejutan, Ran. Nanti kita atur waktu untuk pergi ke sana.”

“Aku bahkan cemburu dengan kanvas dan kuas lukismu.”

“Kenapa?”

“Pikirkan saja sendiri.”

“Oh, aku ngerti. Jadi kamu masih belum terima penjelasanku semalam?”

“Bukan itu. Kenapa kamu juga gak berhenti melukis untuk sementara? Kan kamu bilang ingin menyelesaikan studi lebih cepat. Kamu sanggup men-delete aku dari otakmu, tapi gak bisa untuk urusan melukis.”

“Kirana. Aku tidak pernah benar-benar menghapus kamu dari pikiranku. Aku hanya berusaha untuk fokus dengan studiku di sana. Dan nampaknya kamu harus melihat sendiri nanti, apa yang sudah aku lukis. Semuanya bukan hanya karena hobi. Ada sesuatu yang belum bisa aku jelaskan sekarang.”

“Kenapa gak bisa? Aku siap mendengarkan, apapun itu.”

“Begini saja. Bulan depan, sekitar pertengahan bulan, kita pergi ke tempat itu. Aku akan mengosongkan jadwalku.”

“Mmm…, gak perlu sampai sejauh itu, Al. Aku gak apa-apa kok. Tadi aku cuma sedikit emosi karena urusan lukisan itu.”

“Gak, Ran. Memang sepertinya kamu harus melihat lukisan ini segera.”

“Baiklah, terserah kamu. Ngomong-ngomong, kita mau ngapain sekarang?”

“Pastinya, kamu mandi dulu biar segar. Lalu, kamu telepon kantor. Pastikan kalau surat dari dokterku sampai ke kantormu.”

Kirana mengangguk setuju. “Eh, tapi kamu sendiri gimana? Gak ke kantor?”

“Pekerjaanku sekarang fleksibel. Bisa dikerjakan dari mana saja. Posisiku bukan manajer pemasaran lagi. Sekarang aku lebih banyak berhubungan sama klien-klien dari luar negeri. Menjaga hubungan bisnis antara perusahaan dan klien yang jadi pelanggan tetap, sambil terus mencari klien untuk menambah jumlah pelanggan.”

“Wah, naik pangkat. Selamat ya.”

“Makasih. Sekarang aku pulang dulu ke apartemen. Mau ambil laptop, sekalian ganti baju. Nanti aku ke sini lagi bawa mobil, supaya sore kita bisa keluar berdua.”

Aldo memperhatikan wajah kekasihnya. “Boleh aku cium kamu, Ran?”

Agak terkejut dengan pertanyaan Aldo, Kirana malah terdiam lama. “Mendingan aku mandi dulu ya,” jawab Kirana sambil bangkit dari duduknya. Namun, Aldo menahannya. Kirana kembali terduduk di samping Aldo. “Ada apa? Kan tadi kamu nyuruh aku mandi dulu.” Kirana berdiri lagi dan berjalan menuju pintu kamar.

Kirana menekan gagang pintu dan menariknya. Daun pintu terbuka sedikit, namun segara tertutup kembali. Kirana melihat tangan Aldo menahan pintu tersebut agar tidak terbuka. Lalu tangannya dilingkarkan pada tubuh Kirana.

“Al.”

“Ssstt. Diamlah sebentar. Aku ingin menikmati saat ini.”

Kirana melepaskan diri dari pelukan Aldo. Dia membalikkan tubuhnya dan kini berhadapan dengan Aldo.

Tangan Aldo meraih jemari Kirana dan mengecupnya. “Boleh aku cium kamu?”

Kirana tidak menjawab. Kirana bahkan mungkin tidak mendengar pertanyaan Aldo. Dia terlalu sibuk memandang wajah pria yang menjadi kekasihnya itu.

Begitu besar rasa kehilangan yang pernah Kirana rasakan sebelumnya. Rasa sakit di hatinya masih terasa, walaupun saat ini sedikit terhapus karena Aldo sudah ada di hadapannya lagi.

Kirana tersadar dari lamunannya ketika bibir Aldo menyentuh bibirnya. Aldo menciumnya. Ciuman hangat yang sudah lama sekali Kirana rindukan. Ciuman yang dapat mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan lagi. Ciuman yang mengatakan bahwa dirinya akan aman bersama Aldo. Ciuman yang membawakan kesejukan bagi batinnya.

You know that I miss you like crazy, Ran. And that is not a joke.”

And you know, Al?! I feel the same way. I miss you so much. It hurts me when you’re not around. And that is not a joke.”

(bersambung)

Chapter Seven

sumber gambar

artikel dapat juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Five



Chapter Five – Masih Mencari Jawaban

kisah sebelumnya Chapter Four

Entah sudah berapa lama Kirana tak sadarkan diri. Matanya terbuka perlahan. Ia masih merasa lemas dan kepalanya terasa berat. Di atas meja di samping ranjang, ada beberapa bungkus obat dan segelas air putih.

Pandangan Kirana berpaling ke sisi ranjang lainnya. Aldo duduk di sana dan tersenyum kepada Kirana.

“Kamu masih di sini, Al?”

“Iya, aku masih di sini. Tadi kamu pingsan selama tiga jam lebih. Aku sempat bingung. Terus aku coba telepon dokter pribadiku. Ternyata beliau sedang ada waktu dan bisa datang ke sini memeriksamu. Dokter bilang, kamu kecapekan dan tekanan darahmu turun. Jadi dokter ngasih beberapa suplemen buat mengembalikan daya tahan tubuhmu.”

“Terima kasih, ya.”

You’re welcome.”

“Jam berapa sekarang?”

“Jam delapan. Kenapa? Kamu lapar? Aku belikan makanan ya.”

“Nggak perlu. Aku bisa menyiapkan sendiri. Lebih baik kamu pulang. Terima kasih, kamu udah mampir ke sini.”

Aldo menarik napas panjang. Nampaknya Kirana masih belum melunak sikapnya. Aldo tahu, ini akan memakan waktu yang cukup lama hingga Kirana dapat menerimanya kembali. “Baiklah. Aku pulang sekarang,” kata Aldo sambil bangkit dari ranjang. “Oya, tadi dokter menyarankan kamu istirahat penuh selama dua hari. Artinya, kamu gak perlu masuk kerja dulu. Nanti dokter akan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantormu. Kamu masih kerja di bank yang sama kan?!”

Kirana mengangguk.

“Oke. Jaga dirimu baik-baik, Ran.” Aldo melangkah menuju pintu kamar. Belum sampai Aldo menutup pintu, Kirana memanggilnya.

“Al. Boleh aku tanya sesuatu?”

“Apapun. Aku akan menjawab.”

“Duduklah dulu. Mungkin ini akan makan waktu agak lama,” kata Kirana.

Aldo menebak, pasti Kirana ingin meminta penjelasan lebih. Aldo juga sadar, alasan yang ia berikan sebelumnya, mungkin masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh Kirana. Dan sekarang, Aldo siap memberikan jawaban, meski itu dengan perlahan-lahan, apapun pertanyaan yang Kirana ajukan.

“Oke,” jawab Aldo sambil tersenyum. Ia lalu duduk di sofa di dekat jendela. “ Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Kemarilah, duduk di sampingku,” jawab Kirana.

Aldo setengah terkejut dengan permintaan Kirana. “Apa kamu yakin, Ran?”

Kirana tersenyum dan mengangguk pelan. Posisi Kirana masih terbaring di ranjang. Lalu Aldo duduk di sampingnya. Kirana langsung merasa ada sesuatu yang sejuk menyerbu perasaanya. Entah apa Aldo juga merasakan hal itu, yang jelas Kirana merasa ketenangan mulai bersarang di hatinya. Apa dengan begini, terjawab sudah segala pertanyaan di hatinya. Tunggu dulu, batin Kirana. Ini belum membuktikan apa-apa.

“Kamu tahu, Al?! Selama kamu pergi, sejak aku kehilangan kontak denganmu, kamu tahu apa saja yang aku lakukan?”

Aldo menggeleng. “Aku harap bukan sesuatu yang membuatmu putus asa terhadapku,” jawab Aldo.

“Well, aku memang putus asa. Selama satu minggu, ratusan sms, email, dan pesan via inbox facebook aku kirim. Tanpa lelah, aku menunggu jawaban dari kamu. Tapi, Al. Sabarku ada batasnya. Terakhir adalah usahaku menelepon keluargamu. Untung saja aku masih menyimpan nomor telepon yang pernah kamu beri. Orang tuamu sempat kaget ketika aku memperkenalkan diri. Ibumu bilang, kamu tidak pernah bercerita tentang aku. Kenapa, Al? Aku jadi nggak enak sendiri waktu itu.”

Aldo tersenyum. “Aku hanya sedang mencari momen yang tepat untuk memperkenalkan kamu kepada orang tuaku sebagai calon istriku. Dan percayalah, itu tidak akan lama lagi.”

“Benarkah?!”

“Kamu gak percaya?”

Kirana menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Seperti ingin menyingkirkan beban yang selama tertahan di jiwanya. “Terus terang, sulit untukku percaya ucapanmu hari ini. Entah seberapa besar usahamu untuk meyakinkan aku, tetap saja ini terasa sangat sulit. Tapi, akan ku coba memahami apa yang telah terjadi di antara kita.”

“Aku mengerti. Bukannya mau melebih-lebihkan, tapi ini juga berat untukku. Memutuskan untuk mengenyahkan dirimu sejenak dari otakku dan berusaha menyelesaikan apa yang telah menjadi tugasku di sana. Memang kedengarannya gak masuk akal. Seharusnya kita bisa tetap berkomunikasi. Tapi…, ah, aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Begini, Ran. Di jurusan yang aku ambil, menurut buku pedoman akademis, bisa diselesaikan dalam waktu dua tahun. Bahkan bisa kurang dari itu kalau mau ekstra kerja keras. Tapi, selama ini, lulusan dari sana rata-rata menempuh waktu dua tahun empat bulan, lima bulan, bahkan sampai lebih dari tujuh bulan. Aku gak kebayang aja kalau harus pisah dari kamu lebih lama dari dua tahun.”

Kirana tertawa mendengar penjelasan Aldo yang agak panjang ini. “Jadi cuma karena itu kamu memutuskan berhenti berkomunikasi denganku?! Aldo!! That is so ridiculous.”

“Aku tahu. Itu memang alasan yang konyol. Tapi itulah kenyataannya. Dan resikonya seperti yag sudah kita alami. Kita berdua sama-sama susah. Dan aku juga sempat punya pikiran kalau kamu akan mencari pengganti diriku.”

“Mmm…, jangan ge’er dulu ya. Aku malah gak punya pikiran untuk cari pacar lagi. Walaupun Femi pernah menyarankan seperti itu, tapi aku gak mau.”

“Lho, kenapa?”

“Gak tahu, Al. Gak kepikiran aja.”

Kirana bangkit dari posisi tidurnya. Dia menyingkirkan selimut dari kakinya. Kini posisinya sudah berhadapan dengan Aldo. Aldo pun beranjak duduk mendekati Kirana. Sejenak mereka berdua hanya terdiam tanpa kata. Saling memandang satu sama lainnya. Seolah sedang berusaha membaca pikiran.

“Kamu tahu, Al?” lanjut Kirana. “Aku hanya tidak menemukan mata ini pada wajah pria lain.” Tangan Kirana menyentuh wajah Aldo. Wajah yang selalu dirindukannya setiap hari. Wajah yang selalu memberikan senyum ketika Kirana bersedih. Senyum yang tidak berubah sampai saat ini.

Aldo menyambut jemari Kirana, mengecupnya perlahan, dan menggenggamnya dengan hangat. “Dan apa kamu tahu, Ran? Aku pun tidak menginginkan tangan wanita lain yang berada di genggamanku.”


artikel dapat juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Four



Chapter Four – Aku Masih Milikmu? Atau Kau Masih Milikku?

kisah sebelumnya Chapter Three

Tiga orang ini masih terdiam di tempat yang sama. Kirana, Aldo, dan Femi. Tidak ada satupun di antara mereka yang berani memulai pembicaraan lebih dulu. Beberapa pertanyaan, atau mungkin malah ratusan pertanyaan, berkelebat di otak masing-masing.

“Ran.” Akhirnya Femi memecah kesunyian. “Aku pulang dulu ya. Udah sore nih.”

Femi masuk kembali dan mengambil tasnya. Sementara itu, Kirana tidak menanggapi perkataan Femi. Otaknya masih sibuk mencerna situasi yag terjadi saat ini. Femi sempat berhenti sebentar dan memandang Aldo. Raut wajah Femi menandakan penyesalan dan kekecewaan. Entah perasaan itu ditujukan kepada siapa. Lalu Femi beranjak menuju mobil dan pergi meninggalkan rumah Kirana.

“Boleh aku duduk?” tanya Aldo.

Kirana terkejut, tapi cepat menguasai diri kembali. “Silahkan,” jawab Kirana.

Mereka berdua duduk di bangku panjang yang ada di teras. Mulanya ada jarak di antara posisi mereka. Tapi Aldo mendekat dan duduk tepat di samping Kirana.

Kirana resah. Ia ingin bersikap tegas, tapi ternyata sulit untuk dilakukan. Apalagi aroma parfum dari tubuh Aldo mulai tercium oleh Kirana. Tentu saja hal itu membangkitkan kembali segala hal yang telah Kirana kubur selama setahun lebih.

“Apa kabarmu, Ran?” tanya Aldo sambil meraih jemari Kirana.

Kirana langsung melepaskan tangannya dari genggaman Aldo. “Mau apa kamu datang kemari?” Bukannya menjawab pertanyaan Aldo, Kirana malah balik bertanya.

Aldo kaget, tapi tidak marah. Ia malah tersenyum kepada Kirana.

Masih senyum yang sama, pikir Kirana.

“Aku tahu, kamu pasti kaget dengan kedatanganku. Tadinya aku sempat gak yakin kalau kamu masih tinggal di sini. Makanya aku gak langsung ke sini setelah sampai di Jakarta. Aku cari info ke temen-temen tentang keberadaanmu. Sampai akhirnya kemarin, aku dapat info dari Femi.”

“Femi?” tanya Kirana heran. “Jadi Femi tahu kalau kamu ke sini? Pantas saja dia tanya yang aneh-aneh. Dan sekarang dia malah kabur.”

Kirana bangkit dari bangku dan masuk ke dalam rumah. Ketika hendak menutup pintu, Aldo menahan daun pintu tersebut.

“Ran, aku mohon. Beri aku kesempatan untuk berbicara,” pinta Aldo. “Aku tidak mau kesalapahaman ini terus berlanjut.”

Kirana berpikir sejenak, lalu dia mengalah. Dia membukakan pintu untuk Aldo.

“Itu bukan salah Femi. Aku yang memaksa dia untuk memberi informasi tentang kamu. Awalnya Femi juga melarangku untuk bertemu kamu. Femi bilang, hidupmu sudah cukup tenang.”

“Ya, Femi memang benar. Hidupku memang sudah tenang sejak setahun terakhir ini. Hidupku sudah tenang sampai dua minggu lalu aku mengetahui kepulanganmu. Dan sekarang? Kamu merusaknya.”

Tiba-tiba Aldo memeluk Kirana. Kirana terkejut dan berusaha melepaskan diri dari Aldo. Tapi lagi-lagi, ada satu bagian kecil dari di ruang hatinya yang membiarkan hal itu terjadi. Kirana tahu, ia rindu pelukan itu.

“Kamu tidak tahu, bagaimana sulitnya memendam rasa ini. Selama hampir dua tahun aku berjuang menekan egoku, agar aku bisa menyelesaikan kewajibanku di sana. Egoku selalu menginginkan kamu ada di sisiku. Tanpa terlewat satu detik pun. Aku masih mencintaimu. Kau masih kekasihku.”

Kirana sudah terbuai dengan pelukan dan kata-kata Aldo. Tapi kalimat terakhir menyadarkan Kirana. Ia lalu melepaskan diri dari pelukan Aldo.

“Aku masih milikmu?” tanya Kirana. “Atau kau masih milikku? Aku rasa dua pertanyaan itu tidak ada artinya buatku saat ini. Tetap saja aku merasa sakit. Aku tahu, kamu di sana mengejar impianmu. Tapi apa sulitnya untuk tetap berkomunikasi? Dan kamu tega membiarkan aku memikirkan hal yang bukan-bukan. Kamu tega membiarkan aku mengira bahwa kamu sudah tidak menginginkan aku lagi.”

Aldo tidak berkata apa-apa lagi. Dipandangi wajah Kirana yang telah basah oleh air mata. Dia hanya ingin menghapus air mata itu. Menghapus segala kesedihan dan prasangka buruk di hati Kirana.

“Ijinkan aku memelukmu lagi, Ran.”

“Tidak perlu. Lebih baik sekarang kamu pulang dan jangan kemari lagi.”

“Ijinkan aku memelukmu, Ran,” ulang Aldo.

“Untuk apa? Supaya kamu bisa menyakitiku sekali lagi?”

“Supaya aku yakin sekali lagi, bahwa aku sudah memilih orang yang tepat. Supaya aku bisa merasakan detak jantungmu. Supaya aku bisa memberikan kehangatan bagi calon ibu dari anak-anakku kelak. Supaya aku bisa merasakan cintamu lagi saat ini, esok hari, dan selamanya, sampai aku mati. Apa itu masih kurang untukmu?”

Jawaban Aldo membuat Kirana merasa lemas. Keseimbangan tubuhnya mulai goyah dan pandangannya mulai kabur. Semua berubah menjadi putih di mata Kirana dan sedetik kemudian, semuanya menjadi gelap. Kirana pingsan.

(bersambung)

Chapter Five

sumber gambar

artikel bisa juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Three



Chapter Three – Run… Run… Run…

kisah sebelumnya Chapter Two

Dua minggu setelah kejadian di kafe, keadaan sudah kembali normal. Kirana juga sudah melupakan pria itu dan kembali tenggelam ke dalam tugas-tugas kantornya. Bulan Desember adalah bulan yang sibuk, bahkan mungkin yang tersibuk sepanjang tahun. Semua kegiatan selama setahun ini harus dibuatkan laporan dan disetorkan kepada atasannya.

Hari ini juga, tepat dua minggu sebelum tahun baru 2011. Kirana memutuskan untuk refreshing ke sport center. Seperti biasanya, Kirana ditemani Femi, sahabatnya. Setelah dua minggu lalu mereka gagal berenang, sekarang mereka sudah duduk di tepian kolam renang.

Ada sekitar tiga puluhan orang yang memadati area kolam renang. Lumayan ramai, memang. Selain karena hari ini hari minggu, juga sebentar lagi menjelang liburan sekolah. Ada beberapa keluarga dengan anggotanya lengkap. Ayah, ibu, dan dua atau tiga orang anak. Juga beberapa pasang muda mudi dan sekumpulan bocah laki-laki.

Kirana dan Femi melakukan renang gaya bebas sebanyak dua putaran. Lalu mereka duduk di tepian kolam renang dengan kaki masih terjulur ke dalam air.

“Kamu utang cerita ke aku, Ran,” kata Femi tiba-tiba.

“Hah?! Cerita apa?” tanya Kirana heran.

“Tentang kejadian di kafe dua minggu lalu. Udah lupa?”

“Oh, itu. Bukan apa-apa kok,” jawab Kirana sambil menutupi mimik mukanya yang terlihat seperti orang yang terjebak situasi tidak mengenakkan.

“Kamu bohong,” kata Femi. “Aku tahu kamu bohong.”

Kirana tidak bisa mengelak lagi. Ia lalu bercerita tentang mimpinya tempo hari. Tentang pria dengan tatonya, juga tentang dirinya yang memakai baju pengantin.

“Hahaha…,” Femi tertawa terbahak-bahak.

“Tuh, kan, ngeledek.”

“Haduuuh…, sampe sakit perut nih.”

“Huh!!! Tau gitu, aku gak usah cerita ke kamu. Aku udah nebak, pasti kamu bakal ngeledek aku.”

“Aduh, maaf deh,” kata Femi sambil menahan tawanya. “Jadi, kamu mikirnya pelayan kafe itu laki-laki yang sama dengan yang ada di mimpimu?! Cuma gara-gara tatonya sama?!”

“Ya, aku memang sempat berpikir seperti itu. Apa Tuhan udah ngasih aku petunjuk lewat mimpi? Tapi aku sendiri gak mau terlalu terpengaruh sama mimpi itu. Kalau memang benar, biarlah hal itu datang sendiri. Gak perlu aku yang repot mengejar dan memaksakan diri. Takutnya, itu cuma sekedar false alarm.”

“Iya juga sih. Pria yang punya tato seperti itu kan bisa jadi lebih dari satu orang. Kalo seandainya aja kamu maksa ngejar si pelayan itu, tapi ternyata bukan dia orangnya, wah…, bisa gawat tuh. Hehehe….”

Femi sepertinya tidak tahan untuk tidak tertawa lagi. Baginya, apa yang diceritakan Kirana adalah hal yang lucu. Sangat jarang kejadian di dunia ini yang awalnya merupakan bunga tidur. Tapi karena tawa Femi, Kirana jadi bertambah kesal.

“Ah, kamu ngeledek terus. Mending aku nyebur lagi deh,” kata Kirana.

Pukul 3 sore, mereka memutuskan untuk pulang. Sebelumnya, mereka sempat mampir ke warung bebek goreng untuk makan siang.

“Ran, aku mampir ke tempatmu ya. Sebentar aja,” pinta Femi ketika mobil yang mereka tumpangi memasuki gerbang kompleks perumahan.

Saat ini Kirana menempati rumah milik pamannya. Sudah lebih dari enam tahun Kirana menempati rumah itu. Pamannya bekerja di Amerika dan sudah berkeluarga di sana. Keluarga besar Kirana tidak mengijinkan rumah itu jatuh ke tangan pihak luar. Artinya, rumah itu tidak boleh dijual. Sedangkan paman Kirana hanya dua tahun sekali pulang ke Indonesia. Akhirnya keluarga besar memutuskan Kirana yang menempati sekaligus merawat rumah itu. Kirana tidak keberatan. Malah dia merasa beruntung karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk indekost. Namun, tanpa sepengetahuan keluarganya, Kirana berniat membeli rumah itu. Dan hanya pamannya yang mengetahui hal itu. Mereka berdua sepakat bahwa Kirana akan membayar rumah itu jika dana yang tersedia sudah cukup. Pamannya pun tidak memberi harga yang berlebihan, mengingat Kirana juga bagian dari keluarga.

Setelah membersihkan diri, Kirana dan Femi bersantai di kamar Kirana. Sambil mendengarkan musik dari band kenamaan luar negeri, mereka melepas lelah setelah seharian berada di luar rumah.

“Ran, kalo seandainya Aldo datang lagi ke sini, apa reaksimu?” tanya Femi tiba-tiba.

Kirana bingung mendapat pertanyaan seperti itu. Seandainya memang benar itu terjadi, tentu saja Kirana tidak siap. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan jika Aldo ada di hadapannya lagi. Bagi Kirana, itu sama saja dengan mengorek kembali luka lama yang saat ini sudah mulai sembuh perlahan.

“Ah, gak mungkin dia ke sini lagi,” jawab Kirana. “Siapa tau aja dia udah punya cewek lagi.”

“Kamu tuh ngeles terus ya. Jawabanmu tuh gak nyambung. Aku kan tanya, kalo Aldo datang ke sini, apa reaksimu?”

“Aku tidak tahu, Fem. Yang jelas, kalo dia gak macam-macam, aku pun akan bersikap baik padanya. Tapi inget! Bukan berarti aku aku masih mengharapkan dia. Karena dia udah seenaknya mengakhiri hubungan ini secara sepihak. Sakit, memang. Tapi aku gak mau terus-terusan mikirin dia.”

“Kalo Aldo maksa ngajak balikan, gimana?”

“Apa untungnya aku nerima dia lagi? Dia udah bikin satu kesalahan besar di mataku. Dan aku yakin, besok-besok dia bisa melakukan kesalahan itu lagi. Parahnya lagi, orang seperti itu jarang sekali merasa bersalah. Sekarang coba bayangkan sendiri kalau kamu yang berada di posisiku. Bayangkanlah bagaimana sakitnya ditinggalkan begitu saja!!”

Tak terasa air mata Kirana bertumpuk di ujung matanya. Kekuatan yang ia bangun selama setahun terakhir ini, perlahan mulai runtuh. Buru-buru Kirana menghapus air mata yang belum turun dari ujung matanya. Ia takut, tetesan pertama itu akan memancing tetesan berikutnya, yang kemudian menjelma menjadi aliran yang tak berkesudahan.

Sementara itu, Femi jadi merasa bersalah pada Kirana. Femi tahu, sahabatnya itu sudah berjuang cukup keras untuk melupakan Aldo. Namun, nampaknya hari ini Femi salah memilih topik pembicaraan. Dia telah memaksa Kirana membuka kembali lembaran-lembaran masa lalu. Memunculkan lagi rasa yang tidak ingin dirasakan oleh siapapun di dunia ini.

“Aku minta maaf, Ran. Aku yang salah. Gak seharusnya aku tanya hal itu. Sekali lagi, aku minta maaf.”

“Ah, sudahlah. Pertanyaan itu kan memang gak mungkin aku hindari. Faktanya memang Aldo sudah pulang ke Jakarta. Tapi aku gak yakin Aldo akan mencari aku lagi.”

Tiba-tiba terdengar deru mesin motor di depan rumah. Pengemudinya berhenti dan membuka pagar rumah Kirana yang memang kebetulan tidak terkunci. Lalu dia memarkir motornya di samping mobil Femi.

Orang itu belum melepas helmnya ketika mematutkan letak motornya. Tapi dari perawakan dan pakaiannya, dia adalah seorang pria.

Kirana dan Femi berjalan keluar menuju teras rumah. Si pria itu pun sudah melepas helmnya.

“Aldo!!” Kirana terperanjat melihat sosok itu di hadapannya.

“Hai, Ran,” sapa Aldo.

Perasaan Kirana mulai tidak menentu. Marah, sedih, senang, kecewa, benci, semua berkumpul di satu titik. Kirana bingung memilah-milah perasaan mana yang harus ia munculkan lebih dahulu. Namun, ada satu suara yang berteriak paling lantang di otak Kirana.

Run… run… run…, Kirana!!! Kejar kembali cintamu!!! Dan jangan sampai terlepas lagi!!!

(bersambung)

Chapter Four

sumber gambar

artikel bisa juga dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter Two



Chapter Two – Pertemuan Pertama

kisah sebelumnya Chapter One

Pandangan Kirana masih tertuju pada layar ponselnya. Kirana me-refresh akunnya sekali lagi. Status Aldo baru 15 menit yang lalu di-posting. Kirana sangat ingin menulis komentar pada status Aldo. Namun urung dilakukannya. Bagaimana jika Aldo tidak ingin Kirana berhubungan lagi dengan dirinya? Kalau memang begitu faktanya, mengapa tidak sekalian saja hapus aku dari daftar teman, pikir Kirana.

Tapi tetap saja, Kirana lebih memilih tidak mengomentari status tersebut. Kirana ingin menceritakan hal ini kepada Femi lebih dulu. Siapa tahu, sahabatnya itu bisa memberi saran yang tepat. Sebelum menutup akun facebook-nya, Kirana menulis status terbaru. ‘Going on to sport center. Swim all day long.’

Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klakson mobil. Kirana mengintip dari balik jendela kamar. Ternyata itu mobil Femi.

Baru saja masuk mobil, Kirana langsung disodori bungkusan oleh Femi. “Nih aku bawain roti sama minuman isotonik. Yang jual gorengan lagi tutup seminggu. Lagi mudik, katanya.” Lalu mereka segera berangkat agar bisa terhindar dari macet.

“Ran, tebak deh,” ujar Femi tiba-tiba.

“Ada apa?”

“Ada seseorang yang udah setahun lebih gak nongol di facebook. Tapi sekitar setengah jam yang lalu, dia nulis status barunya. Coba tebak!”

Aldo. Tapi Kirana hanya menjawab dalam hati. Akhirnya Kirana hanya menggelengkan kepala.

“Kamu belum buka facebook hari ini?” tanya Femi lagi.

“Belum,” Kirana berbohong.

“Aldo. Aldo balik ke Indonesia hari ini. Aku baca di status terbarunya kayak gitu. Tapi aku belum berani nulis komentar. Takutnya, itu bukan Aldo yang bikin status. Ya…, sapa tau aja akunnya lagi di-hack orang lain. Soalnya kan Aldo udah setahun lebih gak pernah buka facebook,” jelas Femi panjang lebar.

Ekspresi wajah Kirana datar saja. Dia tidak terkejut dengan kabar yang dibawa Femi. Karena memang Kirana sudah mengetahui hal itu.

“Kok diem aja sih?” tanya Femi.

“Terus aku harus apa? Loncat-loncat kegirangan?!”

“Ya, enggak segitunya. Paling nggak kan kamu bisa kasih komentar. Aldo kan pacarmu.”

“Mantan… pacar,” tegas Kiarana.

“Mmm…, sori deh,” balas Femi. “Aku sih masih berharap kalian bisa bersatu lagi.”

Aku pun berharap begitu, kata Kirana dalam hati.

Keduanya terdiam sepanjang sisa perjalanan. Femi tidak melanjutkan lagi obrolan tentang Aldo. Femi mengerti betul apa yang terjadi dengan Kirana di masa lalu.

Sampai di sport center, mereka berdua kecewa. Karena ternyata area kolam renang di sport center ditutup sementara untuk perbaikan fasilitas dan baru dibuka kembali minggu depan.

“Yaaa…, gimana dong, Ran? Udah dateng jauh-jauh, ternyata ada perbaikan.”

“Ya, mau gimana lagi? Masa mau maksa masuk?!”

“Terus gimana? Kita pulang lagi?”

“Kita ke kafe biasanya yuk. Kan sayang, udah capek-capek di jalan, masa harus pulang dengan tangan kosong.”

Mereka berdua kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke kafe langganan mereka. Sampai di kafe, mereka memilih meja di tepi ruangan, dekat dengan dinding kaca. Dari meja itu, terlihat jelas pemandangan sebuah taman yang berada di halaman belakang area kafe tersebut. Di taman itu juga disediakan beberapa pasang meja dan kursi, khusus bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana outdoor.

Segera setelah mereka duduk, datang seorang gadis pramusaji memberikan daftar menu.

“Kamu pesan apa, Ran?”

“Hmm…, apa ya? Gak pengen makan berat sih. Ah, ini aja. Hot cappucino dan brownies kukus satu slice aja. Makasih,” ucap Kirana sambil menyerahkan kembali daftar menu kepada pramusaji.

“Saya juga sama, Mbak. Hot cappucino satu,” kata Femi. “Sama pizza vegie dua slice. Thanks.”

Gadis itu tersenyum sambil menulis pesanan Kirana dan Femi. “Maaf, saya ulangi lagi pesanannya. Hot cappucino, dua. Brownies kukus satu slice dan pizza vegie dua slice. Ada lagi yang mau ditambahkan?” tanya gadis itu.

“Itu aja, Mbak,” jawab Kirana sambil melirik ke arah Femi.

“Yap,” tambah Femi.

“Oke. Ditunggu sepuluh menit. Nanti pesanannya akan diantar oleh rekan saya yang bernama Ariyan.”

Kirana dan Femi mengangguk tanda setuju.

“Ariyan. Nama yang unik,” kata Femi. “Eh, Ran, coba perhatiin deh,” tambahnya lagi.

“Ada apa?”

“Seragam pramusaji kafe ini kayaknya diganti deh. Perasan, beberapa hari lalu kita ke sini, seragamnya masih kaos lengan panjang, rompi kotak-kotak, dan celana panjang kain katun. So old fashion. Tapi sekarang, mereka pakai kaos lengan pendek dan celana jeans. Lebih simpel. Aku suka itu.”

“Iya, ya. Aku baru nyadar.”

Tak lama kemudian, pesanan datang. Kali ini yang mengantarkan pesanan adalah seorang pramusaji pria. Usianya sekitar awal dua puluhan dan wajahnya seperti peranakan kaukasia.

Pramusaji itu meletakkan minuman di hadapan Kirana dan Femi. Ada satu hal yang mengusik perhatian Kirana. Di lengan kanan pramusaji itu terdapat tato berwarna biru. Namun karena tangannya bergerak cepat, jadi Kirana tidak dapat melihat dengan jelas bentuk dari tato itu.

“Maaf, Mbak. Bisa dicek lagi pesanannya. Semua sudah lengkap?” tanya pramusaji.

“Sudah, Mas,” jawab Femi.

“Baik. Apa ada tambahan yang lain?”

Sorry, Mas,” potong Kirana. “Boleh saya lihat tato yang di lengan kanan Mas?”

Femi kaget. Dia memandang Kirana dengan heran. Buat apa Kirana menanyakan tato orang lain?

Kirana sadar, Femi sedang memperhatikan dirinya dengan heran. Lalu Kirana mengubah mimik mukanya agar Femi, dan pramusaji itu tentunya, tidak bertambah heran.

“Hehehe…. Saya cuma penasaran sama bentuknya. Tadi cuma sekelebatan aja keliatan.” Kirana tersenyum kepada keduanya.

“Oooh…,” tambah Femi.

Si pramusaji kemudian memperlihatkan tato di lengan kanannya.

‘Hah!!!’ pekik Kirana dalam hati. Betapa terkejutnya Kirana. Ternyata tato berwarna biru itu berbentuk capung.

artikel juga bisa dilihat di sini

Blue Dragonfly - Chapter One



Chapter One – Berawal Dari Sebuah Mimpi

Pria itu berdiri di hadapan Kirana. Lama sekali mereka berdua terdiam. Berdiri di antara kerumunan orang-orang di suatu koridor sebuah mall.

“Tenang saja. Aku tidak akan menyakitimu,” ucap pria itu sambil memegang tangan Kirana.

“Tapi aku tidak mengenalmu,” kata Kirana.

Pria itu tersenyum. “Nanti pasti kau akan mengenalku. Kalau sudah mengenalku, aku yakin kau akan mempercayaiku. Dan kemudian kita bisa hidup bersama.”

Kirana bertambah bingung dengan perkataan pria itu. Bagaimana mungkin bisa hidup bersama kalau tidak saling mengenal, pikir Kirana.

“Lihatlah ini,” kata pria itu sambil menunjukkan sebuah tato di lengan kanannya. Tato itu berbentuk capung dengan keseluruhan warnanya adalah biru. “Ini blue dragonfly,” lanjut pria itu. “Carilah! Maka kau akan menemukan pasangan hidupmu.”

Perlahan pria itu melepas genggaman tangannya pada Kirana. Sambil tersenyum, pria itu seolah berjalan mundur menjauh dari Kirana.

Dengan sisa-sisa kesadaran yang masih terbentuk, Kirana memberanikan diri untuk berteriak. “Siapa namamu? Aku belum dengar siapa namamu.”

Pria itu menjawab, namun suaranya bagaikan tenggelam oleh hiruk pikuk orang-orang di sekitarnya.

Kirana terduduk lemas. Seolah ikut tenggelam ke dalam kerumunan orang-orang. Kini ia tidak tahu di mana ia berada. Pandangannya kabur. Tiba-tiba saja, tempat ia berada berubah menjadi padang rumput yang hijau. Di tepian padang, terdapat kumpulan tanaman yang berbunga beraneka ragam.

Dari kejauhan muncul sosok sepasang manusia, pria dan wanita. Dan setelah dua sosok itu mendekat, barulah Kirana sadar bahwa mereka memakai pakaian pengantin. Si pria memakai setelan jas berwarna putih dan wanitanya memakai gaun pengantin yang juga berwarna putih.

Namun yang lebih membuat Kirana tercekat, ternyata dia melihat dirinya sendiri yang sedang memakai gaun pengantin tersebut. Dan si pria adalah orang yang sama yang menunjukkan tato pada lengannya tadi.

Kriiing… Kriiing… Kriiing… Ponsel Kirana berbunyi, ada telepon masuk. Kirana membuka mata dan meraih ponsel dari meja kecil di samping ranjangnya. Kirana memperhatikan sejenak layar ponselnya dan membaca nama siapa yang tertera di situ. Ternyata Femi yang menelepon.

Ada apa Femi menelepon pagi-pagi seperti ini? Apa Femi lupa kalau Kirana tidak ingin diganggu pada saat akhir minggu seperti sekarang ini. Ada apa sih, pikir Kirana.

“Halo. Ada apaan, Fem? Udah lupa ya kalo aku gak mau diganggu pas weekend?!” tanya Kirana dengan nada kesal.

“Lha, kamu sendiri yang lupa, kali,” balas Femi tak kalah kesalnya. “Kamu kan punya janji sama aku hari minggu ini. Aku nelpon sampe tiga kali, gak diangkat juga. Mimpi apaan seh, sampe betah gitu tidurnya?”

Mimpi?! Aku tadi bermimpi, batin Kirana. Kali ini kesadarannya sudah benar-benar terkumpul di otak. Tadi aku bermimpi tentang pria itu, ucap Kirana dalam hati.

“Ran…!!!” panggil Femi dari seberang telepon. “Yee…, malah ngelamun. Kamu lupa ya kalo kita janjian ke sport center buat berenang? Kan kamu sendiri yang ngusulin kemarin.”

“Hah?! Berenang? Masa sih?!” tanya Kirana heran.

“Kirana!!!” teriak Femi lebih kencang lagi. “Kalo o’on jangan disemuain dong!! Bagi-bagi dikit buat yang lain juga.”

“Yee…, apaan sih?”

“Jadi apa enggak nih, berenangnya? Kalo jadi, nanti aku jemput kamu jam sembilan. Gimana?”

“Iya, iya. By the way, sekalian nitip gorengan yang deket rumahmu tuh, buat cemilan di jalan ntar ya. Hehehe….”

“Hadeeeh…, makanan mulu. Iya, nanti aku beliin. Cepetan siap-siap ya.”

“Oke deh.”

Kirana meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu dia beranjak turun dari ranjangnya untuk mandi.

Pukul 8.30, Kirana sudah siap. Masih ada waktu setengah jam sebelum Femi datang menjemput.

Kirana duduk dan membuka akun Facebook lewat ponselnya. Setelah beberapa menit, Kirana berkomentar sendiri. “Ah, orang-orang ini pada lebay semua. Bikin status pada hiperbolis banget. Pada gak ngerti kali ya, kalo facebook tuh media umum. Hal-hal pribadi kok malah di-publish terang-terangan. Siapa juga yang peduli sama menu makanan mereka hari ini? Atau baju apa yang akan mereka pakai ke party nanti malam? Sooo… ridiculous.”

Kiarana me-refresh akunnya. Ada beberapa status baru yang muncul. Namun, mata Kirana tertahan pada satu nama yang sudh berbulan-bulan tidak pernah memperbarui statusnya. Dia adalah Aldo, mantan pacar Kirana.

‘I’m going home today.’ Begitulah bunyi status Aldo.

Sedikit gambaran tentang hubungan Kirana dan Aldo. Mereka mulai berpacaran tiga tahun lalu. Aldo adalah teman sekantor Femi. Jadi jelaslah dari mana Kirana mengenal Aldo. Dua tahun lalu, Aldo memutuskan untuk mengambil jenjang master di Melbourne. Tiga bulan pertama sejak Aldo di Melbourne, mereka berdua masih saling kontak. Entah itu lewat sms, email, atau pun chat via facebook. Namun suatu hari, Kirana mendapat email dari Aldo yang isinya, “Jangan hubungi aku lagi lewat apapun.”

Hanya itu saja, satu kalimat. Tentu saja hal ini membuat Kirana kalang kabut. Pasalnya, Aldo memang sudah tidak dapat dihubungi lewat apapun. Nomor ponselnya sudah tidak aktif. Lalu Kirana membalas email Aldo, tapi yang muncul hanya notifikasi dari admin website tersebut, yang menyatakan bahwa akun email Aldo sudah tidak aktif lagi sejak beberapa jam yang lalu.

Selama satu minggu penuh Kirana tetap mencoba menghubungi Aldo. Hanya akun di Facebook saja yang masih aktif. Namun rasanya Aldo sudah tidak pernah membukanya lagi. Karena sudah ratusan pesan yang Kirana kirimkan lewat inbox di Facebook, tidak ada satupun yang dibalas oleh Aldo.

Kirana juga sempat menghubungi orang tua Aldo yang berada di Semarang. Mereka pun kehilangan kontak dengan Aldo. Hanya Aldo yang bisa menghubungi orang tuanya, dan bukan sebaliknya. Kirana pun semakin bingung. Akhirnya Kirana menyerah. Mungkin Aldo ingin putus darinya, tapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau jangan-jangan Aldo sudah punya wanita lain, pikir Kirana, ah biarlah, aku sudah rela melepas dia.

(bersambung)

Chapter Two

sumber gambar

artikel bisa juga dilihat di sini

Bolehkah Kupinjam Senyummu?



Bolehkah kupinjam senyummu?
Akan kubingkai dengan lempengan emas
Lalu kupajang di dinding hatiku…
Di rongga paru-paruku…
Di dalam tempurung kepalaku…
Di sekujur pembuluh darahku…
Dan di setiap jengkal kulit tubuhku
Agar mataku dapat senantiasa menangkap indah senyummu

Bolehkah kupinjam senyummu?
Tak lama… hanya beberapa saat saja
Kuingin senyummu ada ketika aku bangun dari tidur
Menemaniku menikmati secangkir kopi
Menyulut batang rokok sisa semalam
Kuingin senyummu berkelebat di antara tumpukan dokumen di meja kerjaku
Membunuh bosan dan penatku di siang hari
Kuingin senyummu menggandeng imajiku dengan mesra
Berlari melintasi senja yang bergegas pergi menjauh dari horizon
Dan ketika bintang-bintang bertengger manis di pekatnya malam
Aku ingin senyummu menjadi yang paling manis di antaranya

Jadi…
Bolehkah kupinjam senyummu?
Hanya kupinjam saja
Karena aku sadar… bahkan teramat sadar…
Aku tidak bisa memiliki senyummu dengan utuh
Senyummu milik seseorang di sana


Denpasar - 011211

sumber gambar

artikel bisa juga di lihat di sini

A Night at City Morgue



Abby menekuni form yang ada di tangannya. Lalu ia mulai memakai jubah kerja berwarna putih dan masker. Kini ia sudah berada di samping meja otopsi, memandang sesosok tubuh kaku itu dengan tatapan dingin.

“Jadi namamu James Madwick, ya?!”

Ruangan itu tetap hening.

“Usiamu baru 31 tahun, James. Masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini. Sekarang mari kita lihat, apa yang membuatmu berakhir di atas meja kerjaku.”

Praaangg!!!

Ada sesuatu yang jatuh dan pecah. Abby jadi urung membuka selubung yang menutupi tubuh James. Ia melangkah perlahan dan mencari sumber bunyi itu.

Ternyata gelas di meja kerjanya terguling dan jatuh ke lantai. Segera saja Abby membersihkan pecahan gelas dan membuangnya ke tempat sampah. Namun ia bingung, apa yang menyebabkan gelas itu terguling. Di sini tidak terjadi gempa, tidak ada angin kencang yang menerobos masuk ke ruangan, dan tidak ada satu kucing pun yang berkeliaran di dalam gedung.

“Oke. Ini agak sedikit menakutkan,” ujar Abby. “Siapapun kau, lebih baik keluarlah.”

Abby menunggu sampai beberapa saat. Tapi tetap saja tidak ada yang menyahutnya. Dua suara yang ia dengar adalah suara hentakan jarum jam dan suara hembusan napasnya sendiri.

“Aku yang menjatuhkan gelas itu, Abby.”

Seseorang bersuara tepat di belakang Abby. Abby pun langsung berbalik untuk melihat siapa pemilik suara itu. Tapi….

“Kau… kau…. Siapa kau? Mengapa kau ti… ti… tidak berpakaian?” Ucapan Abby jadi terbata-bata setelah melihat wajah orang itu.

“Hai, Abby. Aku James Madwick.”

Abby melihat ke arah meja otopsi. Kosong. Tidak ada tubuh kaku yang tergeletak di sana. Lalu ia kembali melihat sosok pria tanpa busana yang berdiri di hadapannya. Dan pria itu melempar senyum menyeringai kepada Abby. Iapun berteriak sambil melempar benda apa saja yang terraih oleh tangannya. Tapi benda-benda itu seolah melewati sesuatu yang tembus pandang.

***

“dr. Williams. Bangunlah, dok. dr. Williams, bangunlah. dr. Abby Williams!!! Bangun!!!”

Mr. Benson akhirnya harus setengah berteriak untuk membangunkan Abby.

“Oh, Mr. Benson. Di mana aku?”

“Kau masih di ruang rehat, dok. Kau berteriak-teriak ketika tidur. Apa kau bermimpi buruk?” tanya si satpam itu kepada Abby.

“Hmm…, sepertinya begitu. Tapi aku sudah tidak apa-apa,” jawab Abby.

“Baiklah. Kalau begitu, mungkin kau bisa mulai bekerja lagi, dokter. Ada kiriman mayat lagi malam ini. Baru saja tiba beberapa menit yang lalu dan sudah saya letakkan di ruang otopsi.”

“Oke. Ayo kita ke sana, Mr. Benson.”

Abby berjalan menuju ruang otopsi ditemani Mr. Benson.

Di ruang otopsi, Abby langsung membuka kain yang menutupi wajah si mayat. Tapi Abby merasa ada yang aneh. Sepertinya ia pernah melihat wajah itu sebelumnya.

“Ini keterangannya, dok,” ujar Mr. Benson sambil membaca form di tangannya. “Namanya James Madwick dan usianya 31 tahun.”


artikel bisa juga dilihat di sini

Aku Bukan Pelacur!!!



Maya melangkah keluar rumah untuk menuju tempat kerjanya. Bukan gedung kantoran atau mini market dengan merk tertentu, hanya sebuah ruas jalan ibukota yang ramai lalu lalang kendaraan, bahkan ketika semua manusia terlena oleh bunga tidur mereka. Tapi tidak dengan Maya. Ia tidak boleh menikmati mimpi indah karena ia harus bekerja. Inilah saatnya ia mengadu nasib dan mempertaruhkan dirinya demi sesuap nasi untuk esok hari.

Sekarang baru jam sembilan lewat dua puluh menit. Suasana di sekitar rumah Maya sudah teramat sepi. Ada dua orang pemuda sedang nongkrong di warung Bu Sari, tak jauh dari rumah Maya. Ia tahu, dua pemuda itu sedang membicarakan dirinya. Siapa yang tidak? Sementara orang – orang di sekitar tempat tinggalnya sudah tahu apa pekerjaannya. Maya hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.

Maya menumpang ojek untuk sampai ke ruas jalan Teuku Umar. Di ruas jalan itu, Maya harus mendapatkan rupiah untuk dirinya. Terkadang ia takut, dan itu mungkin seonggok rasa takut yang wajar, mengingat apa yang ia lakukan bukanlah sesuatu yang “bersih”.

Malam merayap tak kenal ampun, menyisakan dingin di tubuh indah Maya. Tubuh yang hanya terbalut pakaian minim itu menggigil. Namun Maya berusah keras menyembunyikannya. Ia tidak ingin dianggap lemah oleh rivalnya.

Pagi hampir menyapa bumi yang menjadi pijakan Maya. Sampai saat itu, ia belum mendapat satu pelangganpun. Rekan – rekan yang lain sudah mendapat paling tidak satu pelanggan malam ini. Bukan karena Maya tidak terlalu memaksakan diri untuk mendapat perhatian pelanggan. Hanya saja ada yang terasa aneh baginya malam ini. Seperti ada suara yang menyuruhnya untuk duduk diam dan tak bergerak. Tapi itu tidak mungkin, ia harus mendapat uang. Dan itu tidak mungkin terjadi jika ia hanya diam.

“Maya…. Aku dan Susi pulang duluan ya,” ujar Diana yang sudah bersiap dengan sepeda motornya.

“Oke,” sahut Maya singkat.

“Kau juga harus pulang, May. Ini sudah hampir subuh,” saran Susi.

“Iya, aku tahu. Aku hanya ingin tinggal sebentar lagi,” tukas Maya.

Diana dan Susi berlalu dari hadapan Maya. Ia mematikan rokok terakhir yang ia punya malam ini. Di dompetnya hanya ada uang seribu rupiah. Dan Maya bingung, apakah uang itu untuk membeli makanan atau sebatang rokok? Atau ia pertahankan saja uang itu? Maya tak dapat berpikir.

Maya sudah akan melangkah pulang ketika pria itu menghampirinya. Sontak, ia terkejut. Tapi juga menyimpan sedikit harapan pada pria itu. Siapa tahu saja, pria itu bersedia memakai jasanya.

“Ikutlah denganku,” ujar pria itu sambil menggenggam jemari Maya dan mengajaknya menaiki sebuah sepeda motor.

“Kita akan ke hotel mana, Mas?” tanya Maya di tengah perjalanan.

“Kau lihat saja nanti,” jawab pria itu.

Perjalanan itu tidak memakan waktu lama. Sang pria membawa Maya menyusuri pemukiman padat di sekitar jalan Waturenggong, Denpasar. Setelah melewati jajaran rumah - rumah kos, pria itu menghentikan motornya di depan sebuah rumah mungil. Maya menebak, itu hanya rumah kontrakan.

Si pria mengajak Maya memasuki rumah itu. Ia mempersilahkan Maya duduk di sofa ruang tamu. Lalu si pria beranjak ke ruangan di bagian belakang rumah.

Maya keheranan melihat tingkah pria itu. Untuk apa pria itu mengajaknya kemari? Mengapa pria itu tidak langsung saja menjamah dirinya? Ah, mungkin ia perlu persiapan dulu, pikir Maya.

Pria itu kembali dari ruang belakang dengan membawa secangkir minuman. Ia menyodorkan teh hangat itu kepada Maya. Maya meninumnya karena memang ia kehausan. Dan pria itu hanya memperhatikan Maya tanpa sepatah katapun.

“Ini rumahmu?” tanya Maya.

“Ya.”

“Rumah kontrakan?” tanya Maya lagi.

“Tidak. Ini milikku sendiri,” jawab pria itu.

Hening kembali merajai percakapan antara Maya dan pria itu. Maya ingin menanyakan lebih banyak pertanyaan lagi, tapi ia ragu. Nampaknya pria itu adalah pria baik – baik.

“Mas….”

“Ya….”

“Apa bisa kita mulai sekarang?” tanya Maya dengan hati – hati agar tidak menyinggung pria itu. “Ini sudah hampir pagi,” sambung Maya lagi.

“Hmm…. Ini memang sudah pagi, kan?!” sahut pria itu. “Siapa namamu?” tanyanya.

“Maya.”

“Maya…. Apa yang kau pikir ketika melihatku tadi?”

“Aku pikir… kau sama seperti yang lain. Tapi ternyata…. Aku tidak tidak tahu, Mas. Aku bahkan tidak tahu siapa dirimu. Dan aku pun tak tahu untuk apa kau membawaku kemari.”

Maya menunduk dan tak terasa, air matanya meleleh membasahi pipinya yang masih terbubuhi riasan.

Pria itu duduk mendekat ke arah Maya. Ia menyentuh dagu Maya perlahan dan mengangkatnya. Ia melihat paras ayu Maya yang tertutup riasan tebal. Air mata masih saja mengalir dari sudut mata Maya. Pria itu segera menghapusnya. Dan… mencium bibir Maya. Mereka berdua berpagutan tanpa ada yang bisa melarang.

“Sudah berapa pria yang menciummu, Maya?”

“Aku tidak pernah menghitungnya, Mas. Mungkin sudah ratusan. Tapi…,” Maya menghentikan ucapannya.

“Tapi apa?!”

“Aku belum pernah merasakan ciuman seperti milikmu, Mas.”

“Yang seperti apa?”

“Entahlah. Sulit untuk menjelaskannya, Mas. Yang jelas, aku tahu, itu bukan nafsu semata.”

“Hmm…. Mungkinkah itu cinta?”

“Cinta?! Aku tidak tahu itu. Dan aku tidak pernah tahu apa itu cinta. Bagiku, cinta adalah lenguhan napasku untuk para pejantan di luar sana. Cinta adalah setiap tetes keringatku demi lembar – lembar rupiah yang akan menghidupiku beberapa hari. Cinta adalah geliat dan gelinjang tubuhku di atas ranjang reot losmen murahan. Jika bukan itu yang kau maksud, maka aku tidak tahu apa itu cinta, Mas.”

Ada kemarahan ketika Maya bicara. Si pria bisa melihat itu, tapi ia tidak mencegahnya. Ia membiarkan wanita di sampingnya menumpahkan beban yang sepertinya sudah lama tak pernah tersentuh.

“Pulanglah. Aku akan menelepon taksi untuk mengantarkanmu sampai ke rumah. Dan ini…. Ini untukmu. Aku rasa cukup untuk beberapa hari,” ujar pria itu sambil menyerahkan lima lembar uang seratus ribuan kepada Maya.

“Ah, tidak. Kau belum berbuat apa – apa padaku. Kau tidak perlu membayarku. Apalagi dengan uang sebanyak itu. Aku tidak mau berhutang kepada orang asing,” tukas Maya.

“Aku ikhlas memberi uang itu untukmu. Kalau uangmu sudah habis, datanglah lagi kemari. Kau sudah tahu jalan masuknya. Aku tidak akan mengunci pintu untukmu, Maya.”

Pria itu beranjak dari samping Maya.

“Mas….”

“Ya?!”

“Aku belum tahu namamu.”

Pria itu tersenyum dan menjawab, “Panggil saja Andara.” Lalu ia masuk ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam.

Beberapa menit kemudian, taksi datang dan membawa Maya pulang.

Enam tahun kemudian…

Happy Anniversary, Sayang. Ini tahun ketiga pernikahan kita. Semoga cinta kita bisa bertahan sampai maut memisahkan kita,” ucap Andara kepada istrinya yang tengah mengandung.

“Terima kasih, Mas.”

“Apa kau bahagia, Maya?”

“Jika bahagia itu berarti selalu di sampingmu, maka ya, aku sangat bahagia.”

“Aku pun bahagia jika kau bahagia, Maya.”

“Aku masih saja membayangkan, jika malam itu kau tidak menemukanku…. Entah di mana aku sekarang, Mas.”

“Sudahlah, Maya. Jangan kau ingat lagi masa lalu itu. Sekarang kita sudah bersama, dan aku harap, kita akan terus bersama.”