Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

[Drama] Romlah dan Maesaroh



Di sebuah batu besar di tepi parit kecil, duduk dua orang gadis: Romlah dan Maesaroh. Keduanya bersahabat sejak kanak-kanak. Mereka biasa duduk di tepi parit itu untuk sekadar menikmati suara gemerisik air sembari menunggu waktu berbuka puasa. Menurut mereka, itu jauh lebih menyenangkan daripada harus membantu Mbuk Nyai di pondok menyiapkan takjil untuk seluruh santriwati di sana. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Maesaroh menceritakan sesuatu kepada Romlah.

Romlah : (melempar kerikil ke parit) Jadi, dia udah ambil keputusan, ya? (memandang Maesaroh dengan tatapan setengah sinis)
Maesaroh : (menunduk) Iya, Rom.
Romlah : Harusnya dia bicara di depan kita, bukan cuma ke kamu aja, Mae! (suaranya meninggi)
Maesaroh: (mengangkat kepala, lalu melihat ke arah Romlah) Aku, kan, udah bilang, Rom. Dia bukan bilang langsung ke aku, tapi….
Romlah : Iya. Kamu cuma nggak sengaja denger pembicaraan Mbuk Nyai sama dia. (menunduk, memainkan ujung hijab)
Maesaroh : (menyentuh bahu Romlah) Aku minta maaf, Rom. Itu bukan kehendakku. Aku nggak kepengen itu terjadi.
Romlah : (masih memainkan ujung hijabnya) Tapi, kan, udah kejadian.
Maesaroh : Belum, Rom. Itu belum terjadi. Semuanya masih bisa berubah. Semuanya masih bisa dikembalikan ke posisi awal.
Romlah : Caranya? (suaranya gemetar) Dia bahkan selalu nunduk kalo kebetulan papasan sama aku di pondok. Malahan pernah sekali aku liat matanya sinis ngeliat aku.
Maesaroh : (mengusap-usap punggung Romlah) Kamu tenang aja….
Romlah : Tenang gimana?! (suaranya meninggi dan mulai terisak)
Maesaroh : (merangkul Romlah, berusaha agar tangisnya tidak ikut pecah)

Matahari sudah lebih rendah sejak dua sahabat itu datang ke tepian parit setengah jam lalu. Maesaroh masih merangkul Romlah, menenangkan sahabatnya yang sedang bersedih.

Romlah : Aku nggak ngerti, Mae, kenapa dia menjauh? (suaranya kembali stabil)
Maesaroh : Yang jelas, kamu nggak boleh su’udzon, Rom. (melepas rangkulannya, tersenyum kepada Romlah)
Romlah : Tapi, aku penasaran, Mae.
Maesaroh : (tersenyum) Itu wajar. Aku juga penasaran.
Romlah : Tapi, (menghela napas panjang, lalu memandang Maesaroh, lama sekali, kemudian tersenyum) kalaupun kalian nikah nanti, aku nggak akan mengganggu kalian lagi. Kamu tadi cerita, Ustadz Faris bilang, “Aku akan menikahi gadis itu, yang selalu memakai riasan untuk hatinya.” Kamu, Mae. Kamu yang lebih segala-galanya daripada aku. Kamu memikat hati semua orang di pondok. Kamu yang akan menikah dengan Ustadz Faris.
Maesaroh : Romlah…. Kamu ini ngomong apa sih? Kamu jangan bahas yang enggak-enggak dong. Ustadz Faris itu nggak bakal nikah sama orang lain. Kalo aku tebak, kalian bakal nikah setelah lebaran ketupat nanti. Bulan Syawal, Rom, kata Mbuk Nyai itu bulan baik buat nikah.
Romlah : (dahi berkerut) Tadi kamu bilang….
Maesaroh : Kan, udah aku bilang, semua masih bisa berubah. Lagian, aku itu cuma nggak sengaja nguping sebentar. Aku nggak tau Ustadz Faris sama Mbuk Nyai bicara apa lagi. (bangkit dari duduk) Ayo, kita pulang aja. Sekali-sekali kita harus muncul di dapur. Kasian Mbuk Nyai. Pasti si kembar ikut masuk dapur buat ngerusuh. Hihihi….
Romlah : Aku…. (memelintir ujung jilbab)
Maesaroh : (menarik tangan Romlah) Ayo! Nanti kita ketinggalan obrolan seru di dapur. Aku pengen tau (masih menarik tangan Romlah sambil jalan) kira-kira si kembar itu punya gaya apa lagi dengan hijab mereka, ya.

Taman mungil itu ramai. Belasan santriwati sibuk merawat petak-petak tanaman bunga. Sebagian lagi di dapur untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Romlah dan Maesaroh tidak pergi ke parit seperti yang biasa mereka lakukan. Kali ini mereka menemani Mbuk Nyai mengajari para santriwati cara merawat beberapa macam tanaman bunga. Tiba-tiba, taman mungil itu kedatangan tamu lain. Tamu yang tidak asing sama sekali.

Ustadz Faris : Assalamualaikum.
Romlah, Maesaroh, Mbuk Nyai, dan para santriwati : Wa’alaikumsalam.
Mbuk Nyai : Ada apa, Nak?
Ustadz Faris : (menunduk, wajahnya merona) Ehm… anu, Mbuk….
Mbuk Nyai : Ya? (maju selangkah mendekati Ustadz Faris)
Romlah dan Maesaroh : (saling sikut sambil berbisik)
Ustadz Faris : (mengangkat kepalanya, memeberanikan diri memandang Mbuk Nyai, lalu sekilas melirik Romlah dan Maesaroh yang berdiri tak jauh dari Mbuk Nyai) Saya ingin bicara sebentar dengan Mbuk. (menunduk lagi)
Mbuk Nyai : Oh, gitu. Ayo kita ke kantor. (mulai melangkah)
Ustadz Faris : (buru-buru mengangkat kepalanya) Ng… sepertinya nggak perlu ke kantor, Mbuk.
Mbuk Nyai : Lho? (berhenti melangkah) Kenapa?
Romlah : (mulai cemas dan memelintir ujung hijabnya)
Maesaroh : (menyikut pelan lengan Romlah, lalu berbisik) Aku yakin, Rom. (tersenyum pada sahabatnya)
Romlah : (makin gemetar memelintir ujung hijabnya)
Ustadz Faris : (menyibukkan kedua tangannya dengan membetulkan letak peci hitamnya) Begini, Mbuk. Ini soal pembicaraan kita yang kemarin.
Romlah : (wajahnya berubah pucat dan berkeringat)
Maesaroh : (masih tersenyum simpul kepada Romlah)
Mbuk Nyai : Ya? Bagaimana, Nak?
Ustadz Faris : Saya akan memintanya sekarang, Mbuk. (melihat ke arah Romlah dan Maesaroh, lalu kembali melihat Mbuk Nyai)
Mbuk Nyai : (sedikit terkejut, mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar)
Ustadz Faris : Mbuk….
Mbuk Nyai : (tersadar dari keterkejutannya) Iya, Nak.
Romlah : (menunduk tanpa sanggup memandang sekitarnya)
Maesaroh : (mengusap-usap punggung Romlah)
Ustadz Faris : Besok bapak pulang dari Buntet. Tadi bapak sendiri yang mengabarkan ke saya. Dan…, saya juga sudah menyampaikan keinginan saya kepada bapak. Bapak setuju, Mbuk.
Mbuk Nyai : (tersenyum) Bener begitu, Nak?
Ustadz Faris : (mengangguk) Bener, Mbuk.

Beberapa santriwati meninggalkan taman mungil itu. Hanya tiga orang yang masih bertahan dan sedang menyiangi rumput liar di antara perdu melati. Romlah dan Maesaroh masih berdiri di tempat yang sama, tak sabar menanti ujung percakapan ini. Lalu, datang seseorang dari arah bangunan pondok. Jubah putihnya melambai nyaris menyapu tanah.

Kyai Jafar : Ndak perlu nunggu besok, Nak.
Ustadz Faris, Mbuk Nyai, Romlah, dan Maesaroh : (menengok ke arah datangnya suara)
Ustadz Faris : Bapak?! (setengah berlari menghampiri ayahnya, lalu mencium punggung tangan lelaki tua berjanggut itu) Bapak bilang baru pulang besok.
Kyai Jafar : (tertawa pelan) Boleh, kan, sekali-kali bapak ngasih kamu dan mbuk sebuah kejutan kecil?!
Mbuk Nyai : (menghampiri suaminya, lalu mencium punggung tangan lelaki itu) Anakmu ini rupanya sudah tak sabar, Pak. (tersenyum)
Kyai Jafar : Bapak tau. Dan, kenapa bapak pulang sekarang, karena bapak pikir kita lebih baik menyegerakan niat baik itu.

Tiga santriwati yang tadi masih sibuk menyiangi rumput liar, kini sudah meninggalkan taman sambil membawa sekantung besar sampah dedaunan.

Kyai Jafar : Jadi…. (mendekati Romlah dan Maesaroh) Satu dari dua gadis ini sudah memikat hatimu sejak lama ya, Nak? (pertanyaannya ditujukan kepada Faris)
Ustadz Faris : (tersipu) Iya, Pak.
Mbuk Nyai : (tersenyum melihat tingkah anaknya)
Kyai Jafar : Romlah.
Romlah : (tersentak, tapi tetap menunduk) Iya, Pak Yai.
Maesaroh : (sedikit menjauh, lalu berdiri di dekat Mbuk Nyai, merangkul lengan wanita tua berhijab putih)
Mbuk Nyai : (memandang Maesaroh sebentar, tersenyum, dan kembali melihat suaminya yang sedang bicara pada Romlah)
Kyai Jafar : Berapa umurmu sekarang, Nak?
Romlah : (sedikit tergagap dalam gugup) Ehm… anu… dua satu, Pak.
Kyai Jafar : Sudah berapa tahun kamu mengabdi di pondok ini?
Romlah : (masih menunduk) Sekitar tiga tahun kalau dihitung sejak hari kelulusan saya, Pak.
Kyai Jafar : (mengangguk-angguk, beranjak mendekati Mbuk Nyai) Mbuk….
Mbuk Nyai : Ya, Pak?
Kyai Jafar : Besok kita liburkan santri satu hari saja. Suruh beberapa santri senior mengawasi adik-adiknya. (beralih ke Maesaroh) Kamu juga ikut bantu ya, Maesaroh. Jaga adik-adikmu di sini sementara bapak, Mbuk, dan Faris pergi.
Maesaroh : (mengangguk) Iya, Pak Yai.
Mbuk Nyai : Kita mau ke mana, Pak?
Kyai Jafar : Ke desa tetangga… mengantar Romlah pulang ke rumah orangtuanya, sehingga kita bisa melamarnya untuk anak kita, Mbuk.

Denpasar, Juli 2013 (@sekarmayz)

Sumber gambar, klik image.


Monolog dan Jenis-jenisnya

Materi ditulis oleh Insan Purnama (Kang Insan), salah satu member Fiksiana Community. Dirangkum dan diedit seperlunya oleh Sekar Mayang atas persetujuan beliau.

Ini sebuah pendapat yang saya ambil dari satu literature untuk memahami apa itu monolog. Webster mendefinisikan monolog sebagai ‘solilokui dramatis’ dan sebagai ‘pidato panjang’. Dalam drama, monolog adalah pidato tak terinterupsi. Monolog bisa sangat fleksibel untuk bentuk yang mereka ambil. Beberapa monolog ditujukan langsung ke penonton. Beberapa aktor mencoba untuk menciptakan kesan bahwa aktor sendirian, berbicara dengan dirinya sendiri.

Bentuk monolog lainnya adalah terjadi ketika aktor (dalam karakter) berbicara dengan sesuatu yang imajiner (atau orang). Ketika berbicara dengan orang imajiner, karakter dapat mengatakan hal-hal yang sangat ingin dikatakannya, tetapi tidak mendapatkan kesempatan untuk mengatakannya, atau tidak memiliki keberanian untuk mengatakannya, atau mungkin sedang mempersiapkan diri untuk mengatakannya. Dalam banyak kondisi terutama dalam audisi monolog, aktor (dalam karakter) sedang berbicara kepada karakter lain. Aktor adalah membayangkan karakter lain, berbincang dan seolah-olah menanggapi apa yang dikatakan aktor lain. (Glenn Alterman, Creating Your Own Monologue, 2nd edition, New York: Allworth Press, 2005)

Apakah monolog juga memiliki alur?

Alterman mengatakan, "Drama monolog memiliki kejelasan dalam awal, tengah, dan akhir. Tak peduli bentuk monolog yang diambil, drama monolog adalah cara mengisahkan sebuah cerita, dan cerita yang baik pastilah memiliki benang merah yang jelas."

Ada beberapa tipe monolog. Alterman berusaha membedakannya, meskipun diakuinya bahwa terdapat kesulitan sebab dalam kenyataannya pada monolog-monolog itu sering terjadi hibrid.

Pertama, monolog naratif biografis. Dalam monolog ini, aktor mengingat kembali cerita-cerita dan peristiwa-peristiwa aktual dalam hidupnya. Aktor/penulis bertindak sebagai narator. Kemungkinan cuma sedikit, bahkan tidak ada sama sekali untuk menampilkan karakter lain dalam cerita. Tekanannya, monolog tipe ini menceritakan ‘dongeng’nya sendiri.

Kedua, monolog karakter biografis. Dalam monolog ini, karakter didorong untuk tampil dengan mengandalkan dialognya dibandingkan ceritanya. Dalam bentuk ini, aktor/penulis mengeluarkan ceritanya sendiri, tetapi menampilkan banyak karakter untuk menggerakkan ceritanya. Alterman mengambil contoh "A Bronx Tale" yang ditulis dan dimainkan oleh Chaz Palminteri berdasarkan pengalamannya tumbuh di kawasan Bronx, di mana pada usia 36 tahun, ia menulis cerita tersebut, dan mementaskan 35 karakter tokoh. One-man show.

Ketiga, monolog fictional character-driven. Dalam monolog jenis ini, aktor/penulis menciptakan banyak karakter untuk mengekspresikan tema/isu, menunjukkan gaya hidup, atau menceritakan sebuah cerita imajinatif. Dalam banyak kasus, karakter-karakter dalam monolog ini konon memiliki kaitan, misalnya, dengan anak-anaknya, hidupnya, atau masa remajanya di sebuah tempat baik menggunakan karakter real atau imajinatif.

Keempat, monolog dokumen berbasis relitas. Monolog ini dibuat dari peristiwa kehidupan nyata. Monologist (aktor/penulis) menggunakan kata-kata yang tepat dari orang yang terlibat dalam peristiwa yang diceritakan dalam monolog itu. Jadi, aktor/penulis mengikuti sebuah peristiwa, jika perlu memotret orang-orang yang terlibat di sana, merekam ucapan-ucapan atau kata-kata mereka, dan memberikan catatan tentang cara pengucapan kata-kata tersebut.

Kelima, monolog topical. Monolog ini sangat bergantung pada peristiwa sehari-hari, seperti yang terlihat melalui mata monologist tersebut. Peristiwa-peristiwa itu sebagian otobiografi, sebagian observasi, dan sebagian pendapat. Ada garis tipis antaramonolog topikal dan stand-up comedy. Keduanya umumnya menggabungkan anekdot, lelucon, dan pengamatan pribadi. Bagaimanapun, bahwa ada perbedaan antara keduanya. Untuk satu hal, niat monologist topikal adalah tidak hanya untuk mendapatkan tertawa dari materialnya. Cerita umumnya menyapu lebih luas, dan biasanya ada lebih dari kualitas yang kohesif untuk karyanya. Stand-up komik terutama menceritakan lelucon, meskipun pada kesempatan tertentu, mereka juga akan mencakup beberapa materi anekdot.

Keenam, monolog storytelling. Dalam monolog ini, pada hakikatnya, cerita fiksi yang dipentaskan. Secara umum, monolog ini ditulis dalam bentuk naratif di mana aktor bertindak sebagai pencerita. Dalam menceritakan sebuah cerita, pada saat tertentu aktor menghentikan sejenak berceritanya dan beralih menjadi satu karakter tertentu, dan lalu kembali menjadi narator atau pencerita.

In Between - Surel Tiara



From : Tiara Putri Hermawan (tiara_putri@yahoo.com)
To : Ardiansyah Putra Hermawan (blueflames@yahoo.com)

Halo, Kak. Apa kabarmu hari ini? Tiara harap semuanya baik-baik aja. Oya, gimana salonnya, Kak? Rame nggak? Uh, Tiara belum sempat main lagi ke sana. Masih ada beberapa tugas kuliah yang harus selesai akhir bulan ini. Kakak jangan ngambek, ya. Ntar pasti Tiara main lagi ke salon. Sekalian kalo boleh, Tiara pengen creambath. Gratis, kan?! Hehehe….

Hmm, masalah Mama…. Tiara udah sampein surat dari Kakak ke Mama. Awalnya Tiara ragu-ragu. Plus, Tiara takut, gimana kalo Mama nolak surat dari Kakak, gimana kalo Mama udah bener-bener ingin putus hubungan dengan Kakak. Asli, Kak, Tiara khawatir Mama bakal bertindak ekstrim. Tapi, setelah Tiara pikir lagi, kalo surat ini nggak sampe ke tangan Mama, masalah ini nggak akan pernah selesai. Tiara ingat, Kakak bersembunyi bukan untuk bener-bener menghilang. Tapi, untuk mempersiapkan perasaan Mama, agar Mama bisa berpikir jernih untuk menerima semua perubahan yang terjadi.
                
Mama menangis, Kak. Dua hari Mama nggak mau keluar dari kamar tidur. Papa sampe khawatir kesehatan Mama ngedrop. Soalnya Mama hanya makan sedikit sekali. Itu juga harus dipaksa-paksa sama Papa. Papa nggak ngebolehin Tiara ketemu Mama dulu. Padahal Tiara pengen banget meluk Mama waktu itu. Tiara pengen nenangin hati Mama. Pengen bilang kalo sebenarnya Kakak baik-baik aja. Pengen bilang kalo Kakak sekarang hidup bahagia. Tapi, yang terjadi, Tiara cuma bisa diam di kamar, menunggu Mama kembali tenang.
                
Dua hari setelah Mama mengurung diri di kamar, Mama balik beraktivitas seperti biasa. Wah, sumpah, deh. Tiara kaget setengah mati. Dua hari yang lalu Mama begitu mengkhawatirkan, begitu rapuh. Tapi, setelahnya, Mama keliatan lain banget. Seolah-olah Tiara nggak pernah ngasi surat itu ke Mama. Well, kecuali lingkaran hitam di bawah mata Mama yang ukurannya agak berbeda dibanding dua hari sebelumnya – dan juga kelopak mata Mama bengkak . Overall, she looks amazing. Dan, Mama lalu memberikan sepucuk surat ke Tiara. Mama bilang itu surat untuk Kakak dan Tiara harus mengirim surat itu secepatnya.
                
Uh, belum juga abis kekaguman Tiara ke Mama, sekarang Tiara malah jadi cemas lagi. Apa kira-kira isi surat balasan Mama buat Kakak? Apa Mama udah bisa nerima perubahan Kakak? Apa Mama malah jadi benci sama Kakak? Atau, Mama nggak mau lagi ketemu Kakak? I’m so curious, Kak. Penasaran, pake banget. Tapi, nggak ada maksud untuk berlebay ria akibat terlalu penasaran hehehe…
                
Dan, sekarang Kakak harus cerita ke Tiara, apa isi surat dari Mama. Tolong ceritain secara detil ya. Biar Tiara nggak penasaran lagi.
                
Btw, segini dulu aja ya. Tiara mau ngerjain tugas lagi.
                
See you soon, Kak :)

***

From : Arini Larasati (larasati85@yahoo.com)
To : Tiara Putri Hermawan (tiara_putri@yahoo.com)

Dear, Tiara.

Kakak baik-baik aja di sini. Kamu sendiri gimana? Kuliahmu lancar? Yang rajin ya, biar cepet lulusnya. Ntar kalo kamu udah lulus, Kakak traktir treatment di salon Kakak. Gratis, mulai dari ujung rambut sampe ujung kaki. Gimana? Ngiler kan?! Hehehe….

Untung kamu kirim e-mail tepat waktu. Soalnya Kakak udah lama punya rencana ganti alamat e-mail. Ini alamat e-mail Kakak yang baru. Kamu save di contact list ya.

Tentang surat dari Mama, uh, panjang banget. Ntar deh kalo kamu main ke salon, Kakak tunjukin suratnya. Kakak sendiri sampe capek bacanya hehehe…. Becanda kok. Hmm…, yang jelas Kakak bersyukur sekarang. Satu rintangan udah berhasil kita lalui, Dik. Kita udah menangin hati Mama. Ini lebih cepat dari perkiraan Kakak sebelumnya. Kakak pikir, masih berbulan-bulan lagi bakal nerima surat balasan dari Mama.

Mama bilang, Mama pengen ketemu sama kakak. She just sounds so desperate with that. Tapi…, Kakak masih ragu-ragu. Bisa saja, kan, Mama bilang “menerima” dalam suratnya, tapi begitu ketemu, muncul lagi penolakan itu dalam diri Mama. Dan, itu yang paling Kakak takutin. Yah, oke, kamu bener, kakak juga takut Mama bertindak ekstrim. Kita nggak boleh meremehkan reaksi Mama. Mama pernah berbuat seperti itu dulu, dan masih ada kemungkinan Mama bisa melakukannya lagi sekarang.

Ya, Tuhan. Rasanya Kakak pengen lari kenceng ke rumah, meluk Mama, cium tangan Mama, bersimpuh di lutut Mama. Kakak kangan Mama, Ra. And I tell you something. There are two teardrops falling on my keyboard right now. Duh, Kakak kok jadi gampang nangis ya sekarang?!

Ada hal yang paling bikin Kakak terharu waktu baca surat dari Mama. Di bagian terakhir, Mama manggil Kakak dengan nama Arini. Tapi, sebenarnya ini bukan cuma soal nama. Nama Arini itu asal aja Kakak karang. Bisa aja Kakak pakai nama Dewi, Jessica, Tina, or even Julia Robert. But the whole point is, I need that confession from her. Pengakuan, bahwa Kakak ini berbeda dari yang Mama harapkan sebelumnya. Kakak nggak sakit. Kakak cuma merasa mungkin Tuhan udah memasukkan roh Kakak ke tempat yang salah. Oke, lupakan soal salah alamat itu. Kakak cuma pengen tetap menjadi bagian dari kalian. Karena dalam hubungan sebuah keluarga, nggak ada kata “mantan”. Belum pernah dengar, kan, sebutan “mantan ibu kandung”, “mantan ayah kandung”, atau “mantan adik/kakak kandung”?! Karena memang sebutan-sebutan itu tidak pernah ada di kehidupan nyata.

Tiara, my lil’ sister…. Jangan pernah menyerah dengan Kakakmu ini. Kakak nggak ngarepin sesuatu yang berlebihan dari kamu. Kakak cuma minta, jangan putusin rasa sayangmu sama Kakak. Jangan tinggalin Kakak di tengah jalan. Jalanan yang harus Kakak lewati ternyata masih berkerikil tajam. Kakak butuh kamu.

Dan, sampai waktunya tiba nanti, tolong jangan beritahu tempat tinggal Kakak ke Mama, ya. Kakak tau, beberapa hari lalu Mama pernah mendatangi alamat yang tertera pada surat yang Kakak kirimkan. Untungnya temen Kakak itu pintar ngeles, sehingga Mama yakin nggak ada yang namanya Arini di rumah itu. Tapi, sebenarnya Kakak sadar, cepat atau lambat, Mama pasti menyadari kebohongan itu. Cuma… Kakak sih ngarepin hal itu nggak terjadi dalam waktu dekat.

Wah, nggak kerasa sekarang udah lewat tengah malam. Besok Kakak ada janji dengan customer jam sembilan pagi. Jadi harus cepet tidur nih. Kapan-kapan kita sambung lagi deh. Oya, kalo kamu jadi main ke salon, telepon Kakak dulu ya. Siapa tau, ternyata Kakak lagi keluar kota.

               
See you next time, my lil’ sister :)

Cinta Pertama Maura

13729268501373481853



“Apa sih yang bikin kita terus saja merindu?”

Aku terkejut di tengah nikmatinya menanti pemandangan matahari tenggelam di Pantai Petitenget. Aku sengaja memilih untuk menjauh dari hingar bingar Kuta yang menjengkelkan. Aku suka tempat ini, tapi aku lebih suka lagi karena seseorang menemaniku menikmati semua yang tersaji di sini. Dia yang memilihkan tempat ini untukku. Dia gadisku, dia mutiaraku, dia… segalanya, meskipun bukan yang pertama. Dia… Maura.

“Apa yang membuat kita terus saja merindu?”

Tidak! Bukan gadisku yang mengulang pertanyaan itu, tapi otakku yang melakukannya, yang kemudian segera kusuruh menyusun jawabannya. Namun, otakku tidak juga mendapat kombinasi yang pas untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu.

“Mas….”

Sentuhan lembut tangannya di wajahku membuyarkan wisata lamunanku. Aku meraih tangannya, menggenggamnya, meresapi hangatnya.

“Kenapa malah banyak ngelamun, Mas? Harusnya, kan, kita manfaatin waktu. Kita nggak mungkin tiap hari bisa ketemu kayak gini.”

“Iya. Maaf, ya. Mas cuma lagi mikir.”

“Mikir apa?”

“Mikirin jawaban pertanyaan tadi.”

“Ya udah, nggak usah dipikirin lagi,” katanya sambil merapatkan kepalanya ke dadaku. “Biar ade cari jawabannya di sini.”

Aku tahu, dia paling senang posisi seperti itu, kepalanya di dadaku. Dia pernah bilang, dia senang mendengarkan detak jantungku yang jelas saja ritmenya jadi jauh lebih tinggi ketika dia berada sangat dekat denganku.

Aku beruntung kali ini. Dari tiga hari perjalanan dinasku, aku punya satu hari penuh untuk kulewati bersama Maura. Sengaja aku tidak memberi tahu dia soal kedatanganku. Aku baru mengabarkan ketika baru saja mendarat di Ngurah Rai. Mungkin dia tidak segera membuka ponselnya, aku pun langsung tenggelam dalam tugas-tugas yang diamanatkan padaku dan sejenak melupakan Maura. Jadi, ketika hari berikutnya aku punya waktu luang seharian, aku memutuskan untuk mendatangi tempat kerja Maura. Dan, dia terkejut bukan main. Dia langsung menghambur ke pelukanku tanpa peduli beberapa pasang mata milik rekan kerjanya menatap kami dengan pandangan yang – entah, mungkin saja mereka memang iri. Maura tidak peduli, pun begitu dengan aku.

“Udah ketemu jawabannya, Dek?” tanyaku sambil membelai puncak kepalanya.

Dia menggeleng manja. “Jangan berisik,” bisiknya. Tangannya membekap mulutku.

Hmm…. Sampai kapan harus seperti ini? Aku tahu, Maura tidak keberatan dengan statusku. “Rasa… nggak bakalan tergantung sama status, Mas.” Begitu katanya suatu hari. Aku setuju itu. Yang terpenting adalah rasa. Mungkin memang percuma saja jika sebuah ikatan dijalani tanpa rasa. Bukankah yang membuat ikatan itu hidup adalah rasa?

Maura pernah bilang juga, cinta pertama bukan berarti dengan pacar pertama. “Cinta pertama itu… rasa yang bertahan bahkan lebih lama dari yang kau bayangkan, yang terlukis sempurna di bank data otak belakang.” Hmm…, definisi yang cukup panjang dari Maura, tapi terdengar cukup sederhana di telingaku. Maura benar tentang definisi itu. Aku baru menyadarinya ketika dia selesai mengucapkannya. Saat itu… adalah pertemuan pertama kami setelah sembilan tahun saling kenal hanya lewat kata-kata di udara. Maura juga bilang, aku adalah cinta pertamanya. Ah, andai aku bisa juga melantangkan bahwa aku pun memberi predikat itu padanya.

Maura menegakkan punggungnya. Dia sekarang duduk menghadap ke arahku. Tangannya meraih tanganku. Lalu, ia membawa tanganku ke wajahnya. Aku membelainya, menghapus satu bulir bening yang mencuri keluar dari sudut matanya.

“Mas mau, ya, janji satu hal aja buat ade,” pintanya.

“Apa itu?”

“Kita mungkin nggak bisa jadi pasangan di dunia ini.” Ada sorot kesedihan tertangkap dari matanya. Dan, itu membuatku perasaanku makin teriris. “Tapi, ade yakin, kita bisa jadi pasangan yang sempurna di surga.”

Aku merengkuhnya lagi ke dalam pelukanku. Matahari hampir menyentuh horison, membuat langit menjingga. Aku lebih banyak diam kali ini bukan karena kehabisan kata-kata. Aku hanya ingin melewati tiap detik yang berharga ini dengan tenang. Mendekapnya… itu sudah cukup bagiku untuk membunuh sekian banyak putaran siang dan malam yang selalu aku lewati nyaris tak ubahnya seperti sebatang tubuh tanpa jiwa.

“Ade tau apa yang bikin kita bisa terus merindu,” katanya tiba-tiba.

“Karena… jarak,” sahutku.

“Ya, karena jarak,” gumamnya.


Gambar koleksi pribadi.

Pasangan Absolut



Juni berakhir manis
Rindu tertawar sua
Dan aku mendapati tangan kokohmu… lagi…
Dan puncak kepalaku tak sabar menanti usapan lembut darimu… lagi…
Dan dua mataku kembali memandang senyummu… lagi…
Dan kulit tanganku menghangat tertimpa sentuhanmu… lagi…
Satu permintaan sederhana

Jadilah pendampingku, pasangan absolutku di surga… nanti…



Gambar koleksi pribadi.

In Between - Surat Untuk Anakku




Dear, Anakku Tercinta…

Apa kabarmu hari ini, Nak? Kamu sehat, kan?! Semoga Tuhan selalu menyertai tiap langkahmu, Nak. Mama, Papa, dan Tiara juga baik-baik aja di sini.

Mama nggak tau harus bilang gimana. Mama juga setengah nggak paham, perasaan apa ini yang nyangkut di hati dan otak Mama. Apa Mama harus seneng? Atau, Mama harus sedih? Kecewa? Ah, kamu nggak perlu jawab, Nak. Yang jelas, perasaan Mama sekarang ini lebih tenang dari sebelumnya. Tenang, karena setelah lima tahun hidup dalam rasa cemas, sekarang Mama mendapat kepastian kabarmu. Dan, yang perlu kamu tau juga, Nak, apa pun kondisimu saat ini, Mama akan selalu menganggapmu sebagai anak Mama. Apa pun itu!

Pertama kali Mama nerima suratmu, Tiara meminta Mama untuk berjanji. Katanya, Mama harus baca suratmu sampai selesai, baru Mama boleh tanya atau komentar. Mama nggak tau sebelumnya kalo itu surat dari kamu. Mama cuma menuruti permintaan adikmu tanpa bertanya lagi. Dan, begitu Mama baca nama yang tertulis di amplop putih, Mama nggak punya bayangan apa-apa. Siapa itu Arini Larasati? Sekali lagi, Mama nggak punya bayangan. Mama ngga pernah punya teman yang namanya Arini. Tidak teman-teman sekolah Mama dulu, atau teman-teman arisan Mama di kompleks perumahan ini. Malah Mama sempat mikir kalo surat itu salah alamat. Tapi, kalo emang surat itu salah alamat, kenapa wajah Tiara serius waktu ngasi ke Mama? Saat itu, Mama bener-bener heran, Nak. Mama masih yakin, surat itu salah alamat.

Tapi, ternyata tebakan Mama sebelumnya, semuanya salah total. Ternyata surat itu memang buat Mama. Begitu baca suratmu, Mama nangis, Nak. Ya, Tuhan…. Mimpi apa Mama semalem? Kenapa Mama harus nerima kejutan begini rupa? Apa salah Mama sampai kamu permainkan perasaan Mama, Nak? Yah, sekali lagi, kamu nggak perlu jawab pertanyaan Mama. Karena bukan kamu yang salah, tapi Mama. Mama yang salah….

Mama minta maaf, Nak. Mama bener-bener nyesel udah bikin kamu menderita. Mama kira, Mama bisa membuatmu sembuh, mengubahmu jadi normal lagi, seperti bocah lelaki lainnya. Tapi, belakangan Mama sadar, bahwa kamu nggak sakit, Nak. Jadi, untuk apa Mama berusaha keras menyembuhkan kamu? Kondisimu yang sekarang adalah bagian dari rencana Tuhan terhadap keluarga kita. Cuma… Mama nggak mau nyerah gitu aja, Nak. Mama tetap pada rencana semula, memaksamu masuk ke eskul basket. Mama berharap ada sedikit aja keajaiban untuk mengubahmu jadi seperti yang Mama inginkan.

Mungkin kamu pengen tau, Nak, kapan tepatnya Mama sadar kalau kamu sedikit berbeda dengan bocah lelaki lainnya. Mama yakin, kamu pasti pengen tau. Oh, bukan, bukan itu. Bukan saat kamu minta didaftarin ikut kursus menata rambut. Jauh sebelum itu, Nak, waktu umurmu hampir tujuh tahun, waktu kamu nggak mau ikutan latihan sepak bola di lapangan komplek rumah kita. Mama sampai harus nahan malu di depan ibu-ibu tetangga kita. Tapi, sebenarnya juga bukan momen itu yang Mama maksud. Maksudnya, Mama anggap masih wajarlah kalau ada anak laki-laki yang kurang suka main sepak bola. Mungkin lebih milih seneng sama game di komputer, atau milih berkutat dengan otomotif, elektronik, atau gadget-gadget canggih. Ya, Mama masih maklumi itu.

Mama inget banget waktu itu, Nak, pas hari Minggu. Mama baru aja pulang dari pasar. Papamu lagi di halaman belakang nemenin Tiara main ayunan. Tapi, Mama nggak liat kamu di sana. Mama tanya Papa, Papa bilang tadi kamu pamit ke toilet. Tapi, ternyata kamar mandi kosong, kamarmu juga. Mama tanya Papa lagi, Papa malah jawab mungkin kamu main sama anak tetangga. Mama sedikit lega mendengar jawaban Papamu karena kamu udah mau bergaul sama anak-anak lain. Tapi, Mama nggak sepenuhnya lega.

Dan, waktu Mama lewat depan pintu kamar Mama, Mama denger lamat-lamat suara nyanyian. Mama nggak tau lagu apa itu, tapi Mama tau, itu suara kamu. Pintu kamar nggak tertutup rapat, ada celah sedikit sehingga Mama bisa mengintip ke dalam. Ternyata memang bener itu kamu, Nak. Mama melihat Ardi kecil yang sedang duduk di kursi rias Mama. Tanganmu memegang kuas blush on milik Mama. Wajahmu terlihat putih, pasti karena bedak. Dan, bibirmu…. Mama yakin kamu juga memakai lipstik Mama.

Arini, sayangku…. Pulanglah, Nak. Mama kangen kamu. Lima tahun Mama hidup dalam ketidakpastian, apa sekarang kau masih tega membiarkan wanita tua ini memendam rindu yang makin lama makin berat untuk ditanggung? Arini, Anakku…. Mama harap kamu mengerti perasaan Mama saat itu. Dan, setelah kamu memaafkan Mama, mari kita mulai lagi segalanya dari nol. Mari kita buka lembaran baru kehidupan keluarga kita. Apa kamu nggak kepengen keluarga kita utuh kembali, Nak? Arini, Cintaku…. Mama udah nggak peduli lagi sama orang-orang di sekitar kita. Mama udah nggak peduli mereka ngomong apa lagi soal keluarga kita. Yang Mama mau cuma kamu, Sayang. Pulanglah, Nak. Sama-sama kita lupakan kejadian-kejadian buruk di masa lalu. Mama nggak mau lagi ada yang tersakiti, Nak. Kalau kamu nggak pengen pulang, ijinkan Mama menemuimu. Walaupun cuma sebentar, Mama ingin lihat mata teduhmu, Nak. Mama ingin memelukmu, agar sendi-sendi tua ini merasa hangat dalam pelukan buah hati Mama.

Mama mohon kamu pertimbangkan permintaan Mama ini. Bukan hanya demi Mama, tapi juga demi Papa dan Tiara.

Peluk hangat…

Mama


Gambar pribadi.

In Between - Surat Untuk Mama



Dear, Mama tercinta….

Apa kabar Mama hari ini? Aku harap Mama, Papa, dan Tiara baik-baik aja. Aku minta maaf karena baru bisa mengirim kabar sekarang lewat surat ini.

Kabarku sendiri baik-baik aja, Ma. Minggu lalu sempat demam selama tiga hari, tapi sekarang udah baikan. Aku udah bisa kerja lagi. Oya, tentang pekerjaanku sekarang, aku sangat menyukainya. Aku bisa kerja dengan tenang karena aku memang menginginkan pekerjaan ini sejak masih SMP. Tempat kerjaku sekarang benar-benar bisa mengerti keadaanku, dan yang terpenting, mereka semua menerima aku apa adanya.

Kenapa? Mama tidak yakin ya, kalau ini surat dariku? Mama nggak perlu ragu-ragu, surat ini emang aku sendiri yang nulis. Mama, kan, udah hapal sekali bentuk tulisanku sejak aku masih SD sampai aku SMA. Karena Mama sering sekali buka-buka buku catatan pelajaranku. Mama juga selalu memeriksa setiap PR-ku. Jadi, pasti Mama sangat hapal dengan tulisanku, kan?! Walaupun, jujur saja, aku sangat risih ketika Mama melakukan hal itu – selalu memeriksa buku-buku milikku setiap ada kesempatan.

Dan, bukan hanya itu, Ma. Mama masih ingat? Mama juga selalu memaksaku untuk ikut eskul basket sewaktu di SMA. Padahal aku sudah memohon pada Mama dan Papa, agar aku diijinkan ikut kegiatan yang sesuai dengan cita-citaku. Papa lebih demokratis. Papa tidak berkata “tidak” ataupun “iya”. Papa lebih menekankan agar aku melakukan apapun yang aku inginkan, tentunya harus dengan tanggung jawab yang penuh. Tapi, Mama…. Mungkin dari awal Mama sudah sadar bahwa aku agak berbeda dengan anak lelaki pada umumnya. Jadi, sejak dini Mama sudah memaksa aku masuk eskul basket. Well, aku akan mengakui satu hal kepada Mama. Aku tidak sepenuhnya mengikuti eskul basket. Maksudku, aku memang berangkat latihan basket di sekolah. Tapi, aku setengah berbohong (atau mungkin aku memang sepenuhnya berbohong) tentang waktu latihan. Aku bilang ke Mama kalau latihan basket dimulai jam tiga sore sampai jam tujuh malam. Padahal sebenarnya hanya sampai jam lima sore. Dan, hari latihan hanya Selasa dan Jumat. Bukan Selasa, Jumat, dan Sabtu.

Aku minta maaf telah mengacaukan segala rencana Mama terhadap diriku. Aku pergi dari rumah karena emang aku udah nggak tahan lagi menutup-nutupi semuanya. Aku pergi setelah aku menerima pengumuman kelulusan SMA. Aku emang nggak mau melanjutkan kuliah. Aku nggak pengen dan nggak mau ngerepotin Mama dan Papa. Aku tahu, kuliah butuh biaya banyak. Itulah kenapa aku nggak mau ngerepotin Mama sama Papa. Biarlah Tiara yang mendapat perhatian penuh Mama dan Papa. Tiara anak yang pintar. Aku bangga punya adik seperti Tiara. Aku sering bertemu dia. Kadang bertemu di mall, atau Tiara yang sengaja menjengukku di tempat kerjaku. Aku mengobrol banyak dengan Tiara. Tiara selalu berusaha menguatkan hatiku, menyuruhku untuk bersabar agar nggak terburu-buru mengirim surat ini ke Mama. Kalaupun Tiara nggak pernah cerita ke Mama, itu karena aku dan Tiara sepakat untuk menyembunyikan hal ini. Tiara nyuruh aku nunggu semuanya kembali tenang. Yah, aku sadar, semua orang heboh menanggapi kepergianku. Dan, minggu lalu, Tiara bilang bahwa ini saat yang tepat mengirimkan surat ini. Kondisi Mama sudah cukup tenang untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi selama ini.

Tapi, Mama harus janji, Mama nggak akan menghakimi Tiara karena udah menyembunyikan aku dari Mama selama lima tahun ini. Tiara nggak bersalah, Ma. Tiara cuma pengen ngebantu aku mewujudkan keinginan terpendamku. Dan, sekarang, berkat Tiara, aku bisa mewujudkan keinginanku memiliki salon kecantikan sendiri. Ya, Ma. Aku sekarang seorang penata rambut profesional. Bulan lalu aku baru saja mendapatkan sertifikat pendidikan penata rambut dari sebuah sekolah hair stylish terkemuka di Singapura. Mama paham, kan, maksudku di sini?! Aku nggak cuma main-main dengan cita-citaku. Dan, aku juga nggak main-main waktu bilang ke Mama, aku pengen ganti nama suatu hari nanti. ‘Suatu hari’ itu udah terwujud sekarang, Ma. Betul sekali, Ma. Aku udah ganti nama sekarang. Jadi, sekarang Mama nggak perlu manggil aku dengan nama Ardi, tapi panggil aku dengan nama Arini.

Sampai jumpa lagi, Ma. Salam untuk Papa dan Tiara. Secepatnya aku akan menulis surat lagi untuk Mama.

Salam hormat,

Arini Larasati



Gambar koleksi pribadi.

next chapter