Di sebuah batu besar di tepi parit kecil, duduk dua orang gadis: Romlah
dan Maesaroh. Keduanya bersahabat sejak kanak-kanak. Mereka biasa duduk di tepi
parit itu untuk sekadar menikmati suara gemerisik air sembari menunggu waktu
berbuka puasa. Menurut mereka, itu jauh lebih menyenangkan daripada harus
membantu Mbuk Nyai di pondok menyiapkan takjil untuk seluruh santriwati di
sana. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Maesaroh menceritakan sesuatu kepada
Romlah.
Romlah : (melempar kerikil ke parit) Jadi, dia udah ambil
keputusan, ya? (memandang Maesaroh dengan tatapan setengah sinis)
Maesaroh : (menunduk) Iya, Rom.
Romlah : Harusnya dia bicara di depan kita, bukan cuma ke kamu aja,
Mae! (suaranya meninggi)
Maesaroh: (mengangkat kepala, lalu melihat ke arah Romlah) Aku, kan,
udah bilang, Rom. Dia bukan bilang langsung ke aku, tapi….
Romlah : Iya. Kamu cuma nggak sengaja denger pembicaraan Mbuk Nyai
sama dia. (menunduk, memainkan ujung hijab)
Maesaroh : (menyentuh bahu Romlah) Aku minta maaf, Rom. Itu bukan
kehendakku. Aku nggak kepengen itu terjadi.
Romlah : (masih memainkan ujung hijabnya) Tapi, kan, udah kejadian.
Maesaroh : Belum, Rom. Itu belum terjadi. Semuanya masih bisa
berubah. Semuanya masih bisa dikembalikan ke posisi awal.
Romlah : Caranya? (suaranya gemetar) Dia bahkan selalu nunduk kalo
kebetulan papasan sama aku di pondok. Malahan pernah sekali aku liat matanya
sinis ngeliat aku.
Maesaroh : (mengusap-usap punggung Romlah) Kamu tenang aja….
Romlah : Tenang gimana?! (suaranya meninggi dan mulai terisak)
Maesaroh : (merangkul Romlah, berusaha agar tangisnya tidak ikut
pecah)
Matahari sudah lebih rendah sejak dua sahabat itu datang ke tepian
parit setengah jam lalu. Maesaroh masih merangkul Romlah, menenangkan
sahabatnya yang sedang bersedih.
Romlah : Aku nggak ngerti, Mae, kenapa dia menjauh? (suaranya
kembali stabil)
Maesaroh : Yang jelas, kamu nggak boleh su’udzon, Rom. (melepas rangkulannya, tersenyum kepada Romlah)
Romlah : Tapi, aku penasaran, Mae.
Maesaroh : (tersenyum) Itu wajar. Aku juga penasaran.
Romlah : Tapi, (menghela napas panjang, lalu memandang Maesaroh,
lama sekali, kemudian tersenyum) kalaupun kalian nikah nanti, aku nggak akan
mengganggu kalian lagi. Kamu tadi cerita, Ustadz Faris bilang, “Aku akan
menikahi gadis itu, yang selalu memakai riasan untuk hatinya.” Kamu, Mae. Kamu
yang lebih segala-galanya daripada aku. Kamu memikat hati semua orang di
pondok. Kamu yang akan menikah dengan Ustadz Faris.
Maesaroh : Romlah…. Kamu ini ngomong apa sih? Kamu jangan bahas
yang enggak-enggak dong. Ustadz Faris itu nggak bakal nikah sama orang lain.
Kalo aku tebak, kalian bakal nikah setelah lebaran ketupat nanti. Bulan Syawal,
Rom, kata Mbuk Nyai itu bulan baik buat nikah.
Romlah : (dahi berkerut) Tadi kamu bilang….
Maesaroh : Kan, udah aku bilang, semua masih bisa berubah. Lagian,
aku itu cuma nggak sengaja nguping sebentar. Aku nggak tau Ustadz Faris sama
Mbuk Nyai bicara apa lagi. (bangkit dari duduk) Ayo, kita pulang aja.
Sekali-sekali kita harus muncul di dapur. Kasian Mbuk Nyai. Pasti si kembar
ikut masuk dapur buat ngerusuh. Hihihi….
Romlah : Aku…. (memelintir ujung jilbab)
Maesaroh : (menarik tangan Romlah) Ayo! Nanti kita ketinggalan obrolan
seru di dapur. Aku pengen tau (masih menarik tangan Romlah sambil jalan)
kira-kira si kembar itu punya gaya apa lagi dengan hijab mereka, ya.
Taman mungil itu ramai. Belasan santriwati sibuk merawat petak-petak
tanaman bunga. Sebagian lagi di dapur untuk menyiapkan makanan berbuka puasa.
Romlah dan Maesaroh tidak pergi ke parit seperti yang biasa mereka lakukan.
Kali ini mereka menemani Mbuk Nyai mengajari para santriwati cara merawat
beberapa macam tanaman bunga. Tiba-tiba, taman mungil itu kedatangan tamu lain.
Tamu yang tidak asing sama sekali.
Ustadz Faris : Assalamualaikum.
Romlah, Maesaroh, Mbuk Nyai, dan para santriwati : Wa’alaikumsalam.
Mbuk Nyai : Ada apa, Nak?
Ustadz Faris : (menunduk, wajahnya merona) Ehm… anu, Mbuk….
Mbuk Nyai : Ya? (maju selangkah mendekati Ustadz Faris)
Romlah dan Maesaroh : (saling sikut sambil berbisik)
Ustadz Faris : (mengangkat kepalanya, memeberanikan diri memandang
Mbuk Nyai, lalu sekilas melirik Romlah dan Maesaroh yang berdiri tak jauh dari
Mbuk Nyai) Saya ingin bicara sebentar dengan Mbuk. (menunduk lagi)
Mbuk Nyai : Oh, gitu. Ayo kita ke kantor. (mulai melangkah)
Ustadz Faris : (buru-buru mengangkat kepalanya) Ng… sepertinya
nggak perlu ke kantor, Mbuk.
Mbuk Nyai : Lho? (berhenti melangkah) Kenapa?
Romlah : (mulai cemas dan memelintir ujung hijabnya)
Maesaroh : (menyikut pelan lengan Romlah, lalu berbisik) Aku yakin,
Rom. (tersenyum pada sahabatnya)
Romlah : (makin gemetar memelintir ujung hijabnya)
Ustadz Faris : (menyibukkan kedua tangannya dengan membetulkan
letak peci hitamnya) Begini, Mbuk. Ini soal pembicaraan kita yang kemarin.
Romlah : (wajahnya berubah pucat dan berkeringat)
Maesaroh : (masih tersenyum simpul kepada Romlah)
Mbuk Nyai : Ya? Bagaimana, Nak?
Ustadz Faris : Saya akan memintanya sekarang, Mbuk. (melihat ke
arah Romlah dan Maesaroh, lalu kembali melihat Mbuk Nyai)
Mbuk Nyai : (sedikit terkejut, mulutnya sedikit terbuka, tapi tidak
ada kata yang keluar)
Ustadz Faris : Mbuk….
Mbuk Nyai : (tersadar dari keterkejutannya) Iya, Nak.
Romlah : (menunduk tanpa sanggup memandang sekitarnya)
Maesaroh : (mengusap-usap punggung Romlah)
Ustadz Faris : Besok bapak pulang dari Buntet. Tadi bapak sendiri
yang mengabarkan ke saya. Dan…, saya juga sudah menyampaikan keinginan saya
kepada bapak. Bapak setuju, Mbuk.
Mbuk Nyai : (tersenyum) Bener begitu, Nak?
Ustadz Faris : (mengangguk) Bener, Mbuk.
Beberapa santriwati meninggalkan taman mungil itu. Hanya tiga orang
yang masih bertahan dan sedang menyiangi rumput liar di antara perdu melati.
Romlah dan Maesaroh masih berdiri di tempat yang sama, tak sabar menanti ujung
percakapan ini. Lalu, datang seseorang dari arah bangunan pondok. Jubah
putihnya melambai nyaris menyapu tanah.
Kyai Jafar : Ndak perlu nunggu besok, Nak.
Ustadz Faris, Mbuk Nyai, Romlah, dan Maesaroh : (menengok ke arah
datangnya suara)
Ustadz Faris : Bapak?! (setengah berlari menghampiri ayahnya, lalu
mencium punggung tangan lelaki tua berjanggut itu) Bapak bilang baru pulang
besok.
Kyai Jafar : (tertawa pelan) Boleh, kan, sekali-kali bapak ngasih
kamu dan mbuk sebuah kejutan kecil?!
Mbuk Nyai : (menghampiri suaminya, lalu mencium punggung tangan lelaki
itu) Anakmu ini rupanya sudah tak sabar, Pak. (tersenyum)
Kyai Jafar : Bapak tau. Dan, kenapa bapak pulang sekarang, karena
bapak pikir kita lebih baik menyegerakan niat baik itu.
Tiga santriwati yang tadi masih sibuk menyiangi rumput liar, kini sudah
meninggalkan taman sambil membawa sekantung besar sampah dedaunan.
Kyai Jafar : Jadi…. (mendekati Romlah dan Maesaroh) Satu dari dua
gadis ini sudah memikat hatimu sejak lama ya, Nak? (pertanyaannya ditujukan
kepada Faris)
Ustadz Faris : (tersipu) Iya, Pak.
Mbuk Nyai : (tersenyum melihat tingkah anaknya)
Kyai Jafar : Romlah.
Romlah : (tersentak, tapi tetap menunduk) Iya, Pak Yai.
Maesaroh : (sedikit menjauh, lalu berdiri di dekat Mbuk Nyai,
merangkul lengan wanita tua berhijab putih)
Mbuk Nyai : (memandang Maesaroh sebentar, tersenyum, dan kembali
melihat suaminya yang sedang bicara pada Romlah)
Kyai Jafar : Berapa umurmu sekarang, Nak?
Romlah : (sedikit tergagap dalam gugup) Ehm… anu… dua satu, Pak.
Kyai Jafar : Sudah berapa tahun kamu mengabdi di pondok ini?
Romlah : (masih menunduk) Sekitar tiga tahun kalau dihitung sejak
hari kelulusan saya, Pak.
Kyai Jafar : (mengangguk-angguk, beranjak mendekati Mbuk Nyai) Mbuk….
Mbuk Nyai : Ya, Pak?
Kyai Jafar : Besok kita liburkan santri satu hari saja. Suruh
beberapa santri senior mengawasi adik-adiknya. (beralih ke Maesaroh) Kamu juga
ikut bantu ya, Maesaroh. Jaga adik-adikmu di sini sementara bapak, Mbuk, dan
Faris pergi.
Maesaroh : (mengangguk) Iya, Pak Yai.
Mbuk Nyai : Kita mau ke mana, Pak?
Kyai Jafar : Ke desa tetangga… mengantar Romlah pulang ke rumah
orangtuanya, sehingga kita bisa melamarnya untuk anak kita, Mbuk.
Denpasar, Juli 2013 (@sekarmayz)
Sumber gambar, klik image.