Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Memilih (episode 3)





Kicau burung gereja meramaikan sore, menemani Al dan Maya yang sedang duduk di teras rumah Dahlan. Di tengah-tengah amben, tersaji dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.
Al masih tetap dengan kebiasaannya mengunjungi kompleks pemakaman di daerah selatan Kota Bandung. Tapi, bukan untuk mengunjungi makam Maya Larasati — ya, itu masih ia lakukan seminggu sekali — melainkan menemui putri Dahlan, Kalina Mayasari. Entah harus menamakan apa hubungan ini, pikir Al, aku merasa nyaman berada di dekatnya.
“Siapa nama pacarmu, Al?” Maya membuka obrolan serius mereka untuk pertama kali.
“Namanya Maya Larasati.”
Mata Maya sedikit melebar.
“Iya, betul,” kata Al lagi. “Panggilannya Maya. Sama sepertimu.”
“Oke. Maya itu, bagaimana kamu menggambarkan dia?”
Al menyesap sedikit teh hangatnya. “Indah, seperti malaikat.”
Maya tersenyum geli. “Memangnya ada manusia seperti malaikat?”
“Ada. Ya, seperti dia. Juga, sepertimu.”
Maya menunduk. Ia merasa seluruh darah dalam tubuhnya sedang menuju wajah, yang menyebabkan rona merah di pipi. Ia berharap Al tidak melihatnya.
“Aku serius, Maya,” kata Al lagi.
“Terima kasih. Tapi, rasanya itu tidak benar,” balas Maya. “Maksudku, aku hanya gadis biasa yang tidak pantas disamakan dengan pacarmu.”
“Ya…, mungkin kamu anggap ini sebagai rayuan tidak bermutu, atau candaan, tapi aku tidak bohong.”
“Ah, sudahlah.”
Mereka diam lagi. Al sibuk menyesap tehnya perlahan, sementara Maya hanya diam memandang rimbun kembang sepatu di halaman. Maya merasa aneh dengan situasi ini. Tidak jelas apa yang diinginkan Al dan itu membuatnya resah.
“Maya, boleh aku tanya?”
“Tanya apa?”
“Kalau aku minta kamu menggantikan tunanganku…”
“Menggantikan?” potong Maya.
“Ehm, maksudnya…”
“Aku mengerti,” sahut Maya.
“Ya…, begitulah. Bersedia?”
“Maaf, aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Al.
“Karena aku bukan pengganti.”
“Lalu?”
“Tidak ada lanjutannya, Al.”
“Tapi…”
“Kalau aku bilang aku mengerti, berarti aku memang benar-benar mengerti, Al. Tunanganmu itu…, okelah namanya sama denganku, tapi bukan berarti aku dan dia adalah orang yang sama. Di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sama, bahkan yang kembar identik. Apa kamu pikir aku ini reinkarnasi pacarmu yang sudah meninggal itu?”
“Tidak, bukan begitu maksudku.”
“Aku pikir obrolan kita kali ini tidak ada ujungnya.”
“Ada ujungnya, kok.”
“Maksudnya?” Giliran Maya yang bingung.
“Lepaskan pikiranmu soal pacarku yang sudah…,” Al menelan ludah, “… meninggal. Yang aku ingin tahu, apa kamu bersedia kalau setelah ini aku selalu mengganggu hidupmu?”
Maya tertawa. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ia tidak ingin tawanya terlalu meledak, walaupun ia sangat ingin melakukannya. Pria yang jatuh cinta ternyata menjadi bodoh ketika bermain dengan kata-kata, pikirnya. Setelah gelaknya mereda, Maya kembali melempar tanya. “Mengganggu hidupku, ya? Dengan apa?”
Al kikuk. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Beruntung ia masih memegang gelas teh, jadi ia bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Dengan apa, ya? Ah, kamu harusnya tidak perlu bertanya lagi. Seharusnya kamu sudah paham maksudku.”
“Kalau aku bilang aku belum paham, bagaimana?” Maya tersenyum simpul.
“Besok hari Sabtu. Kita jalan-jalan, yuk?”
“Hei, jangan ganti topik dulu! Pertanyaanku belum kamu jawab,” protes Maya.
Al makin kelimpungan. Ia tak pernah sekikuk ini sebelumnya di depan seorang gadis. Bahkan, tidak di hadapan Maya Larasati.
“Kenapa?” Maya membuyarkan lamunan Al.
“Tidak ada apa-apa,” Al berbohong. Sesungguhnya ia masih belum tahu harus menjawab bagaimana. Pertanyaan Maya memang mudah, tetapi cukup sulit dijawab. “Tapi, bisakah kita ganti topik?”
Maya tergelak lagi.
“Yang begitu saja kamu tidak bisa menjawab, Al.” Maya mengganti nada bicaranya. “Aku mau tanya. Apa kamu sudah ikhlas dengan kehilanganmu?”
Al mengangguk.
“Benarkah?” Maya bertanya lagi.
“Iya,” jawab Al dengan mantap.
“Tapi, aku pikir, kamu itu belum ikhlas.”
Dahi Al berkerut-kerut. “Kenapa bisa begitu?”
“Karena…” Maya berhenti bicara dan menatap Al dengan serius. “Semisal namaku bukan Maya, apa kamu juga menawarkan kesempatan itu, sesuatu tentang mengganggu hidupku?”
“Aku tidak tahu.” Mata Al hampir tak berkedip.
Dua pasang mata itu bertemu di satu titik, saling merapal rasa yang menguar darinya. Berusaha saling mengerti, saling mencari celah untuk menyatukan ingin. Detik-detik berikutnya terasa seperti perlambatan yang semakin besar, yang berusaha membekukan keduanya. Al dan Maya tidak keberatan, asal mereka tidak berada dalam dua titik yang berbeda di dalam perlambatan itu.
“Ini sudah hampir gelap, Al. Lebih baik kamu pulang.”
Al terkesiap dari lamunannya. Ia melihat sekeliling, langit hampir menjingga. Sebentar lagi ayah Maya akan pulang, gumam Al dalam hati.
“Ya, aku pulang saja,” ujar Al. “Tapi, besok…”
“Tidak bisa. Aku janji sama Bapak, akan membantunya membersihkan makam. Besok akan banyak orang datang berziarah.” Maya setengah berharap, alasan yang ia lontarkan kali ini tidak tercium janggalnya.

Maya merebahkan tubuhnya di kasur kapuk tua berlapis seprai merah muda. Ia memandang langit-langit kamarnya, lalu kembali terlintas percakapan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Al. Yang tadi itu apa, tanyanya dalam hati. Lalu, ia sampai pada kesimpulannya sendiri. Maya ingin sekali tak percaya dengan apa yang ia pikirkan, tetapi nyatanya Al memang memintanya menggantikan Maya Larasati sebagai kekasihnya. Satu yang Maya yakini, permintaan Al adalah sebuah hal yang absurd, seabsurd ucapan Al soal malaikat-malaikat itu.
Apa benar, ada cinta yang didasari keserupaan nama? Itu aneh, pikir Maya sekali lagi. Jika saja Al memintanya dengan cara yang berbeda, tanpa sedikit pun melibatkan cinta lamanya, Maya akan mempertimbangkannya.
Ponsel Maya berbunyi. Ada pesan singkat masuk.

Maaf, Maya. Mungkin tadi bicaraku terlalu mengada-ada. Tapi, aku benar-benar ingin dekat denganmu. Bolehkah?

Kata-kata dari Al membuat Maya spontan mengembangkan senyumnya. Tetapi, ia enggan membalas pesan itu. Ia setengah melempar ponsel — yang merupakan pemberian Al beberapa hari yang lalu — ke atas meja kayu tua di sudut ruangan kamarnya. Kembali ia merebahkan diri ke kasur. Kembali ia menatap langit-langit kamarnya, sambil sesekali menyimak rekaman lantunan ayat-ayat Alquran yang keluar dari pengeras suara musala.
Maya adalah seorang gadis yang tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama kepada lawan jenis. Kecuali, sang ayah tentunya. Ia memiliki banyak teman wanita, tetapi tak ada satu pun yang bisa dijadikan tempat untuk berkeluh kesah, atau sekadar bercerita tentang hal-hal menarik seputar wanita. Justru dirinyalah yang selama ini menjadi tempat teman-temannya mencurahkan isi hati mereka. Maya berpikir, jika mereka saja bercerita dan memintanya mencarikan jalan keluar dari suatu masalah, bagaimana bisa teman-temannya itu memberi jalan keluar untuk masalah yang sedang ia hadapai sekarang. Namun, hikmahnya adalah, ia bisa mengenal banyak karakter orang dari mereka yang telah dikenalnya. Satu-satunya tempat mencurahkan isi hatinya selain sang ayah adalah buku harian yang tersimpan rapi di deretan buku-buku yang ia letakkan di atas meja.
Maya bangkit dari kasur dan segera mengambil buku hariannya. Ia duduk dan membuka halaman terakhir yang berisi tulisan. Ia melihat tanggal terakhir ia menuliskan sesuatu di buku itu, dan sedikit terkejut. Ternyata sudah satu bulan lebih ia tidak pernah menulis. Ia mengambil pena dari laci, lalu mulai menulis.

Bandung, 30 Agustus 2011
Aneh sekali rasanya, mengetahui seseorang menyukaiku karena namaku mirip dengan kekasihnya yang sudah meninggal. Aku penasaran, kalau namaku bukan Maya, apa dia masih menawarkan kedekatan itu? Aku meragukannya. Amat sangat!
Aku sendiri bukannya tidak percaya dengan apa yang namanya cinta pada pandangan pertama. Walaupun agak tidak masuk akal menurutku, tapi itu bukannya mustahil terjadi. Hanya saja, dalam kasusku ini, yang namanya kebetulan itu terlalu klise.
Ehm, tidak bisakah aku mendapat kisah cintaku dengan jalan yang normal dan lurus-lurus saja, tanpa harus merasakan drama? Yah, hidupku sudah cukup drama dengan terdamparnya aku di tempat ini. Aku tidak menyesal dipungut oleh Bapak, dibandingkan jika aku terdampar di kolong jembatan. Paling tidak, orang tua kandungku memikirkan masa depanku.
Tapi, kuburan?! Ah, sudahlah!
     
Maya berhenti menulis. Ia bangkit dari kursinya dan menutup jendela kamar, lalu berniat mengambil air minum ke dapur. Namun, saat hendak menutup jendela kamarnya, ia melihat Vios hitam masih berada di pinggir jalan, terparkir dengan nelangsa. Maya kembali ke meja dan menyambar ponselnya. Ia menekan tombol ponsel beberapa kali dan menempelkan gawai itu ke telinga kanannya.
“Halo,” sapa suara dari seberang sambungan.
“Halo, Al. Kamu di mana sekarang? Sudah sampai rumah?” tanya Maya.
Lama tak terdengar jawaban dari Al. Maya memperhatikan ponselnya sejenak, memastikan sambungan telepon masih aktif, lalu mendekatkan lagi benda itu ke telinganya.
“Al?”
“Iya, Maya. Aku sudah di rumah. Baru saja aku ingin meneleponmu, mengabari kalau aku sudah sampai rumah. Tapi, ternyata aku kalah cepat.” Lalu, terdengar suara tawa Al yang Maya pikir agak sedikit dipaksakan.
“Oh, ya? Syukurkah kalau begitu.”
“Memangnya ada apa, Maya? Suaramu kedengeran kayak orang khawatir.”
“Ah, tidak. Tolong jangan gede rasa dulu, ya.” Maya tertawa. “Aku lihat ada Vios hitam terparkir tidak jauh dari rumah. Aku pikir itu kamu, Al. Benar, kamu sudah di rumah?” Maya menegaskan lagi pertanyaannya kepada Al.
“Iya, aku sudah di rumah. Kamu tidak perlu khawatir, Maya.”
“Oke. Aku tutup dulu, ya. Sudah hampir magrib.”
Maya menekan tombol merah pada ponselnya dan meletakkan kembali benda itu di atas meja. Ia beranjak menuju jendela, tetapi tidak langsung menutupnya. Sekali lagi ia memperhatikan Vios hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Matanya memicing. Ia merasa seperti melihat seseorang di balik kemudi mobil itu, tetapi karena ini menjelang senja dan cahaya matahari sedikit tertutup awan, maka Maya tidak bisa memastikan apa yang ia lihat saat itu. Namun, ia meyakinkan hatinya sendiri. Al sudah di rumah, dan ia yakin, pria itu jujur padanya.
Maya melepas batang besi yang menyangga jendela berkaca itu dan menguncinya dengan saksama. Ia merapikan kelambu yang menutupi jendela itu dan memastikan tidak ada celah yang terlihat dari luar.
Sementara itu, Al masih saja memegang ponselnya. Sambungan sudah terputus sejak tadi, dan Al seolah-olah tak percaya apa yang baru saja ia katakan kepada Maya. Ia tersadar dari lamunannya dan memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.
Al memegang kemudi, namun mesin mobilnya masih belum menyala. Ia bingung. Sebenarnya ia ingin sekali berlari ke rumah itu, mengetuk jendela kamar Maya, dan mengajaknya keluar rumah tanpa harus pamit kepada ayahnya — kembali lagi seperti remaja yang sedang kasmaran. Tetapi, ia bukan remaja, dan itu rasanya tidak mungkin terjadi.
Azan Magrib lantang tersiar dari musala yang tak jauh dari kompleks pemakaman tersebut. Al memutuskan untuk pulang saja. Toh tidak ada gunanya memaksakan kehendak saat ini juga. Maya pasti akan menganggap dirinya pria bodoh jika berbuat seperti itu. Lagi pula, ada baiknya juga ia menenangkan diri. Maya pun ada benarnya. Gadis itu bukanlah Maya Larasati, kekasihnya yang telah meninggal.

Malam harinya, Maya kembali membuka buku harian. Ini sudah hampir tengah malam, namun mata Maya belum mau terpejam. Kantuk seolah-olah hilang dan perhatiannya tersita oleh kejadian sore hari tadi. Sebenarnya tubuh Maya sudah meronta minta diistirahatkan, tetapi ada dorongan yang lebih besar dalam dirinya untuk kembali membuka buku hariannya. Dan, ia sadar, itu karena Al.

Bandung, masih di tanggal yang sama.
Seharusnya aku menghafal nomor mobilnya agar aku tahu saat dia berbohong, aku bisa langsung mencecarnya. Kenapa aku begitu yakin tadi dia berbohong, ya? Ah, sudahlah. Itu haknya. Aku tidak punya hak untuk mengatur apa yang terucap dari mulutnya karena aku bukan seseorang yang pantas untuk berbuat itu. Meskipun aku sangat berharap bisa melakukannya.
Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi seperti ini? Dia harus bertanggung jawab terhadap rasa gelisah yang sekarang menyerangku dengan membabi buta.

Maya menutup buku hariannya, menyimpan kembali benda itu di antara berderet-deret buku di atas meja, lalu merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Matanya belum mau terpejam, padahal ini sudah tengah malam. Ia menyalakan radio pemberian Dahlan, berharap masih ada siaran di malam yang semakin tua ini.

Dalam kamarnya di apartemen mewah yang terletak di tengah Kota Kembang, Al terduduk di sofa sambil menatap nanar foto Maya Larasati di tangan kanannya. Perlahan, rasa kehilangan yang sempat memudar karena kehadiran Maya yang baru dikenalnya, kini mulai menjalar kembali ke hatinya. Dan, itu membuatnya harus merasakan sakit lagi. Sebuah rasa sakit yang aneh, pikirnya, karena ia tidak melihat luka di tubuhnya. Ya, yang terluka adalah hatinya.
“Pipiku terlihat lebih berisi, ya, di foto itu.”
Tiba-tiba sebentuk suara hadir di pendengaran Al. Namun, Al tak lagi terkejut seperti sebelumnya. Ia sudah paham siapa yang hadir di sampingnya kini.
“Ya,” sahut Al, “kamu terlalu banyak mengunyah potato chips dan minum berliter-liter soda dalam satu minggu.”
Sosok yang duduk di samping Al tertawa malu. “Itu salahmu, Al,” katanya kemudian. “Kamu bilang aku boleh memakan apa pun saat kamu mendapat promosi sebagai kepala cabang di tempat kerjamu. Dua hal itu — potato chips dan soda — adalah surga duniaku.”
Al menengok ke samping. Ia mendapati sosok kekasihnya tengah duduk dan memandang dirinya. Wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna kuning muda, gaun pemberian Al ketika pesta pertunangan. Tubuhnya berpendar, seolah-olah ada cahaya berlebihan yang menimpa sosok bernama Maya Larasati.
“Apa kabarmu, Maya? Apa kamu bahagia dengan kehidupan barumu di sana?”
“Tidak. Aku belum bisa bahagia, Al.”
“Kenapa?”
“Sebab aku belum melihatmu bahagia.”
Al kembali menatap foto di tangannya. “Itu sulit, Sayang. Hal yang membuatku bahagia telah hilang. Kamu pasti tahu apa itu.”
“Tapi, kamu dapat yang baru, kan? Terima saja hal itu dengan ikhlas. Bisa, kan, Dear?”
Al memalingkan wajahnya kembali ke sosok Maya Larasati. Ia melihat gadis itu tersenyum. “Apa maksudmu?”
Maya Larasati tersenyum, lalu menjawab, “Kamu pasti tahu maksudku.” Lalu, sosok berpendar itu pun menghilang.

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)


Hati-Hati Memakai Setting Waktu dalam Naskahmu


Pertemuan sebelumnya kita sudah membahas poin apa saja yang perlu dipercantik dalam naskah, khususnya novel. Kali ini kita akan membahas lebih detail soal pemakaian waktu. Detail yang satu ini erat kaitannya dengan pembentukan konflik dalam kisah yang kalian tulis.
Dalam banyak cerita yang mungkin pernah kalian baca, tentu kalian mendapati tokoh(-tokoh) di sana sedang melakukan perjalanan. Bisa dengan berjalan kaki, bersepeda, menumpang mobil teman, atau dengan angkutan umum. Untuk tiga jenis aktivitas yang saya sebut pertama, tidak masalah jika kalian memakai sembarang waktu, asal memang sesuai dengan kebutuhan. Misal, menumpang mobil teman setelah menghadiri sebuah undangan pesta yang kebetulan baru selesai lewat tengah malam. Atau, bersepeda menuju tempat kerja selepas subuh sebab jarak tempuhnya sepuluh kilometer. Si tokoh memang harus berangkat lebih awal jika tidak ingin terlambat. Itu risiko. Sebab, ia hanya punya sepeda dan tidak punya ongkos untuk naik angkutan umum seperti rekan-rekannya. Atau, si tokoh memilih berjalan kaki ke tempat tujuan karena memang jaraknya dekat, hanya seratus lima puluh meter, dan akan sangat merepotkan jika harus memakai kendaraan bermotor.
Bebas. Sesuai kebutuhan.
Namun, lain perkara jika si tokoh menumpang angkutan umum.
Untuk angkutan kota/desa, kebanyakan memang tidak berjadwal tetap. Rasanya masih aman untuk menulis semau kalian, meskipun rata-rata angkutan tersebut akan ngandang selepas pukul sembilan malam. Nah, kalau si tokoh harus naik kereta api, bus malam antarkota antarprovinsi (AKAP), atau pesawat, maka berhati-hatilah.

Kita bahas kereta dulu, ya.
Kalau kalian sudah biasa naik kereta, tentu paham bagaimana ritme pergerakan kereta. Kalian mungkin bahkan hafal nama-nama kereta, jadwal keberangkatan, juga kedatangannya. Tidak hanya itu, bagaimana suasana perjalanan pun rasanya sudah seperti di luar kepala untuk dituliskan.
Tetapi, bagi yang jarang, apalagi belum pernah naik kereta api, tentu akan menemui kesulitan jika tidak melongok jadwal. Tenang saja. Situs resmi KAI dan banyak agen perjalanan bisa dijadikan rujukan. Hanya saja, ya, kalian tetap harus berhati-hati dalam memilih. Sama-sama trayek Jakarta-Surabaya, ada yang lewat Semarang (jalur utara), ada juga yang lewat Yogyakarta (jalur selatan). Stasiun tujuan di Surabaya pun berbeda. Kereta jalur utara berujung di Stasiun Pasar Turi, sedangkan kereta jalur selatan berujung di Stasiun Surabaya Kota (terkenal pula dengan sebutan Stasiun Semut). Kalau sampai tertukar, modyaaarrr kowe dilok-lokno bonek *eh
Lagi, sama-sama trayek Surabaya-Ketapang/Banyuwangi, ada kereta pagi, ada pula kereta malam. Boleh juga dari Ketapang dilanjut naik bus Damri ke Denpasar, supaya bisa ketemu saya *hayyaaahhh

Sekarang bus malam AKAP.
Bus-bus malam rata-rata berangkat sore hari. Paling siang mungkin sekitar pukul dua. Dan, sampai di tempat tujuan pun rata-rata pagi. Tetapi, di tengah perjalanan tentu tidak ada yang bisa menduga. Kesempatan ini bisa kita pakai untuk memunculkan konflik.
Kalau saja si tokoh tidak tertinggal bus malam…
Kalau saja si tokoh tidak terlambat sampai terminal…
Kalau saja si tokoh tidak terlambat memesan taksi daring menuju terminal…
Kalau saja si tokoh tidak menerima telepon dari seseorang yang menyebabkan ia terlambat memesan taksi…
Kalau saja sehari sebelumnya si tokoh bersedia bicara dengan si penelepon…
Banyak yang bisa digali dari hanya adegan ketinggalan bus.
Bisa juga begini:
Si tokoh berharap bus malam tiba tepat waktu di kota tujuan sekitar pukul lima pagi, sehingga ia bisa sarapan nasi rawon dulu, di warung langganan dekat terminal, sebagaimana kebiasaannya jika berkunjung ke kota itu. Tetapi, sesuatu terjadi di tengah perjalanan. Misal, macet parah belasan kilometer sehingga bus tiba di kota tujuan ketika matahari sudah berada di puncak kepala, dan si tokoh tidak kebagian nasi rawon. Padahal, nasi rawon itu merupakan pembangkit semangatnya ketika harus bertemu dengan kerabat yang nasibnya kurang beruntung. Tidak ada nasi rawon, tidak ada tambahan semangat, membuatnya memandang segala sesuatu dengan sedikit berbeda.
Misal lagi, bus tersebut mengalami kecelakaan. Tidak parah, tetapi membuat semua penumpang harus dialihkan ke armada lain, sementara bus tersebut harus dibawa ke kantor polisi. Di bus pengganti, ternyata si tokoh bertemu dengan orang baru, lawan jenis, dan mereka terlibat percakapan. Lalu, jreeenggg, di imajinasi kalian terdengar musik latar lagu berjudul Sephia milik Sheila on 7.
Yang perlu diperhatikan juga adalah suasana selama perjalanan dengan bus malam tersebut.
Apakah si tokoh lebih sering terlelap? Kalau tidak, apa yang ia lakukan? Mendengarkan musik? Bermain ponsel? Membaca? Atau sesederhana menatap ke luar jendela bus? Ketika melewati daerah sepi, tentu tatapannya akan berbeda dengan saat bus melewati daerah ramai seperti perkotaan. Pemandangan apa yang ia nikmati? Alun-alun kota? Deretan pertokoan dan mal? Bagaimana suasana alun-alun kota ketika pukul dua dini hari? Apakah sama dengan suasana pukul delapan malam? Berlaku juga untuk pertokoan dan mal. Bisa jadi si tokoh melihat daerah pertokoan yang ternyata masih ramai meskipun sudah pukul dua pagi.
Dari situ bisa berkembang banyak sekali paragraf bagus yang akan memanjakan pembaca.

Nah, giliran moda pesawat.
Kalian yang pernah naik pesawat tentu paham bahwa moda yang satu ini terjadwal ketat. Maskapai mewajibkan penumpang hadir di bandara paling tidak sembilan puluh menit sebelum waktu keberangkatan. Para penumpang harus didata ulang, koper-koper harus diberi nomor dan masuk bagasi, beberapa lansia yang butuh penanganan khusus, ibu hamil yang harus melakukan pemeriksaan, dan banyak lagi poin yang harus dilewati. Semuanya perlu waktu dan tidak bisa diburu-buru.
Selain waktu keberangkatan, perhatikan pula waktu kedatangan, juga durasi transit jika memang diperlukan. Kita tidak bisa seenak jidat. Jika memang pesawat tepat waktu lepas landas dan mendarat pagi hari, jangan ditulis mendarat siang. Kecuali, kalau diceritakan pesawat mengalami keterlambatan lepas landas.
Dari adegan keterlambatan juga bisa dieksplorasi banyak detail untuk si tokoh. Kalau pesawat tepat waktu, bagaimana reaksinya? Kalau pesawat terlambat tiba, apa saja yang berubah pada rutinitasnya? Apakah yang terkena dampak hanya satu tokoh, atau ada tokoh lain? Semua dapat memperkaya konflik sehingga cerita kalian tidak jatuh membosankan.

Sama seperti detail lain, kalian bisa memanfaatkan internet untuk memastikan jadwal moda transportasi yang akan kalian gunakan dalam naskah. Jangan sampai kalian dapat teguran sayang dari editor hanya gara-gara salah memasukkan detail waktu, ya.

Selamat menulis.
Salam lemper, eh, cilok.

Memilih (episode 2)




(episode sebelumnya)


“Sayang, kita mau pergi ke mana sekarang?” tanya Al sembari menyetir mobil Peugeot 206 yang telah dimodifikasi menjadi mobil balap. Sungguh bukan mobil yang cocok untuk jalanan padat Kota Bandung. Namun, itu mobil favorit Al, hadiah dari sang ibu ketika Al lulus kuliah.
Maya tidak mendengar pertanyaan Al. Pandangannya menembus jendela gelap di sampingnya. Lampu-lampu, lalu-lalang orang, warna-warni cat pada dinding bangunan, membuatnya sedikit terlena.
Honey?” Al menyentuh bahu Maya.
“Ya?” Maya menoleh.
“Kita ke mana sekarang?”
Maya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Pilihkan saja untukku. Kamu tahu apa yang paling aku suka, Al.”
Giliran Al tersenyum. “Ya, aku tahu,” gumamnya.
Senyum Maya makin mengembang, meskipun dalam benak Al, itu bukan jenis senyuman yang biasanya. Bahkan, riasan tipis di wajahnya tak dapat menutupi rona pucat. Namun, Al tak mau berburuk sangka. Mungkin memang Maya agak lelah setelah seharian bekerja di kantor, pikir Al.
“Kita ke Lembang,” ujar Al.
“Boleh aku yang menyetir sekarang, Al?” pinta Maya setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam. “Sudah lama aku tidak merasakan sensasi mobil ini.” Wajahnya berubah, auranya berganti. Maya menjadi ceria dan itu yang membuat Al sedikit lega malam ini. Namun, detik berikutnya, Al malah cemas.
“Kamu serius, Honey? Bukannya kamu pernah bilang agak kesulitan menyetir malam hari tanpa kacamata?”
“Mataku masih normal, Al. Minus tiga per empat bukan masalah. Dan, ya, aku serius, Honey. Sekarang menepilah, dan biarkan aku menyetir,” jawab Maya tanpa beban.
Al menepikan mobilnya, berhenti, dan membiarkan Maya mengisi bangku pengemudi. Ini adalah perjalanan yang panjang, dan ini Sabtu malam. Bukan malam minggu namanya kalau jalanan tidak ramai, bahkan saat ini hampir bisa dikatakan macet. Tetapi, di situlah sensasinya. Maya sangat menyukai suasana itu.
Malam semakin tua. Jam di tangan Al menunjukkan pukul sebelas malam. “Kamu tidak mengantuk, Honey?” tanya Al.
“Belum. Kantukku hilang sendiri kalau sudah pegang setir,” jawab Maya. Lagi, gadis itu melempar senyum dengan makna aneh menurut Al. “Hei, kenapa dari arah berlawanan jalanan sepi sekali? Hanya motor-motor yang lewat,” tiba-tiba Maya mengubah topik percakapan.
“Aku kurang paham, Honey. Mungkin memang jarang orang yang bepergian ke arah kota.”
“Aku akan coba menyalip. Tanjakan ini tidak terlalu curam.”
“Kupikir sebaiknya jangan, Maya.”
Jika Al menyebut nama Maya, berarti ia sedang tidak ingin disanggah. Ucapannya serius dan ia berharap Maya menuruti apa yang ia katakan. Dan, memang, menyiap (istilah keteknikan untuk menyalip -- pen) di daerah tanjakan sangat berbahaya.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu lihat sendiri, kan, lajur sebelah sepi sekali?”
Perlahan Maya membelokkan mobil ke kanan dan melaju di lajur menuju Bandung. Dua puluh meter pertama, tidak ada hambatan. Lalu, Maya menambah kecepatan mobil Al.
“Maya, lebih baik kamu kembali ke lajur kiri,” ucap Al, lebih mirip perintah. “Bahaya, Maya. Kamu tidak tahu apa yang akan muncul di balik tanjakan itu.”
“Tenang saja, Sayang,” sahut Maya dengan santai.
Kecepatan mobil sudah lebih dari tiga puluh kilometer per jam dan masih terus bertambah. Lalu, dari balik tanjakan, muncul kendaraan besar berkecepatan tinggi. Truk itu tidak bisa mengurangi kecepatannya karena sedang dalam posisi menurun. Maya kaget dan langsung membanting kemudi ke kanan.
Hal terakhir yang Al ingat adalah pohon perindang besar yang seolah-olah menghampirinya dengan kecepatan cahaya.

***


Al menatap tubuh kaku kekasihnya. Rahang Al terkatup rapat, ia tak sanggup berkata-kata. Dua orang perawat sedang melepas seluruh alat penunjang kehidupan yang menancap di beberapa bagian tubuh Maya. Jarum-jarum itu sudah dua bulan menjajah kulit halus Maya. Seorang dokter wanita berdiri di samping Al. Berkali-kali sang dokter itu mengatakan sesuatu pada Al, tetapi Al tidak mendengarkan. Al tahu, dokter itu sedang mencoba menghibur Al dan itu sungguh sudah tidak ada gunanya lagi menurut Al. Toh perkataan sang dokter tidak dapat mengembalikan napas Maya, perempuan yang teramat Al cintai.
Perawat-perawat itu masih sibuk dengan tubuh Maya. Sejujurnya, Al tidak kuat melihat pemandangan itu, tetapi ia tidak bisa menangis. Tidak! Entah mengapa. Mungkin liang-liang di kedua matanya telanjur menderita kekeringan, karena selama dua bulan ini terus-menerus mengeluarkan isinya. Atau, mungkin Al sudah lupa caranya menangis. Namun, hatinya tetap menangis. Menangisi kepergian Maya yang begitu cepat.
Al menghempaskan diri ke sofa di kamar rawat Maya. Tatapannya masih nanar ke arah tubuh Maya. Ia melihat di tangan kiri Maya. Di jari manis wanita itu, dulu sempat tersemat cincin pertunangan. Kilau cincin itu masih tampak di mata Al, walaupun benda itu sudah tersimpan rapi di lemari pakaiannya. Warna perak kesukaan Maya dengan berlian delapan belas karat berwarna merah muda. Al sendiri yang memilihkan cincin itu untuk Maya. Walaupun sempat ragu, ternyata Maya menyukai pilihan Al. Dan, Al tidak pernah lupa seperti apa ekspresi Maya ketika ia menunjukkan cincin itu.
Siang ini matahari sedang berada tepat di atas kepala, namun sengatannya seolah-olah tunduk pada lapisan tipis awan-awan kelabu bulan April. Pusara Maya masih basah. Para pelayat sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Al masih berdiri di samping pembaringan terakhir Maya. Lagi-lagi, Al tidak sanggup berkata satu patah pun, apalagi untuk menangis.
“Menangislah, Al.” Sebentuk suara hadir di liang pendengaran Al. Ia mencari sumber suara tersebut dan ia mendapati sosok Maya berada di sisi lain pusara, tepat berhadapan dengannya.
“Maya?” Akhirnya bibir Al mengucap sesuatu, walaupun terdengar sangat lirih.
“Aku tidak pernah melarangmu menangis, kan? Dengan melihatmu menangis, berarti aku tahu, kamu memang mencintaiku dengan tulus.”
“Benar, kamu Maya?” Al masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menengok ke pusara Maya, lalu kembali memandang sosok yang berwujud seperti Maya di hadapannya.
“Iya, ini aku,” sahut sosok tadi. “Jangan takut, Al. Aku cuma ingin melihatmu sekali lagi. Karena, aku tidak suka, kamu sepertinya belum rela aku pergi dari dunia ini.”
“A—aku… tidak sanggup… untuk menangis, Maya…”
Sosok Maya itu tersenyum, lalu bergerak mendekati Al. Dan, sekarang sosok itu sudah di samping Al, ikut memandangi pusara yang masih baru itu.
“Selama hidup, aku tidak pernah punya orang-orang yang begitu mencintaiku. Orang tuaku…, kamu sudah tahu bagaimana orang tuaku. Sepertinya sudah ratusan kali kuceritakan soal mereka padamu. Mereka hanya memanjakanku dengan uang, bukan dengan kasih sayang.” Maya memandang Al. “Mengenalmu, mungkin itu bulan-bulan terindah dalam hidupku. Singkat, tapi indah.”
Tiba-tiba, satu tetes cairan bening mencuri keluar dari liangnya, membasahi pipi kiri Al, dan akhirnya jatuh ke bumi. Sosok Maya memalingkan wajahnya ke arah Al, lalu tersenyum.
“Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, Al,” ujarnya, lalu tersenyum kepada Al.
Sosok Maya memudar, lalu benar-benar hilang dari hadapan Al. Meninggalkan Al dengan satu lagi tetes bening yang meluncur dari sudut matanya.


***

Hari ini Al tidak ingin berlama-lama duduk berdoa di atas pusara Maya. Selalu teringat olehnya masa-masa ketika mereka bersama memadu cinta. Dan, itu agak menyesakkan dadanya. Aku harus bisa keluar dari dalamnya kesedihan ini. Aku tidak boleh larut terlalu lama dalam kepedihan hati ini. Bergemuruh banyak hal dalam hatinya.
Sepeninggal Maya, Al memang seperti tak punya pegangan hidup. Beberapa pekerjaannya terbengkalai, sampai-sampai sekretarisnya kerepotan menerima komplain dari pegawai lain. Selepas bekerja, Al tidak pernah langsung pulang. Ia pasti singgah ke makam Maya.
“Ini sudah hari keseratus,” Al menyentuh nisan Maya. “Apa kamu bosan, terus-terusan aku sambangi? Kuharap tidak.”
Angin membelai lembut wajah Al. Matanya terpejam. Ia menikmati embusan angin seolah-olah itu sentuhan tangan Maya. Makin lama, angin makin kencang, membawa serta arak-arakan kelabu di atas sana. Sebentar lagi air akan tumpah dari langit. Al kembali membuka mata, pusara Maya sudah dijatuhi butir-butir air hujan. Namun, Al masih saja berada di tempat yang sama.
“Kadang aku berpikir untuk terjun saja dari tepi fly over, Maya. Kupikir itu cara tercepat untuk sampai ke tempatmu.”
Tiba-tiba, di tengah hujan yang mulai menderas, suara petir menggelegar dengan gagahnya.
“Ya, ya. Aku tahu, kamu tidak akan setuju. Tapi, bagaimana kalau aku memaksa?” kata Al lagi.
Petir kedua kembali menggelegar, kali ini lebih keras. Dan, hujan juga tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin lebat.
“Kamu tahu, Sayang?” Al membelai lagi nisan Maya. “Aku lupa seperti apa rasanya kehilangan, sampai aku kehilangan kamu. Waktu ayahku meninggal tiga tahun yang lalu, aku masih bisa tertawa, masih bisa berpikir logis. Yah, masih bisa apa saja. Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang sama ketika kamu pergi, Sayang. Aku tahu, ada yang salah di otakku. Mungkin terlalu banyak terisi dirimu.”
Al tersenyum getir. Ia merasa dirinya tengah melayang-layang di sebuah tanah lapang. Ia melihat sesosok tubuh bersimpuh di dekat sebuah pusara. Air hujan menghantam tubuh tegap sosok berkemeja biru muda itu. Lalu, ada sebentuk tangan yang tiba-tiba saja menggenggam jemari Al yang masih saja melayang-layang.
“Waktumu belum tiba, Al. Masih banyak yang belum kamu rasakan.”
Itu suara Maya, batin Al. Ia melihat sosok yang ikut juga melayang-layang di sampingnya, ternyata memang Maya.
“Jangan dulu berpindah dunia, Al. Dia membutuhkanmu. Lebih membutuhkanmu dibanding aku membutuhkanmu.”
“Apa maksudnya?”
Maya tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Perlahan, sosoknya memudar, berganti sosok lain yang lebih nyata.
“Nak?” Seorang pria paruh baya menepuk-nepuk bahu Al. “Bangun, Nak.”
Mata Al perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya sore yang terang. Ia sedikit heran, benarkah ia bangun masih di hari yang sama. Bukankah tadi langit begitu gelap dan petir menyambar-nyambar, tanyanya dalam hati.
“Siapa namamu, Nak?” tanya sosok di hadapan Al.
“Nama?” Al mendadak bingung.
“Ayo, Nak. Kita hangatkan diri di rumah saya,” ajak pria tadi sambil menuntun tubuh Al yang masih belum mendapat keseimbangan berjalan.
Tak jauh dari pusara Maya, tepatnya di tepian komplek pemakaman, terdapat sebuah rumah kecil. Sederhana, namun bersih dan nyaman. Itulah kesan yang ditangkap Al sekilas setelah melihat rumah yang ternyata milik penjaga kompleks pemakaman itu. Al duduk di amben, sebuah tempat duduk lebar dan agak panjang yang terbuat dari bambu. Sementara pria tua tadi masuk ke dalam rumahnya, Al duduk bersila di amben sambil melepas pandangan ke arah kompleks pemakaman itu. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat dengan jelas pusara Maya.
Tak berapa lama, pria tua tadi kembali ke teras dan menemani Al duduk di amben. Kemudian, muncul seorang gadis yang membawa nampan. Gadis itu meletakkan satu cangkir berisi kopi hitam, satu gelas besar berisi teh hangat — masih terlihat uap mengepul dari cairan berwarna merah kecokelatan itu — dan sepiring singkong rebus.
“Duduklah dulu,” ujar pria tua tadi kepada si gadis. Rupanya gadis itu adalah anaknya. Lalu, ia beralih melihat Al. “Nama saya Dahlan dan ini putri saya. Kamu sudah mengingat siapa namamu, Nak?”
Al mengangguk, tetapi matanya belum lepas memandang gadis yang duduk di samping Dahlan. “Saya Alhatiry Nur Oktavian. Biasa dipanggil Al,” katanya sambil menengok sebentar ke arah Dahlan.
“Nak Al sedang apa di sana? Sudah tahu hujan, kok, tidak mau berteduh,” ujar Dahlan.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Apa tadi itu saya pingsan?”
“Sepertinya begitu. Lama sekali saya berusaha membangunkan Nak Al.”
Mata Al kembali ke paras putri Dahlan. Kali ini ia menjelajah paras itu lebih teliti lagi. Cantik, katanya dalam hati. Meski tidak secantik gadis-gadis yang sering ia lihat di mal atau di tempat kerjanya, tetapi Al merasa gadis itu sungguh rupawan. Dan, mata gadis itu, pikir Al, seperti mata yang sudah sangat sering ia lihat.
Seperti mata yang selalu ada untuk diriku.
“Kalau boleh tahu, siapa nama putri Bapak?” Al memberanikan diri untuk bertanya. Ia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia perlu menanyakan hal itu. Ia hanya tahu, ia harus melakukannya.
“Dia bukan putri kandungku. Percaya atau tidak, gadis ini saya temukan terbaring nyaman berselimut di dalam sebuah keranjang bayi. Seseorang meletakkan keranjang bayi di amben ini, dua puluh dua tahun yang lalu. Seseorang yang sepertinya bukan dari kalangan bawah karena keranjang bayi itu begitu bagus. Saya tidak tahu siapa yang tega berbuat seperti itu kepada gadis ini,” jelas si pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Walau begitu, saya tetap menganggapnya sebagai putri kandung saya. Di samping keranjang bayi itu, ada satu tas besar berisi pakaian bayi dan selembar kertas. Tampaknya itu surat dari ibu si bayi. Tapi, tidak bisa juga dibilang surat, sebab isinya sangat pendek, hanya beberapa kalimat saja. Si ibu minta supaya bayi itu dirawat baik-baik. Di kertas itu juga dituliskan nama si bayi.”
Dahlan diam dan memperhatikan langit-langit teras rumahnya. Matanya masih berkaca-kaca, walau tak menumpahkan apa-apa di sudutnya.
“Dan, namanya?” tanya Al.
“Kalina Mayasari,” jawab Dahlan. “Panggilannya Maya.”

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)