Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Adab Berkirim Surel Permohonan Cetak Naskah ke Penerbit

Sebagai editor di sebuah penerbitan – juga ngerangkap jadi tukang review naskah temen-temen – saya sudah cukup banyak membaca. Dan, macam-macam pula yang saya temukan sejak saya nyemplung ke dunia fiksi. Mulai dari naskah kece nan seksi, sampe yang masuk kategori sotoy. Tapi, kali ini yang dibahas bukan soal gimana caranya nulis naskah kece nan seksi. Saya akan berbaik hati menganggap siapa pun yang membaca artikel ini udah pada hebring nulis naskahnya. Naik satu tingkat lagi, ini soal bagaimana basa-basi kalian ketika menyodorkan naskah ke penerbit.

Pertama, pastikan alamat surel penerbitnya nggak ketuker sama alamat surel pacar kalian ya. Kan bisa malu sampe ke ubun-ubun kalo beneran ketuker hihihi…

Kedua, salam pembuka. Ini cukup penting lho. Kalian nggak mungkin nyelonong gitu aja kalo masuk ke rumah orang lain, kan?! Apalagi sambil bawa-bawa granat (read: naskah). Oh, no!
Salam pembuka yang lazim dipakai, antara lain:
1.       Salam Hormat
2.       Dear Publisher ABC
3.       Yang terhormat admin Publisher ABC
Contoh: Dear Jentera Pustaka

Ketiga, kemukakan tujuan kalian mengirim surel. Tentunya dalam rangka menawarkan naskah kalian untuk diterbitkan. Maka, gunakanlah kalimat-kalimat yang tidak berkesan memerintah.
Contoh: Bersama surel ini, saya mengirimkan naskah untuk diterbitkan di Jentera Pustaka dalam bentuk buku cetak dan e-book. Naskah yang saya ajukan berjudul “Our Moments”, merupakan novel yang diperuntukkan bagi pembaca dewasa muda. File terlampir.

Keempat, sertakan pula sinopsis dan narasi singkat mengenai keunggulan naskah. Sinopsis amat penting. Sebab, reviewer tidak mungkin langsung membaca naskah kalian yang panjangnya bisa nyaingin jembatan suramadu (eeaaa…). Reviewer pasti akan membaca lebih dulu sinopsisnya agar tahu naskah macam apa yang ada di tangannya saat itu. Sinopsis lazimnya tidak lebih dari dua halaman. Dari situ, biasanya reviewer sudah bisa menilai apakah naskah tersebut layak terbit atau tidak. Sinopsis bisa ditulis di file yang berbeda dengan naskah.
Jika reviewer sudah terpikat dengan sinopsis kalian, maka yang poin berikutnya yang menentukan adalah narasi keunggulan naskah. Nggak perlu panjang-panjang. Beberapa paragraf pun cukup. Kenapa narasi ini penting? Bukannya nggak mungkin dua otak yang berbeda memiliki ide cerita yang sama. Mungkin sudah ribuan novel bercerita soal kasih tak sampai, atau cinta segitiga, atau tentang perjuangan seorang perantau. Tapi kenapa para penerbit itu masih juga tertarik untuk mencetaknya? Itu karena tiap naskah memiliki cara memasak yang berbeda, mungkin juga racikan bumbu yang berbeda, sehingga menghasilkan rasa yang berbeda ketika dinikmati. Di narasi inilah kalian bisa membeberkan bumbu rahasia kalian. Kalo kalian nggak bisa menunjukkan kelebihan naskah kalian dibanding yang lain, reviewer bakal menganggap naskah kalian pasaran. Atau yang paling parah, bakal dianggap naskah hasil nyontek. Kalau reviewer-nya lagi baik hati, kemungkinan naskah kalian akan masuk daftar antrian untuk dibaca, berharap bahwa sebenarnya naskah kalian unik cuma kalian nggak tau how to sell it.

Kelima, kalimat penutup. Kalo ada pembuka, pastikan pula ada penutup. Di bagian ini, plisss, be a humble person as far as you can do. Sebab, kalianlah yang sangat berharap naskah kalian diterbitkan. Tapi, ungkapkanlah dengan cara yang elegan (tsaahhh…)
Contoh: Besar harapan saya, naskah tersebut dapat diterbitkan oleh Jentera Pustaka. Terima kasih.

Contoh-contoh di atas bukan merupakan harga mati. Kalian bisa memodifikasinya sesuai kebutuhan tanpa mengurangi kerendahan hati kalian. Sebab, terkadang, basa-basi pada surel bisa membuat naskah kalian dilirik, atau tidak sama sekali dan langsung masuk tempat sampah. Yang digituin sih biasanya yang suka ngirim naskah tanpa menyertakan surat pengantar dokter hihihi…


So, selamat mencoba :)))

[Fiksi Fantasi] Pensil Frea

Sumber Gambar


Sudah pukul enam sore. Frea, gadis tiga belas tahun itu meletakkan buku dongeng milik adiknya, Molly, yang masih berumur empat tahun. Molly sekarang sedang disuapi melon oleh ibunya. Frea masuk ke kamarnya. Ia ingat, PR Matematika yang tadi siang ia kerjakan, belum tuntas. Masih ada empat nomor lagi.

Sebenarnya, bukan ia yang sengaja menunda menuntaskan tugasnya. Tapi, tadi pensilnya patah. Pun sudah teramat pendek. Ia keluar kamar dengan membawa dua pensil baru. Rautan pensil ada di kamar kerja ayahnya – tidak boleh dibawa ke ruangan lain, titah sang ayah. Jadi, tiap hendak meraut pensil, Frea harus ke kamar ayahnya, yang mana kamar itu harus melewati zona bermain sang adik di ruang tengah. Siang itu Molly merajuk, tidak mau ditemani ibunya. Molly ingin Frea duduk di sampingnya dan membacakan buku dongeng, seperti yang sering ia lakukan. Frea menghela napas. Pensil-pensilnya yang masih utuh itu ia masukkan ke kantong jaket.

Sang ayah baru akan pulang larut malam nanti. Hari ini Mr. Broderick bertugas di rumah sakit sampai pukul sebelas malam. Itu berarti Frea bisa bebas menjelajah kamar kerja ayahnya. Frea suka aroma buku-buku tua koleksi ayahnya. Buku-buku kedokteran, novel-novel, majalah-majalah terbitan belasan tahun yang lalu, dan belakangan, Mrs. Broderick menambahkan satu rak lagi di sudut ruangan untuk buku-buku dongeng Molly yang sekarang jumlahnya sudah mencapai ratusan. Lebih cocok jadi perpustakaan alih-alih kamar kerja, pikir Frea.

Frea tersandung salah satu buku dongeng Molly yang tergeletak di lantai. Ia meringis. Ujung ibu jari kakinya terantuk sudut buku yang lancip. Buku itu terbuka, dan sekilas Frea melihat gambar para tokoh dongeng tersebut. Ada sang putri, pangeran, makhluk perpaduan naga dan kuda, beberapa kurcaci, dan pohon-pohon bonsai yang bisa bicara. Frea sendiri sudah sekitar lima kali membacakan buku itu untuk Molly.

Mengabaikan nyeri pada jarinya, Frea terus saja melenggang ke meja kerja ayahnya. Di sana rautan pensil itu diletakkan. Frea memutuskan akan langsung ke kamarnya untuk menyelesaikan PR Matematika. Masih ada besok untuk menyambangi buku-buku tua di ruangan ini, pikirnya.

Batang pensil sudah masuk ke lubang rautan. Tapi, tiba-tiba saja ada udara yang bergerak di depan wajah Frea. Poninya berantakan. Matanya kemasukkan debu. Sejenak Frea bingung dengan apa yang terjadi. Lalu, ia melihat jendela ruangan itu belum ditutup.

Ah, Mom pasti terlalu sibuk sampai lupa menutup jendela kamar kerja Dad, pikirnya.

Frea menutup jendela, lalu kembali meraut pensilnya. Namun, tiap putaran yang ia buat, ada bunyi aneh menyertainya. Bukan, bukan dari rautan pensil. Di telinga Frea, suaranya terdengar seperti dari sudut ruangan. Suara yang mirip deritan engsel pintu yang lama tidak diminyaki.

Tangan Frea berhenti sejenak. Telinganya berusaha menangkap sesuatu yang janggal. Tapi, tidak terjadi apa-apa. Kamar kerja itu kembali sunyi.

Frea selesai dengan batang pensil pertamanya. Kini, batang pensil kedua mulai ia raut. Dan, bunyi derit itu kembali!

Lalu, BLAARRRR!!!

Frea terlonjak. Bagaimana mungkin kilat datang menyambar dengan tiba-tiba, padahal langit sedang teramat cerah? Buru-buru ia keluar dari kamar kerja ayahnya dan bertanya pada ibunya.

Mom, did you hear that?” Napas Frea tersenggal-senggal.

Hear what?” Mrs. Broderick menatap Frea keheranan. “Kau keliatan seperti baru saja berlari sepuluh mil, Frea. Apa PR-mu sudah selesai?” tanya ibunya lagi yang sudah kembali menyuapi Molly.

“Be… lum…,” gumam Frea. Kakinya masih terpaku di lantai. Otaknya mencoba merekonstruksi apa yang terjadi di ruang kerja ayahnya.

Kamar kerja Dad mulai berhantu, simpulnya.

Frea kembali masuk ke kamar kerja ayahnya. Ia berjongkok, mengambil pensil yang jatuh ke lantai. Dan ketika bangkit, di hadapannya tersaji pemandangan yang tidak biasanya. Pensilnya kembali jatuh ke lantai.

“Halo, Frea,” sapa sosok wanita di depannya. Lalu, pintu tertutup begitu saja, seolah ada tangan tak kasat mata yang mendorong.

Rahang Frea bergerak-gerak, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia tahu, matanya tidak asing dengan beberapa sosok yang kini berdiri di depannya. Terlalu familier, malah. Si wanita memakai gaun pesta berwarna biru muda yang terlihat mewah, kerlap-kerlip di sana-sini, rambut pirang panjang dikepang rapi dengan hiasan bunga-bunga yang nampak seperti aslinya, juga sepatu berwarna senada dengan gaunnya. Di samping si wanita, si pria memakai baju ala pangeran dari negeri dongeng. Lalu, di belakang mereka ada sekitar lima kurcaci dengan pakaian lusuh dan terkena noda lumpur. Semuanya bertopi, dengan warna yang berbeda-beda. Kemudian ada makhluk yang merupakan perpaduan naga dan kuda – dari perut ke atas menyerupai naga, lalu sisanya berbadan kuda. Dan di kaki naga-kuda itu ada pohon kecil dengan daun yang cukup rimbun mirip pohon oak.

Tapi oak itu terlalu kecil. Dan semuanya terlalu familier, ulang benak Frea.

Lalu, tumit Frea terantuk sesuatu yang tergeletak di lantai. Frea melirik ke bawah. Buku dongeng Molly masih di sana, masih terbuka halamannya. Tapi, Frea tidak mendapati gambar para tokohnya di halaman itu.

Frea kembali memandang sosok-sosok di hadapannya. “Apa kalian….”

“Ya, ya, ya. Kami memang keluar dari buku dongeng. Ala kazam!” Si pria menggerak-gerakkan tangannya seolah hendak menakut-nakuti anak kecil.

Lalu, PLAAAKK!!!

“Aww….” Kepala si pria ditampar dari bekalang oleh si wanita.

“Sopanlah sedikit, Edward,” kata si wanita. “Maafkan sepupuku, Frea. Ia kadang suka seenaknya sendiri kalau bicara. Maklumlah, ia terlalu sering bergaul dengan para Troll.”

“Sepupu?” Dahi Frea mengernyit.

“Ya,” sahut si wanita. “Kenapa? Ada yang salah dengan hal itu?” Giliran ia yang bingung.

“Tidak. Maksudku, kalau memang kalian keluar dari buku dongeng adikku, berarti kau adalah Putri Ilana dari Kerajaan Barat. Dan kau,” Frea menunjuk si pria, “adalah Pangeran Edward dari Kerajaan Timur.”

“Dan kami adalah kurcaci dari Hutan Grimmlock,” sahut si topi merah.

“Dan aku adalah Horgon. Juga dari Hutan Grimmlock,” tambah si naga-kuda.

“Kami bangsa Trepeak, bonsai yang bisa bicara, juga dari Hutan Grimmlock,” ujar si bonsai oak.

“Tapi…, sepupu?” Frea tidak mengindahkan si naga-kuda, si bonsai oak, dan kurcaci-kurcaci berpakaian lusuh itu.

“Kami punya kehidupan yang tidak diketahui pembaca, Frea. Pembaca sepertimu hanya tahu apa yang tertulis di buku. Kalian tidak pernah tahu pohon silsilah keluarga kami. Ayahku dan ayah Edward bersaudara. Tapi, masing-masing mendapat warisan wilayah yang berjauhan. Ayahku mendirikan Kerajaan Barat, dan ayah Edward mendirikan Kerajaan Timur. Tapi pencipta kami ternyata punya pikiran berbeda. Yah, seperti yang kau baca sendiri,” jelas Ilana.

“Tapi, kalian memang seharusnya jadi pasangan kekasih yang menikah di akhir cerita, kan?!”

“Oh, come on, Frea. Apa kau tidak bosan membaca cerita kuno semacam itu?” tanya Edward.

“Terjemahannya,” tukas Ilana, “kami yang bosan mendapat peran seperti itu di buku-buku dongeng.”

“Bosan?” Frea makin bingung.

“Pernah nonton Night at the Museum?” tanya Edward.

Frea mengangguk pelan.

“Seperti itulah kami,” sambung Edward.

“Kalian hidup di malam hari?”

“Ya. Ehm, tidak. Maksudku, ya, kami keluar dari buku, kami hidup, atau apa pun sebutan kalian. Tapi, tidak selalu malam hari.”

“Maksud Edward,” potong Ilana, “kejadian seperti ini hanya berlangsung ketika kalian tidak ada di rumah. Kami sering menonton televisi, memutar beberapa DVD, membaca buku-buku ayahmu….”

“Mencicipi pai apel yang lezat,” tukas si kurcaci bertopi biru.

“Kau makan pai?!” tanya Frea, dan si kurcaci pun mengangguk. “Pantas saja Mom selalu mengira rumah ini dihuni tikus-tikus raksasa karena pai apelnya selalu hilang tanpa bekas.”

“Tapi, Frea,” Ilana memotong lagi, “kau pasti tahu bahwa bukan tanpa tujuan kami menampakkan diri di hadapanmu. Kami menempuh risiko yang besar. Bisa saja kau ketakutan melihat kami muncul, lalu kau bercerita pada ayah-ibumu, lalu mereka tidak percaya dan akhirnya menganggap kau adalah anak aneh yang punya daya khayal berlebihan.”

“Owh, kalian tidak perlu khawatir dengan itu,” kata Frea. “Aku sudah terbiasa dianggap seperti itu. Tambahkan saja huruf K di belakang namaku, lalu kau akan tahu maksudnya.”

Edward tertawa. “Tidak, Frea. Aku bahkan tidak berpikir ke situ.”

“Lantas, apa mau kalian?” tanya Frea.

“Sudah kubilang, kan, kalau kami sedang bosan?!” Edward memungut pensil Frea dari lantai. “Aku penasaran, bagaimana reaksi pembaca jika melihat seorang pangeran dari abad delapan belas ternyata adalah penggemar gokart dan suka menonton Spongebob Squarepants.”

Frea memutar bola matanya. “Gokart belum ditemukan saat itu, Edward. Dan, kau terlalu tua untuk menonton Spongebob.”

“Aku tidak peduli.” Edward menyodorkan pensil di tangannya kepada Frea. “Ambil kembali pensilmu, Frea. Tulis sesuatu untuk kami. Sesuatu yang bukan putri-dan-pangeran-bertemu-lalu-menikah-dan-hidup-bahagia-selamanya. Tulis saja. Kau punya jagat raya yang luas di kepalamu.”

“Baiklah. Akan kutulis sesuatu tentang kalian,” ujar Frea.

“Tapi, sebelum itu,” ujar Ilana, “bukankah kau punya PR Matematika yang harus dikerjakan?”

Frea meringis. “Yeah, Matematika.”


Kabut tebal kemudian menyelubungi Ilana, Edward, dan makhuk-makhluk lainnya. Dengan satu kedipan mata, kamar kerja itu kembali lengang.

Frappe dan Roti Bawang



Aku bermimpi. Aneh. Karena beberapa hari terakhir, tidurku… ehm… gelap. Dan yeah, aku memang bermimpi, saat tidur siang yang amat sangat tidak sengaja – di meja kantor!

Kamu, duduk di seberang meja, menandaskan potongan terakhir spicy chicken wings – favoritmu! – dan aku hanya bisa menonton. Tangan-tanganku seolah berbobot ribuan ton. Aku tidak bisa bergerak. Aku juga tidak tahu apa aku bisa membuat senyum dengan otot-otot wajahku. Yang jelas, aku senang melihat wajahmu, di mimpiku.

Ingin tahu rasanya? Bayangkan saja sebidang kebun bunga. Wangi dan warna-warni.

“Rotinya nggak dimakan?” tanyamu. Tapi, aku tidak mendengar suaraku menjawab pertanyaanmu. Dan kamu pun membiarkan roti-roti itu, utuh!

“Moy….” Kamu menyeka bibirmu dengan selembar tisu, lalu mengoyak-oyaknya, seperti biasa. Seperti… kamu! “Kamu nggak lapar?”

Oh, ya. Aku sangat lapar. Bisakah kamu membawa potongan roti bawang itu ke mulutku? Karena sepertinya, tangan-tanganku belum mau bekerja sama.

“Moy…, bicaralah.” Sesuatu yang hangat menyelimuti tangan kiriku. Ada jemarimu di sana. Nyaman.

“Ru….” Oke! Aku mendengar suaraku. “Bawa aku ke tempat lain?”

“Kenapa?”

“Pokoknya, bawa saja aku ke tempat lain. Tempat yang lebih baik dari ini.”

Kamu mengedarkan pandanganmu ke seluruh ruangan. Restoran itu sedang ramai, tapi tetap terlihat nyaman dengan lampu-lampu lembutnya.

“Nggak ada yang salah dengan tempat ini, Moy. Aku suka di sini….”

“Ya, tapi aku nggak suka,” potongku. Tiba-tiba saja, satu tanganku sudah mengaduk-aduk cairan cokelat muda dalam gelas tinggi.

“Habiskan saja frappe-mu, lalu kita pergi.” Kedua alismu hampir menyatu.

Ah, Ru…. Marah pun, kamu tetap terlihat menawan. Aku tidak bisa membayangkan jika wajah marahmu menghilang dari memori otakku.

“Ru?”

“Ya?”

“Kenapa kita nggak pernah bertemu?”

“Memangnya kamu pikir kita lagi ngapain sekarang?”

Aku menggeleng. “Kamu tau maksudku, Ru. Jangan mengelak. Jawab aja.”

Kamu, mengambil selembar tisu lagi. Kamu melumat tisu itu sampai tak berbentuk. Aku tahu, kamu membantai tisu tak berdosa itu hanya karena bingung harus berbuat apa. Papaya float-mu sudah tak bersisa, dan kamu tetap tidak berani menyentuh roti bawang – masih utuh dan sudah dingin!

Aku menunggu, tapi kamu belum bicara apa-apa.

Ah, inginnya aku memusnahkan saja semua orang – dan juga benda-benda! – di ruangan ini. Atau mungkin, aku dan kamu bisa berteleportasi ke pantai, supaya kamu bisa bicara tanpa ragu. Bukankah kita masih berada di alam serbabisa? Penasaran, bagian otak sebelah mana yang bertugas mengatur adegan-adegan dalam mimpi? Aku ingin sekali memanipulasinya!

“Aku rasa,” kamu mulai bicara, “kamu seharusnya berhenti menunggu.”

Ya, ampun, Ru. Tahu apa kamu soal menunggu? Kamu tidak pernah menunggu, karena kamu tidak pernah mengharapkan kehadiranku. Kamu tidak perlu menunggu, karena kamu punya semua yang kamu butuhkan. Kamu tidak suka menunggu, karena kamu tahu, dan kamu sadar, aku tidak pernah nyata untuk kamu.

“Maafin aku, Moy. Ini semua salah.”

Aku mendapati pandanganku penuh dengan warna cokelat muda. Tangan-tanganku nyaris membeku, menggenggam gelas berisi frappe yang dingin. Lalu, ekor mataku menangkap gerakan piring berisi roti bawang menjauh…, mendekat ke arahmu. Dalam beberapa menit saja, delapan potong roti bawang itu lenyap.

“Kamu tau, Ru?! Seharusnya mereka nggak menyebutnya bintang jatuh.” Kamu berhenti mengoyak-oyak lembar tisu terakhir. Kamu mulai mendengarkanku. “Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat. Bintang nggak pernah punya luka gores. Bintang cuma ingin tempat baru untuk… hidup lebih lama lagi. Meskipun dengan bergerak, bintang-bintang itu harus kehilangan sebagian tubuhnya.”

Lama sekali kamu cuma bisa diam. Kedua alismu menyatu dengan cara yang berbeda. “Maksud kamu apa, Moy?”

Aku baru mau menjelaskan, tapi semuanya buyar!
                
Sial! Ponsel kampret!
                
“Halo….” Siapa pun yang mendengar suaraku saat itu, pasti mengira aku baru saja menelan puluhan butir obat sakit kepala. Untungnya, kantor masih kosong. Semua orang belum kembali dari rehat makan siang. Tapi, suara tawa di seberang malah membuatku ingin menenggelamkan ponselku dalam semangkok bubur basi.
                
“Tidurmu lucu, Moy.”
                
Lalu, klik!
                
Bah! Telepon gila itu membuat kedua mataku terbuka sepenuhnya. Aku menyisir ruangan besar tempatku bekerja. Aku tidak menemukan kamu! Lalu, dari mana kamu tahu kalau aku tertidur?
                
Ponselku berbunyi lagi. Pesan singkat masuk. “Tunggu sebentar lagi, bakal ada yang nganterin sesuatu buat kamu, Moy.”
                
Aku benci teka-teki. Dan kamu tahu itu! Kuharap, saat aku menemukan kamu, adrenalinku hanya cukup untuk mengoceh, alih-alih menamparmu.
                
Pintu lift terbuka ketika aku ingin membanting ponselku. Tidak! Bukan kamu yang muncul. Itu Beni, kurir dari ruang resepsionis. Dan dia membawa bungkusan besar. Untukku, katanya, dari kamu. Aku tidak percaya. Jadi kugeletakkan saja bungkusan itu dan segera berlari ke lantai satu, berharap kamu masih ada di situ.
                
Tapi, seperti biasanya – uhm, yeah, mungkin aku hanya terlambat beberapa detik. Kalau saja aku langsung sadar soal telepon itu, mungkin sekarang aku sudah memenjarakan kamu ke dalam dekapanku.
                
Aku kembali ke mejaku, duduk diam memandangi bungkusan, yang kata Beni, dari kamu. Aku bisa saja menebak apa isinya. Tapi, aku tidak mau. Aku masih menggilai kejutan-kejutan – kalau kamu ingat, Ru. Meskipun aku tahu, dari bulir-bulir embun yang menempel pada bungkusan, itu pasti cold frappe, minuman favoritku. Dan dari aroma yang masuk ke cuping hidungku, aku tahu, delapan potong roti bawang itu siap membahagiakan lambungku. Dan juga otakku!
                
Ah, Ru. Sampai kapan kamu bisa berhenti menjadi hantu? Sampai kapan kamu mengandalkan frappe dan roti bawang untuk membuat segalanya menjadi nyata? Harusnya kita bisa sampai di rumah, Ru. Mungkin, kita salah mengambil rute perjalanan. Entah.

                
Lama-lama, Ru…, kamu seolah membiarkan aku menjadi seperti bintang-bintang yang bergerak itu. Kamu tahu, Ru? Bergerak itu tidak semudah kelihatannya. Bergerak, akan membuatku harus kehilangan sebagian dari diriku. Membuatku kehilangan… kamu.


Sumber gambar dari sini.

New Novel: Memilih



Penulis: Sekar Mayang
Editor: Ardian Syam
Cover: Granito
ISBN: 978-602-17515-7-2


Sinopsis

Alhatiry Nur Oktavian harus memilih untuk menikah dengan Maya atau perempuan lain. Seharusnya itu pilihan mudah, bukan hanya karena Al tahu siapa yang lebih dicintainya, tetapi karena Maya dan perempuan lain adalah….

Rosi Meilani pernah disudutkan pada kondisi yang harus memilih antara masa depan bagi janinnya dan masa depannya sendiri. Ada banyak sekali saran termasuk dari seorang perempuan lain yang sangat dia kenal. Sekarang pilihan yang pernah dia putuskan, menjadi masalah bagi perempuan lain….

Kalina Mayasari harus memilih untuk melawan kehendak seorang perempuan lain yang mungkin akan menjadi mertuanya, atau menuruti kehendaknya dan kekasihnya. Seharusnya itu pilihan mudah, karena ibu kandungnya sendiri mendukung hubungan kasih mereka. Tetapi ibunya dan perempuan lain itu….

Semua orang harus membuat pilihan, apa pun risiko yang akan muncul dari pilihan tersebut. Secerdas apa pun seseorang, tidak akan berarti bila dia tidak berani memilih. Apalagi bila tidak berani menghadapi risiko dari pilihannya sendiri.


Versi e-book IDR 20.000,-   

E-book tersedia di Google Play Store, Scoop dan Wayangforce


Versi Cetak Rp.61.000,-

Pemesanan versi cetak melalui Sekar Mayang

E-mail: my.blue.flames@gmail.com

WA 085857466569
BBM 760FC632

Antologi Cerpen: Cerita dari Timur



Penulis: Citra Rizcha Maya ~ Gilang Rahmawati ~ Granito Ibrahim ~ Insan Purnama ~ Kit Rose ~ Odi Shalahudin ~ Rengga Bagus Nanjar ~ Sekar Mayang ~ Selsa
Editor: Rina Wijayanti
Cover: Granito
ISBN: 978-602-1429-03-7


Sinopsis

Cerita dari Timur merupakan buku antologi - kumpulan cerita pendek–yang ditulis oleh sembilan orang dari berbagai latar belakang. Lewat ragam cerita dalam berbagai rupa, buku ini mencoba menyuguhkan sisi cutting edge budaya ketimuran. Isu tentang cinta, sosiologi, politik, psikologi, ekonomi, folkantropologi, hukum, sosial, serta isu-isu yang cenderung anomali, merupakan menu sekaligus komposisi yang terdapat di dalam buku ini.


Harga versi digital Rp.25.000,- atau USD.2,99

bisa dilihat di Scoop atau Wayangforce


Versi cetak Rp.55.000,-
Pemesanan versi cetak melalui Sekar Mayang:
E-mail my.blue.flames@gmail.com
WA 085857466569
BBM 760FC632