“Life
contains… moments.”
Aku tidak pernah berpikir soal itu, sampai detik ini.
Bahwa hidup yang kita jalani adalah sekumpulan peristiwa – moments. Dan, sialnya, itu benar.
Momen pertama dalam hidupmu – yang orang lain ingat,
sedangkan kau tidak – adalah ketika kau merangkak keluar dari rahim ibumu.
Lahir normal atau lewat operasi, itu tidak masalah. Intinya, kau mulai
menghirup udara untuk pertama kalinya. Kedengarannya sederhana ya?! Tapi, itu
jelas melibatkan proses rumit mulai dari pembuahan, sampai pecahnya ketuban.
Selanjutnya, kau mulai tertawa, memanggil ibumu, belajar
berjalan, jatuh dari tempat tidur untuk yang pertama kali, dan mungkin juga
terluka saat kau berebut mainan robot dengan kawanmu yang sedikit lebih besar.
Lalu, kau akan merasakan dunia sekolah. Otakmu penuh dengan materi ujian,
persiapan prom night, pilihan tempat
kuliah yang tidak sedikit – dan kadang melibatkan intervensi orangtuamu.
Intinya, kau tumbuh, sampai di titik kau mulai mempertanyakan eksistensi dirimu
sendiri. Apa yang sudah kau jalani, dan apa yang belum. Ada kemungkinan kau
lebih banyak memikirkan soal pilihan-pilihanmu terdahulu. Kau menyesal, tapi
tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Itu… salah satu momen lagi, dalam
hidupmu.
Aku, tak ubahnya dirimu. Aku, manusia biasa,
sepertimu. Bedanya, aku berusaha menikmati setiap momen yang ada, yang baru
saja aku sadari, aku pilih sendiri untuk kujalani.
***
“Kenapa kamu pengen keliling dunia, Ay?”
Chris bertanya seolah itu akan membuat hidungnya
berdarah hebat. Ia takut, dan dia tidak sadar kalau aku tahu hal itu. Kau
tahu?! Aku inginnya tidak perlu menjawab pertanyaan Chris. Tapi, itu tidak
adil. Chris sudah di sampingku sejak…, entah, aku lupa kapan tepatnya –
akhir-akhir ini aku terlalu sering melupakan banyak hal. Rasanya, aku sudah
mengenal Chris lama sekali.
“Ayla….”
Aku merasa kulit punggung tanganku menghangat. Ada
tangan Chris di sana.
“Tidak tepat keliling dunia, Chris,” kataku.
“Maksudnya?”
“Thailand, Spanyol, Afrika Selatan, Amerika – well, Hawaii, tepatnya – dan berakhir di
Korea Selatan. Cuma itu aja kok. Tapi, biar gampang, sebut saja ‘keliling dunia’.”
Aku setengah berharap, tidak ada pertanyaan lanjutan
dari Chris. Tapi, itu tidak mungkin. Chris akan terus bertanya, sampai aku
menjawab semuanya. Ehm, maksudku, sampai ia mendapat jawaban yang ia inginkan.
Chris akan selalu begitu. Aku tidak membencinya, tapi juga tidak terlalu
menyukai kebiasaannya itu. Kadang, aku kesal dengan sikap Chris yang selalu
ingin tahu apa saja. Di lain waktu, saat ia tidak ingin bertanya apa-apa, aku
justru ingin mendengar celoteh Chris. Aku suka melihat gerak bibirnya ketika ia
bicara. Another weird moment, yet
gorgeous.
“Nggak bisa, keliling Indonesia aja?” tanya Chris
lagi. “Kayaknya kamu dulu pernah bilang pengen menyusuri gugusan kepulauan Nusa
Tenggara.”
Aku tertawa mendengar celoteh Chris.
“Cuma pengen ke Gili Trawangan sama ke Pulau Moyo aja
kok. Nggak semuanya, Chris.”
“Ya, sekalian aja, Ay.”
Aku menyandarkan kepalaku ke bahu kiri Chris. Aku
melihat langit-langit teras, ada dua cicak yang sedang berkejaran. Sepertinya,
mereka adalah dua jantan yang sedang berebut wilayah. Entah. Hanya tebakan
acak. Dan, rupanya, salah satu cicak harus rela kehilangan ekornya akibat
pertempuran itu.
“Kasian,” gumam Chris, sambil mengamati ekor cicak
yang menggeliat di lantai teras.
“Aku pengen tau, seperti apa tempat yang namanya
Pattaya itu.” Aku berusaha mengalihkan perhatian Chris dari benda menjijikan
itu – aku tidak pernah senang melihat cicak dari jarak dekat, apalagi hanya
ekornya yang mengeliat-geliat tak tentu arah. Itu selalu membuatku bergidik.
“Hah?!” Chris melirik ke arahku.
“Aku pengen tau,” lanjutku, “gimana meriahnya
festival banteng di Spain. Aku pengen
tau, seperti apa tempat yang namanya Barcelona, Granada, dan Madrid. Di Afrika
Selatan, aku pengen berdiri di ujung paling selatan dataran benua hitam itu. Di
Hawaii, ehm…, aku cuma pengen liat para surfer
bermain dengan ombak besar. Dan, di Korea Selatan….” Aku menatap mata Chris.
Aku melihat ketidaksabaran di sana, pada kerut-kerut di dahinya. “Aku cuma
pengen main bola salju di sana.”
“Wow!”
Itu saja. Setelah aku hampir berbusa-busa menjabarkan
banyak hal, Chris hanya bereaksi dengan satu kata. Kau tahu?! Inilah yang kusebut
‘momen menjengkelkan’. Tapi, aku bisa apa? Jengkel pun, aku tetap mencintai
pria itu. Jadi, dengan sadar, kuhapus momen itu dari rekaman di otakku, lalu
menggantinya dengan ‘momen romantis’. Aku menciumnya, dan Chris membalas
inisiatifku itu dengan menangkupkan kedua tangannya di rahangku.
“Kalau misalnya kamu cuma punya satu pilihan negara.
Mana yang kamu pilih, Ay?”
“Ehm…. Spanyol. Granada.”
“Alasannya? Aku pikir kamu bakal bilang Korea.”
“Nggak ada. Katamu tadi aku harus memilih. Aku pilih
Granada. Itu aja.”
***
“Apa yang kau lukis kali ini, Ay?”
Chris datang ke studioku dengan membawa bungkusan –
aku tahu dari aroma yang tiba-tiba menyerbu cuping hidungku – berisi croissant yang segar. Aku, selalu suka croissant. Apalagi jika menyantapnya
dibarengi dengan madu. Mungkin bukan kebiasaan yang umum, tapi itu memanjakan
lidahku.
“Morning,
Chris.”
Aku menyapukan goresan-goresan terakhir di beberapa
tempat. Aku tidak melukis. Aku hanya membuat sketsa. Aku memakai kanvas kecil,
dan aku hanya memakai pensil untuk membuat sketsa. Aku, mengabadikan objek apa
saja yang melintas tanpa ijin di otakku.
Pagi-pagi sekali, masih gelap, aku terbangun begitu
saja. Aku sadar, aku baru saja menjalani sebuah mimpi yang aneh. Tapi, indah.
Aku dalam mimpi, adalah seekor capung. Aku hinggap di banyak tempat. Yang
paling aku ingat, aku hinggap di atas tumpukan potongan kayu bakar di tepi
tanah lapang. Mataku tertuju ke arah tanah lapang itu. Di ujung tanah lapang
adalah tepian hutan cemara. Dan, saat itu, matahari hendak bangkit dari
tidurnya. Mataku – kedua mata capungku – menangkap pemandangan munculnya sang
bola oranye. Harusnya aku bisa berteriak “Hei! Itu indah!”. Namun, aku bahkan
tidak tahu, apa aku bisa ehm… let’s say…
mendengung, saat menjadi capung.
Pemandangan itulah yang aku tuangkan menjadi sebuah
sketsa satu warna. Aku, puas dengan apa yang kubuat kali ini. Aku berdiri dua
langkah lebih jauh dari tripod. Aku sadar, aku tersenyum ketika mengamati hasil
karyaku sendiri. Dan, Chris…. Dia berdiri di sampingku, melakukan hal yang
sama, tapi tanpa senyum.
“Kamu tau, Ay?! Harusnya kamu jual semua lukisanmu
itu.”
“Ini sketsa, Chris. Bukan lukisan.”
“Yeah…. Apa
pun itu namanya. Kamu bisa dapat uang banyak. Dan, kita bisa keliling dunia.”
“Aku nggak akan menjual mereka, Chris.” Aku menghadap
ke arah Chris, mendekati tubuhnya hampir tanpa jarak. “Nggak, di saat aku masih
hidup.”
Dan, ini mungkin yang disebut ‘momen air mata’.
Mendadak, kedua mataku menjadi panas, dan mengabur.
“Ayla…. Kamu akan hidup. Lebih lama dari yang pernah
kamu bayangin.”
Air mata sudah jatuh, tumpah. Dan, Chris memungutnya,
menaruhnya di kantung-kantung rindu, untuk kemudian dikeluarkan saat musim semi
tiba. Musim, di mana aku, akan kembali menjadi… tanah.
***
“Chris….”
Ia tidak mendengar suaraku. Padahal aku sudah cukup
lantang memanggilnya.
“Chris!”
Kukeraskan suaraku, tapi Chris bergeming. Ia malah
menyalami seorang pria tua yang memakai kemeja hitam, lalu pria berikutnya yang
juga memakai atasan warna hitam. Ada dua pria lagi yang menyalami Chris, dan
juga dua wanita muda. Semua pria di sini memakai baju hitam – atau celana hitam.
Dan, para wanitanya memakai baju berwarna dominan hitam. Chris juga. Ia memakai
jas hitam.
“Chris….”
Itu bukan suaraku. Itu suara… Mom. Oh, Mom. Kenapa
aku merasa kita tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun? Apa aku sudah
menjadi anak durhaka? Kenapa matamu sembab, Mom? Apa aku membuat satu kesalahan
lagi yang membuatmu menangis?
Aku melihat Mom memeluk Chris lama sekali.
“Terima kasih, ya,” kata Mom. “Mom tau, enam tahun
bukan waktu yang sebentar. Dan, kamu menjalani semuanya dengan sabar. Mom
yakin, Ayla juga sangat berterima kasih.”
“Aku sayang Ayla, Mom. Aku terima Ayla apa adanya
dia.”
Owh, Chris. I
know you do.
“Besok mereka akan mengkremasi Ayla.” Itu suara Mom
lagi. Ia berbisik kepada Chris.
Tunggu dulu! Kremasi?!
“Iya, Mom. Minggu depan, kita akan bawa semua lukisan
Ayla ke Bali. Temanku di Ubud udah setuju minjemin galerinya untuk memajang
semua karya Ayla. Dan, uang hasil penjualannya bisa buat nambahin beli tiket ke
Spanyol. Ayla pengen banget ke Granada, Mom.”
Ini bukan momen yang ingin aku lihat. Tapi, itu
terjadi begitu saja. Mom menangis. Bukankah harusnya aku bisa memilih momen
yang ingin aku rasakan? Kenapa malah aku terjebak untuk melihat… kematianku
sendiri?
Selama beberapa saat, aku menganggap Tuhan tidak
adil. Harusnya aku dibiarkan memilih sendiri semuanya. Tapi, aku ingat, aku
memang memilih. Aku memilih untuk tidak meneruskan kemo, berhenti meminum obat
apa pun, dan berusaha menjalani hidup dengan menganggap bahwa sel jahat itu
tidak pernah sedetik pun tumbuh di dalam tubuhku.
Ya, aku memilih semua momen itu. Dan, ini memang
persis seperti yang aku bayangkan. Tepat setelah aku bermimpi menjadi capung,
aku bermimpi hal lain. Sebuah mimpi, di mana tubuh dinginku dikelilingi
orang-orang yang mencintaiku. The
greatest moment of all.
“Life
contains… moments. Moments, keep you alive.”
Sumber gambar dari sini.