Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Moments



Life contains… moments.”

Aku tidak pernah berpikir soal itu, sampai detik ini. Bahwa hidup yang kita jalani adalah sekumpulan peristiwa – moments. Dan, sialnya, itu benar.

Momen pertama dalam hidupmu – yang orang lain ingat, sedangkan kau tidak – adalah ketika kau merangkak keluar dari rahim ibumu. Lahir normal atau lewat operasi, itu tidak masalah. Intinya, kau mulai menghirup udara untuk pertama kalinya. Kedengarannya sederhana ya?! Tapi, itu jelas melibatkan proses rumit mulai dari pembuahan, sampai pecahnya ketuban.

Selanjutnya, kau mulai tertawa, memanggil ibumu, belajar berjalan, jatuh dari tempat tidur untuk yang pertama kali, dan mungkin juga terluka saat kau berebut mainan robot dengan kawanmu yang sedikit lebih besar. Lalu, kau akan merasakan dunia sekolah. Otakmu penuh dengan materi ujian, persiapan prom night, pilihan tempat kuliah yang tidak sedikit – dan kadang melibatkan intervensi orangtuamu. Intinya, kau tumbuh, sampai di titik kau mulai mempertanyakan eksistensi dirimu sendiri. Apa yang sudah kau jalani, dan apa yang belum. Ada kemungkinan kau lebih banyak memikirkan soal pilihan-pilihanmu terdahulu. Kau menyesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Itu… salah satu momen lagi, dalam hidupmu.

Aku, tak ubahnya dirimu. Aku, manusia biasa, sepertimu. Bedanya, aku berusaha menikmati setiap momen yang ada, yang baru saja aku sadari, aku pilih sendiri untuk kujalani.

***

 “Kenapa kamu pengen keliling dunia, Ay?”

Chris bertanya seolah itu akan membuat hidungnya berdarah hebat. Ia takut, dan dia tidak sadar kalau aku tahu hal itu. Kau tahu?! Aku inginnya tidak perlu menjawab pertanyaan Chris. Tapi, itu tidak adil. Chris sudah di sampingku sejak…, entah, aku lupa kapan tepatnya – akhir-akhir ini aku terlalu sering melupakan banyak hal. Rasanya, aku sudah mengenal Chris lama sekali.

“Ayla….”

Aku merasa kulit punggung tanganku menghangat. Ada tangan Chris di sana.

“Tidak tepat keliling dunia, Chris,” kataku.

“Maksudnya?”

“Thailand, Spanyol, Afrika Selatan, Amerika – well, Hawaii, tepatnya – dan berakhir di Korea Selatan. Cuma itu aja kok. Tapi, biar gampang, sebut saja ‘keliling dunia’.”

Aku setengah berharap, tidak ada pertanyaan lanjutan dari Chris. Tapi, itu tidak mungkin. Chris akan terus bertanya, sampai aku menjawab semuanya. Ehm, maksudku, sampai ia mendapat jawaban yang ia inginkan. Chris akan selalu begitu. Aku tidak membencinya, tapi juga tidak terlalu menyukai kebiasaannya itu. Kadang, aku kesal dengan sikap Chris yang selalu ingin tahu apa saja. Di lain waktu, saat ia tidak ingin bertanya apa-apa, aku justru ingin mendengar celoteh Chris. Aku suka melihat gerak bibirnya ketika ia bicara. Another weird moment, yet gorgeous.

“Nggak bisa, keliling Indonesia aja?” tanya Chris lagi. “Kayaknya kamu dulu pernah bilang pengen menyusuri gugusan kepulauan Nusa Tenggara.”

Aku tertawa mendengar celoteh Chris.

“Cuma pengen ke Gili Trawangan sama ke Pulau Moyo aja kok. Nggak semuanya, Chris.”

“Ya, sekalian aja, Ay.”

Aku menyandarkan kepalaku ke bahu kiri Chris. Aku melihat langit-langit teras, ada dua cicak yang sedang berkejaran. Sepertinya, mereka adalah dua jantan yang sedang berebut wilayah. Entah. Hanya tebakan acak. Dan, rupanya, salah satu cicak harus rela kehilangan ekornya akibat pertempuran itu.

“Kasian,” gumam Chris, sambil mengamati ekor cicak yang menggeliat di lantai teras.

“Aku pengen tau, seperti apa tempat yang namanya Pattaya itu.” Aku berusaha mengalihkan perhatian Chris dari benda menjijikan itu – aku tidak pernah senang melihat cicak dari jarak dekat, apalagi hanya ekornya yang mengeliat-geliat tak tentu arah. Itu selalu membuatku bergidik.

“Hah?!” Chris melirik ke arahku.

“Aku pengen tau,” lanjutku, “gimana meriahnya festival banteng di Spain. Aku pengen tau, seperti apa tempat yang namanya Barcelona, Granada, dan Madrid. Di Afrika Selatan, aku pengen berdiri di ujung paling selatan dataran benua hitam itu. Di Hawaii, ehm…, aku cuma pengen liat para surfer bermain dengan ombak besar. Dan, di Korea Selatan….” Aku menatap mata Chris. Aku melihat ketidaksabaran di sana, pada kerut-kerut di dahinya. “Aku cuma pengen main bola salju di sana.”

“Wow!”

Itu saja. Setelah aku hampir berbusa-busa menjabarkan banyak hal, Chris hanya bereaksi dengan satu kata. Kau tahu?! Inilah yang kusebut ‘momen menjengkelkan’. Tapi, aku bisa apa? Jengkel pun, aku tetap mencintai pria itu. Jadi, dengan sadar, kuhapus momen itu dari rekaman di otakku, lalu menggantinya dengan ‘momen romantis’. Aku menciumnya, dan Chris membalas inisiatifku itu dengan menangkupkan kedua tangannya di rahangku.

“Kalau misalnya kamu cuma punya satu pilihan negara. Mana yang kamu pilih, Ay?”

“Ehm…. Spanyol. Granada.”

“Alasannya? Aku pikir kamu bakal bilang Korea.”

“Nggak ada. Katamu tadi aku harus memilih. Aku pilih Granada. Itu aja.”

***

“Apa yang kau lukis kali ini, Ay?”

Chris datang ke studioku dengan membawa bungkusan – aku tahu dari aroma yang tiba-tiba menyerbu cuping hidungku – berisi croissant yang segar. Aku, selalu suka croissant. Apalagi jika menyantapnya dibarengi dengan madu. Mungkin bukan kebiasaan yang umum, tapi itu memanjakan lidahku.

Morning, Chris.”

Aku menyapukan goresan-goresan terakhir di beberapa tempat. Aku tidak melukis. Aku hanya membuat sketsa. Aku memakai kanvas kecil, dan aku hanya memakai pensil untuk membuat sketsa. Aku, mengabadikan objek apa saja yang melintas tanpa ijin di otakku.

Pagi-pagi sekali, masih gelap, aku terbangun begitu saja. Aku sadar, aku baru saja menjalani sebuah mimpi yang aneh. Tapi, indah. Aku dalam mimpi, adalah seekor capung. Aku hinggap di banyak tempat. Yang paling aku ingat, aku hinggap di atas tumpukan potongan kayu bakar di tepi tanah lapang. Mataku tertuju ke arah tanah lapang itu. Di ujung tanah lapang adalah tepian hutan cemara. Dan, saat itu, matahari hendak bangkit dari tidurnya. Mataku – kedua mata capungku – menangkap pemandangan munculnya sang bola oranye. Harusnya aku bisa berteriak “Hei! Itu indah!”. Namun, aku bahkan tidak tahu, apa aku bisa ehm… let’s say… mendengung, saat menjadi capung.

Pemandangan itulah yang aku tuangkan menjadi sebuah sketsa satu warna. Aku, puas dengan apa yang kubuat kali ini. Aku berdiri dua langkah lebih jauh dari tripod. Aku sadar, aku tersenyum ketika mengamati hasil karyaku sendiri. Dan, Chris…. Dia berdiri di sampingku, melakukan hal yang sama, tapi tanpa senyum.

“Kamu tau, Ay?! Harusnya kamu jual semua lukisanmu itu.”

“Ini sketsa, Chris. Bukan lukisan.”

Yeah…. Apa pun itu namanya. Kamu bisa dapat uang banyak. Dan, kita bisa keliling dunia.”

“Aku nggak akan menjual mereka, Chris.” Aku menghadap ke arah Chris, mendekati tubuhnya hampir tanpa jarak. “Nggak, di saat aku masih hidup.”

Dan, ini mungkin yang disebut ‘momen air mata’. Mendadak, kedua mataku menjadi panas, dan mengabur.

“Ayla…. Kamu akan hidup. Lebih lama dari yang pernah kamu bayangin.”

Air mata sudah jatuh, tumpah. Dan, Chris memungutnya, menaruhnya di kantung-kantung rindu, untuk kemudian dikeluarkan saat musim semi tiba. Musim, di mana aku, akan kembali menjadi… tanah.

***

“Chris….”

Ia tidak mendengar suaraku. Padahal aku sudah cukup lantang memanggilnya.

“Chris!”

Kukeraskan suaraku, tapi Chris bergeming. Ia malah menyalami seorang pria tua yang memakai kemeja hitam, lalu pria berikutnya yang juga memakai atasan warna hitam. Ada dua pria lagi yang menyalami Chris, dan juga dua wanita muda. Semua pria di sini memakai baju hitam – atau celana hitam. Dan, para wanitanya memakai baju berwarna dominan hitam. Chris juga. Ia memakai jas hitam.

“Chris….”

Itu bukan suaraku. Itu suara… Mom. Oh, Mom. Kenapa aku merasa kita tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun? Apa aku sudah menjadi anak durhaka? Kenapa matamu sembab, Mom? Apa aku membuat satu kesalahan lagi yang membuatmu menangis?

Aku melihat Mom memeluk Chris lama sekali.

“Terima kasih, ya,” kata Mom. “Mom tau, enam tahun bukan waktu yang sebentar. Dan, kamu menjalani semuanya dengan sabar. Mom yakin, Ayla juga sangat berterima kasih.”

“Aku sayang Ayla, Mom. Aku terima Ayla apa adanya dia.”

Owh, Chris. I know you do.

“Besok mereka akan mengkremasi Ayla.” Itu suara Mom lagi. Ia berbisik kepada Chris.

Tunggu dulu! Kremasi?!

“Iya, Mom. Minggu depan, kita akan bawa semua lukisan Ayla ke Bali. Temanku di Ubud udah setuju minjemin galerinya untuk memajang semua karya Ayla. Dan, uang hasil penjualannya bisa buat nambahin beli tiket ke Spanyol. Ayla pengen banget ke Granada, Mom.”

Ini bukan momen yang ingin aku lihat. Tapi, itu terjadi begitu saja. Mom menangis. Bukankah harusnya aku bisa memilih momen yang ingin aku rasakan? Kenapa malah aku terjebak untuk melihat… kematianku sendiri?

Selama beberapa saat, aku menganggap Tuhan tidak adil. Harusnya aku dibiarkan memilih sendiri semuanya. Tapi, aku ingat, aku memang memilih. Aku memilih untuk tidak meneruskan kemo, berhenti meminum obat apa pun, dan berusaha menjalani hidup dengan menganggap bahwa sel jahat itu tidak pernah sedetik pun tumbuh di dalam tubuhku.

Ya, aku memilih semua momen itu. Dan, ini memang persis seperti yang aku bayangkan. Tepat setelah aku bermimpi menjadi capung, aku bermimpi hal lain. Sebuah mimpi, di mana tubuh dinginku dikelilingi orang-orang yang mencintaiku. The greatest moment of all.


                Life contains… moments. Moments, keep you alive.”

Sumber gambar dari sini.

Orkes Patah Hati



Orkes patah hati mulai bergerilya di otakku, memainkan semacam lagu yang bisa menimbulkan mimisan hebat di telinga. Kok telinga? Iya! Karena hidungku sudah buntu oleh darah yang selalu mengucur ketika orkes itu mulai memamerkan nada pertama. Aku… setengah hidup menghilangkan orkes patah hati itu dari hidupku. Tapi ternyata, aku bahkan kalah sebelum genderang perang selesai ditabuh. Sial!

Ini bukan malam biasa. Ehm…. Baiklah, ini memang malam yang seolah sama sepanjang aku hidup. Setelah aku menamatkan rutinitasku, aku duduk manis di sofa sambil menimang gadget. Tujuan utama; menebar pesona sampai ke sudut tersempit dunia maya. Hahaha…. Kenapa? Iri padaku? Jangan, ah. Nanti aku jadi besar kepala. Padahal aku ini niat cerita soal orkes patah hati itu.

Aku tidak punya pacar, dan tidak penting juga untuk punya satu di hidupku. Aku punya cukup banyak teman pria yang bisa jadi ‘pacar kadang-kadang’. Maksudnya, ketika aku ingin dekat dengan salah satu dari mereka, ya sudah, tinggal aku dekati saja. Aku akan lebih banyak mengiriminya pesan di chat box, atau melempar stiker di status Linenya, atau mencantumkan namanya di status Facebookku. Dan mereka tidak pernah protes karena mereka tahu siapa aku. Really enjoy that moment. Hahahaha….

Kedinamisan datang ketika tiba-tiba seorang cewek menyerangku lewat chat box, mengataiku sundal, dan selanjutnya memblokir akunku. Hihihi…. Cewek itu jelas tidak tahu, aku bahkan menikmati perlakuan itu.

Pernah dengar istilah social disorder? Aku baru sekali ini membacanya dari sebuah buku. Tepatnya, sebuah novel. Dan, okelah, aku mengklaim diriku bermasalah – setelah membaca novel itu, tentunya. Sebab… aku tidak pernah nyata di dunia ini. Seseorang selalu memandangku dengan sebelah mata, menganggapku tak lebih dari makhluk yang seharusnya dirawat dengan perhatian ekstra agar tidak lekas mati. Padahal aku kuat. Aku bisa berdiri dengan dua kakiku. Namun, pada akhirnya, aku menyerah dan membiarkan manusia itu mengatur hidupku.

Aku, perempuan bermata coklat, berambut hitam dengan potongan pendek tak berjudul, dan lebih banyak meminum kopi daripada air tak berwarna. Aku kuliah, bekerja paruh waktu, dan kadang bereksperimen dengan kalimat-kalimat tidak normal dalam sebuah tulisan. Tapi, seseorang merasa perlu mengatur hidupku!

Dan kemudian, orkes itu memainkan lagi sebuah nyanyian gila soal patah hati. Suara-suara itu memang tidak membuatku lantas meregang nyawa begitu saja. Tapi, apa yang aku rasakan sekarang, adalah semacam kondisi di mana oksigen akan segera habis dari paru-paruku.

***

“Sampai kapan kamu ngebiarin mie ayamnya diincer lalat?”

Aku kaget. Dan aku menjatuhkan sendokku. Itu… sendok terakhir, karena si penjual mie ayam itu sibuk mencuci semua mangkok dan sendok di belakang warung – warungnya sudah mau tutup, dan aku serta cowok di depanku ini adalah pembeli terakhir. Terpaksa, aku merebut sendok dari cowok di depanku dan menukarnya dengan sepasang sumpit butut berbahan plastik.

Sorry, Jim. Aku nggak bisa makan dengan benda itu. Dan Jimmy paham apa maksudku.

“Kamu sakit?” tanya Jimmy.

Ah, kenapa semua orang selalu menanyakan itu? Padahal mereka sudah tahu, aku tidak akan pernah mau menjawabnya.

“Kalau aku ngabisin mie ayamnya, terus aku nambah seporsi lagi, apa kamu bisa berenti nanya itu lagi?”

“Tapi, ini dua porsi terakhir, Ay,” sahut Jimmy, “dan bukan hal haram kalo aku nanya itu ke kamu. Kamu pacarku dan….”

“Ralat!” potongku. “Aku bukan pacarmu!”

Jimmy menghela napas

“Oke. Kamu bukan pacarku,” kata Jimmy, yang aku tahu pasti, dia terpaksa mengatakan hal itu. “Kita hanya dekat. Hubungan kita – seperti kata-katamu yang terakhir – tidak berjudul. Fine. Aku terima itu. Tapi, Ay, aku tetap khawatir sama kamu.”

Kata-kata Jimmy membuatku makin tidak berselera makan. Tapi, lambungku berontak. Rasanya aku bahkan sanggup menghabiskan bagian Jimmy yang sebetulnya sama-sama belum tersentuh. Dengan segala kekuatan, aku mengeyampingkan ego dan mulai melahap makanan di depanku. Adrenalin membuat lidahku tidak merasakan pedas sama sekali. Padahal tiga sendok sambal harusnya bisa membuatku berkeringat.

“Ay, jangan kalap.” Suara Jimmy tetap lembut, meskipun aku tahu, sebenarnya ia sedang marah padaku. “Pelan-pelan aja makannya, biar nggak keselek.”

Aku hampir menghabiskan makananku hanya dalam waktu beberapa menit saja. Dan menit berikutnya, bagian Jimmy mulai kujajah. Semuanya selesai dalam waktu – mungkin – kurang dari lima belas menit. Dan selama itu, entah sudah berapa kali Jimmy menarik napas panjang. Aku tidak peduli.

“Jimmy.” Aku mendorong dua mangkuk itu menjauh dari hadapanku. “Apa perlu aku bikin artikel di majalah kampus yang isinya pernyataan kalo kita udah putus?”

Jimmy menatapku dengan pandangan penuh selidik. Seolah-olah dia sedang mengupas cangkangku satu persatu. Sial baginya mungkin, aku punya banyak cangkang. Jadi tatapannya itu tidak berpengaruh besar padaku. Bahkan, aku balas menatapnya. Aku kupas satu persatu lapisannya – yang membuatku seperti sedang mengupas bawang merah; makin dalam, makin membuat mataku pedih.

“Aku sekarang sama Rey, Jim. Kenapa kamu nggak bisa telan itu bulat-bulat?”

“Karena aku masih sayang kamu, Ay. Dan aku tahu, kamu sama Rey nggak lebih cuma main-main. Rey punya pacar. Mereka udah tunangan. Kenapa kamu mendadak jadi cewek nggak berotak sih, Ay? Berani banget kamu main api gitu?!”

Bicara soal api, aku merasa ada yang menyalakan api di dekat kedua telingaku, juga di sekitar hidung dan mataku. Otot-ototku mengejang dan rahangku kaku. Itu semua adalah efek aku menahan emosiku. Jika tidak, wajah Jimmy pasti sudah menerima tinjuku. Dan detik berikutnya, aku hanya bisa menunduk, membiarkan tangan Jimmy mendarat lembut di kepalaku.

Di antara isakan yang kutahan dengan kekuatan penuh, aku berkata, “Seharusnya kamu udah pergi dari hatiku, Jim. Aku udah susah payah membersihkan ruangan itu, tapi kamu tetap nggak mau pindah. Ada apa, Jim? Aku bukan cewek baik, aku bukan cewek yang bisa kamu jadikan pendamping. Aku cuma cewek gila yang nggak mau berkomitmen apa-apa. Aku cuma bisa menikmati hubungan jangka pendek. Dan aku rasa, aku bisa mati jika harus hidup dengan orang yang sama, dalam waktu yang lama. Aku nggak sanggup. Otakku menuntut kebebasan tak berbatas, Jim. Dan itu nggak akan bisa aku dapetin kalo kamu terus-terusan bersikap seperti itu. Kamu… harus lepasin aku, Jim. Atau kamu akan sakit sendiri karena tau, aku nggak akan pernah kembali memasukkan kamu ke dalam hidupku.”

Jimmy tidak bereaksi apa-apa. Semenit, dua menit, cowok itu hanya menatapku. Lalu, dia berdiri, mengusap kepalaku, dan berkata, “Jangan lupa besok malam ya. Aku jemput kamu sama Mama buat dinner di rumah.”

Dan sudah, begitu saja. Aku meletakkan kepalaku di meja sambil mencoba mengabaikan orkes patah hati yang kembali memainkan nada-nada gila. Ya, para pemainnya hampir berhasil membuatku gila sungguhan.


Gambar dari sini.