Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

New Novel: Constellation of Love



Penulis: Sekar Mayang
Editor: Liez Mutiara

Cover: Granito Ibrahim

ISBN: 978-602-14169-7-6



Sinopsis

Rhein Cassandra adalah mimpi seluruh gadis SMA. Dia cantik, kaya, pengagum ilmu astronomi, fashionable, punya otak yang keren, dan memiliki kepopuleran yang hampir sempurna di sekolah.

Hampir sempurna?

Ya, hampir sempurna. Karena Rhein bersahabat dengan si nomor satu, sang selebritas sekolah, Sofia Morita.

Tepat di ulang tahunnya yang ketujuh belas, sesuatu terjadi. Hanya beberapa saat sebelum pesta dimulai, Rhein melihat Mario, cowoknya, sedang bersama Sofia di koridor toilet. Apa yang Rhein lihat di sana, membuat hidupnya merasa terhantam.

Saat itu juga, otak Rhein memikirkan satu hal. Ia harus segera menyelamatkan hatinya.


Versi e-book : Rp.20.000,- 


Tersedia di Google Play Store, Scoopdan Wayangforce.

Versi cetak: Rp.56.000,- 
Pemesanan versi cetak melalui Sekar Mayang.
Email: my.blue.flames@gmail.com
WA 085857466569
BBM 760FC632

Moments



Life contains… moments.”

Aku tidak pernah berpikir soal itu, sampai detik ini. Bahwa hidup yang kita jalani adalah sekumpulan peristiwa – moments. Dan, sialnya, itu benar.

Momen pertama dalam hidupmu – yang orang lain ingat, sedangkan kau tidak – adalah ketika kau merangkak keluar dari rahim ibumu. Lahir normal atau lewat operasi, itu tidak masalah. Intinya, kau mulai menghirup udara untuk pertama kalinya. Kedengarannya sederhana ya?! Tapi, itu jelas melibatkan proses rumit mulai dari pembuahan, sampai pecahnya ketuban.

Selanjutnya, kau mulai tertawa, memanggil ibumu, belajar berjalan, jatuh dari tempat tidur untuk yang pertama kali, dan mungkin juga terluka saat kau berebut mainan robot dengan kawanmu yang sedikit lebih besar. Lalu, kau akan merasakan dunia sekolah. Otakmu penuh dengan materi ujian, persiapan prom night, pilihan tempat kuliah yang tidak sedikit – dan kadang melibatkan intervensi orangtuamu. Intinya, kau tumbuh, sampai di titik kau mulai mempertanyakan eksistensi dirimu sendiri. Apa yang sudah kau jalani, dan apa yang belum. Ada kemungkinan kau lebih banyak memikirkan soal pilihan-pilihanmu terdahulu. Kau menyesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengubahnya. Itu… salah satu momen lagi, dalam hidupmu.

Aku, tak ubahnya dirimu. Aku, manusia biasa, sepertimu. Bedanya, aku berusaha menikmati setiap momen yang ada, yang baru saja aku sadari, aku pilih sendiri untuk kujalani.

***

 “Kenapa kamu pengen keliling dunia, Ay?”

Chris bertanya seolah itu akan membuat hidungnya berdarah hebat. Ia takut, dan dia tidak sadar kalau aku tahu hal itu. Kau tahu?! Aku inginnya tidak perlu menjawab pertanyaan Chris. Tapi, itu tidak adil. Chris sudah di sampingku sejak…, entah, aku lupa kapan tepatnya – akhir-akhir ini aku terlalu sering melupakan banyak hal. Rasanya, aku sudah mengenal Chris lama sekali.

“Ayla….”

Aku merasa kulit punggung tanganku menghangat. Ada tangan Chris di sana.

“Tidak tepat keliling dunia, Chris,” kataku.

“Maksudnya?”

“Thailand, Spanyol, Afrika Selatan, Amerika – well, Hawaii, tepatnya – dan berakhir di Korea Selatan. Cuma itu aja kok. Tapi, biar gampang, sebut saja ‘keliling dunia’.”

Aku setengah berharap, tidak ada pertanyaan lanjutan dari Chris. Tapi, itu tidak mungkin. Chris akan terus bertanya, sampai aku menjawab semuanya. Ehm, maksudku, sampai ia mendapat jawaban yang ia inginkan. Chris akan selalu begitu. Aku tidak membencinya, tapi juga tidak terlalu menyukai kebiasaannya itu. Kadang, aku kesal dengan sikap Chris yang selalu ingin tahu apa saja. Di lain waktu, saat ia tidak ingin bertanya apa-apa, aku justru ingin mendengar celoteh Chris. Aku suka melihat gerak bibirnya ketika ia bicara. Another weird moment, yet gorgeous.

“Nggak bisa, keliling Indonesia aja?” tanya Chris lagi. “Kayaknya kamu dulu pernah bilang pengen menyusuri gugusan kepulauan Nusa Tenggara.”

Aku tertawa mendengar celoteh Chris.

“Cuma pengen ke Gili Trawangan sama ke Pulau Moyo aja kok. Nggak semuanya, Chris.”

“Ya, sekalian aja, Ay.”

Aku menyandarkan kepalaku ke bahu kiri Chris. Aku melihat langit-langit teras, ada dua cicak yang sedang berkejaran. Sepertinya, mereka adalah dua jantan yang sedang berebut wilayah. Entah. Hanya tebakan acak. Dan, rupanya, salah satu cicak harus rela kehilangan ekornya akibat pertempuran itu.

“Kasian,” gumam Chris, sambil mengamati ekor cicak yang menggeliat di lantai teras.

“Aku pengen tau, seperti apa tempat yang namanya Pattaya itu.” Aku berusaha mengalihkan perhatian Chris dari benda menjijikan itu – aku tidak pernah senang melihat cicak dari jarak dekat, apalagi hanya ekornya yang mengeliat-geliat tak tentu arah. Itu selalu membuatku bergidik.

“Hah?!” Chris melirik ke arahku.

“Aku pengen tau,” lanjutku, “gimana meriahnya festival banteng di Spain. Aku pengen tau, seperti apa tempat yang namanya Barcelona, Granada, dan Madrid. Di Afrika Selatan, aku pengen berdiri di ujung paling selatan dataran benua hitam itu. Di Hawaii, ehm…, aku cuma pengen liat para surfer bermain dengan ombak besar. Dan, di Korea Selatan….” Aku menatap mata Chris. Aku melihat ketidaksabaran di sana, pada kerut-kerut di dahinya. “Aku cuma pengen main bola salju di sana.”

“Wow!”

Itu saja. Setelah aku hampir berbusa-busa menjabarkan banyak hal, Chris hanya bereaksi dengan satu kata. Kau tahu?! Inilah yang kusebut ‘momen menjengkelkan’. Tapi, aku bisa apa? Jengkel pun, aku tetap mencintai pria itu. Jadi, dengan sadar, kuhapus momen itu dari rekaman di otakku, lalu menggantinya dengan ‘momen romantis’. Aku menciumnya, dan Chris membalas inisiatifku itu dengan menangkupkan kedua tangannya di rahangku.

“Kalau misalnya kamu cuma punya satu pilihan negara. Mana yang kamu pilih, Ay?”

“Ehm…. Spanyol. Granada.”

“Alasannya? Aku pikir kamu bakal bilang Korea.”

“Nggak ada. Katamu tadi aku harus memilih. Aku pilih Granada. Itu aja.”

***

“Apa yang kau lukis kali ini, Ay?”

Chris datang ke studioku dengan membawa bungkusan – aku tahu dari aroma yang tiba-tiba menyerbu cuping hidungku – berisi croissant yang segar. Aku, selalu suka croissant. Apalagi jika menyantapnya dibarengi dengan madu. Mungkin bukan kebiasaan yang umum, tapi itu memanjakan lidahku.

Morning, Chris.”

Aku menyapukan goresan-goresan terakhir di beberapa tempat. Aku tidak melukis. Aku hanya membuat sketsa. Aku memakai kanvas kecil, dan aku hanya memakai pensil untuk membuat sketsa. Aku, mengabadikan objek apa saja yang melintas tanpa ijin di otakku.

Pagi-pagi sekali, masih gelap, aku terbangun begitu saja. Aku sadar, aku baru saja menjalani sebuah mimpi yang aneh. Tapi, indah. Aku dalam mimpi, adalah seekor capung. Aku hinggap di banyak tempat. Yang paling aku ingat, aku hinggap di atas tumpukan potongan kayu bakar di tepi tanah lapang. Mataku tertuju ke arah tanah lapang itu. Di ujung tanah lapang adalah tepian hutan cemara. Dan, saat itu, matahari hendak bangkit dari tidurnya. Mataku – kedua mata capungku – menangkap pemandangan munculnya sang bola oranye. Harusnya aku bisa berteriak “Hei! Itu indah!”. Namun, aku bahkan tidak tahu, apa aku bisa ehm… let’s say… mendengung, saat menjadi capung.

Pemandangan itulah yang aku tuangkan menjadi sebuah sketsa satu warna. Aku, puas dengan apa yang kubuat kali ini. Aku berdiri dua langkah lebih jauh dari tripod. Aku sadar, aku tersenyum ketika mengamati hasil karyaku sendiri. Dan, Chris…. Dia berdiri di sampingku, melakukan hal yang sama, tapi tanpa senyum.

“Kamu tau, Ay?! Harusnya kamu jual semua lukisanmu itu.”

“Ini sketsa, Chris. Bukan lukisan.”

Yeah…. Apa pun itu namanya. Kamu bisa dapat uang banyak. Dan, kita bisa keliling dunia.”

“Aku nggak akan menjual mereka, Chris.” Aku menghadap ke arah Chris, mendekati tubuhnya hampir tanpa jarak. “Nggak, di saat aku masih hidup.”

Dan, ini mungkin yang disebut ‘momen air mata’. Mendadak, kedua mataku menjadi panas, dan mengabur.

“Ayla…. Kamu akan hidup. Lebih lama dari yang pernah kamu bayangin.”

Air mata sudah jatuh, tumpah. Dan, Chris memungutnya, menaruhnya di kantung-kantung rindu, untuk kemudian dikeluarkan saat musim semi tiba. Musim, di mana aku, akan kembali menjadi… tanah.

***

“Chris….”

Ia tidak mendengar suaraku. Padahal aku sudah cukup lantang memanggilnya.

“Chris!”

Kukeraskan suaraku, tapi Chris bergeming. Ia malah menyalami seorang pria tua yang memakai kemeja hitam, lalu pria berikutnya yang juga memakai atasan warna hitam. Ada dua pria lagi yang menyalami Chris, dan juga dua wanita muda. Semua pria di sini memakai baju hitam – atau celana hitam. Dan, para wanitanya memakai baju berwarna dominan hitam. Chris juga. Ia memakai jas hitam.

“Chris….”

Itu bukan suaraku. Itu suara… Mom. Oh, Mom. Kenapa aku merasa kita tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun? Apa aku sudah menjadi anak durhaka? Kenapa matamu sembab, Mom? Apa aku membuat satu kesalahan lagi yang membuatmu menangis?

Aku melihat Mom memeluk Chris lama sekali.

“Terima kasih, ya,” kata Mom. “Mom tau, enam tahun bukan waktu yang sebentar. Dan, kamu menjalani semuanya dengan sabar. Mom yakin, Ayla juga sangat berterima kasih.”

“Aku sayang Ayla, Mom. Aku terima Ayla apa adanya dia.”

Owh, Chris. I know you do.

“Besok mereka akan mengkremasi Ayla.” Itu suara Mom lagi. Ia berbisik kepada Chris.

Tunggu dulu! Kremasi?!

“Iya, Mom. Minggu depan, kita akan bawa semua lukisan Ayla ke Bali. Temanku di Ubud udah setuju minjemin galerinya untuk memajang semua karya Ayla. Dan, uang hasil penjualannya bisa buat nambahin beli tiket ke Spanyol. Ayla pengen banget ke Granada, Mom.”

Ini bukan momen yang ingin aku lihat. Tapi, itu terjadi begitu saja. Mom menangis. Bukankah harusnya aku bisa memilih momen yang ingin aku rasakan? Kenapa malah aku terjebak untuk melihat… kematianku sendiri?

Selama beberapa saat, aku menganggap Tuhan tidak adil. Harusnya aku dibiarkan memilih sendiri semuanya. Tapi, aku ingat, aku memang memilih. Aku memilih untuk tidak meneruskan kemo, berhenti meminum obat apa pun, dan berusaha menjalani hidup dengan menganggap bahwa sel jahat itu tidak pernah sedetik pun tumbuh di dalam tubuhku.

Ya, aku memilih semua momen itu. Dan, ini memang persis seperti yang aku bayangkan. Tepat setelah aku bermimpi menjadi capung, aku bermimpi hal lain. Sebuah mimpi, di mana tubuh dinginku dikelilingi orang-orang yang mencintaiku. The greatest moment of all.


                Life contains… moments. Moments, keep you alive.”

Sumber gambar dari sini.

Orkes Patah Hati



Orkes patah hati mulai bergerilya di otakku, memainkan semacam lagu yang bisa menimbulkan mimisan hebat di telinga. Kok telinga? Iya! Karena hidungku sudah buntu oleh darah yang selalu mengucur ketika orkes itu mulai memamerkan nada pertama. Aku… setengah hidup menghilangkan orkes patah hati itu dari hidupku. Tapi ternyata, aku bahkan kalah sebelum genderang perang selesai ditabuh. Sial!

Ini bukan malam biasa. Ehm…. Baiklah, ini memang malam yang seolah sama sepanjang aku hidup. Setelah aku menamatkan rutinitasku, aku duduk manis di sofa sambil menimang gadget. Tujuan utama; menebar pesona sampai ke sudut tersempit dunia maya. Hahaha…. Kenapa? Iri padaku? Jangan, ah. Nanti aku jadi besar kepala. Padahal aku ini niat cerita soal orkes patah hati itu.

Aku tidak punya pacar, dan tidak penting juga untuk punya satu di hidupku. Aku punya cukup banyak teman pria yang bisa jadi ‘pacar kadang-kadang’. Maksudnya, ketika aku ingin dekat dengan salah satu dari mereka, ya sudah, tinggal aku dekati saja. Aku akan lebih banyak mengiriminya pesan di chat box, atau melempar stiker di status Linenya, atau mencantumkan namanya di status Facebookku. Dan mereka tidak pernah protes karena mereka tahu siapa aku. Really enjoy that moment. Hahahaha….

Kedinamisan datang ketika tiba-tiba seorang cewek menyerangku lewat chat box, mengataiku sundal, dan selanjutnya memblokir akunku. Hihihi…. Cewek itu jelas tidak tahu, aku bahkan menikmati perlakuan itu.

Pernah dengar istilah social disorder? Aku baru sekali ini membacanya dari sebuah buku. Tepatnya, sebuah novel. Dan, okelah, aku mengklaim diriku bermasalah – setelah membaca novel itu, tentunya. Sebab… aku tidak pernah nyata di dunia ini. Seseorang selalu memandangku dengan sebelah mata, menganggapku tak lebih dari makhluk yang seharusnya dirawat dengan perhatian ekstra agar tidak lekas mati. Padahal aku kuat. Aku bisa berdiri dengan dua kakiku. Namun, pada akhirnya, aku menyerah dan membiarkan manusia itu mengatur hidupku.

Aku, perempuan bermata coklat, berambut hitam dengan potongan pendek tak berjudul, dan lebih banyak meminum kopi daripada air tak berwarna. Aku kuliah, bekerja paruh waktu, dan kadang bereksperimen dengan kalimat-kalimat tidak normal dalam sebuah tulisan. Tapi, seseorang merasa perlu mengatur hidupku!

Dan kemudian, orkes itu memainkan lagi sebuah nyanyian gila soal patah hati. Suara-suara itu memang tidak membuatku lantas meregang nyawa begitu saja. Tapi, apa yang aku rasakan sekarang, adalah semacam kondisi di mana oksigen akan segera habis dari paru-paruku.

***

“Sampai kapan kamu ngebiarin mie ayamnya diincer lalat?”

Aku kaget. Dan aku menjatuhkan sendokku. Itu… sendok terakhir, karena si penjual mie ayam itu sibuk mencuci semua mangkok dan sendok di belakang warung – warungnya sudah mau tutup, dan aku serta cowok di depanku ini adalah pembeli terakhir. Terpaksa, aku merebut sendok dari cowok di depanku dan menukarnya dengan sepasang sumpit butut berbahan plastik.

Sorry, Jim. Aku nggak bisa makan dengan benda itu. Dan Jimmy paham apa maksudku.

“Kamu sakit?” tanya Jimmy.

Ah, kenapa semua orang selalu menanyakan itu? Padahal mereka sudah tahu, aku tidak akan pernah mau menjawabnya.

“Kalau aku ngabisin mie ayamnya, terus aku nambah seporsi lagi, apa kamu bisa berenti nanya itu lagi?”

“Tapi, ini dua porsi terakhir, Ay,” sahut Jimmy, “dan bukan hal haram kalo aku nanya itu ke kamu. Kamu pacarku dan….”

“Ralat!” potongku. “Aku bukan pacarmu!”

Jimmy menghela napas

“Oke. Kamu bukan pacarku,” kata Jimmy, yang aku tahu pasti, dia terpaksa mengatakan hal itu. “Kita hanya dekat. Hubungan kita – seperti kata-katamu yang terakhir – tidak berjudul. Fine. Aku terima itu. Tapi, Ay, aku tetap khawatir sama kamu.”

Kata-kata Jimmy membuatku makin tidak berselera makan. Tapi, lambungku berontak. Rasanya aku bahkan sanggup menghabiskan bagian Jimmy yang sebetulnya sama-sama belum tersentuh. Dengan segala kekuatan, aku mengeyampingkan ego dan mulai melahap makanan di depanku. Adrenalin membuat lidahku tidak merasakan pedas sama sekali. Padahal tiga sendok sambal harusnya bisa membuatku berkeringat.

“Ay, jangan kalap.” Suara Jimmy tetap lembut, meskipun aku tahu, sebenarnya ia sedang marah padaku. “Pelan-pelan aja makannya, biar nggak keselek.”

Aku hampir menghabiskan makananku hanya dalam waktu beberapa menit saja. Dan menit berikutnya, bagian Jimmy mulai kujajah. Semuanya selesai dalam waktu – mungkin – kurang dari lima belas menit. Dan selama itu, entah sudah berapa kali Jimmy menarik napas panjang. Aku tidak peduli.

“Jimmy.” Aku mendorong dua mangkuk itu menjauh dari hadapanku. “Apa perlu aku bikin artikel di majalah kampus yang isinya pernyataan kalo kita udah putus?”

Jimmy menatapku dengan pandangan penuh selidik. Seolah-olah dia sedang mengupas cangkangku satu persatu. Sial baginya mungkin, aku punya banyak cangkang. Jadi tatapannya itu tidak berpengaruh besar padaku. Bahkan, aku balas menatapnya. Aku kupas satu persatu lapisannya – yang membuatku seperti sedang mengupas bawang merah; makin dalam, makin membuat mataku pedih.

“Aku sekarang sama Rey, Jim. Kenapa kamu nggak bisa telan itu bulat-bulat?”

“Karena aku masih sayang kamu, Ay. Dan aku tahu, kamu sama Rey nggak lebih cuma main-main. Rey punya pacar. Mereka udah tunangan. Kenapa kamu mendadak jadi cewek nggak berotak sih, Ay? Berani banget kamu main api gitu?!”

Bicara soal api, aku merasa ada yang menyalakan api di dekat kedua telingaku, juga di sekitar hidung dan mataku. Otot-ototku mengejang dan rahangku kaku. Itu semua adalah efek aku menahan emosiku. Jika tidak, wajah Jimmy pasti sudah menerima tinjuku. Dan detik berikutnya, aku hanya bisa menunduk, membiarkan tangan Jimmy mendarat lembut di kepalaku.

Di antara isakan yang kutahan dengan kekuatan penuh, aku berkata, “Seharusnya kamu udah pergi dari hatiku, Jim. Aku udah susah payah membersihkan ruangan itu, tapi kamu tetap nggak mau pindah. Ada apa, Jim? Aku bukan cewek baik, aku bukan cewek yang bisa kamu jadikan pendamping. Aku cuma cewek gila yang nggak mau berkomitmen apa-apa. Aku cuma bisa menikmati hubungan jangka pendek. Dan aku rasa, aku bisa mati jika harus hidup dengan orang yang sama, dalam waktu yang lama. Aku nggak sanggup. Otakku menuntut kebebasan tak berbatas, Jim. Dan itu nggak akan bisa aku dapetin kalo kamu terus-terusan bersikap seperti itu. Kamu… harus lepasin aku, Jim. Atau kamu akan sakit sendiri karena tau, aku nggak akan pernah kembali memasukkan kamu ke dalam hidupku.”

Jimmy tidak bereaksi apa-apa. Semenit, dua menit, cowok itu hanya menatapku. Lalu, dia berdiri, mengusap kepalaku, dan berkata, “Jangan lupa besok malam ya. Aku jemput kamu sama Mama buat dinner di rumah.”

Dan sudah, begitu saja. Aku meletakkan kepalaku di meja sambil mencoba mengabaikan orkes patah hati yang kembali memainkan nada-nada gila. Ya, para pemainnya hampir berhasil membuatku gila sungguhan.


Gambar dari sini.

Puisiku, Puisimu

1379083494685467285


Puisiku, puisimu.
Puisi merah muda, puisi biru langit.
Puisi arum manis, puisi kopi pahit.
Puisi melati, puisi kesturi.

Ah, di mana kita akan menuliskannya, Sayang?
Di kertas, dengan pena bulu angsa dan tinta bercampur prada Bali?
Di daun lontar, supaya membumi dan terkesan ‘selamanya’?
Di atas kanvas, dengan kuas terlembut sejagad?

Kayu apa yang cocok untuk membingkainya?
Cendanakah, yang aromanya semerbak?
Jatikah, agar rayap tak sudi menyentuh?
Kayu biasakah? Asal kita sanggup merawatnya, maka rayap pun tak mau mendekat.

Di tembok sebelah mana kita akan menggantungnya?
Di ruang tamu, agar terlihat semua tamu yang datang?
Di kamar tidur, membuatnya hanya jadi santapan kita berdua?
Di ruang tengah, menemani liak liuk tubuh kita menikmati rehat?

Lalu, Sayang….
Apa akan muncul lagi puisi serupa itu, Sayang, sampai penuh tembok rumah kita?

Denpasar, 130913 - @sekarmayz

Gambar koleksi pribadi.

Selalu Maura




Kejutan harus ‘mengejutkan’. Iya, kan?! Dan, memang iya. Itulah yang terjadi hari ini. Runutan peristiwa sejak Jumat sore sampai detik ini – Sabtu siang – adalah kejutan yang direncanakan. Maksudnya, Maura yang merencanakan. Mulai dari memilih tempat tujuan bersantai sampai hal sepele soal membeli cemilan apa yang enak disantap di tengah hawa dingin Ulun Danu Beratan. Well organized. And I like it.

Ya, di sinilah kami – aku dan Maura – akan menghabiskan detik-detik bersinar-matahari. Sebuah tempat wisata yang berada di dataran tinggi, tepat di tengah-tengah Pulau Bali. Aku belum pernah kemari sebelumnya. Sering, aku mendengar soal tempat ini dari teman-teman kantor yang sudah pernah kemari. Tapi, aku tidak pernah sedikit pun tertarik untuk mengunjunginya. Selain letaknya di luar Denpasar, untuk apa aku kemari sendirian? Iya, kan?! Dan, sekarang, Maura yang memaksaku menikmati keindahan ini. Aku beruntung sekali. Kapan lagi ada sebentuk paksaan yang mengasyikkan seperti ini?

“Ade. Mas mau nelpon orang dinas dulu ya. Mau ngecek, berkasnya udah siap apa belum buat besok.”

Maura tersenyum, lalu menyahut, “Oke.” Ia kemudian mengambil sebuah novel yang sengaja ia bawa di tasnya.

Aku menjauh, tapi masih cukup dekat untuk mata minusku memandang wajah Maura. Sebenarnya, aku tidak perlu menelepon. Aku cukup menanyakan hal tadi lewat pesan singkat. Tahu kenapa?! Tiba-tiba saja aku ingin memandang Maura dari jarak yang agak jauh. Entah. Ingin saja.

Hari ini Maura berpakaian agak lain. Kalau biasanya ia tak pernah lepas dari celana jeans, sekarang Maura memilih rok bermotif bunga-bunga kuning. Sedangkan atasannya hanya mengenakan blus tanpa lengan sederhana berwarna putih gading – membiarkan kulit lengannya terpapar hawa dingin danau ini. Dan, mataku mengatakan: ia sempurna.

Di bangku panjang itu, tepat di tengah taman, Maura duduk dengan santai sambil menyilangkan kakinya. Di pangkuannya, sebuah buku tebal terbuka. Kepalanya tertunduk, menekuni bacaannya. Sejumput rambut menjuntai, menambah manis segalanya. Lalu, caranya membalik halaman-halaman buku itu, seperti ia sedang membelai punggung tanganku, hangat.

Sesaat, aku merasa berdosa karena dulu membiarkan Maura menjauh dari genggamanku. Harusnya aku memaksa, harusnya aku mengikatnya, harusnya tidak dengan gampangnya aku mengabulkan inginnya menjelajah hati lain. Tapi, yah, inilah yang terjadi. Bahkan, aku pun akhirnya mengijinkan diri sendiri untuk menjelajah hati perempuan lain. Bukan untuk pelarian, hanya ingin menebus sesuatu yang salah saat itu. Hanya saja, semuanya makin nampak salah.

Maura membetulkan posisi duduknya, menyamankan dirinya dengan udara dingin. Tangannya menyelipkan rambut yang menjuntai tadi ke balik telinga, lalu membalik halaman bukunya. Tangan kanannya menahan buku, sementara tangan kirinya tertekuk di depan dada. Aku tidak tahu sudah berapa menit sejak aku menjauh dari bangku taman. Pun, Maura tidak menoleh ke arahku. Aku makin asyik memperhatikan tiap gerak-geriknya. Dan, ia melakukan itu, membasahi bibirnya. Bohong besar jika aku mengatakan: aku tidak tertarik. Maura selalu menarik!

Mendadak udara menghangat. Ada yang menarik tanganku, mengajakku melintasi gerombolan ilalang setinggi pinggangku. Pucuk-pucuk kuning pucat itu menyentuh ujung jemariku. Tangan yang menarikku terus saja berlari kecil, sambil tertawa manja. Aku mengenal suara itu, sudah tertanam sempurna rekamannya di otak belakangku. Kadang, aku memutarnya di saat aku teramat jenuh dengan pekerjaan di kantor. Itu, membuatku bisa menarik napas sedikit lebih lega. Dan, sekarang, suara itu malah membuat jantungku berdegup lebih kencang. Akan dibawa ke mana aku?

Aku memang mendengar suaranya, menikmati tawa manjanya, tapi aku juga ingin melihat wajahnya. Sudah terbayang, dan akan selalu terbayang raut itu di mataku. Raut itu yang seharusnya menghias foto-foto pada dinding rumahku, rumah kami. Raut itu yang seharusnya aku lihat pertama kali ketika membuka mata di pagi hari. Raut itu pula yang seharusnya mendapat julukan ‘Bunda’ dari anak-anakku.

Sial! Kenapa ia masih saja terus menarik tanganku? Tidak bisakah ia berhenti sejenak? Aku tidak lelah berlari. Aku hanya ingin…, ah, ingin memperbaiki isi dari kotak-kotak memori milikku. Ingin kuganti satu raut yang ada dengan raut wajah miliknya, milik Maura.

“Mas….”

Padang ilalang itu kini menghilang, berganti dengan lansekap taman di tepi danau. Hawa hangat sekejap berubah sejuk. Kelewat sejuk, malah. Dan, di hadapanku… ada Maura.

“Mas ngelamun ya?! Dari tadi ade panggilin kok diem aja.”

Begitu ya?! Yah…, aku hanya bisa membalas dengan senyuman karena memang begitulah adanya. Semua lamunanku beberapa tahun terakhir ini hanya berisi Maura. Selalu Maura.

“Kita pulang yuk,” ajak Maura. “Biar bisa ngejar sunset di pantai Balangan.”


Ya, hari ini memang harus sempurna.


gambar koleksi pribadi

Menangkup Rona Merah Mudamu

1378355640837385379


Angin beraroma garam mengganggu penciumanku sedari tadi. Sentuhan lembut dari bibir Maura masih saja aku rasakan selama beberapa jenak. Manis. Ya, bibir kami masih saling menempel. Tidak, bukan dengan cara yang liar. Segalanya – yang menyangkut Maura – adalah murni kelembutan yang absolut. Aku hampir selalu jatuh cinta padanya setiap saat. Itu… bukan hal yang wajar, tapi menyenangkan, dan juga menenangkan.

Perlahan, kami saling menjauh, tapi hanya sampai aku bisa melihat wajahnya yang terpoles riasan sederhana. Aku masih menangkup wajahnya di tanganku. Ingin sekali membawanya lebih dekat lagi, namun aku tergoda untuk menelisik sorot matanya. Aku ingin tahu, apa yang terjadi padanya hari ini.

“Ade…,” aku mengangkat dagunya dan akhirnya ia membalas tatapanku.

“Mas…,” gumamnya, menahan senyum.

“Ada apa?” Aku tak sanggup membendung rasa penasaran ini lebih lama lagi.

Tapi, Maura hanya menggeleng dan berkata, “Nggak ada apa-apa.”

“Ade…. Mas bisa liat, mata ade nggak sekadar bicara ‘nggak ada apa-apa’. Mas masih di sini. Mas bakal denger semuanya, kalo ade mau cerita ke mas.”

Lagi-lagi, Maura tidak langsung bicara. Ia malah menjauh, mengambil sandalnya yang tadi ia jatuhkan, lalu berjalan ke bawah payung besar. Aku mengikuti langkahnya dengan perasaan sedikit teriris. Punggung Maura begitu menggoda untuk kujamah. Tapi, itu belum bisa kulakukan. Maura harus bicara, Maura harus memberiku alasan atas yang terjadi pagi ini.

Kami duduk di kursi santai tepat di bawah payung besar. Biasanya, kami duduk tanpa jarak, tidak satu senti pun. Sekarang, kami berjarak. Tapi, aku segera merengkuh tubuh Maura, dan perlahan kepalanya rebah ke bahu kiriku. Tubuh Maura sedikit bergoncang: ia menangis. Kudekap ia lebih erat lagi, kusalurkan panas tubuhku untuknya, kutumpahkan semua rasa peduliku padanya. Dan, aku menunggu. Menunggu ia bicara.

“Ade takut, Mas….”

Hmm…, kalimat pembuka yang menyayat hatiku. “Ade takut kenapa? Cerita ke mas.”

“Takut kita nggak bisa ketemu lagi,” ujarnya disela isakan samar.

“Ade,” desahku mencoba menyingkirkan sakit yang tiba-tiba menghujam ke dadaku. “Ade nggak boleh ngomong gitu. Walaupun mas juga nggak bisa ngasi tau kapan pastinya mas ke sini lagi, tapi tetep, ade harus percaya, akan ada waktu yang tepat buat kita.”

“Waktu yang tepat buat apa, Mas? Ade nggak pernah bisa liat kemungkinan itu berpihak ke kita. Enggak, pada saat Mas masih bukan lelaki yang bebas.”

Aku membuang semua kekesalanku lewat hembusan napas. Aku memandang lepas ke arah kumpulan air asin itu. Serasa melihat, mencoba menangkap, gumpalan ketenangan di sana. Tapi, tidak ada ada. Di mataku saat ini, laut hanya… ‘laut’. Mereka gerombolan air asin berombak, yang menyembunyikan energi besar – kegundahan – yang tak jarang malah menghancurkan semua yang menghalangi. Tidak. Rasa tenangku tidak ada di sana. Rasa itu ada di sini, pada tubuh dengan jiwa indah yang aku kasihi. Aku mencintai Maura, sangat. Tapi, aku belum sanggup menggenggam hatinya lebih erat lagi.

Dilema, jelas. Aku harus memilih. Dan, dua pilihan itu sama-sama enggan aku singkirkan dari hidupku. Seandainya bisa merengkuh keduanya…, tapi aku tidak mau. Aku tetap harus memilih.

“Mas bisa undur kepulangan mas ke Jakarta,” kataku, tanpa mencari suara protes dari Maura. Ini keputusanku.

Lagi, Maura hanya menggeleng. Tak jelas apa maksudnya kali ini.

“Mas nggak boleh gitu,” sergahnya. “Ade memang butuh mas di sini, tapi ada yang lebih membutuhkan mas di Jakarta.”

Sial! Tidak bisakah Maura bersikap seperti biasanya, ketika ia tahu akan mendapatkan waktu lebih banyak bersamaku?! Mana sikap manja yang biasanya ia tunjukkan? Kenapa ia sekarang harus bertopeng? Padahal ia selalu bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersamaku. Topengnya kali ini sungguh memuakkan!

Aku melepas dekapanku, bangkit, dan menuju bibir pantai. Langit berawan, memberi keteduhan yang hangat. Selama beberapa menit, aku hanya menatap gulungan ombak-ombak kecil yang pecah tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu, ada sepasang tangan yang menyusup di antara lenganku. Dua lengan halus itu sekarang mendekap tubuhku dari belakang. Dan, aku bisa merasakan hangat wajahnya menembus kemejaku, menjalar ke kulit punggungku.

Ah, Maura. Jadilah perempuanku seperti yang biasa kau lakukan.

“Maafin ade ya, Mas. Ade nggak pengen bikin mas khawatir.”

Aku melepaskan dekapan Maura dan membawanya ke hadapanku. Kurebahkan kepalanya ke dadaku, kubiarkan Maura menikmati detak jantungku – sesuatu yang senang sekali ia dengarkan, katanya, detak jantungku serupa simfoni yang menenangkan.

“Apa yang ade denger?” tanyaku.

“Musik yang merdu,” jawabnya.

“Ingin mendengar itu setiap hari?”

Maura mengangguk.

“Tau apa yang harus kita lakukan?” tanyaku lagi.

Maura menggeleng. “Jangan diteruskan. Please…,” pintanya. Kini ia menatapku dengan mata sendunya yang – kali ini – sangat memelas.

“Kenapa? Bukannya itu yang ade pengen?!”

“Iya, tapi….”

“Mintalah pada Sang Pemberi Napas,” potongku. “Doamu akan didengar. Dan kita…, tinggal menunggu hasilnya.” Aku menyusupkan jemariku di antara lebat rambutnya. “Keinginan mas sama kayak ade, ingin kita bisa bareng… sampai napas terakhir.”

Aku menciumnya, untuk yang ke-entah-puluhan-atau-ratusan kalinya. Sentuhanku, tidak melulu berbalut nafsu, bahkan hampir tidak pernah. Aku mencoba merenggut kekhawatiran Maura atas takdir, masa depan, dan cita-cita yang terhambat macam-macam penghalang. Aku ingin Maura kembali merasa yakin atas hubungan ini. Seyakin aku menggenggam hatinya saat ini, esok, dan seterusnya.

“Mas nggak jadi pulang sore ini,” kataku setelah pagutan kami terlepas.

“Mas yakin?”

“Iya. Dan, mas pikir, harusnya ade seneng dengan hal itu.”

Maura tertunduk. Sekilas, sebelum membenamkan wajahnya kembali ke dadaku, aku melihat rona itu: rona yang menyegarkan dan sangat merah muda. Ya, dia senang dengan keputusanku menunda kepulangan. Dan, memang sudah seharusnya begitu. Boleh jadi, aku hanya bisa merasakan dua hal saat ini: tenang dan nyaman, sesuatu yang kadang jarang kudapatkan di satu tempat lainnya.

“Apa yang bikin mas bertahan sama ade?” tanyanya, masih bergelung dalam dekapanku.

“Nyaman,” sahutku. “Mas… nyaman sama ade. Mas percaya ade, dan mas merasa tenang di dekat ade.”

Maura mendongak, lalu ia pun tersenyum. “Simpan ade di sini ya,” katanya sambil meletakkan telapaknya di dadaku, “jangan dipindah ke tempat lain.”

“Selalu,” sahutku. “Dan, mas juga akan terus ada di sini, di hati ade.”


Sumber gambar, klik image.

Menggenggam Hatimu

13763003471429675995




Aku melupakan Maura. Paling tidak, itu yang kulakukan sepanjang dua hari ini, selama aku mengerjakan tugas dari Pak Syarif. Tapi, ketika hari menggelap, kami kembali bersua walau hanya lewat jaringan pribadi. Aku meneleponnya atau sebaliknya – dia lebih suka aku yang menelepon duluan.

Kami belum bisa bertemu. Aku yang memaksa. Aku ingin semua urusan pekerjaanku selesai lebih dulu. Pernah satu kali, Maura memaksa bertemu di sela-sela aku menunggu setumpuk berkas dari kantor. Ya, memang agak lama jedanya karena berkas yang dimaksud masih berada di luar kota. Tapi, aku sudah menduga waktunya tidak akan cukup jika memaksa bertemu.

Dan, benar saja. Dua jam tidak berarti apa-apa. Apalagi ternyata Maura datang terlambat karena masih harus menyelesaikan beberapa urusan di kantornya. Ujung-ujungnya, aku yang tidak tega melihat wajah sedihnya karena ternyata lagi, jadwalku setelah itu malah bertambah padat. Belakangan aku baru sadar, kalau saja saat itu Maura tidak memaksa bertemu, mungkin kami benar-benar tidak bisa bertemu. Ya, aku akui, intuisi wanita memang lebih tajam dibanding kaumku.

Sekarang, malam kedua aku berada di pulau ini, saatnya menebas rindu dan menggantinya dengan sentuhan yang nyata. Aku menunggu telepon dari Maura. Ah, mungkin dia juga sedang menunggu telepon dariku. Baiknya bagaimana? Haruskah aku yang menelepon seperti biasanya? Sepertinya harus begitu. Maura pasti akan senang.

“Besok kita ke mana?” tanyaku setelah basa-basi yang nyaris tidak penting soal apakah aku sudah mandi atau makan, atau aku dalam posisi duduk atau berdiri.

“Terserah, Mas,” jawabnya, dengan nada yang… entah, agak lain.

“Pantai?” pancingku.

“Nggak bosen?”

Nah! Mauralah yang mulai bosan, sepertinya.

“Ade maunya ke mana?” Rupanya aku harus ekstra sabar kali ini. Ada yang aneh dengan Maura dan aku tidak tahu apa itu.

“Ehm…. Nggak tau. Bingung.”

Pembicaraan kali ini tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada satu tempat pun yang akan dituju esok. Mungkin satu hal yang terdengar menggembirakan – dan kupikir memang itu yang paling menggembirakan – Maura akan datang kemari, ke hotel tempatku menginap. Ya, benar. Itulah yang terpenting.

Belum jam delapan pagi ketika pintu kamarku diketuk pelan dari luar. Aku sudah bangun, tapi masih malas untuk merapikan diri. Ranjang ini seolah menyuruhku untuk tetap tinggal. Toh, aku tidak perlu ke kantor hari ini. Semua urusan sudah selesai. Semalam aku pun sudah membereskan berkas-berkas yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku hanya perlu menghabiskan waktu sebelum berangkat ke bandara sore nanti.

Pintuku terketuk lagi. Dan, itu memaksaku menyingkap selimut hotel – ini yang paling lembut sejauh aku tidur di banyak hotel di seluruh penjuru negeri ini.

Aku membuka pintu dan… ada wajah itu di sana, tersenyum, tapi terlihat sedikit dipaksakan. Begitu pun aku yang membalas senyumnya. Seharusnya, dia langsung menghambur ke pelukanku, seperti biasanya. Seharusnya, ia mulai mengoceh – banyak bertanya – soal tujuan jalan-jalan kali ini. Seharusnya, ia menagih oleh-oleh yang selalu kujanjikan tiap kali aku datang ke pulau ini – kali ini aku tidak membawa apa-apa karena aku tidak memberitahukan kedatanganku kemari, bukan karena aku pelit atau apalah, euforia akan bertemu dengannya-lah yang membuatku lupa hal itu, yang belakangan kupikir amat tidak masuk akal. Seharusnya, aku bisa menyentuhnya begitu dia menghambur ke pelukanku. Dia, Maura, hanya mematung di tempat yang sama – di hadapanku – dengan senyumnya yang sekarang mulai terlihat… sangat terpaksa.

Dari mana ia tahu kamarku? Karena aku merasa belum pernah memberi tahu nomornya. Ah, ya, pasti Maura bertanya pada pegawai hotel yang berjaga di front office. Maura bukan gadis yang akan bertindak cukup bodoh dengan membiarkan diri diam di lobi sampai aku turun atau sampai aku meneleponnya lebih dulu.

“Belum mandi?”

Dari sekian banyak hal yang kubayangkan seharusnya terjadi dengan kami berdua, dan dia hanya bertanya apakah aku belum mandi?! Ada apa ini? Ingin sekali aku menampar wajahku sendiri, mencari tahu apakah ini masih lanjutan mimpi burukku yang tadi – aku bermimpi tersesat di padang ilalang dengan tiga matahari di langit dan anehnya, aku tidak merasa kepanasan sama sekali, aku bahkan merasa amat kedinginan. Jadi, tolong seseorang teriakkan padaku bahwa ini cuma mimpi, bahwa kehadiran Maura seharusnya seperti biasanya, manis!

“Mas….”

“Ehm… belum. Mas baru bangun.” Semoga Maura tidak mendengar kekecewaan pada nada bicaraku.

Dia menunduk. Sedikit rambutnya ikut rebah, menjuntai ke depan. Maura mendongak lagi sambil membetulkan rambutnya, menyelipkannya kembali ke belakang telinga. Gerakan yang sama setiap kali aku melihatnya. Dan, itu membuatku semakin mendamba tubuhnya di pelukanku. Tapi, aku bisa apa?

“Mau masuk?” Aku menawarkan pilihan – karena nampaknya Maura agak kebingungan – dengan menggeser daun pintu, menciptakan celah yang lebih lebar lagi.

Maura menggumam sambil menggeleng.

“Kenapa?”

Maura maju selangkah, tapi hanya membuatnya cukup dekat dengan ambang pintu. Dia meraih tanganku, aku meremasnya dan merasakan ia melakukan hal yang sama. Sejenak mata Maura terpejam. Beberapa detik saja. Mungkin sedang merasa sensasi yang sama denganku: letupan-letupan konfeti, warna-warni kembang api yang menyertainya, juga gelepar ekor paus yang tiba-tiba menggetarkan sesuatu di dalam tubuh. Dan, semuanya selesai hanya dalam hitungan detik, saat matanya terbuka dan kembali menatapku dengan datar. Aku ingin sekali mengganyang apa pun itu yang membuat Maura dingin seperti ini. Sangat!

“Mas mandi dulu, deh. Biar ade tunggu di lobi. Kalo udah selesai, temui ade di lobi dan kita akan pergi ke sana,” ujarnya sambil menunjuk pantai berpasir putih yang masih termasuk wilayah hotel. Dari lantai tiga, pantai itu terlihat sangat jelas. Air biru dengan ombak bergulung-gulung kecil. Sungguh tempat yang sangat menggiurkan untuk didatangi pagi ini.

Tanpa meminta persetujuanku lebih dulu, Maura sudah menjauh dari ambang pintu. Aku bergerak ke selasar untuk melihat punggungnya menjauh. Entah kenapa, aku sudah merasakan bahwa hari ini akan berjalan sangat lambat, dan sangat… pucat.

Aku tidak mau terikat rasa penasaran terlalu lama. Aku bersiap-siap secepat yang aku bisa. Lalu, meluncur ke lobi hotel dengan kecepatan yang tidak biasa. Sangat cepat, kupikir.

Maura ada di sana, duduk di salah satu sofa di lobi. Tangan kirinya menopang tab sementara jemari kanannya lincah menyentuh di beberapa bagian benda itu. Dia belum menyadari kedatanganku. Dan, aku seolah enggan menggangunya, jadi aku menghentikan langkahku tepat sebelum memasuki area lobi. Melihatnya seperti itu membuatku… damai. Aku bahkan hampir melupakan kepanikan yang tadi mencecarku seperti guru galak yang memarahi muridnya karena lupa mengerjakan PR. Tapi, tetap saja, panik itu masih ada.

Seperti ada tangan-tangan jahil yang mengganggu rambut Maura, berulang kali ia menyelipkan rambut yang menjuntai ke wajahnya. Berulang-ulang, sampai ia sadar kehadiranku. Padahal aku masih saja berdiri di luar lobi, agak terhalang pot besar berisi jepun putih. Aku melangkah saja ke dalam lobi sambil terus memperhatikan Maura yang sibuk memasukkan tab-nya ke tas.

Dan, ah…, akhirnya dia tersenyum. Kepadaku, bukan kepada yang lain. Matanya tertuju padaku, bukan yang lain. Dan, langkahnya menuju ke arahku, bukan ke arah lain. Itu sedikit melegakan.

“Jadi, kita mau ke mana?” Aku memberanikan diri membuka percakapan. Ya, sebelum semuanya kembali menjadi muram… dan pucat.

“Ke pantai. Lupa?” katanya, masih terdengar aneh di telingaku.

“Enggak,” sahutku, mencoba melempar pandangan menggoda, alih-alih merasa tertangkap basah.

Sambil menyusuri setapak dari jalinan paving block – akses yang sengaja dibuat pemilik hotel dari lobi sampai ke pantai – aku mencoba membaca gerak tubuh Maura. Aku yakin melihat ‘permintaan’ akan sebuah sentuhan, lagi. Tapi, sedetik kemudian, seolah tubuh Maura berteriak “Jangan dekati aku lebih dari ini!”. Aku menyerah. Aku tidak bisa membaca apa-apa kali ini. Maura terlalu… tertutup.

“Kerjaannya udah selesai, Mas?”

Aku nyaris terlonjak, dan tersandung salah satu blok yang agak mencuat dari jalinannya. Itu memalukan, seolah-olah aku tidak pernah siap, untuk apa pun.

“Udah,” jawabku, berusaha tak tergagap. “Udah beres semua.”

“Jam berapa take off?”

“Jam enam.”

Maura melihat jam tangannya, lalu menggumam, “Masih cukup.”

“Masih cukup untuk apa?” tanyaku saat akhirnya kami berdua sampai ke pantai.

Maura tidak langsung menjawab. Dia malah melepas sandalnya dan menggamit talinya dengan jemari tangan kiri. “Kita duduk di bawah payung besar itu, yuk,” ajaknya, tanpa mengacuhkan pertanyaanku.

Arrrgh!!! Aku seperti remaja konyol yang menunggu-nunggu momen ciuman pertama dengan gadis yang baru saja jadi pacarku. Bahkan pasanganku sendiri – pasanganku yang sah – tidak pernah membuatku seperti ini. Tapi, Maura amat sangat bisa!

Maura mulai berjalan lagi, tapi tanganku bertindak lebih cepat dari otakku. Sampai aku sadar, ternyata Maura masih diam karena aku menahan tangannya.

“Jawab dulu pertanyaan mas,” pintaku.

Maura tersenyum, lalu menjatuhkan sandalnya. “Paling nggak,” katanya, “kita punya – mungkin – empat jam penuh sebelum mas harus berangkat ke bandara, meninggalkan pulau ini, meninggalkan… aku.” Kemudian, Maura menempelkan bibirnya ke bibirku, manis.

next


Sumber gambar, klik image.