Cinta Pertama Maura

13729268501373481853



“Apa sih yang bikin kita terus saja merindu?”

Aku terkejut di tengah nikmatinya menanti pemandangan matahari tenggelam di Pantai Petitenget. Aku sengaja memilih untuk menjauh dari hingar bingar Kuta yang menjengkelkan. Aku suka tempat ini, tapi aku lebih suka lagi karena seseorang menemaniku menikmati semua yang tersaji di sini. Dia yang memilihkan tempat ini untukku. Dia gadisku, dia mutiaraku, dia… segalanya, meskipun bukan yang pertama. Dia… Maura.

“Apa yang membuat kita terus saja merindu?”

Tidak! Bukan gadisku yang mengulang pertanyaan itu, tapi otakku yang melakukannya, yang kemudian segera kusuruh menyusun jawabannya. Namun, otakku tidak juga mendapat kombinasi yang pas untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu.

“Mas….”

Sentuhan lembut tangannya di wajahku membuyarkan wisata lamunanku. Aku meraih tangannya, menggenggamnya, meresapi hangatnya.

“Kenapa malah banyak ngelamun, Mas? Harusnya, kan, kita manfaatin waktu. Kita nggak mungkin tiap hari bisa ketemu kayak gini.”

“Iya. Maaf, ya. Mas cuma lagi mikir.”

“Mikir apa?”

“Mikirin jawaban pertanyaan tadi.”

“Ya udah, nggak usah dipikirin lagi,” katanya sambil merapatkan kepalanya ke dadaku. “Biar ade cari jawabannya di sini.”

Aku tahu, dia paling senang posisi seperti itu, kepalanya di dadaku. Dia pernah bilang, dia senang mendengarkan detak jantungku yang jelas saja ritmenya jadi jauh lebih tinggi ketika dia berada sangat dekat denganku.

Aku beruntung kali ini. Dari tiga hari perjalanan dinasku, aku punya satu hari penuh untuk kulewati bersama Maura. Sengaja aku tidak memberi tahu dia soal kedatanganku. Aku baru mengabarkan ketika baru saja mendarat di Ngurah Rai. Mungkin dia tidak segera membuka ponselnya, aku pun langsung tenggelam dalam tugas-tugas yang diamanatkan padaku dan sejenak melupakan Maura. Jadi, ketika hari berikutnya aku punya waktu luang seharian, aku memutuskan untuk mendatangi tempat kerja Maura. Dan, dia terkejut bukan main. Dia langsung menghambur ke pelukanku tanpa peduli beberapa pasang mata milik rekan kerjanya menatap kami dengan pandangan yang – entah, mungkin saja mereka memang iri. Maura tidak peduli, pun begitu dengan aku.

“Udah ketemu jawabannya, Dek?” tanyaku sambil membelai puncak kepalanya.

Dia menggeleng manja. “Jangan berisik,” bisiknya. Tangannya membekap mulutku.

Hmm…. Sampai kapan harus seperti ini? Aku tahu, Maura tidak keberatan dengan statusku. “Rasa… nggak bakalan tergantung sama status, Mas.” Begitu katanya suatu hari. Aku setuju itu. Yang terpenting adalah rasa. Mungkin memang percuma saja jika sebuah ikatan dijalani tanpa rasa. Bukankah yang membuat ikatan itu hidup adalah rasa?

Maura pernah bilang juga, cinta pertama bukan berarti dengan pacar pertama. “Cinta pertama itu… rasa yang bertahan bahkan lebih lama dari yang kau bayangkan, yang terlukis sempurna di bank data otak belakang.” Hmm…, definisi yang cukup panjang dari Maura, tapi terdengar cukup sederhana di telingaku. Maura benar tentang definisi itu. Aku baru menyadarinya ketika dia selesai mengucapkannya. Saat itu… adalah pertemuan pertama kami setelah sembilan tahun saling kenal hanya lewat kata-kata di udara. Maura juga bilang, aku adalah cinta pertamanya. Ah, andai aku bisa juga melantangkan bahwa aku pun memberi predikat itu padanya.

Maura menegakkan punggungnya. Dia sekarang duduk menghadap ke arahku. Tangannya meraih tanganku. Lalu, ia membawa tanganku ke wajahnya. Aku membelainya, menghapus satu bulir bening yang mencuri keluar dari sudut matanya.

“Mas mau, ya, janji satu hal aja buat ade,” pintanya.

“Apa itu?”

“Kita mungkin nggak bisa jadi pasangan di dunia ini.” Ada sorot kesedihan tertangkap dari matanya. Dan, itu membuatku perasaanku makin teriris. “Tapi, ade yakin, kita bisa jadi pasangan yang sempurna di surga.”

Aku merengkuhnya lagi ke dalam pelukanku. Matahari hampir menyentuh horison, membuat langit menjingga. Aku lebih banyak diam kali ini bukan karena kehabisan kata-kata. Aku hanya ingin melewati tiap detik yang berharga ini dengan tenang. Mendekapnya… itu sudah cukup bagiku untuk membunuh sekian banyak putaran siang dan malam yang selalu aku lewati nyaris tak ubahnya seperti sebatang tubuh tanpa jiwa.

“Ade tau apa yang bikin kita bisa terus merindu,” katanya tiba-tiba.

“Karena… jarak,” sahutku.

“Ya, karena jarak,” gumamnya.


Gambar koleksi pribadi.

2 comments:

  1. apa yang bikin kita bisa terus merindu? koneksi hati ! ditunggu bab-bab selanjutny kakaknyaaaah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. mwihihihi baiklah, tp ngantri soale lana belum kelar :D

      Delete