Apa kabar Mama hari ini? Aku harap Mama, Papa, dan
Tiara baik-baik aja. Aku minta maaf karena baru bisa mengirim kabar sekarang
lewat surat ini.
Kabarku sendiri baik-baik aja, Ma. Minggu lalu sempat
demam selama tiga hari, tapi sekarang udah baikan. Aku udah bisa kerja lagi.
Oya, tentang pekerjaanku sekarang, aku sangat menyukainya. Aku bisa kerja
dengan tenang karena aku memang menginginkan pekerjaan ini sejak masih SMP. Tempat
kerjaku sekarang benar-benar bisa mengerti keadaanku, dan yang terpenting,
mereka semua menerima aku apa adanya.
Kenapa? Mama tidak yakin ya, kalau ini surat dariku?
Mama nggak perlu ragu-ragu, surat ini emang aku sendiri yang nulis. Mama, kan,
udah hapal sekali bentuk tulisanku sejak aku masih SD sampai aku SMA. Karena
Mama sering sekali buka-buka buku catatan pelajaranku. Mama juga selalu
memeriksa setiap PR-ku. Jadi, pasti Mama sangat hapal dengan tulisanku, kan?!
Walaupun, jujur saja, aku sangat risih ketika Mama melakukan hal itu – selalu memeriksa
buku-buku milikku setiap ada kesempatan.
Dan, bukan hanya itu, Ma. Mama masih ingat? Mama juga
selalu memaksaku untuk ikut eskul basket sewaktu di SMA. Padahal aku sudah
memohon pada Mama dan Papa, agar aku diijinkan ikut kegiatan yang sesuai dengan
cita-citaku. Papa lebih demokratis. Papa tidak berkata “tidak” ataupun “iya”.
Papa lebih menekankan agar aku melakukan apapun yang aku inginkan, tentunya
harus dengan tanggung jawab yang penuh. Tapi, Mama…. Mungkin dari awal Mama
sudah sadar bahwa aku agak berbeda dengan anak lelaki pada umumnya. Jadi, sejak
dini Mama sudah memaksa aku masuk eskul basket. Well, aku akan mengakui satu hal kepada Mama. Aku tidak sepenuhnya
mengikuti eskul basket. Maksudku, aku memang berangkat latihan basket di
sekolah. Tapi, aku setengah berbohong (atau mungkin aku memang sepenuhnya
berbohong) tentang waktu latihan. Aku bilang ke Mama kalau latihan basket
dimulai jam tiga sore sampai jam tujuh malam. Padahal sebenarnya hanya sampai
jam lima sore. Dan, hari latihan hanya Selasa dan Jumat. Bukan Selasa, Jumat,
dan Sabtu.
Aku minta maaf telah mengacaukan segala rencana Mama
terhadap diriku. Aku pergi dari rumah karena emang aku udah nggak tahan lagi
menutup-nutupi semuanya. Aku pergi setelah aku menerima pengumuman kelulusan
SMA. Aku emang nggak mau melanjutkan kuliah. Aku nggak pengen dan nggak mau
ngerepotin Mama dan Papa. Aku tahu, kuliah butuh biaya banyak. Itulah kenapa
aku nggak mau ngerepotin Mama sama Papa. Biarlah Tiara yang mendapat perhatian
penuh Mama dan Papa. Tiara anak yang pintar. Aku bangga punya adik seperti
Tiara. Aku sering bertemu dia. Kadang bertemu di mall, atau Tiara yang sengaja menjengukku di tempat kerjaku. Aku
mengobrol banyak dengan Tiara. Tiara selalu berusaha menguatkan hatiku,
menyuruhku untuk bersabar agar nggak terburu-buru mengirim surat ini ke Mama.
Kalaupun Tiara nggak pernah cerita ke Mama, itu karena aku dan Tiara sepakat
untuk menyembunyikan hal ini. Tiara nyuruh aku nunggu semuanya kembali tenang.
Yah, aku sadar, semua orang heboh menanggapi kepergianku. Dan, minggu lalu,
Tiara bilang bahwa ini saat yang tepat mengirimkan surat ini. Kondisi Mama sudah
cukup tenang untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi selama ini.
Tapi, Mama harus janji, Mama nggak akan menghakimi
Tiara karena udah menyembunyikan aku dari Mama selama lima tahun ini. Tiara nggak
bersalah, Ma. Tiara cuma pengen ngebantu aku mewujudkan keinginan terpendamku.
Dan, sekarang, berkat Tiara, aku bisa mewujudkan keinginanku memiliki salon
kecantikan sendiri. Ya, Ma. Aku sekarang seorang penata rambut profesional.
Bulan lalu aku baru saja mendapatkan sertifikat pendidikan penata rambut dari
sebuah sekolah hair stylish terkemuka
di Singapura. Mama paham, kan, maksudku di sini?! Aku nggak cuma main-main
dengan cita-citaku. Dan, aku juga nggak main-main waktu bilang ke Mama, aku pengen
ganti nama suatu hari nanti. ‘Suatu hari’ itu udah terwujud sekarang, Ma. Betul
sekali, Ma. Aku udah ganti nama sekarang. Jadi, sekarang Mama nggak perlu manggil
aku dengan nama Ardi, tapi panggil aku dengan nama Arini.
Sampai jumpa lagi, Ma. Salam untuk Papa dan Tiara.
Secepatnya aku akan menulis surat lagi untuk Mama.
Salam hormat,
Arini Larasati
0 comments:
Post a Comment