In Between - Surat Untuk Anakku




Dear, Anakku Tercinta…

Apa kabarmu hari ini, Nak? Kamu sehat, kan?! Semoga Tuhan selalu menyertai tiap langkahmu, Nak. Mama, Papa, dan Tiara juga baik-baik aja di sini.

Mama nggak tau harus bilang gimana. Mama juga setengah nggak paham, perasaan apa ini yang nyangkut di hati dan otak Mama. Apa Mama harus seneng? Atau, Mama harus sedih? Kecewa? Ah, kamu nggak perlu jawab, Nak. Yang jelas, perasaan Mama sekarang ini lebih tenang dari sebelumnya. Tenang, karena setelah lima tahun hidup dalam rasa cemas, sekarang Mama mendapat kepastian kabarmu. Dan, yang perlu kamu tau juga, Nak, apa pun kondisimu saat ini, Mama akan selalu menganggapmu sebagai anak Mama. Apa pun itu!

Pertama kali Mama nerima suratmu, Tiara meminta Mama untuk berjanji. Katanya, Mama harus baca suratmu sampai selesai, baru Mama boleh tanya atau komentar. Mama nggak tau sebelumnya kalo itu surat dari kamu. Mama cuma menuruti permintaan adikmu tanpa bertanya lagi. Dan, begitu Mama baca nama yang tertulis di amplop putih, Mama nggak punya bayangan apa-apa. Siapa itu Arini Larasati? Sekali lagi, Mama nggak punya bayangan. Mama ngga pernah punya teman yang namanya Arini. Tidak teman-teman sekolah Mama dulu, atau teman-teman arisan Mama di kompleks perumahan ini. Malah Mama sempat mikir kalo surat itu salah alamat. Tapi, kalo emang surat itu salah alamat, kenapa wajah Tiara serius waktu ngasi ke Mama? Saat itu, Mama bener-bener heran, Nak. Mama masih yakin, surat itu salah alamat.

Tapi, ternyata tebakan Mama sebelumnya, semuanya salah total. Ternyata surat itu memang buat Mama. Begitu baca suratmu, Mama nangis, Nak. Ya, Tuhan…. Mimpi apa Mama semalem? Kenapa Mama harus nerima kejutan begini rupa? Apa salah Mama sampai kamu permainkan perasaan Mama, Nak? Yah, sekali lagi, kamu nggak perlu jawab pertanyaan Mama. Karena bukan kamu yang salah, tapi Mama. Mama yang salah….

Mama minta maaf, Nak. Mama bener-bener nyesel udah bikin kamu menderita. Mama kira, Mama bisa membuatmu sembuh, mengubahmu jadi normal lagi, seperti bocah lelaki lainnya. Tapi, belakangan Mama sadar, bahwa kamu nggak sakit, Nak. Jadi, untuk apa Mama berusaha keras menyembuhkan kamu? Kondisimu yang sekarang adalah bagian dari rencana Tuhan terhadap keluarga kita. Cuma… Mama nggak mau nyerah gitu aja, Nak. Mama tetap pada rencana semula, memaksamu masuk ke eskul basket. Mama berharap ada sedikit aja keajaiban untuk mengubahmu jadi seperti yang Mama inginkan.

Mungkin kamu pengen tau, Nak, kapan tepatnya Mama sadar kalau kamu sedikit berbeda dengan bocah lelaki lainnya. Mama yakin, kamu pasti pengen tau. Oh, bukan, bukan itu. Bukan saat kamu minta didaftarin ikut kursus menata rambut. Jauh sebelum itu, Nak, waktu umurmu hampir tujuh tahun, waktu kamu nggak mau ikutan latihan sepak bola di lapangan komplek rumah kita. Mama sampai harus nahan malu di depan ibu-ibu tetangga kita. Tapi, sebenarnya juga bukan momen itu yang Mama maksud. Maksudnya, Mama anggap masih wajarlah kalau ada anak laki-laki yang kurang suka main sepak bola. Mungkin lebih milih seneng sama game di komputer, atau milih berkutat dengan otomotif, elektronik, atau gadget-gadget canggih. Ya, Mama masih maklumi itu.

Mama inget banget waktu itu, Nak, pas hari Minggu. Mama baru aja pulang dari pasar. Papamu lagi di halaman belakang nemenin Tiara main ayunan. Tapi, Mama nggak liat kamu di sana. Mama tanya Papa, Papa bilang tadi kamu pamit ke toilet. Tapi, ternyata kamar mandi kosong, kamarmu juga. Mama tanya Papa lagi, Papa malah jawab mungkin kamu main sama anak tetangga. Mama sedikit lega mendengar jawaban Papamu karena kamu udah mau bergaul sama anak-anak lain. Tapi, Mama nggak sepenuhnya lega.

Dan, waktu Mama lewat depan pintu kamar Mama, Mama denger lamat-lamat suara nyanyian. Mama nggak tau lagu apa itu, tapi Mama tau, itu suara kamu. Pintu kamar nggak tertutup rapat, ada celah sedikit sehingga Mama bisa mengintip ke dalam. Ternyata memang bener itu kamu, Nak. Mama melihat Ardi kecil yang sedang duduk di kursi rias Mama. Tanganmu memegang kuas blush on milik Mama. Wajahmu terlihat putih, pasti karena bedak. Dan, bibirmu…. Mama yakin kamu juga memakai lipstik Mama.

Arini, sayangku…. Pulanglah, Nak. Mama kangen kamu. Lima tahun Mama hidup dalam ketidakpastian, apa sekarang kau masih tega membiarkan wanita tua ini memendam rindu yang makin lama makin berat untuk ditanggung? Arini, Anakku…. Mama harap kamu mengerti perasaan Mama saat itu. Dan, setelah kamu memaafkan Mama, mari kita mulai lagi segalanya dari nol. Mari kita buka lembaran baru kehidupan keluarga kita. Apa kamu nggak kepengen keluarga kita utuh kembali, Nak? Arini, Cintaku…. Mama udah nggak peduli lagi sama orang-orang di sekitar kita. Mama udah nggak peduli mereka ngomong apa lagi soal keluarga kita. Yang Mama mau cuma kamu, Sayang. Pulanglah, Nak. Sama-sama kita lupakan kejadian-kejadian buruk di masa lalu. Mama nggak mau lagi ada yang tersakiti, Nak. Kalau kamu nggak pengen pulang, ijinkan Mama menemuimu. Walaupun cuma sebentar, Mama ingin lihat mata teduhmu, Nak. Mama ingin memelukmu, agar sendi-sendi tua ini merasa hangat dalam pelukan buah hati Mama.

Mama mohon kamu pertimbangkan permintaan Mama ini. Bukan hanya demi Mama, tapi juga demi Papa dan Tiara.

Peluk hangat…

Mama


Gambar pribadi.

0 comments:

Post a Comment