Siapa sih
yang tidak ingin terlihat tsantik? Semua pasti ingin terlihat menawan oleh
siapa pun, termasuk juga sebuah karya seni, ingin tampak cantik di mata
penikmatnya. Sesuai dengan judul artikel ini, saya akan sedikit membahas tip
dan trik mempercantik naskah, terutama naskah novel.
Apa saja
yang harus dipercantik?
Pertama,
kalimat-kalimat.
Naskah
novel tentu berbeda dengan karya ilmiah. Dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat
harus jelas dan tidak ambigu. Novel mungkin butuh kalimat-kalimat dengan
kiasan, perumpamaan, atau bahkan peribahasa. Tujuannya tentu saja untuk
menghibur pembaca. Penulis yang baik, biasanya dapat dengan mudahnya membuat
pembaca merasa berada dalam cerita yang mereka baca. Bagaimana caranya? Tentu saja
dengan bermain kata. Satu adegan — misal adegan cowok nembak cewek, atau adegan
ciuman, atau adegan marah-marah — bisa dibuat sampai beberapa halaman. Penulis pasti
ingin membuat pembaca memahami betapa bahagianya si cewek yang ditembak cowok,
atau bagaimana manisnya ciuman pertama, atau seberapa kesalnya si tokoh karena
keinginannya tidak terpenuhi.
Tetapi,
ingat, jangan sampai kita berlebihan dalam menggunakan kiasan, perumpamaan,
atau peribahasa. Kita ini nulis novel yak, bukan buku 1001 Peribahasa. Cantik tidak harus menor. Tidak harus dengan
kata-kata yang bahkan jarang digunakan dalam percakapan kita sehari-hari, meskipun
dari segi susunan huruf atau pelafalannya amat menawan. Diksi sederhana pun
bisa jadi cantik bila momennya pas.
Kedua,
momen atau kejadian.
Jika kalian
tidak bisa atau tidak suka dengan kalimat-kalimat yang berbunga-bunga, maka
yang harus dipercantik adalah momen-momen dalam cerita kalian. Adegannya
mungkin sederhana: cowok ngasi bunga ke ceweknya. Tetapi, bila momennya pas,
bakal bikin pembaca baper sampai langit ke tujuh. *gosah lebay, ya, mooooyy
Atau contoh
lain, adegan pelukan. Ya kali si cewek lagi goreng tempe, trus dipeluk. Bisa
aja, sih, kita bikin si cewek bereaksi santai, cenderung manis, senang dapat
pelukan. Tetapi, kenyataannya? Bukannya dapat reaksi manis dari si cewek, yang
ada si cowok malah disambit spatula. Masih untung itu wajan isi minyak panas
nggak salto ke mana-mana, yang lalu adegan berlanjut dengan latar UGD, suara
sirene ambulan meraung-raung ganas, dan lilitan perban di kepala — yang jatuhnya
malah mirip bando atau bandana — dengan tetesan obat merah di salah satu
spotnya… *teroooooos, moy, terooooooooosssss
Oke,
intinya, kalau naskah kalian bukan genre fantasi, jangan bikin adegan-adegan
absurd kalau kalian nggak menyiapkan pula penjelasan di balik keabsurdan itu. Ingat,
cantik tidak harus menor. Dalam novel detektif, momen cantik bisa jadi ketika
si penjahat tertangkap karena kelalaiannya sendiri. Dalam novel petualangan,
momen cantik bisa jadi ketika si tokoh menemukan spot menarik di alam, yang
mungkin sudah bertahun-tahun ia cari. Dalam novel horor, momen cantik bisa jadi
ketika si tokoh bisa berdamai dengan ketakutannya selama ini.
Ketiga, gap
atau jarak antaradegan.
Kali ini
bukan mempercantik, tetapi cenderung menghaluskan. Dalam cerpen, gap atau jarak
antaradegan yang besar mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi tidak dalam
novel.
Novel punya
ruang yang luas dan napas yang amat panjang. Manfaatkan itu. Ceritakan semua
sedetail mungkin, serunut mungkin. Kita boleh membuat gap atau jarak antaradegan
di bab-bab awal atau tengah, tetapi di akhir kisah, gap atau jarak itu harus
dihilangkan dengan memunculkan penjelasan-penjelasan. Biasanya ini dipakai untuk
kisah kriminal, kisah misteri, kisah konspirasi para elit penguasa, dan sejenisnya.
Ingat,
cantik tidak harus menor. Mentang-mentang dibilang harus runut, kalian malah
bikin tulisan kayak buku harian, tiap tanggal dikisahkan. Lah kalau kisah yang kalian
tulis berdurasi sepuluh tahun, seberapa tebel itu naskah? Jangan-jangan bisa
buat ganjel pintu atau nimpuk maling.
Tulis sesuai
kebutuhan. Kalau memang ada jeda sekian hari atau sekian bulan antara
adegan-adegan penting tersebut, ya, biarkan mengalir seperti itu. Tak perlu
dipaksakan harus membuat aktivitas si tokoh per tanggal kalender. Salah-salah,
malah pembaca jadi bosan dan langsung ngeloakin buku kalian. Itu pedih, Kak,
pediiihh… *gosah lebay lagi, moooyyy
Keempat,
ending atau akhir cerita.
Umumnya,
akhir cerita ada dua macam: sedih dan bahagia. Namun, ada satu lagi yang belum
jamak dipilih penulis novel, yaitu ending menggantung. Jenis ending seperti itu
boleh dipilih, asalkan “nggantung”-nya nggak nanggung. Jangan sampai bikin
pembaca berhasrat ngebanting buku kita setelah selesai baca. Buatlah
seolah-olah pembaca menginginkan kita membuat sekuel dari naskah tersebut,
meskipun aslinya mungkin kisah itu sudah benar-benar tamat.
Ingat,
cantik tidak harus menor. Ending yang kece tidak akan membuat pembaca muntah,
tidak akan membuat dahi mereka berkerut-kerut. Cinderella mungkin boleh
mendapat Prince Charming, tetapi ia tidak mendapat seluruh kerajaan, apalagi
sampai punya kuasa atas menteri-menteri kerajaan. Bella Swan hanya mendapat
Edward Cullen, tidak sekaligus Jacob Black. Jacob Black cukup jadi menantunya. Astronot-astronot
dadakan dalam Armageddon nggak perlu
mati semua demi meledakkan meteor yang bakal menghantam bumi. Cukup separuhnya,
biar Liv Tyler kebagian adegan cipokan lagi. *mooooyyyy, eling, moooyyyyy
Syudah dulu
yes. Kapan-kapan sambung lagi dengan artikel lain. Selamat menulis.
Salam
lemper, eh, cilok.