Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Apa Saja yang Perlu Dipercantik dalam Naskah Novel?


Siapa sih yang tidak ingin terlihat tsantik? Semua pasti ingin terlihat menawan oleh siapa pun, termasuk juga sebuah karya seni, ingin tampak cantik di mata penikmatnya. Sesuai dengan judul artikel ini, saya akan sedikit membahas tip dan trik mempercantik naskah, terutama naskah novel.

Apa saja yang harus dipercantik?

Pertama, kalimat-kalimat.
Naskah novel tentu berbeda dengan karya ilmiah. Dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat harus jelas dan tidak ambigu. Novel mungkin butuh kalimat-kalimat dengan kiasan, perumpamaan, atau bahkan peribahasa. Tujuannya tentu saja untuk menghibur pembaca. Penulis yang baik, biasanya dapat dengan mudahnya membuat pembaca merasa berada dalam cerita yang mereka baca. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan bermain kata. Satu adegan — misal adegan cowok nembak cewek, atau adegan ciuman, atau adegan marah-marah — bisa dibuat sampai beberapa halaman. Penulis pasti ingin membuat pembaca memahami betapa bahagianya si cewek yang ditembak cowok, atau bagaimana manisnya ciuman pertama, atau seberapa kesalnya si tokoh karena keinginannya tidak terpenuhi.
Tetapi, ingat, jangan sampai kita berlebihan dalam menggunakan kiasan, perumpamaan, atau peribahasa. Kita ini nulis novel yak, bukan buku 1001 Peribahasa. Cantik tidak harus menor. Tidak harus dengan kata-kata yang bahkan jarang digunakan dalam percakapan kita sehari-hari, meskipun dari segi susunan huruf atau pelafalannya amat menawan. Diksi sederhana pun bisa jadi cantik bila momennya pas.

Kedua, momen atau kejadian.
Jika kalian tidak bisa atau tidak suka dengan kalimat-kalimat yang berbunga-bunga, maka yang harus dipercantik adalah momen-momen dalam cerita kalian. Adegannya mungkin sederhana: cowok ngasi bunga ke ceweknya. Tetapi, bila momennya pas, bakal bikin pembaca baper sampai langit ke tujuh. *gosah lebay, ya, mooooyy
Atau contoh lain, adegan pelukan. Ya kali si cewek lagi goreng tempe, trus dipeluk. Bisa aja, sih, kita bikin si cewek bereaksi santai, cenderung manis, senang dapat pelukan. Tetapi, kenyataannya? Bukannya dapat reaksi manis dari si cewek, yang ada si cowok malah disambit spatula. Masih untung itu wajan isi minyak panas nggak salto ke mana-mana, yang lalu adegan berlanjut dengan latar UGD, suara sirene ambulan meraung-raung ganas, dan lilitan perban di kepala — yang jatuhnya malah mirip bando atau bandana — dengan tetesan obat merah di salah satu spotnya… *teroooooos, moy, terooooooooosssss
Oke, intinya, kalau naskah kalian bukan genre fantasi, jangan bikin adegan-adegan absurd kalau kalian nggak menyiapkan pula penjelasan di balik keabsurdan itu. Ingat, cantik tidak harus menor. Dalam novel detektif, momen cantik bisa jadi ketika si penjahat tertangkap karena kelalaiannya sendiri. Dalam novel petualangan, momen cantik bisa jadi ketika si tokoh menemukan spot menarik di alam, yang mungkin sudah bertahun-tahun ia cari. Dalam novel horor, momen cantik bisa jadi ketika si tokoh bisa berdamai dengan ketakutannya selama ini.

Ketiga, gap atau jarak antaradegan.
Kali ini bukan mempercantik, tetapi cenderung menghaluskan. Dalam cerpen, gap atau jarak antaradegan yang besar mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi tidak dalam novel.
Novel punya ruang yang luas dan napas yang amat panjang. Manfaatkan itu. Ceritakan semua sedetail mungkin, serunut mungkin. Kita boleh membuat gap atau jarak antaradegan di bab-bab awal atau tengah, tetapi di akhir kisah, gap atau jarak itu harus dihilangkan dengan memunculkan penjelasan-penjelasan. Biasanya ini dipakai untuk kisah kriminal, kisah misteri, kisah konspirasi para elit penguasa, dan sejenisnya.
Ingat, cantik tidak harus menor. Mentang-mentang dibilang harus runut, kalian malah bikin tulisan kayak buku harian, tiap tanggal dikisahkan. Lah kalau kisah yang kalian tulis berdurasi sepuluh tahun, seberapa tebel itu naskah? Jangan-jangan bisa buat ganjel pintu atau nimpuk maling.
Tulis sesuai kebutuhan. Kalau memang ada jeda sekian hari atau sekian bulan antara adegan-adegan penting tersebut, ya, biarkan mengalir seperti itu. Tak perlu dipaksakan harus membuat aktivitas si tokoh per tanggal kalender. Salah-salah, malah pembaca jadi bosan dan langsung ngeloakin buku kalian. Itu pedih, Kak, pediiihh… *gosah lebay lagi, moooyyy

Keempat, ending atau akhir cerita.
Umumnya, akhir cerita ada dua macam: sedih dan bahagia. Namun, ada satu lagi yang belum jamak dipilih penulis novel, yaitu ending menggantung. Jenis ending seperti itu boleh dipilih, asalkan “nggantung”-nya nggak nanggung. Jangan sampai bikin pembaca berhasrat ngebanting buku kita setelah selesai baca. Buatlah seolah-olah pembaca menginginkan kita membuat sekuel dari naskah tersebut, meskipun aslinya mungkin kisah itu sudah benar-benar tamat.
Ingat, cantik tidak harus menor. Ending yang kece tidak akan membuat pembaca muntah, tidak akan membuat dahi mereka berkerut-kerut. Cinderella mungkin boleh mendapat Prince Charming, tetapi ia tidak mendapat seluruh kerajaan, apalagi sampai punya kuasa atas menteri-menteri kerajaan. Bella Swan hanya mendapat Edward Cullen, tidak sekaligus Jacob Black. Jacob Black cukup jadi menantunya. Astronot-astronot dadakan dalam Armageddon nggak perlu mati semua demi meledakkan meteor yang bakal menghantam bumi. Cukup separuhnya, biar Liv Tyler kebagian adegan cipokan lagi. *mooooyyyy, eling, moooyyyyy

Syudah dulu yes. Kapan-kapan sambung lagi dengan artikel lain. Selamat menulis.

Salam lemper, eh, cilok.