Kamila, Kamila


Kamila menyingkap selimut biru muda yang semalaman membalut tubuh indahnya. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah meja rias. Kakinya yang tanpa alas menyentuh karpet lembut warna hijau tua yang dua tahun lalu ia beli ketika berlibur ke Bali. Tubuhnya yang terlapisi kulit kuning langsat, juga dibiarkan tanpa penutup. Kamila senang jika kulit tubuhnya – di semua bagian – dapat bernapas dengan lega tanpa halangan sehelai benang pun.

Di depan cermin meja rias, ia hanya berdiri dan melihat bayangannya sendiri. Terkadang ia menyungging senyum kecil. Lalu, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menutupi dua gundukan kenyal yang membulat sempurna. Tidak! Ia bukan bermaksud menutupi payudaranya. Ia hanya berpura-pura memeluk sesuatu, atau… seseorang. Lalu, matanya terpejam dan membiarkan dirinya terseret menuju padang kenangan.

***

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila masih seorang pekerja kantoran. Rasa jenuh membuatnya berhenti begitu saja dari pekerjaan yang sudah memberinya sebuah rumah mungil, mobil tipe city car, dan sejumlah uang tabungan. Banyak yang melarangnya berhenti. Tapi, Kamila sudah tidak mampu lagi mengingkari keinginan untuk berhenti bekerja. Sebetulnya, Kamila hanya lelah dan butuh beristirahat. Dan, memang seperti itulah rencananya. Ia hanya akan berlibur dua minggu, lalu kembali bekerja. Posisinya sebagai manajer pemasaran sulit tergantikan. Paling tidak, itu menurut atasan Kamila. Namun, apa yang terjadi ketika ia berlibur ke Bali – kurang lebih dua tahun yang lalu – membuatnya enggan kembali ke balik meja kerja.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila memutuskan untuk mengambil cuti selama dua minggu. Ia akan memakai empat belas hari penuh untuk berlibur ke Bali. Ia sudah memesan tiket pesawat dan kamar hotel. Uang bukan masalah bagi Kamila, sehingga ia bisa mendapatkan standar yang ia mau. Sudah terbayang di benaknya kala itu, liburannya akan menjadi liburan yang memuaskan karena ia bisa sejenak melupakan pekerjaan dan rutinitas melelahkan di Jakarta. Tidak boleh ada yang mengganggu. Bahkan, ia berpikir untuk tidak membawa ponselnya. Tapi, niat itu ia urungkan. Kamila akan tetap membawa ponsel. Hanya saja, ia akan menggunakan benda mungil tersebut jika memang benar-benar dibutuhkan. Jadi, selama liburan dan tidak ada keperluan mendesak, ia akan mematikan ponsel dan menyimpannya di koper. Rencana yang cukup baik, pikirnya.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila bertemu seseorang. Saat itu, Kamila sedang duduk menunggu mobil hotel menjemputnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria muda juga duduk. Nampaknya pria itu juga sedang menunggu sesuatu, atau seseorang. Berkali-kali pria itu menolak tawaran supir taksi untuk membawanya ke tempat tujuan. Kamila merasa pernah melihat pria itu sewaktu di Cengkareng. Pria akhir dua puluhan dengan koper merah besar dan jaket kulit lusuh. Bukan seseorang yang mudah terlewatkan begitu saja. Bahkan, Kamila menengok untuk yang kedua kalinya ketika melihat pria itu. Kamila pikir, pria itu akan menuju kota lain, karena loket check-in mereka berbeda. Pun Kamila tidak melihat pria itu di pesawat yang sama yang ia tumpangi. Tapi, ternyata, semesta berkonspirasi mempertemukan kembali ia dan pria itu.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebih dua tahun lalu, Kamila pernah satu mobil dengan pria berjaket kulit lusuh dan membawa koper merah besar. Di dalam mobil itu, keduanya berkenalan. Kamila sedikit terkejut, ternyata pria itu – namanya Nathan – juga memperhatikan dirinya ketika masih di loket bandara Soekarno-Hatta. Tanpa sadar, Kamila menyungging senyum kecil. Di dalam mobil itu, keduanya duduk bersebelahan. Masih ada jarak di antara tubuh-tubuh mereka. Kelak, jarak itu akan teramputasi dengan sempurna. Entah kapan. Di dalam mobil itu, yang kini berjalan sangat pelan untuk menembus kemacetan daerah Kuta, keduanya berbincang. Tentang apa saja. Bahkan, ketika sampai di depan meja resepsionis, keduanya masih juga berbincang. Masih, tentang apa saja.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila kembali mengecap manisnya jatuh cinta. Nathan membuatnya percaya, kadang cinta datang tiba-tiba tanpa permisi, tanpa perlu melihat berapa nominal yang tercetak pada buku rekening atau benda apa saja yang mengisi sebuah rumah. Cinta hanya perlu dirasakan.

“Apa yang kau pikirkan, Nathan?” tanya Kamila sambil menenggelamkan diri ke dalam pelukan Nathan. Jarak di antara keduanya sudah teramputasi dengan sempurna.

Nathan masih diam. Dada bidangnya bergerak naik turun beberapa kali secara perlahan, dengan ritme teratur. “Penyesalan,” jawabnya kemudian.

“Penyesalan?!” Kepala Kamila bergerak dan matanya menyorot heran pada Nathan. “Menyesal soal apa?”

“Tidak.” Nathan menggeleng. “Bukan sesuatu yang buruk.”

“Lalu, apa maksudmu? Kau menyesal bertemu aku?!” Kamila kembali ke dalam dekapan Nathan.

“Tidak. Aku bersyukur menemukanmu di sini. Yang aku sesalkan… adalah jika kau menyesal bertemu aku.”

Kamila bangkit dari posisinya. Ia benar-benar terduduk di atas ranjang sekarang. Matanya menatap mata Nathan, mencari-cari maksud dari perkataan pria itu. Kamila menuntut jawab. Tidak dengan ucapan, hanya dengan sorot mata yang sangat tajam.

“Aku akan menikah bulan depan,” kata Nathan. Jelas dan tenang.

Kamila bergeming.

“Maafkan aku, Mila. Aku…. Aku terlalu terbius dengan dirimu….”

Kamila turun dari ranjang. Ia mengenakan jubah mandi yang sebelumnya tergeletak di lantai. “Aku tidak mengerti,” ujar Kamila. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air matanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan siapapun, termasuk Nathan. “Aku tidak mengerti,” ulangnya. “Untuk apa kau memutuskan untuk bicara denganku jika nantinya kau harus bersama perempuan lain?”

Nathan duduk dan membiarkan Kamila kembali menghujani dirinya dengan tatapan liar yang menyalahkan. Lalu, ia bangkit dan mendekati Kamila, berdiri di hadapan perempuan itu, hampir tanpa jarak.

“Aku… menempatkan dirimu di sebuah tempat… di sini,” kata Nathan sambil menunjuk dadanya. “Tempat itu baru saja kubuat ketika pertama melihatmu di bandara. Dan, kuperluas tempat itu hingga detik ini.” Nathan mendekatkan bibirnya ke telinga Kamila. “Kau tenang saja, Mila. Tempat itu tidak akan terisi siapapun selain dirimu.” Lalu, Nathan menciumi otot-otot leher Kamila.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila menemukan cintanya. Lalu, dengan tragis, ia harus kembali melepaskan apa yang baru saja ia dapat. Ia tidak bersedih dengan kehilangannya. Ia malah tersenyum ketika melihat punggung Nathan menghilang di balik pintu kamar hotel. Ia tahu, konspirasi semesta tidak salah alamat.

***

Mata Kamila kembali terbuka. Tangannya masih terlipat di depan dada. Ia masih melihat bayangan dirinya di depan cermin meja rias… dan juga bayangan seseorang. Nathan memeluknya dari belakang dan menghadiahi bahu Kamila dengan sebuah kecupan.

“Kau tahu, Nathan?!”

“Hmm….”

“Kupikir semesta tidak sedang berkonspirasi. Semesta memang sedang mempermainkan kita saat itu. Membiarkan segalanya kacau balau.” Kamila melepaskan pelukan Nathan, lalu membalikkan badan. Ia menatap wajah Nathan, lama sekali. “Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

@sekarmayz - 131212

0 comments:

Post a Comment