Aku Si Mati


Aku adalah si mati. Sungguh, aku telah mati. Yeah, paling tidak, itu yang kurasakan ketika bercermin sehabis mandi. Aku berdiri di depan cermin tanpa rasa tertarik sedikit pun ketika melihat bayangan diriku yang tanpa jubah mandi. Bukannya aku tidak bersyukur memiliki tubuh selayaknya model Victoria’s Secret, tapi aku hanya fokus melihat wajahku tiap kali bercermin.

Aku Renata. Umurku dua puluh delapan tahun. Dan, aku adalah wanita mandiri yang layak dibilang sukses. Aku punya uang, apartemen mungil di kawasan elit, mobil kelas city car keluaran terbaru, dan juga sepatu-sepatu mahal. Aku memang sukses dan seharusnya merasa senang. Ya, seharusnya! Namun, aku tidak melihat raut itu di wajahku. Aku hanya melihat wajah aneh bak istri-istri di film Stepford Housewifes – hanya saja, rambutku tidak pirang. Mereka bisa tersenyum dan tertawa setiap saat. Mereka juga bisa melakukan banyak pekerjaan rumah tanpa merasa lelah. Lalu, di malam harinya masih harus melayani suami-suami mereka layaknya pasangan yang baru saja menikah: liar! Ternyata, di dalam otak perempuan-perempuan ‘sempurna’ itu tertanam chip. Suami-suami mereka memegang remote control untuk mengatur apa saja yang harus perempuan-perempuan itu lakukan. Bahkan, para lelaki itu bisa mengatur suara desahan dan rintihan orgasme si wanita saat mereka meliar di ranjang. Gila!

Itu membuatku berpikir, jangan-jangan di otakku pun tertanam benda kutu kupret itu. Sebab, aku melakukan banyak pekerjaan yang diperintahkan pria sialan itu setiap hari. Anehnya lagi, aku tidak merasa lelah saat melakukannya. Kupikir, harusnya aku bisa membenci bos kampret seperti dia.

Pernah suatu ketika, aku merasa kelelahan yang amat sangat. Sampai di satu titik, aku ingin melakukan satu hal: berhenti bekerja. Tapi, aku tidak bisa. Sekeras apa pun keinginanku, ujung-ujungnya aku harus menyerah pada keadaan. Kalau aku mencari pekerjaan lain, adikku tidak bisa meneruskan kuliahnya. Lalu, jika aku meneruskan pekerjaan ini, aku khawatir berubah jadi mayat hidup. Dilema!

Tapi, ehm…, tak apalah. Bukankah tadi sudah kukatakan di awal, aku adalah si mati. Itu benar. Aku sudah melihat gejalanya. Aku makin tidak peduli pada diriku sendiri. Aku hanya peduli pada tujuanku: uang. Yeah, baiknya kuteruskan melacur sampai adikku lulus kuliah.



0 comments:

Post a Comment