Two Faces - Chapter One



ku ingat pertemuan pertamaku dengan Mou. Ia datang dengan Sam ke Stamford's Diner. Saat itu sudah hampir jam sebelas malam dan mereka berdua hanya memesan dua porsi french fries dan kopi. Tidak ada yang aneh waktu itu. Mereka berdua seperti pelanggan lainnya yang mampir dalam keadaan kelaparan dan butuh tempat bersantai sebelum benar-benar pulang ke rumah. Aku bahkan tidak menganggap serius lirikan dan senyuman dari Mou karena aku mendapat perlakuan itu hampir setiap hari dari yang datang kemari.

Oke. Kejadian malam itu memang tidak bisa dikatakan sebagai pertemuan pertamaku dengan Mou. Kami baru benar-benar bertemu beberapa hari setelahnya, masih di Stamford's Diner, tapi ketika itu masih pukul empat sore.

Mou duduk di bar dan memesan chicken fillet, scrambled egg, dan segelas besar iced coke. Katanya, itu makan siangnya. Well, yeah, aku tidak peduli. Dan, ketika Mou mengeluarkan sebuah buku tebal – setelah beberapa suapan santap siangnya – dan meletakkannya di meja dengan posisi yang sepertinya sengaja untuk dipamerkan kepadaku. Ehm, aku tidak mau ambil pusing. Bahkan saat aku membaca sekilas sebuah nama yang terpajang di sampul buku tebal itu, aku tetap tidak tertarik. Walaupun sempat terlintas di otakku, nama Mourinho Sanchez pastilah seorang keturunan hispanik. Tapi, kenyataan yang kutahu belakangan, Mou bukan keturunan hispanik.

"Zee," gumam Mou setelah membaca pin yang menempel di seragamku, "nama yang lucu," katanya lagi, lalu melanjutkan lagi makannya.

Apa tadi yang ia katakan?! Lucu?! Huh! Mom dan Dad tidak menganggap nama panggilan itu 'lucu' ketika memberikannya padaku. Dan, Mou adalah satu-satunya pria yang menganggap namaku lucu. Oh ya, aku lupa. Namaku Catherine Adams. Nama yang mudah diingat, bukan?! Tapi, tentu nama Zee lebih mudah menancap di otak kalian.

Itu tadi sekilas tentang pertemuan pertamaku dengan Mou. Kami belum benar-benar berkenalan saat itu. Well, Mou tahu namaku, sementara aku belum tahu kalau ia adalah Mourinho Sanchez.


Episode aku dan Mou dimulai sesaat setelah ia menyebut namaku 'lucu'. Aku yang saat itu sedang menata gelas-gelas – yang kebetulan – tepat di hadapannya, langsung menghentikan tanganku. Aku melihatnya sudah tidak lagi memperhatikanku. Ia sudah sibuk dengan makanannya, dan juga buku tebalnya.

"Kau tertarik dengan namaku?!" tanyaku.

Mou tidak menghentikan tangannya. Pun tidak melihatku ketika menyahut, "Tidak juga."

Aku marah. Tapi, aku bisa apa? Karena tiba-tiba Mr. Stamford sudah berdiri tak jauh dariku. Meskipun pria paruh baya itu tidak sedang memperhatikan aku, tetap saja aku tidak mau mengambil risiko kehilangan pekerjaanku. Jadi, kukatakan saja pada Mou, "Kita akan bahas ini selesai jam kerja."

Aku bilang pada Mou untuk kembali ke Stamford's Diner lewat dari jam sebelas malam, saat aku akan pulang. Namun, entah apa yang ada di pikiranku ketika menyuruhnya kembali. Dan, aku hampir yakin ia tak akan datang. Jadi, begitu saatnya aku pulang, maka kuputuskan untuk benar-benar pulang. Lalu, yang terjadi, seseorang menghentikan langkahku hanya satu blok menjelang rumahku. Dari jarak beberapa kaki,  walau dalam keremangan malam, aku tahu siapa orang itu. Dia Jesse.

"Hallo, Sweetheart," sapa Jesse dengan santainya. Kulihat kedua tangannya tersembunyi di saku jaket. Bukan karena dingin, tapi itulah gaya Jesse.

"Apa kabarmu, Jesse?" tanyaku sambil melanjutkan langkahku. Kemudian Jesse mendampingiku berjalan.

"Tidak ada yang spesial," jawab Jesse. "Oya, Zee. Apa besok pagi kau sibuk? Aku ingin mengajakmu ke galeri."

"Untuk apa? Untuk memandangimu berjam-jam memperkosa tuts piano?!"

Jesse tertawa, padahal aku sedang tidak berniat berkelakar. "Kau lucu, Zee. Tapi, tidak. Bukan untuk yang kau sebutkan tadi."

Hmm.... Agak aneh juga. Hari ini ada dua pria yang menyebutku lucu. "Lalu, untuk apa? Aku tidak mau jika itu tidak ada tujuannya. Dan, kau tahu kalau aku tidak tertarik dengan seni. Apa pun bentuknya."

"Pokoknya aku jemput kau jam sembilan tepat," sahut Jesse yang langsung berlari begitu selesai bicara. Aku bahkan belum sempat memberi jawaban apa-apa.

Jesse benar-benar datang ke rumahku pukul sembilan tepat. Ibuku sedang pergi ke Bronx, jadi aku hanya sendiri di rumah. Dengan langkah malas dan setengah mengantuk, aku menuju pintu depan.

"What?" Saat itu aku belum ingat untuk apa Jesse datang ke rumahku. Ini hari Sabtu, dan aku hanya ingin tidur sepanjang hari sampai saatnya nanti aku harus pergi ke Stamford's Diner.

"Ke galeri. Ingat?"

"Ah, itu."

Maunya kututup lagi pintu depan dan kubiarkan Jesse di sana. Aku sangat ingin berbaring kembali di ranjangku. Tapi, pintu rumah tak bisa tertutup rapat. Rupanya kaki kanan Jesse mengganjal di bagian bawah pintu.

"Ayolah, Zee. Aku janji tidak akan lama," Jesse memohon. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang sejenak apa yang mungkin terjadi di galeri, aku menjauh dari pintu dan membiarkannya terbuka sehingga Jesse bisa masuk.

Oke. Baiknya aku ceritakan sedikit soal Jesse. Aku mengenalnya sejak duduk di kelas sembilan. Jesse pindah dari California karena orang tuanya bercerai dan ia lebih memilih ikut dengan ibunya. Well, nasib kami berdua benar-benar sama. Ibuku lebih memilih pindah ke Brooklyn daripada tetap satu kota dengan ayah di DC.

Rumah kami hanya dipisahkan lapangan baseball yang biasa dipakai oleh liga kecil Brooklyn. Kadang Jesse mampir ke rumahku, tapi lebih sering aku yang menginap di tempatnya. Di belakang rumah Jesse ada sebuah pohon besar – entah pohon jenis apa – yang dipasangi sebuah ban mobil yang diikatkan pada pada salah satu dahannya dengan seutas tali besar. Sebuah benda yang membuat aku selalu kembali ke rumah Jesse.

Dan, seperti remaja normal lainnya, kami pernah berkencan. Beberapa kali. Sampai akhirnya kami sadar – atau lebih tepatnya, aku yang menyadari hal itu lebih dulu – bahwa kami lebih pantas berteman.

Dan, inilah yang terjadi di galeri – kami terlambat satu jam dari janji sebelumnya – Jesse mengajakku berkeliling ke seluruh bangunan besar itu. Galeri kota ini baru saja direnovasi. Ditambah beberapa ruangan dan sebuah taman kecil di sudut galeri. Dari terakhir aku berkunjung ke galeri, bangunan ini seperti rumah hantu. Hanya suara alat musik dari kelompok Jesse yang membuat galeri itu hidup.

Salah satu ruangan baru itu diperuntukkan sebagai kelas menulis. Kabarnya, dewan kota harus mendatangkan mentor dari luar New York. Entah karena tidak ada penduduk kota ini yang qualified, atau dewan kota terlalu pelit sehingga harus berburu harga yang lebih murah.

Saat itu, kelas menulis pagi hari baru saja selesai. Beberapa remaja, juga dua wanita paruh baya, nampak keluar dari ruang itu. Aku dan Jesse menunggu sampai semua orang keluar, lalu kami masuk ke ruangan kelas. Jesse bilang, dia ingin mengenalkanku pada mentor kelas menulis. Aku bilang, untuk apa. Jesse tidak menjawab.

"Ini mentor baru kita, Zee."

Aku melihat pria di hadapanku, yang disebutkan Jesse sebagai mentor baru, dan aku seperti disentil oleh cemeti pawang singa.

"Hallo," sapa pria itu. "Aku Mourinho Sanchez."

Aku berharap sungguh-sungguh, bahasa tubuh remajaku ketika melihat pria tampan tidak akan muncul saat ini, saat aku pertama kali berhadapan dengan Mou. Bahkan aku beruntung, pikiranku bisa teralihkan pada hal lain. Dan, yang langsung kuingat adalah, pria ini yang menyebut namaku 'lucu'.

"Kau?!" gumamku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Mataku masih tak percaya terhadap objek di depannya.

Mou hanya tersenyum. "Meskipun aku memakai nama hispanik. Aku adalah warga asli Amerika," jelasnya. "Sementara ini aku tinggal di Manhattan."

Kejadian memalukan di galeri sudah lewat dua minggu yang lalu. Aku pun sudah mulai melupakannya. Tapi ada yang aneh. Biasanya Mou rutin ke Stamford's Diner pukul empat sore tiap harinya. Namun, selama dua minggu ini, aku tidak melihatnya. Aku mulai khawatir. Tepatnya, kemarin aku mulai khawatir.

Aku berpikir, jika aku menelepon Jesse atau tiba-tiba ke rumahnya hanya untuk menanyakan Mou, dia pasti curiga. Jadi, aku harus membuat Jesse yang mendatangi rumahku. "Mom meminta bantuanmu membereskan gudang, Jesse. Mom bilang, dia seperti mendengar bunyi binatang ketika mencari sesuatu di sana." Padahal aku dan Mom sudah membereskan gudang minggu lalu, dan tidak terjadi apa-apa.

Jesse datang beberapa menit kemudian. Dia masuk dari pintu dapur – hal yang biasa ia lakukan – dan langsung memberikan seringai itu padaku. "Aku tahu mengapa kau memanggilku kemari, Zee."

"Apa?!" gumamku.

"Aku tidak bodoh. Kau pasti penasaran dengan Mr. Sanchez, kan?!"

Oh, tidak. Aku seperti kehilangan oksigen di seluruh tubuhku.

Aku tahu ada yang tidak beres denganku ketika pertama kali melihat Mou di galeri. Campuran antara rasa jengkel, rasa penasaran, dan kekaguman berlebihan, hinggap di otakku saat itu. Aku tidak pernah lupa bahwa Mou menganggap namaku 'lucu'. Aku merasa harus membalas ejekan itu.

Kesimpulan pertemuan saat itu: Jesse memaksaku menemaninya mengikuti kelas menulis. Aku sulit menolak saat itu. Karena tiba-tiba saja Jesse bercerita pada Mou soal naskah drama yang kubuat saat kelas dua belas untuk pertunjukkan akhir tahun sekolah. Itu, sesuatu yang ingin aku kubur dalam-dalam di gudang memoriku. Saat itu aku setuju menyusun naskah drama hanya karena Jesse memintaku untuk itu. Well, saat itu aku tidak bisa menolak permintaan pacarku!

Jadi, ketika Mou tertawa setelah selesai mendengar cerita Jesse, aku makin jengkel kepada mentor baru itu. Sungguh, aku tidak pernah dan tidak ingin membayangkan Mou bakal menjelma menjadi kekasihku nanti.

--- bersambung ---

0 comments:

Post a Comment