Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

ARTEMIS





Kata orang, kamu harus berada dalam jarak terlebih dahulu jika ingin merasakan namanya rindu.
Aku bilang, omong kosong.
Mereka tahu apa soal rindu? Mereka tahu apa soal jarak? Mereka hanya tahu lewat omongan orang lain, tetapi tidak pernah merasakannya sendiri. Bahwa, rindu itu bisa terjadi kapan saja, meskipun aku melihat subjeknya setiap hari.

***

Kami memulainya dalam diam, bahkan tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan menjalani setapak ini.
Ah, sebentar. Kenapa aku selalu menyebut ‘kami’ seolah-olah benar ada dua orang? Baiklah, aku ralat.
Aku memulainya dalam diam. Yah, sejak kapan aku berani bersuara lebih dulu? Tidak pernah. Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Jarak terdekatku dengannya hanya, ehm, sepuluh sentimeter, mungkin. Itu, akan kuceritakan nanti.
Aku pertama kali melihatnya ketika ia memegang sebuah gitar akustik. Memangkunya, memainkannya pelan-pelan, menjelajahkan jemarinya pada papan kunci. Ia terlihat begitu sempurna, juga begitu berantakan. Begitu indah, sekaligus amat patah. Begitu bercahaya, tetapi suram di saat yang bersamaan.
Entah berapa lama aku hanya berdiri di balik deretan piano portable sambil memandangnya, tahu-tahu sosoknya sudah menghilang.
“Kamu melamun seperti orang pingsan,” begitu kata rekan kerjaku.
Benarkah? Ya, mungkin aku terlalu larut dalam segala ketidakpastian yang kutangkap dari sosoknya. Dan, itu terjadi hampir setiap hari, ketika ia mengunjungi toko alat musik tempatku bekerja, selama kira-kira lima bulan. Ya, lima bulan! Lima bulan yang penuh kesenyapan karena aku tidak berani memulainya — mengeluarkan suara untuk sekadar memberi tahu sosoknya bahwa aku ada di sini, aku melihatnya, aku mengaguminya, aku ingin dekat dengannya, aku ingin menjamah seluruh ketidakpastian dalam dirinya. Lima bulan yang membuat hidupku seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dan, ketika dasar jurang mulai tampak, aku memberanikan diri bersuara.
“Artemis,” ucapnya sambil menyambut sodoran tanganku. “Kamu boleh panggil aku Ar supaya lidahmu tidak keseleo,” katanya lagi diiringi cengiran jahil.
“Aku Jo,” balasku.
“Ya, kamu sudah bilang itu tadi.” Dan, cengiran itu muncul lagi.
Artemis.
Bukankah itu nama salah satu dewi dalam mitologi Yunani? Dewi Bulan?
“Dewi Hutan, tepatnya,” katanya ketika suatu hari kami pulang dari menonton konser mini di taman kota. Lalu, ia menjelaskan banyak hal soal sang Dewi Hutan. Aku mendengarkan, tetapi hanya menangkap beberapa hal. Bahwa Artemis memiliki busur dan anak panah emas, memiliki anjing-anjing yang setia menemaninya berburu rusa, memiliki saudara kembar bernama Apollo, dan yang paling kuingat adalah, Artemis tidak pernah menikah.
Entah mengapa, hatiku mencelos mendengar poin terakhir itu.
Ya, ya, ya, aku tahu, yang tidak menikah itu Artemis sang Dewi Hutan, bukan Artemis yang sedang berjalan di sampingku sambil mengunyah biskuit cokelat, bukan Artemis yang dua bulan terakhir ini selalu menungguku sepulang kerja untuk menyusuri setapak taman kota, bukan Artemis yang ketika datang ke tempat kerjaku selalu mengambil gitar akustik di slot nomor lima dan memainkannya selama satu jam, meskipun beberapa kali slot itu diisi gitar yang berbeda, bukan Artemis yang minggu lalu baru kehilangan kucing tua kesayangannya dan ia tidak menangis sama sekali padahal aku tahu itu bohong karena satu jam setelah ia berkabar bahwa kucingnya mati, mata Artemis sembap luar biasa, bukan Artemis yang setiap pagi selama dua bulan terakhir ini selalu mengirimiku pesan singkat menanyakan bagaimana mimpiku semalam. Bukan, bukan Artemis yang itu.
“Jo?”
Tangan Artemis menghentikan langkahku. Kini kami berhadapan. Dalam jarak sepuluh sentimeter — sepertinya — sehingga aku bisa dengan jelas mengamati warna matanya yang luar biasa indah. Cokelat tua sempurna.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Jo,” ucap Artemis. Tangannya yang bebas mulai memainkan ujung-ujung rambutku yang menyentuh mantel.
Apa kabar dengan kedua tanganku? Yah, mereka tetap pada tempatnya: di dalam saku mantel. Aku begitu takut membuatnya semakin patah. Atau, mungkin aku takut membuat diriku sendiri patah menjadi jutaan bagian. Sinar Artemis begitu terang, membuatku hangat, menyingkirkan kebekuan yang selama ini bergelayut manja dalam diri.
“Aku lebih banyak tersenyum dalam dua bulan terakhir ini,” ucapnya lagi. Lalu, Artemis membuat kami tidak berjarak lagi. Aku baru menyadarinya ketika merasakan hal ganjil dari tubuhku. Kelembutan itu menyapaku, menarikku perlahan untuk memulai perjalanan menyusuri ladang nektar, membuat cuping hidung berkenalan dengan wangi manis tanpa ingin berhenti menikmatinya.
Ciuman itu, kelembutan yang singkat namun kuat, membuatku berjanji pada diri sendiri, aku harus menjaga Artemis selama sisa hidupnya… atau mungkin hidupku.
Artemis kembali melangkah seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Ia memasukkan sisa biskuit cokelatnya ke dalam tas dan berkata, “Kita pulang ke apartemenku kali ini, Jo. Aku akan memasak ramen pedas. Kita bisa makan sambil menonton rekaman konser Lindsey Stirling. Atau, kau mau nonton Coldplay lagi? Tidak pernah bosan, ya? Atau kau mau kita ke tempat penampungan hewan dulu sebelum ke apartemenku? Aku sebenarnya amat butuh pengganti Queen. Bulu-bulu lembut itu bisa menenangkan sarafku, Jo. Percayalah!” Tawa cerianya menggema sampai ke bilik-bilik jantungku.
Layaknya penggambaran sang Dewi Hutan sesungguhnya, langkah Artemis begitu ringan hingga nyaris seperti berlari. Aku jadi membayangkan sosoknya memakai gaun sewarna tanah sebatas lutut, dengan kaki-kaki telanjangnya, dengan busur di tangannya dan sekumpulan anak panah di punggungnya, dengan beberapa ekor anjing berlarian mengiringi langkahnya, dengan rambut panjang diikat semaunya, dengan wajah ceria seolah-olah Zeus sendiri tidak mengizinkan putrinya bertambah tua.
Semua yang kubayangkan serasa nyata di mataku. Sungguh. Hanya saja, imajinasiku terhenti ketika tubuh Artemis tergeletak di tengah jalan. Tak jauh darinya, sebuah mobil berhenti dengan roda-roda yang sedikit berasap.
Aku membatu. Aku membeku. Lagi. Seperti selamanya.

***

Aku masih orang yang sama setiap harinya. Setidaknya, aku masih bekerja di tempat yang sama karena bosku termasuk orang yang malas melakukan wawancara kerja dengan calon pegawai baru. Aku bukannya tidak pernah melakukan kesalahan di tempat kerja. Aku kerap melamun, di balik deretan piano portable, berlama-lama memandang titik yang sama, sampai salah satu rekan kerjaku membawaku kembali menjejak lantai toko. Semisal boleh menyombong, aku cukup andal membantu konsumen memilih alat musik yang tepat untuk mereka. Kebanyakan akan datang kembali bersama orang lain — entah teman, entah salah satu anggota keluarganya — dan membeli alat musik di sini. Mungkin itu juga sebabnya bosku tidak mau mempekerjakan orang lain.
Aku tidak pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun isi dompetku tidak setebal Chris Martin, Mike Shinoda, atau Ed Sheeran. Gaji dari toko ini memang tidak besar, hanya sanggup membuatku bertahan hidup dengan makan dua kali sehari dan membayar sewa flat. Akan tetapi, aku punya cadangan penghasilan dari setidaknya beberapa kelas privat gitar akustik di sebuah tempat kursus bermusik. Kelas-kelas itu pulalah yang menolongku… menghalau sosok Artemis dari pikiranku, dengan susah payah.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selepas tabrakan itu. Aku hanya mengingatnya dengan samar. Raungan sirene ambulan, kelebat merah-biru lampu mobil polisi, salju tipis yang mulai turun, dan… wajah Artemis yang membiru. Bahkan, tidak ada yang menyadari bahwa Artemis tidak sendirian saat itu. Aku dan tubuhnya amat berjarak. Tidak ada yang menghampiriku, tidak juga polisi-polisi itu. Aku bergeming, hingga semuanya kembali sepi. Seorang pria tua menyenggol lenganku, membawaku kembali menjejak lantai taman kota.
Beberapa hari setelah tabrakan itu, bosku mengajakku bicara. Itu agak aneh, mengingat lelaki tua itu hanya berurusan denganku untuk masalah pekerjaan, bukan soal kehidupan pribadi. Matthew, bosku itu, beberapa kali mengajakku duduk di kafe, membelikanku secangkir kopi dan sepotong keik, bertanya soal kabarku hari itu. Ritual itu bertahan hingga kini, meski hanya seminggu sekali. Hanya saja, setelah dua kali traktiran dari Matthew, aku mulai membayar kopiku sendiri.
Hal-hal ajaib terjadi di situ. Fakta-fakta yang membuatku terkejut, membuatku paham mengapa Artemis bisa hadir di hidupku.
Matthew mengenal Artemis. Ia dan ayah Artemis berteman sejak masih muda, sejak masih menjadi kru sebuah grup musik. Sayangnya, ayah Artemis terlalu banyak minum, hingga membuat tubuhnya menyerah, membuat Artemis yang masih tiga belas tahun kala itu tenggelam dalam permainan gitar akustik — gitar tua peninggalan sang ayah. Setelah kematian ayah Artemis, Matthew memutuskan berhenti menjadi kru dan membuka toko alat musik kecil dari tabungannya selama bekerja pada grup musik itu. Lelaki tua itu juga yang membantu ibu Artemis selama di rumah sakit.
Intinya, aku masih memiliki Matthew yang selalu bersedia berbagi kabar soal Artemis. Matthew pulalah yang selalu mengingatkanku agar tidak terkejut jika suatu saat Artemis hanya akan melewatiku.
Aku mengerti.
Aku sudah bersiap untuk segalanya, termasuk bersiap kehilangan Artemis pada akhirnya.

***

Artemis duduk memangku gitar akustik. Gitar dari slot nomor satu.
Sudah dua puluh hari berturut-turut aku melihatnya lagi setelah lima puluh dua bulan mataku tak menangkap sosoknya. Permainan gitarnya tetap sama. Indah, menyiratkan kelembutan, seperti yang pernah aku rasakan. Ah…
Sesuai saran Matthew, aku tidak menyapa Artemis. Gadis itu pun tidak pernah menoleh ke arahku. Entah kenapa. Aku seperti tak kasatmata baginya. Ia hanya menyapa Matthew dan berlama-lama memeluk lelaki tua itu. Kadang, aku kembali menangkap rasa patah yang dulu pernah kulihat dari wajahnya, sebelum akhirnya menyadari, bahwa akulah yang patah, akulah yang tumbang, akulah yang berdarah.
Selesai dengan gitarnya, Artemis berdiri menghampiri sang ibu yang setia menunggunya sembari duduk di sofa di sudut toko. Ketika ibunya sudah keluar dari toko, Artemis mendadak berhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan langsung menatapku.
Ada jeda lama yang kurasakan seolah-olah waktu berhenti bergerak. Mata kami bertemu, berusaha bicara tanpa kata. Sungguh, ini seperti menggapai-gapai udara ketika kau tenggelam, seperti meraba dalam gelap. Aku bingung menerjemahkan tatapan mata Artemis. Aku begitu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari Artemis sudah berada di hadapanku. Kami hanya terhalang satu piano portable.
Artemis tersenyum dan berkata, “Aku baru menyadari ada orang lain di sini.”
Aku balas tersenyum karena sesungguhnya aku masih bingung dengan segalanya, termasuk makna dari ucapannya yang baru saja.
Artemis tetap seperti Dewi Hutan dalam bayanganku selama ini, kecuali tatapan matanya. Di balik mata cokelat tuanya yang selalu sempurna, aku melihat versi Artemis yang berbeda. Entah apa yang lain dari dirinya.
Sebuah tangan berkulit pucat terulur ke arahku. “Aku Artemis,” katanya. “Boleh kutahu namamu?”
Oh, tidak!

--- moy ---



Melodi Hujan




Apa yang akan kita dapat dari hujan? Tidak ada. Hanya gigil dan kuyup. Mungkin juga aroma tanah basah pada awalnya. Menyenangkan, tetapi terlalu lekas berlalu. Menyenangkan, tetapi tidak cukup menghalau sesuatu yang tak ingin kurasakan. Menyenangkan, tetapi tidak mampu mempertahankan senyum di wajahku.

Lalu, kamu datang mengacaukan pikiranku soal hujan.

Katamu, “Gigil? Pakailah jaket berlapis-lapis. Kuyup? Ya, jangan keluar rumah, Moy!”

Ingin sekali kubekap mulutmu itu, Ru, tetapi yang kaukatakan itu memang benar adanya. Aku terlalu ingin menikmati hujan hingga tak sadar sudah berada di halaman hingga aku perlu menenggak bergelas-gelas teh jahe untuk membuat tubuhku kembali normal.

Katamu, “Ada hal lain yang bisa kita lakukan saat hujan, Moy.”

Ya, oke, aku tahu semua rumusnya. Kita bisa membaca buku, memasak mi instan dengan kuah pedas, mencuci baju, membersihkan loteng, memberi makan kucing-kucing tetangga yang entah mengapa lebih suka berteduh di tempat kita daripada di rumah tuannya sendiri, menata ulang kepingan cakram film, atau sesederhana tidur demi kecantikan.

Katamu, “Itu rumus kuno, Moy.”

“Baiklah, lalu apa saranmu, Ru?”

Kamu mendekat dengan kecepatan cahaya, lalu menangkup wajahku dengan kehati-hatian super.

Ini entah kali keberapa aku bisa melihat warna matamu yang unik itu, Ru. Tidak hitam, tidak juga cokelat, tetapi tetap hangat… dan teduh. Mata yang tak pernah lelah melihat tingkahku yang mungkin amat menyebalkan bagi sebagian besar orang, mata yang selalu mencari hal baik dari diri yang hina ini, mata yang kerap menunjukkan keindahan tersembunyi bahkan dari seonggok dedaunan kering yang bertumpuk di sudut taman kota.

“Dengarkan suara hujan di luar, Moy…”

Apa? Mendengarkan hujan? Aku yakin, mataku membelalak sampai titik terjauhnya. Buat apa mendengarkan hujan? Apa kamu sudah tertular otak kacauku, Ru?

“…, lalu kita bisa berdansa dengan melodinya,” sambungmu.

Rasanya aku masih memproses ucapanmu dan baru separuh jalan ketika kamu meraih tanganku dan menaruhnya di bahumu. Kamu merengkuh tubuhku, memecah jarak yang ada. Kamu membawa kepalaku bersandar di dadamu, mengecup pelan puncak kepalaku, dan berkata, “Dengarkan saja, Moy.”

Kita pun berdansa dengan gerakan yang paling sederhana. Kamu membimbing tubuhku yang limbung ini dengan manisnya, membiarkan aku menemukan sendiri ritmeku.

Dan, ternyata kamu benar, Ru. Aku mendengarnya. Aku mulai menangkap melodi itu. Beberapa nada yang tidak asing di telingaku. Terangkai, terlantun, tersaji, membawaku menjauh dari ingar bingar pikiranku sendiri. Pikiran-pikiran yang membuatku tak pernah menikmati lantun indah dari apa pun yang ada di sekitarku. Pikiran-pikiran yang membuatku kerap merasakan denyut-denyut kesakitan di kepala. Pikiran-pikiran yang juga tak jarang membuat jemari tangan kiriku kebas, yang lalu rasa itu menjalar dengan cepat ke dadaku, tepat menuju hati. Pikiran-pikiran yang menyebalkan!

Ah, Ru, inginnya aku menikmati melodi itu lagi. Inginnya aku berdansa dalam dekapanmu lagi. Inginnya aku menghapus semua pikiran-pikiran yang membuatku terpuruk. Namun, rupanya itu terakhir kalinya aku merasakan keindahan yang kaubawa bersama jiwa manismu.


Teduh




Sudah sekian purnama Ru pergi, sekian purnama pula aku tidak melihat wajahnya. Biasanya, aku akan ke taman kota untuk mengusir resah, menyerap energi dari hijaunya dedaunan di sana. Duduk berjam-jam di undakan monumen, hanya untuk mengulang segalanya. Meskipun pada pengujung hari, aku tidak peduli pada diriku sendiri. Aku akan tetap menjalani ritual yang sama. Bekerja, pulang, lalu bermimpi.

Hingga hari itu, aku terjebak antara mimpi dan kenyataan. Aku melihat wajah Ru.

Hanya wajahnya.

Aku mengerjap sekali, berharap wajah itu hilang dari pandanganku, tetapi tidak berhasil. Kerjapan kedua malah membuat aku melihat torsonya. Dan, kerjapan ketiga membuat aku sadar, Ru memang berada di hadapanku.

Wajahnya agak berbeda. Mungkin karena cambang tipis yang tumbuh di wajahnya. Aku tidak tahu kalau Ru bercambang. Selama aku mengenal lelaki itu, wajahnya selalu bersih. Namun, sorot matanya tetap sama. Sorot yang selalu meneduhkanku, sorot yang mampu membuatku menarik otot-otot di sekitar bibirku. Ru tidak pernah gagal membuatku tersenyum. Seperti kali ini.

“Ayo kita ke taman, Moy,” ajaknya.

Ru begitu saja menarik lenganku tanpa menunggu aku menjawab ajakannya. Itu tidak perlu, mungkin, sebab aku tidak pernah menolak.

Rumput-rumput di taman kota masih berbalut embun ketika aku dan Ru menjejakkan kaki di sana. Ini baru pukul enam pagi, ngomong-ngomong. Langit masih temaram dan udara masih sedikit membekukan lubang hidung. Ini bulan Juni, apa yang bisa kauharapkan soal cuaca hangat? Tidak akan ada.

Ru memungut satu kuntum jepun yang tergeletak di rumput. Kelopaknya masih segar, mungkin belum lama gugur. Ru memberikannya begitu saja padaku, lalu ia kembali berjalan. Aku menikmati pemandangan punggungnya yang tegap. Aku tahu, aku akan berlama-lama memaku mataku pada punggungnya, seperti yang sudah-sudah.

“Moy, berhentilah membuatku takut,” kata Ru tiba-tiba.

Aku tertawa.

“Apa yang membuatmu takut, Ru? Aku tidak pernah memakai topeng lagi.”

“Senyummu membuatku takut, Moy.”

“Senyumku?”

Ru mendekat hingga nyaris tak berjarak denganku. Kini, aku yang mulai takut. Bukan karena tatapan mata orang-orang di sekelilingku, tetapi karena aku tahu, setelah ini, mungkin masih sekian purnama lagi aku bisa mendapati wajah Ru yang hanya sejengkal dariku.

“Apa kamu tidak sadar, Moy, kalau senyummu bisa meneduhkan langit?”

Oh, my!

Aku merasa kaki-kakiku tenggelam, jantung lepas dari sarangnya, dan paru-paruku pensiun meminta oksigen. Aku ingin teriak meminta tolong, tetapi tenggorokanku tercekat. Yang ada, bibir Ru menempel begitu saja di dahiku. Lalu, jutaan kembang api meledak di atas kepala kami.


(Artikel pertama tayang di Kompasiana)

Jeda


“Apa yang akan terjadi seandainya dulu aku tidak lari, Ru?”

Aku menoleh. Moy masih duduk di sampingku, memandang lepas ke lautan. Matanya tertutup kacamata hitam. Rambutnya berayun dimainkan angin pantai. Aku berharap ia melanjutkan ucapannya, tetapi tidak. Itu saja kalimatnya. Kalimat yang membuat otakku membeku.

Apa yang terjadi jika ia tidak lari?

Entahlah. Siapa yang tahu jawabannya? Dulu yang mana? Siapa yang mengejarnya? Akukah?

“Apa yang terjadi seandainya hari ini tidak ada, Ru?”

Hah?

“Akan ke mana kita, Ru, seandainya tidak ada jeda belasan tahun itu?”

Baiklah, ini harus segera dihentikan. Aku tidak mengajaknya bertemu untuk merusak otakku.

“Moy, tidak ada satu orang pun yang mampu menjawab itu semua.”

Moy menoleh. Ia melepas kacamatanya, dan baru kulihat, sudut matanya basah.

“Yang jelas,” lanjutku, “semua terjadi karena sebuah alasan.”

Moy memakai kembali kacamatanya. Hanya Tuhan yang tahu, apakah ia akan menangis lagi atau tidak. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan ini bisa terjadi. Aku membayangkan hal lain, hal-hal yang lebih menyenangkan.

Aku membayangkan senyumnya.

Aku membayangkan gelak tawanya ketika mendengar lelucon yang kulempar.

Aku membayangkan binar matanya ketika kuceritakan soal kucing-kucingku.

Aku membayangkan menautkan jemariku di antara jemarinya.

Aku membayangkan merapikan rambutnya ketika angin pantai terlalu nakal kepadanya.

Aku membayangkan mengecup dahinya saat aku hendak kembali ke kota dengan burung besi.

Itu saja bayanganku. Namun, semuanya tidak aku dapatkan. Ketika aku melihatnya lagi setelah sekian lama, aku tahu, sesuatu telah terjadi. Moy terlalu sering terluka dalam rentang belasan tahun itu. Teramat sering, hingga aku bisa melihat hal itu di matanya, mengecap di balik senyumnya. Pahit, semuanya terlalu pahit.

Lalu, aku sadar, aku memang seharusnya tidak membiarkannya lari.

(Artikel pertama tayang di Kompasiana)

Menentukan Akhir Kisah

Setiap awal pasti memiliki akhir. Begitu pun dengan sebuah karya fiksi, baik tulis maupun audiovisual. Ada beberapa jenis akhir kisah yang biasanya dipakai penulis-penulis yang telah menelurkan karya. Ada akhir yang bahagia, sedih, atau campuran keduanya, juga akhir yang menggantung.

Dari sekian banyak judul, rata-rata penulis memilih akhir bahagia untuk karya mereka. Kenapa? Bisa jadi memang jenis ceritanya yang mewajibkan penulis mengakhiri dengan happily ever after, semacam kisah Cinderella dan Pangeran Tampan. Atau sesederhana “ingin membuat pembaca tersenyum”. Sedangkan untuk akhir yang sedih, para penulis seolah-olah ingin berbagi pesan bahwa hidup tak selamanya di atas awan. Ada sebagian kecil dari manusia harus menerima ujian yang lebih berat tanpa ada kesempatan untuk tersenyum. (Duh, Moy, tisu mana tisuuu?!)

Bagaimana dengan akhir kisah campuran (baca: gabungan antara bahagia dan sedih)?

Nah, ini yang menarik. Bagi yang pernah membaca karya-karya Nicholas Sparks tentu tahu akhir kisah seperti apa yang saya maksud. Dear John dan The Last Song adalah dua di antara sekian banyak karyanya yang berakhir bahagia-sedih. Saya tidak mau memuntahkan bocoran soal akhir kisahnya, jadi saya coba berikan gambaran secara umum.

Sesuai hukum yang berlaku di alam: tidak ada asap tanpa api. Adanya reaksi adalah buah dari aksi. Setiap perbuatan pasti mengandung konsekuensi tertentu. Tidak selamanya efek dari tindakan itu bersifat positif. Seseorang yang berprofesi sebagai pedagang makanan rela membagi beberapa bungkus dagangannya untuk pengamen cilik yang kelaparan. Apa hasilnya? Si pedagang kehilangan sebagian keuntungannya, tetapi si pengamen cilik tidak kelaparan lagi. Kira-kira seperti itu yang terjadi pada dua judul di atas.

Lantas, bagaimana dengan akhir yang menggantung?

Ini biasanya dipakai untuk novel yang berseri. Rata-rata dua sampai empat judul untuk tiap rangkaiannya. Jenis ini bukannya tidak memiliki akhir sama sekali. Penulis pasti menamatkan plot untuk seri tersebut, akan tetapi ada satu — atau mungkin banyak — teka-teki yang belum terjawab dan akan dipaparkan lebih mendalam di seri berikutnya. Banyak sekali contoh untuk akhir kisah sejenis ini. Kalau boleh saya bilang, ini ending favorit para penulis luar negeri. Sebut saja Veronica Roth dengan trilogi Divergent, Colleen Hoover dengan trilogi Slammed, atau Jonathan Stroud dengan serial bertokoh Bartimaeus. Kenapa? Biar bisa dapat duit buanyaaak hahaha… (Atuhlah, Moy!)

Oke, begini yang saya tangkap. Pertama, mereka bisa fokus menyelesaikan satu konflik. Novel adalah karya yang bernapas panjang. Kita bisa memasukkan banyak detail untuk membuat kisah tersebut amat sangat hidup di benak pembaca. Satu konflik, banyak detail. Boleh saja membuat dua konflik, tetapi itu akan membingungkan pembaca. Hanya orang-orang tertentu yang terberkahi otak luar biasa yang sanggup menyelesaikan membacanya. Lagi pula, dengan banyak konflik, jumlah halaman yang dibutuhkan tentu akan sangat banyak. Bayangkan, berapa harga yang harus dikeluarkan konsumen untuk satu buku saja?

Kedua, cara itu membuat si penulis tetap produktif. Bisa saja, di tengah proyek merampungkan rangkaian tersebut, ia menemukan ide cerita lain. Sebab, ide cerita biasanya tidak bisa dicari. Ia akan datang sendiri ke otak kita, siap atau tidak. Jika tidak ada halangan, soal menangkap ide cerita ini akan saya paparkan di artikel lain.

Ketiga, ini murni bisnis, gaeesss. Hihihi… Dengan membuat pembaca penasaran, akan terbuka kemungkinan mereka mencari jawaban atas rasa penasaran mereka (baca: beli seri selanjutnya).

Apa pun akhir cerita yang kita pilih, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.

Pertama, genre tulisan. Novel bertema konspirasi/kriminal biasanya menuntut penjelasan di akhir kisah. Rata-rata happy ending dengan diamankannya si biang masalah. Hanya saja, kalian tidak bisa berkata bahwa si pelaku sudah ditangkap tanpa menjelaskan bagaimana prosesnya. Atau setidaknya, jelaskan kenapa si pelaku sampai rela berbuat onar seperti itu.

Bisa juga kalian membuat akhir kisah yang bahagia-sedih. Bahagia bagi tokoh A, tetapi kabar buruk untuk tokoh B (seperti akhir novel The Appeal karya John Grisham). Lalu, B mencoba membalik keadaan di seri berikutnya. Nah, jadi ada jalan untuk menulis buku selanjutnya, kan?

Untuk genre lainnya, silakan kalian berkreasi sesuai plot yang sudah kalian rancang.

Kedua, fokus menulis akhir kisah untuk tokoh(-tokoh) utama. Jangan mblakrak (baca: menyimpang tidak keruan) ke tokoh-tokoh pendukung hanya karena kalian lebih suka dengan karakter mereka. Tokoh utama sudah pasti memiliki sebagian besar porsi dalam naskah, sekalipun dia nantinya tidak berumur panjang di akhir kisah. Kalau kalian membuatnya mati di tengah-tengah naskah, maka mungkin dia bukan tokoh utamamu. Kecuali, si mati ini akan muncul lagi sebagai roh/hantu. (Ehlah, Moy, malah nyebut-nyebut hantu pulak!)

Ketiga, membaca keinginan pasar. Bagi penulis yang sudah memiliki basis penggemar, tentu ini tidak sulit. Ia hanya perlu membuka diskusi dengan para penggemarnya tentang kisah seperti apa yang ingin mereka baca. Tidak bisa dimungkiri, penggemar adalah raja. Meski tidak bisa gebyah uyah (baca: pukul rata), jika penulis tidak mau mendengar saran dari penggemarnya, ia berpotensi kehilangan calon pembaca. (Tapi, Moy, kalo udah kadung ngefans, ya, pasti dibelilah. Nggak urusan kalo abis baca, bukunya malah dilempar ke kucing tetangga yang kebetulan lewat.) Namun, jika si penulis memiliki penggemar yang menyukai kejutan, ia akan mengejutkan mereka dengan akhir kisah yang luar biasa.

Bagaimana dengan penulis pemula?

Penulis pemula memang belum punya penggemar, tetapi ia bisa mencari tahu buku apa yang paling banyak terjual sepanjang tahun. Biasanya itu akan menggambarkan buku jenis apa — sekaligus akhir kisah seperti apa — yang paling diminati khalayak. Ia juga bisa bergabung dengan forum-forum diskusi untuk menyerap banyak informasi soal buku. Atau, sesimpel bergabung dengan grup-grup kepenulisan semacam Fiksiana Community. Tenang saja, Kaka-Kaka Admin serta mBer-mBer nan kece-badai akan membantu kalian menentukan pilihan. (Yaelah, iklan amat, Moy!)

Pada intinya, tidak ada pakem khusus dalam menulis fiksi. Semua disesuaikan dengan kebutuhan. Sebab, batasan-batasan mungkin saja akan membuat karya terlihat nanggung, setengah hati, tidak bernas.

Selamat menulis.

Salam lemper, eh, cilok.

(Artikel pertama tayang di Kompasiana)