Kata orang,
kamu harus berada dalam jarak terlebih dahulu jika ingin merasakan namanya
rindu.
Aku bilang,
omong kosong.
Mereka tahu
apa soal rindu? Mereka tahu apa soal jarak? Mereka hanya tahu lewat omongan
orang lain, tetapi tidak pernah merasakannya sendiri. Bahwa, rindu itu bisa
terjadi kapan saja, meskipun aku melihat subjeknya setiap hari.
***
Kami
memulainya dalam diam, bahkan tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan
menjalani setapak ini.
Ah,
sebentar. Kenapa aku selalu menyebut ‘kami’ seolah-olah benar ada dua orang?
Baiklah, aku ralat.
Aku
memulainya dalam diam. Yah, sejak kapan aku berani bersuara lebih dulu? Tidak
pernah. Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Jarak terdekatku dengannya
hanya, ehm, sepuluh sentimeter, mungkin. Itu, akan kuceritakan nanti.
Aku pertama
kali melihatnya ketika ia memegang sebuah gitar akustik. Memangkunya,
memainkannya pelan-pelan, menjelajahkan jemarinya pada papan kunci. Ia terlihat
begitu sempurna, juga begitu berantakan. Begitu indah, sekaligus amat patah.
Begitu bercahaya, tetapi suram di saat yang bersamaan.
Entah
berapa lama aku hanya berdiri di balik deretan piano portable sambil memandangnya, tahu-tahu sosoknya sudah menghilang.
“Kamu
melamun seperti orang pingsan,” begitu kata rekan kerjaku.
Benarkah?
Ya, mungkin aku terlalu larut dalam segala ketidakpastian yang kutangkap dari
sosoknya. Dan, itu terjadi hampir setiap hari, ketika ia mengunjungi toko alat
musik tempatku bekerja, selama kira-kira lima bulan. Ya, lima bulan! Lima bulan
yang penuh kesenyapan karena aku tidak berani memulainya — mengeluarkan suara
untuk sekadar memberi tahu sosoknya bahwa aku ada di sini, aku melihatnya, aku
mengaguminya, aku ingin dekat dengannya, aku ingin menjamah seluruh
ketidakpastian dalam dirinya. Lima bulan yang membuat hidupku seperti jatuh ke
jurang tanpa dasar. Dan, ketika dasar jurang mulai tampak, aku memberanikan
diri bersuara.
“Artemis,”
ucapnya sambil menyambut sodoran tanganku. “Kamu boleh panggil aku Ar supaya
lidahmu tidak keseleo,” katanya lagi diiringi cengiran jahil.
“Aku Jo,”
balasku.
“Ya, kamu
sudah bilang itu tadi.” Dan, cengiran itu muncul lagi.
Artemis.
Bukankah
itu nama salah satu dewi dalam mitologi Yunani? Dewi Bulan?
“Dewi
Hutan, tepatnya,” katanya ketika suatu hari kami pulang dari menonton konser
mini di taman kota. Lalu, ia menjelaskan banyak hal soal sang Dewi Hutan. Aku
mendengarkan, tetapi hanya menangkap beberapa hal. Bahwa Artemis memiliki busur
dan anak panah emas, memiliki anjing-anjing yang setia menemaninya berburu
rusa, memiliki saudara kembar bernama Apollo, dan yang paling kuingat adalah,
Artemis tidak pernah menikah.
Entah
mengapa, hatiku mencelos mendengar poin terakhir itu.
Ya, ya, ya,
aku tahu, yang tidak menikah itu Artemis sang Dewi Hutan, bukan Artemis yang
sedang berjalan di sampingku sambil mengunyah biskuit cokelat, bukan Artemis
yang dua bulan terakhir ini selalu menungguku sepulang kerja untuk menyusuri
setapak taman kota, bukan Artemis yang ketika datang ke tempat kerjaku selalu
mengambil gitar akustik di slot nomor lima dan memainkannya selama satu jam,
meskipun beberapa kali slot itu diisi gitar yang berbeda, bukan Artemis yang
minggu lalu baru kehilangan kucing tua kesayangannya dan ia tidak menangis sama
sekali padahal aku tahu itu bohong karena satu jam setelah ia berkabar bahwa
kucingnya mati, mata Artemis sembap luar biasa, bukan Artemis yang setiap pagi
selama dua bulan terakhir ini selalu mengirimiku pesan singkat menanyakan
bagaimana mimpiku semalam. Bukan, bukan Artemis yang itu.
“Jo?”
Tangan
Artemis menghentikan langkahku. Kini kami berhadapan. Dalam jarak sepuluh
sentimeter — sepertinya — sehingga aku bisa dengan jelas mengamati warna
matanya yang luar biasa indah. Cokelat tua sempurna.
“Aku tidak
akan ke mana-mana, Jo,” ucap Artemis. Tangannya yang bebas mulai memainkan
ujung-ujung rambutku yang menyentuh mantel.
Apa kabar
dengan kedua tanganku? Yah, mereka tetap pada tempatnya: di dalam saku mantel.
Aku begitu takut membuatnya semakin patah. Atau, mungkin aku takut membuat
diriku sendiri patah menjadi jutaan bagian. Sinar Artemis begitu terang,
membuatku hangat, menyingkirkan kebekuan yang selama ini bergelayut manja dalam
diri.
“Aku lebih
banyak tersenyum dalam dua bulan terakhir ini,” ucapnya lagi. Lalu, Artemis
membuat kami tidak berjarak lagi. Aku baru menyadarinya ketika merasakan hal
ganjil dari tubuhku. Kelembutan itu menyapaku, menarikku perlahan untuk memulai
perjalanan menyusuri ladang nektar, membuat cuping hidung berkenalan dengan
wangi manis tanpa ingin berhenti menikmatinya.
Ciuman itu,
kelembutan yang singkat namun kuat, membuatku berjanji pada diri sendiri, aku
harus menjaga Artemis selama sisa hidupnya… atau mungkin hidupku.
Artemis
kembali melangkah seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Ia
memasukkan sisa biskuit cokelatnya ke dalam tas dan berkata, “Kita pulang ke
apartemenku kali ini, Jo. Aku akan memasak ramen pedas. Kita bisa makan sambil
menonton rekaman konser Lindsey Stirling. Atau, kau mau nonton Coldplay lagi?
Tidak pernah bosan, ya? Atau kau mau kita ke tempat penampungan hewan dulu
sebelum ke apartemenku? Aku sebenarnya amat butuh pengganti Queen. Bulu-bulu
lembut itu bisa menenangkan sarafku, Jo. Percayalah!” Tawa cerianya menggema
sampai ke bilik-bilik jantungku.
Layaknya
penggambaran sang Dewi Hutan sesungguhnya, langkah Artemis begitu ringan hingga
nyaris seperti berlari. Aku jadi membayangkan sosoknya memakai gaun sewarna
tanah sebatas lutut, dengan kaki-kaki telanjangnya, dengan busur di tangannya
dan sekumpulan anak panah di punggungnya, dengan beberapa ekor anjing berlarian
mengiringi langkahnya, dengan rambut panjang diikat semaunya, dengan wajah
ceria seolah-olah Zeus sendiri tidak mengizinkan putrinya bertambah tua.
Semua yang
kubayangkan serasa nyata di mataku. Sungguh. Hanya saja, imajinasiku terhenti
ketika tubuh Artemis tergeletak di tengah jalan. Tak jauh darinya, sebuah mobil
berhenti dengan roda-roda yang sedikit berasap.
Aku
membatu. Aku membeku. Lagi. Seperti selamanya.
***
Aku masih
orang yang sama setiap harinya. Setidaknya, aku masih bekerja di tempat yang
sama karena bosku termasuk orang yang malas melakukan wawancara kerja dengan
calon pegawai baru. Aku bukannya tidak pernah melakukan kesalahan di tempat
kerja. Aku kerap melamun, di balik deretan piano portable, berlama-lama memandang titik yang sama, sampai salah satu
rekan kerjaku membawaku kembali menjejak lantai toko. Semisal boleh menyombong,
aku cukup andal membantu konsumen memilih alat musik yang tepat untuk mereka. Kebanyakan
akan datang kembali bersama orang lain — entah teman, entah salah satu anggota keluarganya
— dan membeli alat musik di sini. Mungkin itu juga sebabnya bosku tidak mau
mempekerjakan orang lain.
Aku tidak
pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun isi dompetku tidak setebal Chris
Martin, Mike Shinoda, atau Ed Sheeran. Gaji dari toko ini memang tidak besar,
hanya sanggup membuatku bertahan hidup dengan makan dua kali sehari dan
membayar sewa flat. Akan tetapi, aku punya cadangan penghasilan dari setidaknya
beberapa kelas privat gitar akustik di sebuah tempat kursus bermusik. Kelas-kelas
itu pulalah yang menolongku… menghalau sosok Artemis dari pikiranku, dengan susah payah.
Tidak banyak
yang bisa kuceritakan selepas tabrakan itu. Aku hanya mengingatnya dengan samar.
Raungan sirene ambulan, kelebat merah-biru lampu mobil polisi, salju tipis yang
mulai turun, dan… wajah Artemis yang membiru. Bahkan, tidak ada yang menyadari
bahwa Artemis tidak sendirian saat itu. Aku dan tubuhnya amat berjarak. Tidak
ada yang menghampiriku, tidak juga polisi-polisi itu. Aku bergeming, hingga
semuanya kembali sepi. Seorang pria tua menyenggol lenganku, membawaku kembali
menjejak lantai taman kota.
Beberapa
hari setelah tabrakan itu, bosku mengajakku bicara. Itu agak aneh, mengingat
lelaki tua itu hanya berurusan denganku untuk masalah pekerjaan, bukan soal
kehidupan pribadi. Matthew, bosku itu, beberapa kali mengajakku duduk di kafe,
membelikanku secangkir kopi dan sepotong keik, bertanya soal kabarku hari itu.
Ritual itu bertahan hingga kini, meski hanya seminggu sekali. Hanya saja,
setelah dua kali traktiran dari Matthew, aku mulai membayar kopiku sendiri.
Hal-hal
ajaib terjadi di situ. Fakta-fakta yang membuatku terkejut, membuatku paham
mengapa Artemis bisa hadir di hidupku.
Matthew
mengenal Artemis. Ia dan ayah Artemis berteman sejak masih muda, sejak masih
menjadi kru sebuah grup musik. Sayangnya, ayah Artemis terlalu banyak minum,
hingga membuat tubuhnya menyerah, membuat Artemis yang masih tiga belas tahun
kala itu tenggelam dalam permainan gitar akustik — gitar tua peninggalan sang
ayah. Setelah kematian ayah Artemis, Matthew memutuskan berhenti menjadi kru
dan membuka toko alat musik kecil dari tabungannya selama bekerja pada grup
musik itu. Lelaki tua itu juga yang membantu ibu Artemis selama di rumah sakit.
Intinya,
aku masih memiliki Matthew yang selalu bersedia berbagi kabar soal Artemis. Matthew
pulalah yang selalu mengingatkanku agar tidak terkejut jika suatu saat Artemis
hanya akan melewatiku.
Aku
mengerti.
Aku sudah
bersiap untuk segalanya, termasuk bersiap kehilangan Artemis pada akhirnya.
***
Artemis
duduk memangku gitar akustik. Gitar dari slot nomor satu.
Sudah dua puluh
hari berturut-turut aku melihatnya lagi setelah lima puluh dua bulan mataku tak
menangkap sosoknya. Permainan gitarnya tetap sama. Indah, menyiratkan kelembutan,
seperti yang pernah aku rasakan. Ah…
Sesuai
saran Matthew, aku tidak menyapa Artemis. Gadis itu pun tidak pernah menoleh ke
arahku. Entah kenapa. Aku seperti tak kasatmata baginya. Ia hanya menyapa
Matthew dan berlama-lama memeluk lelaki tua itu. Kadang, aku kembali menangkap
rasa patah yang dulu pernah kulihat dari wajahnya, sebelum akhirnya menyadari,
bahwa akulah yang patah, akulah yang tumbang, akulah yang berdarah.
Selesai
dengan gitarnya, Artemis berdiri menghampiri sang ibu yang setia menunggunya
sembari duduk di sofa di sudut toko. Ketika ibunya sudah keluar dari toko,
Artemis mendadak berhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan langsung menatapku.
Ada jeda
lama yang kurasakan seolah-olah waktu berhenti bergerak. Mata kami bertemu,
berusaha bicara tanpa kata. Sungguh, ini seperti menggapai-gapai udara ketika
kau tenggelam, seperti meraba dalam gelap. Aku bingung menerjemahkan tatapan
mata Artemis. Aku begitu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari Artemis
sudah berada di hadapanku. Kami hanya terhalang satu piano portable.
Artemis
tersenyum dan berkata, “Aku baru menyadari ada orang lain di sini.”
Aku balas tersenyum
karena sesungguhnya aku masih bingung dengan segalanya, termasuk makna dari
ucapannya yang baru saja.
Artemis
tetap seperti Dewi Hutan dalam bayanganku selama ini, kecuali tatapan matanya. Di
balik mata cokelat tuanya yang selalu sempurna, aku melihat versi Artemis yang
berbeda. Entah apa yang lain dari dirinya.
Sebuah
tangan berkulit pucat terulur ke arahku. “Aku Artemis,” katanya. “Boleh kutahu
namamu?”
Oh, tidak!
--- moy ---