Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

ARTEMIS





Kata orang, kamu harus berada dalam jarak terlebih dahulu jika ingin merasakan namanya rindu.
Aku bilang, omong kosong.
Mereka tahu apa soal rindu? Mereka tahu apa soal jarak? Mereka hanya tahu lewat omongan orang lain, tetapi tidak pernah merasakannya sendiri. Bahwa, rindu itu bisa terjadi kapan saja, meskipun aku melihat subjeknya setiap hari.

***

Kami memulainya dalam diam, bahkan tak pernah terpikir sebelumnya bahwa kami akan menjalani setapak ini.
Ah, sebentar. Kenapa aku selalu menyebut ‘kami’ seolah-olah benar ada dua orang? Baiklah, aku ralat.
Aku memulainya dalam diam. Yah, sejak kapan aku berani bersuara lebih dulu? Tidak pernah. Aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Jarak terdekatku dengannya hanya, ehm, sepuluh sentimeter, mungkin. Itu, akan kuceritakan nanti.
Aku pertama kali melihatnya ketika ia memegang sebuah gitar akustik. Memangkunya, memainkannya pelan-pelan, menjelajahkan jemarinya pada papan kunci. Ia terlihat begitu sempurna, juga begitu berantakan. Begitu indah, sekaligus amat patah. Begitu bercahaya, tetapi suram di saat yang bersamaan.
Entah berapa lama aku hanya berdiri di balik deretan piano portable sambil memandangnya, tahu-tahu sosoknya sudah menghilang.
“Kamu melamun seperti orang pingsan,” begitu kata rekan kerjaku.
Benarkah? Ya, mungkin aku terlalu larut dalam segala ketidakpastian yang kutangkap dari sosoknya. Dan, itu terjadi hampir setiap hari, ketika ia mengunjungi toko alat musik tempatku bekerja, selama kira-kira lima bulan. Ya, lima bulan! Lima bulan yang penuh kesenyapan karena aku tidak berani memulainya — mengeluarkan suara untuk sekadar memberi tahu sosoknya bahwa aku ada di sini, aku melihatnya, aku mengaguminya, aku ingin dekat dengannya, aku ingin menjamah seluruh ketidakpastian dalam dirinya. Lima bulan yang membuat hidupku seperti jatuh ke jurang tanpa dasar. Dan, ketika dasar jurang mulai tampak, aku memberanikan diri bersuara.
“Artemis,” ucapnya sambil menyambut sodoran tanganku. “Kamu boleh panggil aku Ar supaya lidahmu tidak keseleo,” katanya lagi diiringi cengiran jahil.
“Aku Jo,” balasku.
“Ya, kamu sudah bilang itu tadi.” Dan, cengiran itu muncul lagi.
Artemis.
Bukankah itu nama salah satu dewi dalam mitologi Yunani? Dewi Bulan?
“Dewi Hutan, tepatnya,” katanya ketika suatu hari kami pulang dari menonton konser mini di taman kota. Lalu, ia menjelaskan banyak hal soal sang Dewi Hutan. Aku mendengarkan, tetapi hanya menangkap beberapa hal. Bahwa Artemis memiliki busur dan anak panah emas, memiliki anjing-anjing yang setia menemaninya berburu rusa, memiliki saudara kembar bernama Apollo, dan yang paling kuingat adalah, Artemis tidak pernah menikah.
Entah mengapa, hatiku mencelos mendengar poin terakhir itu.
Ya, ya, ya, aku tahu, yang tidak menikah itu Artemis sang Dewi Hutan, bukan Artemis yang sedang berjalan di sampingku sambil mengunyah biskuit cokelat, bukan Artemis yang dua bulan terakhir ini selalu menungguku sepulang kerja untuk menyusuri setapak taman kota, bukan Artemis yang ketika datang ke tempat kerjaku selalu mengambil gitar akustik di slot nomor lima dan memainkannya selama satu jam, meskipun beberapa kali slot itu diisi gitar yang berbeda, bukan Artemis yang minggu lalu baru kehilangan kucing tua kesayangannya dan ia tidak menangis sama sekali padahal aku tahu itu bohong karena satu jam setelah ia berkabar bahwa kucingnya mati, mata Artemis sembap luar biasa, bukan Artemis yang setiap pagi selama dua bulan terakhir ini selalu mengirimiku pesan singkat menanyakan bagaimana mimpiku semalam. Bukan, bukan Artemis yang itu.
“Jo?”
Tangan Artemis menghentikan langkahku. Kini kami berhadapan. Dalam jarak sepuluh sentimeter — sepertinya — sehingga aku bisa dengan jelas mengamati warna matanya yang luar biasa indah. Cokelat tua sempurna.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Jo,” ucap Artemis. Tangannya yang bebas mulai memainkan ujung-ujung rambutku yang menyentuh mantel.
Apa kabar dengan kedua tanganku? Yah, mereka tetap pada tempatnya: di dalam saku mantel. Aku begitu takut membuatnya semakin patah. Atau, mungkin aku takut membuat diriku sendiri patah menjadi jutaan bagian. Sinar Artemis begitu terang, membuatku hangat, menyingkirkan kebekuan yang selama ini bergelayut manja dalam diri.
“Aku lebih banyak tersenyum dalam dua bulan terakhir ini,” ucapnya lagi. Lalu, Artemis membuat kami tidak berjarak lagi. Aku baru menyadarinya ketika merasakan hal ganjil dari tubuhku. Kelembutan itu menyapaku, menarikku perlahan untuk memulai perjalanan menyusuri ladang nektar, membuat cuping hidung berkenalan dengan wangi manis tanpa ingin berhenti menikmatinya.
Ciuman itu, kelembutan yang singkat namun kuat, membuatku berjanji pada diri sendiri, aku harus menjaga Artemis selama sisa hidupnya… atau mungkin hidupku.
Artemis kembali melangkah seolah-olah kami tidak melakukan apa-apa sebelumnya. Ia memasukkan sisa biskuit cokelatnya ke dalam tas dan berkata, “Kita pulang ke apartemenku kali ini, Jo. Aku akan memasak ramen pedas. Kita bisa makan sambil menonton rekaman konser Lindsey Stirling. Atau, kau mau nonton Coldplay lagi? Tidak pernah bosan, ya? Atau kau mau kita ke tempat penampungan hewan dulu sebelum ke apartemenku? Aku sebenarnya amat butuh pengganti Queen. Bulu-bulu lembut itu bisa menenangkan sarafku, Jo. Percayalah!” Tawa cerianya menggema sampai ke bilik-bilik jantungku.
Layaknya penggambaran sang Dewi Hutan sesungguhnya, langkah Artemis begitu ringan hingga nyaris seperti berlari. Aku jadi membayangkan sosoknya memakai gaun sewarna tanah sebatas lutut, dengan kaki-kaki telanjangnya, dengan busur di tangannya dan sekumpulan anak panah di punggungnya, dengan beberapa ekor anjing berlarian mengiringi langkahnya, dengan rambut panjang diikat semaunya, dengan wajah ceria seolah-olah Zeus sendiri tidak mengizinkan putrinya bertambah tua.
Semua yang kubayangkan serasa nyata di mataku. Sungguh. Hanya saja, imajinasiku terhenti ketika tubuh Artemis tergeletak di tengah jalan. Tak jauh darinya, sebuah mobil berhenti dengan roda-roda yang sedikit berasap.
Aku membatu. Aku membeku. Lagi. Seperti selamanya.

***

Aku masih orang yang sama setiap harinya. Setidaknya, aku masih bekerja di tempat yang sama karena bosku termasuk orang yang malas melakukan wawancara kerja dengan calon pegawai baru. Aku bukannya tidak pernah melakukan kesalahan di tempat kerja. Aku kerap melamun, di balik deretan piano portable, berlama-lama memandang titik yang sama, sampai salah satu rekan kerjaku membawaku kembali menjejak lantai toko. Semisal boleh menyombong, aku cukup andal membantu konsumen memilih alat musik yang tepat untuk mereka. Kebanyakan akan datang kembali bersama orang lain — entah teman, entah salah satu anggota keluarganya — dan membeli alat musik di sini. Mungkin itu juga sebabnya bosku tidak mau mempekerjakan orang lain.
Aku tidak pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun isi dompetku tidak setebal Chris Martin, Mike Shinoda, atau Ed Sheeran. Gaji dari toko ini memang tidak besar, hanya sanggup membuatku bertahan hidup dengan makan dua kali sehari dan membayar sewa flat. Akan tetapi, aku punya cadangan penghasilan dari setidaknya beberapa kelas privat gitar akustik di sebuah tempat kursus bermusik. Kelas-kelas itu pulalah yang menolongku… menghalau sosok Artemis dari pikiranku, dengan susah payah.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan selepas tabrakan itu. Aku hanya mengingatnya dengan samar. Raungan sirene ambulan, kelebat merah-biru lampu mobil polisi, salju tipis yang mulai turun, dan… wajah Artemis yang membiru. Bahkan, tidak ada yang menyadari bahwa Artemis tidak sendirian saat itu. Aku dan tubuhnya amat berjarak. Tidak ada yang menghampiriku, tidak juga polisi-polisi itu. Aku bergeming, hingga semuanya kembali sepi. Seorang pria tua menyenggol lenganku, membawaku kembali menjejak lantai taman kota.
Beberapa hari setelah tabrakan itu, bosku mengajakku bicara. Itu agak aneh, mengingat lelaki tua itu hanya berurusan denganku untuk masalah pekerjaan, bukan soal kehidupan pribadi. Matthew, bosku itu, beberapa kali mengajakku duduk di kafe, membelikanku secangkir kopi dan sepotong keik, bertanya soal kabarku hari itu. Ritual itu bertahan hingga kini, meski hanya seminggu sekali. Hanya saja, setelah dua kali traktiran dari Matthew, aku mulai membayar kopiku sendiri.
Hal-hal ajaib terjadi di situ. Fakta-fakta yang membuatku terkejut, membuatku paham mengapa Artemis bisa hadir di hidupku.
Matthew mengenal Artemis. Ia dan ayah Artemis berteman sejak masih muda, sejak masih menjadi kru sebuah grup musik. Sayangnya, ayah Artemis terlalu banyak minum, hingga membuat tubuhnya menyerah, membuat Artemis yang masih tiga belas tahun kala itu tenggelam dalam permainan gitar akustik — gitar tua peninggalan sang ayah. Setelah kematian ayah Artemis, Matthew memutuskan berhenti menjadi kru dan membuka toko alat musik kecil dari tabungannya selama bekerja pada grup musik itu. Lelaki tua itu juga yang membantu ibu Artemis selama di rumah sakit.
Intinya, aku masih memiliki Matthew yang selalu bersedia berbagi kabar soal Artemis. Matthew pulalah yang selalu mengingatkanku agar tidak terkejut jika suatu saat Artemis hanya akan melewatiku.
Aku mengerti.
Aku sudah bersiap untuk segalanya, termasuk bersiap kehilangan Artemis pada akhirnya.

***

Artemis duduk memangku gitar akustik. Gitar dari slot nomor satu.
Sudah dua puluh hari berturut-turut aku melihatnya lagi setelah lima puluh dua bulan mataku tak menangkap sosoknya. Permainan gitarnya tetap sama. Indah, menyiratkan kelembutan, seperti yang pernah aku rasakan. Ah…
Sesuai saran Matthew, aku tidak menyapa Artemis. Gadis itu pun tidak pernah menoleh ke arahku. Entah kenapa. Aku seperti tak kasatmata baginya. Ia hanya menyapa Matthew dan berlama-lama memeluk lelaki tua itu. Kadang, aku kembali menangkap rasa patah yang dulu pernah kulihat dari wajahnya, sebelum akhirnya menyadari, bahwa akulah yang patah, akulah yang tumbang, akulah yang berdarah.
Selesai dengan gitarnya, Artemis berdiri menghampiri sang ibu yang setia menunggunya sembari duduk di sofa di sudut toko. Ketika ibunya sudah keluar dari toko, Artemis mendadak berhenti di ambang pintu. Ia berbalik dan langsung menatapku.
Ada jeda lama yang kurasakan seolah-olah waktu berhenti bergerak. Mata kami bertemu, berusaha bicara tanpa kata. Sungguh, ini seperti menggapai-gapai udara ketika kau tenggelam, seperti meraba dalam gelap. Aku bingung menerjemahkan tatapan mata Artemis. Aku begitu sibuk dengan pikiranku hingga tak menyadari Artemis sudah berada di hadapanku. Kami hanya terhalang satu piano portable.
Artemis tersenyum dan berkata, “Aku baru menyadari ada orang lain di sini.”
Aku balas tersenyum karena sesungguhnya aku masih bingung dengan segalanya, termasuk makna dari ucapannya yang baru saja.
Artemis tetap seperti Dewi Hutan dalam bayanganku selama ini, kecuali tatapan matanya. Di balik mata cokelat tuanya yang selalu sempurna, aku melihat versi Artemis yang berbeda. Entah apa yang lain dari dirinya.
Sebuah tangan berkulit pucat terulur ke arahku. “Aku Artemis,” katanya. “Boleh kutahu namamu?”
Oh, tidak!

--- moy ---