Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Karya Tunggal VS Karya Kolaborasi


Belakangan ini kita kerap menjumpai sebuah karya, khususnya novel, yang digarap oleh dua orang atau lebih. Mungkin yang muncul di benak kita adalah, bagaimana proses menulisnya? Bisa macam-macam, tergantung kesepakatan para penulisnya. Pengalaman saya dulu, saya mengerjakan bab pertama, lalu rekan saya menyambung dengan bab dua, kembali lagi ke saya untuk bab tiga, dan seterusnya sampai karya tersebut kami putuskan untuk tamat.
Ada lagi jenis kolaborasi yang lain, yang dipadukan juga dengan unsur estafet seperti yang pernah Fiksiana Community gelar beberapa tahun lalu. Tiap bab dikerjakan oleh penulis yang berbeda. Jadi, jika seluruhnya ada lima belas bab, maka jumlah penulisnya pun ada lima belas. Yang kurang ajarnya adalah, karya tersebut dibuat tanpa menggarap lebih dahulu kerangkanya. Panitia hanya memberi tema. Beruntunglah yang mendapat giliran pertama, dan yang apes tentu saja yang paling buntut. Tapi yang lebih mumet lagi ya editornya. Sebab harus mencocokkan detail-detail yang muncul di tiap bab. *paragraf mengandung tsurhat colongan*
Nah, buat yang masih bingung ingin menulis sendiri atau keroyokan, saya jembreng rangkuman perbandingan keduanya.

Karya Tunggal
1.  Sebuah karya tunggal tentu saja berpunca dari ide satu orang. Kalaupun si penulis mendapat sedikit wangsit untuk karyanya ketika sedang mengobrol dengan seorang teman, tidak bisa serta-merta si teman jadi rekan duet menulis. Si teman hanya memberi satu unsur bahan mentah dan si penulis mungkin harus mencari bahan mentah lainnya agar masakannya matang.
2.  Semua tugas (riset, menulis, dan self-editing) dilakukan oleh satu orang. Mungkin akan terasa berat karena durasi pengerjaan jadi lebih lama. Tapi, bagi yang berjiwa soliter, mungkin ini lebih mudah, karena nggak bakal ada yang ngerempongin di tengah jalan. Halangan terberat ketika sibuk riset mungkin akibat lewatnya tukang cilok di depan rumah. *itu mah elu, moy*
3. Penulis dapat mengatur sendiri waktu kerjanya. Mau dimolor-molorin sampe satu milenium juga nggak papa. *disambit dandang cilok*
4. Jika di tengah jalan si penulis menemukan ide lain untuk detail tulisannya, ia bisa langsung menambahkannya tanpa perlu kulo nuwun dulu pada rekannya.
5.  Segala penilaian yang muncul setelah karyanya dipublikasikan menjadi tanggungan si penulis seorang.

Karya Kolaborasi
1. Merupakan hasil kerja dua atau lebih penulis.
2. Bisa berbagi tugas.
3. Durasi pengerjaan mungkin berbatas waktu, tergantung kesepakatan yang dibuat bersama.
4. Jika di tengah jalan salah satu penulis memiliki gagasan baru, harus didiskusikan lebih dahulu dengan si rekan sebelum ditambahkan ke dalam naskah.
5. Penilaian yang muncul setelah karya dipublikasikan adalah tanggungan bersama.

Lalu, bagaimana jika karya kolaborasi yang sudah setengah jalan tiba-tiba mogok karena salah satu penulis memutuskan berhenti bekerja sama?
Pertama, tulisan bisa diteruskan oleh satu orang. Dengan syarat, izin dulu kepada si rekan. Dalam aplikasinya, mungkin penulis pertama harus membuang (sebagian atau seluruhnya) gagasan si rekan yang sudah tidak ikut serta demi menghindari klaim di kemudian hari. Jika si rekan mengizinkan gagasannya tetap dipakai, jangan lupa cantumkan namanya di halaman dedikasi. Jangan seperti cilok yang lupa dandangnya.
Kedua, tinggalkan dan buat tulisan baru yang lain sama sekali. Ini jelas menuntut kerelaan dan keikhlasan yang luar biasa. Kebayang, dong, capeknya japri-an demi bahas naskah. *kebayang, moy, kebayang*
Ketiga, mencari rekan baru. Ini jelas lebih rempong lagi. Selain minta izin ke rekan terdahulu soal gagasan dalam naskah, kita juga harus menyesuaikan diri dengan rekan yang baru.

Menulis novel memang membutuhkan napas yang amat panjang. Bagi yang sudah biasa, tentu nggak ada masalah, meskipun kerepotan yang terjadi ketika menggarap novel nggak ada yang masuk kategori selaaaww. Namun, bagi yang tidak biasa (tapi ngotot pengen punya karya novel) berduet merupakan salah satu alternatif mewujudkannya.
Alasan lainnya, mungkin saja mereka hendak menyatukan dua (atau lebih) poin ke dalam satu novel. Misalnya novel soal romansa yang terjadi di negeri kanguru. Penulis pertama ternyata pernah tinggal cukup lama di Melbourne (misalnya), jadi ia punya amunisi cukup kuat untuk set lokasi dan suasana. Sementara penulis kedua ternyata jago bikin narasi dan dialog dengan level kebaperan yang ruar binasa sehingga sanggup bikin jomblo-jomblo yang baca mendadak cari pohon toge buat gantung diri. *lebay, moy, lebaaayyy* Bisa dibayangkan, kan, gimana kece badainya karya tersebut?
Dapat disimpulkan juga bahwa karya kolaborasi memungkinkan untuk penggabungan lebih banyak unsur kece, meskipun tidak menampik bahwa penulis tunggal pun bisa menggarap hal yang sama. Jadi, mau nulis sendiri atau keroyokan, itu terserah kalian.

Salam lemper, eh, cilok.

Perintilan Penting Ketika Menulis Fiksi


Kenal Robert Langdon? Kalo kenal, pasti kalian kenal dengan si pencipta karakter tersebut. Yakin seyakin-yakinnya, Dan Brown nggak asal jeplak ketika nyiptain karakter seorang profesor yang ahli bener soal simbol-simbol. Apalagi, ketika dikaitkan dengan setting lokasi yang merupakan kota suci Vatikan. Ada pengorbanan waktu, tenaga, dan biaya yang tak sedikit untuk mempelajari itu semua — mengingat jarak Amerika dan Eropa yang nggak mungkin ditempuh dengan sekali engklek. Tapi, hasilnya sepadan. Baik film maupun bukunya, laris manis kek cilok bumbu kacang. *lalu disambit Pakde Robert* Pembaca malah bisa dapat wawasan baru soal simbol-simbol, prosesi pemilihan Paus, atau soal karya-karya Da Vinci. Ya, meskipun kita tidak disarankan menelan mentah-mentah semuanya.
Lalu, kenal Ikal atau Lintang? Kalo kenal, pasti kalian juga kenal Andrea Hirata. Jika kalian berpendapat Andrea Hirata amat lihai menuliskan setting Pulau Belitung, itu karena ia memang putra Belitung. Ia memasukkan pengalaman hidupnya ke dalam tulisannya agar karya tersebut berkesan nyata. Serupa dengan karya-karya Dan Brown tadi, pembaca juga bisa mendapat bayangan seperti apa kehidupan di pulau tersebut, bagaimana bentang alamnya, suasananya, dll, dsb, dkk.
Kenapa jadi mendadak ngomongin setting lokasi sih, Moy?
Ya, karena itu penting. Apa jadinya naskah kalian kalo setting lokasi aja ngasal? Baru masuk meja redaksi aja udah pasti dapet omelan dari tukang reviewnya. Itu baru setting lokasi loh ya, belum perintilan lainnya. Misal kayak jadwal race-nya Om Rossi, yang kudunya hari Minggu, malah kalian tulis hari Rabu. Atau jadwal kereta yang kudunya pukul sembilan malam, malah ditulis pukul tujuh pagi. Kalo kalian lagi bikin fiksi fantasi mah bebaaaasssss mo bikin pukul berapa aja tuh kereta meluncur, tapi kalo bukan fiksi fantasi ya jangan atuh.
Misal lagi nih, warna pelangi yang kudunya ada tujuh, malah kalian tulis sepuluh. Itu yang tiga nyomot dari mana? Atau pentol cilok yang kudunya pake tepung kanji, malah kalian tulis pake tepung beras. Nggak jadi cilok, malah jadi bubur sumsum. *mendadak baper, eh, laper*
Sedikit berbagi pengalaman waktu saya nulis Constellation of Love. Si tokoh utama adalah seorang gadis yang gemar dengan ilmu astronomi. Saya? Boro-boro gemar astronomi, daftar zodiak aja nggak apal. Eh, itu mah astrologi yak. Maap, maap.
Singkatnya, saya belajar lagi. Saya mencari tahu apa yang saya butuhkan. Saya membuka banyak sekali laman astronomi, baik yang resmi maupun dari blog-blog pencinta astronomi. Saya bahkan sampai mencari tahu teleskop jenis apa yang banyak beredar di pasaran. Tapi, tidak semua informasi bisa saya masukkan ke dalam naskah. Saya menyaringnya lagi, mengecek ulang, dan setelah yakin, baru saya berani memasukkannya ke dalam naskah.
Begitu pula ketika saya mengedit sebuah naskah. Bolak balik ngecek kamus, buka browser buat cek data, buka KBBI lagi, lalu Google Translate, lalu KBBI lagi, dan berakhir dengan ngintip temlen pesbuk. *kembali disambit Pakde Robert* Semua demi sebuah kesesuaian. Kalian pikir saya akan telan begitu saja ketika dalam naskah nemu nama tempat yang sebelumnya tidak pernah saya tahu atau dengar? Tidak. Saya pasti mengeceknya. Minimal menyamakan penulisan serta membaca sedikit ulasan mengenai tempat tersebut. Karena kalo sampe kesalahan itu muncul setelah buku terbit, sayalah yang akan diminta foto bareng, eh, dicaci maki oleh pembaca. *malah tsurhat*
Jadi, inti dari tsurhatan random ini adalah, sayangi naskah kalian. Perlakukan karya kalian dengan baik. Caranya? Dengan tidak melakukan hal konyol bernama ‘malas riset’. Riset paling mudah memang lewat internet. Tapi, ingat, bijaklah menyaring semua informasi yang kalian baca.

Salam lemper, eh, cilok.