Setiap awal
pasti memiliki akhir. Begitu pun dengan sebuah karya fiksi, baik tulis maupun
audiovisual. Ada beberapa jenis akhir kisah yang biasanya dipakai
penulis-penulis yang telah menelurkan karya. Ada akhir yang bahagia, sedih,
atau campuran keduanya, juga akhir yang menggantung.
Dari sekian
banyak judul, rata-rata penulis memilih akhir bahagia untuk karya mereka.
Kenapa? Bisa jadi memang jenis ceritanya yang mewajibkan penulis mengakhiri
dengan happily ever after, semacam
kisah Cinderella dan Pangeran Tampan.
Atau sesederhana “ingin membuat pembaca tersenyum”. Sedangkan untuk akhir yang
sedih, para penulis seolah-olah ingin berbagi pesan bahwa hidup tak selamanya
di atas awan. Ada sebagian kecil dari manusia harus menerima ujian yang lebih
berat tanpa ada kesempatan untuk tersenyum. (Duh, Moy, tisu mana tisuuu?!)
Bagaimana
dengan akhir kisah campuran (baca: gabungan antara bahagia dan sedih)?
Nah, ini
yang menarik. Bagi yang pernah membaca karya-karya Nicholas Sparks tentu tahu
akhir kisah seperti apa yang saya maksud. Dear
John dan The Last Song adalah dua
di antara sekian banyak karyanya yang berakhir bahagia-sedih. Saya tidak mau
memuntahkan bocoran soal akhir kisahnya, jadi saya coba berikan gambaran secara
umum.
Sesuai
hukum yang berlaku di alam: tidak ada asap tanpa api. Adanya reaksi adalah buah
dari aksi. Setiap perbuatan pasti mengandung konsekuensi tertentu. Tidak selamanya
efek dari tindakan itu bersifat positif. Seseorang yang berprofesi sebagai pedagang
makanan rela membagi beberapa bungkus dagangannya untuk pengamen cilik yang
kelaparan. Apa hasilnya? Si pedagang kehilangan sebagian keuntungannya, tetapi
si pengamen cilik tidak kelaparan lagi. Kira-kira seperti itu yang terjadi pada
dua judul di atas.
Lantas,
bagaimana dengan akhir yang menggantung?
Ini
biasanya dipakai untuk novel yang berseri. Rata-rata dua sampai empat judul
untuk tiap rangkaiannya. Jenis ini bukannya tidak memiliki akhir sama sekali.
Penulis pasti menamatkan plot untuk seri tersebut, akan tetapi ada satu — atau
mungkin banyak — teka-teki yang belum terjawab dan akan dipaparkan lebih
mendalam di seri berikutnya. Banyak sekali contoh untuk akhir kisah sejenis
ini. Kalau boleh saya bilang, ini ending
favorit para penulis luar negeri. Sebut saja Veronica Roth dengan trilogi Divergent, Colleen Hoover dengan trilogi
Slammed, atau Jonathan Stroud dengan
serial bertokoh Bartimaeus. Kenapa? Biar bisa dapat duit buanyaaak hahaha…
(Atuhlah, Moy!)
Oke, begini
yang saya tangkap. Pertama, mereka bisa fokus menyelesaikan satu konflik. Novel
adalah karya yang bernapas panjang. Kita bisa memasukkan banyak detail untuk
membuat kisah tersebut amat sangat hidup di benak pembaca. Satu konflik, banyak
detail. Boleh saja membuat dua konflik, tetapi itu akan membingungkan pembaca.
Hanya orang-orang tertentu yang terberkahi otak luar biasa yang sanggup
menyelesaikan membacanya. Lagi pula, dengan banyak konflik, jumlah halaman yang
dibutuhkan tentu akan sangat banyak. Bayangkan, berapa harga yang harus
dikeluarkan konsumen untuk satu buku saja?
Kedua, cara
itu membuat si penulis tetap produktif. Bisa saja, di tengah proyek
merampungkan rangkaian tersebut, ia menemukan ide cerita lain. Sebab, ide
cerita biasanya tidak bisa dicari. Ia akan datang sendiri ke otak kita, siap
atau tidak. Jika tidak ada halangan, soal menangkap
ide cerita ini akan saya paparkan di artikel lain.
Ketiga, ini
murni bisnis, gaeesss. Hihihi… Dengan membuat pembaca penasaran, akan terbuka
kemungkinan mereka mencari jawaban atas rasa penasaran mereka (baca: beli seri
selanjutnya).
Apa pun
akhir cerita yang kita pilih, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.
Pertama,
genre tulisan. Novel bertema konspirasi/kriminal biasanya menuntut penjelasan
di akhir kisah. Rata-rata happy ending
dengan diamankannya si biang masalah. Hanya saja, kalian tidak bisa berkata
bahwa si pelaku sudah ditangkap tanpa menjelaskan bagaimana prosesnya. Atau
setidaknya, jelaskan kenapa si pelaku sampai rela berbuat onar seperti itu.
Bisa juga
kalian membuat akhir kisah yang bahagia-sedih. Bahagia bagi tokoh A, tetapi
kabar buruk untuk tokoh B (seperti akhir novel The Appeal karya John Grisham). Lalu, B mencoba membalik keadaan di
seri berikutnya. Nah, jadi ada jalan untuk menulis buku selanjutnya, kan?
Untuk genre
lainnya, silakan kalian berkreasi sesuai plot yang sudah kalian rancang.
Kedua,
fokus menulis akhir kisah untuk tokoh(-tokoh) utama. Jangan mblakrak (baca: menyimpang tidak keruan)
ke tokoh-tokoh pendukung hanya karena kalian lebih suka dengan karakter mereka.
Tokoh utama sudah pasti memiliki sebagian besar porsi dalam naskah, sekalipun
dia nantinya tidak berumur panjang di akhir kisah. Kalau kalian membuatnya mati
di tengah-tengah naskah, maka mungkin dia bukan tokoh utamamu. Kecuali, si mati
ini akan muncul lagi sebagai roh/hantu. (Ehlah, Moy, malah nyebut-nyebut hantu
pulak!)
Ketiga,
membaca keinginan pasar. Bagi penulis yang sudah memiliki basis penggemar,
tentu ini tidak sulit. Ia hanya perlu membuka diskusi dengan para penggemarnya
tentang kisah seperti apa yang ingin mereka baca. Tidak bisa dimungkiri,
penggemar adalah raja. Meski tidak bisa gebyah
uyah (baca: pukul rata), jika penulis tidak mau mendengar saran dari
penggemarnya, ia berpotensi kehilangan calon pembaca. (Tapi, Moy, kalo udah
kadung ngefans, ya, pasti dibelilah. Nggak urusan kalo abis baca, bukunya malah
dilempar ke kucing tetangga yang kebetulan lewat.) Namun, jika si penulis memiliki
penggemar yang menyukai kejutan, ia akan mengejutkan mereka dengan akhir kisah
yang luar biasa.
Bagaimana
dengan penulis pemula?
Penulis
pemula memang belum punya penggemar, tetapi ia bisa mencari tahu buku apa yang
paling banyak terjual sepanjang tahun. Biasanya itu akan menggambarkan buku
jenis apa — sekaligus akhir kisah seperti apa — yang paling diminati khalayak. Ia
juga bisa bergabung dengan forum-forum diskusi untuk menyerap banyak informasi
soal buku. Atau, sesimpel bergabung dengan grup-grup kepenulisan semacam Fiksiana Community. Tenang saja,
Kaka-Kaka Admin serta mBer-mBer nan
kece-badai akan membantu kalian menentukan pilihan. (Yaelah, iklan amat, Moy!)
Pada
intinya, tidak ada pakem khusus dalam menulis fiksi. Semua disesuaikan dengan kebutuhan.
Sebab, batasan-batasan mungkin saja akan membuat karya terlihat nanggung, setengah hati, tidak bernas.
Selamat
menulis.
Salam
lemper, eh, cilok.
(Artikel pertama tayang di Kompasiana)