Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Teduh




Sudah sekian purnama Ru pergi, sekian purnama pula aku tidak melihat wajahnya. Biasanya, aku akan ke taman kota untuk mengusir resah, menyerap energi dari hijaunya dedaunan di sana. Duduk berjam-jam di undakan monumen, hanya untuk mengulang segalanya. Meskipun pada pengujung hari, aku tidak peduli pada diriku sendiri. Aku akan tetap menjalani ritual yang sama. Bekerja, pulang, lalu bermimpi.

Hingga hari itu, aku terjebak antara mimpi dan kenyataan. Aku melihat wajah Ru.

Hanya wajahnya.

Aku mengerjap sekali, berharap wajah itu hilang dari pandanganku, tetapi tidak berhasil. Kerjapan kedua malah membuat aku melihat torsonya. Dan, kerjapan ketiga membuat aku sadar, Ru memang berada di hadapanku.

Wajahnya agak berbeda. Mungkin karena cambang tipis yang tumbuh di wajahnya. Aku tidak tahu kalau Ru bercambang. Selama aku mengenal lelaki itu, wajahnya selalu bersih. Namun, sorot matanya tetap sama. Sorot yang selalu meneduhkanku, sorot yang mampu membuatku menarik otot-otot di sekitar bibirku. Ru tidak pernah gagal membuatku tersenyum. Seperti kali ini.

“Ayo kita ke taman, Moy,” ajaknya.

Ru begitu saja menarik lenganku tanpa menunggu aku menjawab ajakannya. Itu tidak perlu, mungkin, sebab aku tidak pernah menolak.

Rumput-rumput di taman kota masih berbalut embun ketika aku dan Ru menjejakkan kaki di sana. Ini baru pukul enam pagi, ngomong-ngomong. Langit masih temaram dan udara masih sedikit membekukan lubang hidung. Ini bulan Juni, apa yang bisa kauharapkan soal cuaca hangat? Tidak akan ada.

Ru memungut satu kuntum jepun yang tergeletak di rumput. Kelopaknya masih segar, mungkin belum lama gugur. Ru memberikannya begitu saja padaku, lalu ia kembali berjalan. Aku menikmati pemandangan punggungnya yang tegap. Aku tahu, aku akan berlama-lama memaku mataku pada punggungnya, seperti yang sudah-sudah.

“Moy, berhentilah membuatku takut,” kata Ru tiba-tiba.

Aku tertawa.

“Apa yang membuatmu takut, Ru? Aku tidak pernah memakai topeng lagi.”

“Senyummu membuatku takut, Moy.”

“Senyumku?”

Ru mendekat hingga nyaris tak berjarak denganku. Kini, aku yang mulai takut. Bukan karena tatapan mata orang-orang di sekelilingku, tetapi karena aku tahu, setelah ini, mungkin masih sekian purnama lagi aku bisa mendapati wajah Ru yang hanya sejengkal dariku.

“Apa kamu tidak sadar, Moy, kalau senyummu bisa meneduhkan langit?”

Oh, my!

Aku merasa kaki-kakiku tenggelam, jantung lepas dari sarangnya, dan paru-paruku pensiun meminta oksigen. Aku ingin teriak meminta tolong, tetapi tenggorokanku tercekat. Yang ada, bibir Ru menempel begitu saja di dahiku. Lalu, jutaan kembang api meledak di atas kepala kami.


(Artikel pertama tayang di Kompasiana)

Jeda


“Apa yang akan terjadi seandainya dulu aku tidak lari, Ru?”

Aku menoleh. Moy masih duduk di sampingku, memandang lepas ke lautan. Matanya tertutup kacamata hitam. Rambutnya berayun dimainkan angin pantai. Aku berharap ia melanjutkan ucapannya, tetapi tidak. Itu saja kalimatnya. Kalimat yang membuat otakku membeku.

Apa yang terjadi jika ia tidak lari?

Entahlah. Siapa yang tahu jawabannya? Dulu yang mana? Siapa yang mengejarnya? Akukah?

“Apa yang terjadi seandainya hari ini tidak ada, Ru?”

Hah?

“Akan ke mana kita, Ru, seandainya tidak ada jeda belasan tahun itu?”

Baiklah, ini harus segera dihentikan. Aku tidak mengajaknya bertemu untuk merusak otakku.

“Moy, tidak ada satu orang pun yang mampu menjawab itu semua.”

Moy menoleh. Ia melepas kacamatanya, dan baru kulihat, sudut matanya basah.

“Yang jelas,” lanjutku, “semua terjadi karena sebuah alasan.”

Moy memakai kembali kacamatanya. Hanya Tuhan yang tahu, apakah ia akan menangis lagi atau tidak. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan ini bisa terjadi. Aku membayangkan hal lain, hal-hal yang lebih menyenangkan.

Aku membayangkan senyumnya.

Aku membayangkan gelak tawanya ketika mendengar lelucon yang kulempar.

Aku membayangkan binar matanya ketika kuceritakan soal kucing-kucingku.

Aku membayangkan menautkan jemariku di antara jemarinya.

Aku membayangkan merapikan rambutnya ketika angin pantai terlalu nakal kepadanya.

Aku membayangkan mengecup dahinya saat aku hendak kembali ke kota dengan burung besi.

Itu saja bayanganku. Namun, semuanya tidak aku dapatkan. Ketika aku melihatnya lagi setelah sekian lama, aku tahu, sesuatu telah terjadi. Moy terlalu sering terluka dalam rentang belasan tahun itu. Teramat sering, hingga aku bisa melihat hal itu di matanya, mengecap di balik senyumnya. Pahit, semuanya terlalu pahit.

Lalu, aku sadar, aku memang seharusnya tidak membiarkannya lari.

(Artikel pertama tayang di Kompasiana)

Menentukan Akhir Kisah

Setiap awal pasti memiliki akhir. Begitu pun dengan sebuah karya fiksi, baik tulis maupun audiovisual. Ada beberapa jenis akhir kisah yang biasanya dipakai penulis-penulis yang telah menelurkan karya. Ada akhir yang bahagia, sedih, atau campuran keduanya, juga akhir yang menggantung.

Dari sekian banyak judul, rata-rata penulis memilih akhir bahagia untuk karya mereka. Kenapa? Bisa jadi memang jenis ceritanya yang mewajibkan penulis mengakhiri dengan happily ever after, semacam kisah Cinderella dan Pangeran Tampan. Atau sesederhana “ingin membuat pembaca tersenyum”. Sedangkan untuk akhir yang sedih, para penulis seolah-olah ingin berbagi pesan bahwa hidup tak selamanya di atas awan. Ada sebagian kecil dari manusia harus menerima ujian yang lebih berat tanpa ada kesempatan untuk tersenyum. (Duh, Moy, tisu mana tisuuu?!)

Bagaimana dengan akhir kisah campuran (baca: gabungan antara bahagia dan sedih)?

Nah, ini yang menarik. Bagi yang pernah membaca karya-karya Nicholas Sparks tentu tahu akhir kisah seperti apa yang saya maksud. Dear John dan The Last Song adalah dua di antara sekian banyak karyanya yang berakhir bahagia-sedih. Saya tidak mau memuntahkan bocoran soal akhir kisahnya, jadi saya coba berikan gambaran secara umum.

Sesuai hukum yang berlaku di alam: tidak ada asap tanpa api. Adanya reaksi adalah buah dari aksi. Setiap perbuatan pasti mengandung konsekuensi tertentu. Tidak selamanya efek dari tindakan itu bersifat positif. Seseorang yang berprofesi sebagai pedagang makanan rela membagi beberapa bungkus dagangannya untuk pengamen cilik yang kelaparan. Apa hasilnya? Si pedagang kehilangan sebagian keuntungannya, tetapi si pengamen cilik tidak kelaparan lagi. Kira-kira seperti itu yang terjadi pada dua judul di atas.

Lantas, bagaimana dengan akhir yang menggantung?

Ini biasanya dipakai untuk novel yang berseri. Rata-rata dua sampai empat judul untuk tiap rangkaiannya. Jenis ini bukannya tidak memiliki akhir sama sekali. Penulis pasti menamatkan plot untuk seri tersebut, akan tetapi ada satu — atau mungkin banyak — teka-teki yang belum terjawab dan akan dipaparkan lebih mendalam di seri berikutnya. Banyak sekali contoh untuk akhir kisah sejenis ini. Kalau boleh saya bilang, ini ending favorit para penulis luar negeri. Sebut saja Veronica Roth dengan trilogi Divergent, Colleen Hoover dengan trilogi Slammed, atau Jonathan Stroud dengan serial bertokoh Bartimaeus. Kenapa? Biar bisa dapat duit buanyaaak hahaha… (Atuhlah, Moy!)

Oke, begini yang saya tangkap. Pertama, mereka bisa fokus menyelesaikan satu konflik. Novel adalah karya yang bernapas panjang. Kita bisa memasukkan banyak detail untuk membuat kisah tersebut amat sangat hidup di benak pembaca. Satu konflik, banyak detail. Boleh saja membuat dua konflik, tetapi itu akan membingungkan pembaca. Hanya orang-orang tertentu yang terberkahi otak luar biasa yang sanggup menyelesaikan membacanya. Lagi pula, dengan banyak konflik, jumlah halaman yang dibutuhkan tentu akan sangat banyak. Bayangkan, berapa harga yang harus dikeluarkan konsumen untuk satu buku saja?

Kedua, cara itu membuat si penulis tetap produktif. Bisa saja, di tengah proyek merampungkan rangkaian tersebut, ia menemukan ide cerita lain. Sebab, ide cerita biasanya tidak bisa dicari. Ia akan datang sendiri ke otak kita, siap atau tidak. Jika tidak ada halangan, soal menangkap ide cerita ini akan saya paparkan di artikel lain.

Ketiga, ini murni bisnis, gaeesss. Hihihi… Dengan membuat pembaca penasaran, akan terbuka kemungkinan mereka mencari jawaban atas rasa penasaran mereka (baca: beli seri selanjutnya).

Apa pun akhir cerita yang kita pilih, ada beberapa poin yang perlu diperhatikan.

Pertama, genre tulisan. Novel bertema konspirasi/kriminal biasanya menuntut penjelasan di akhir kisah. Rata-rata happy ending dengan diamankannya si biang masalah. Hanya saja, kalian tidak bisa berkata bahwa si pelaku sudah ditangkap tanpa menjelaskan bagaimana prosesnya. Atau setidaknya, jelaskan kenapa si pelaku sampai rela berbuat onar seperti itu.

Bisa juga kalian membuat akhir kisah yang bahagia-sedih. Bahagia bagi tokoh A, tetapi kabar buruk untuk tokoh B (seperti akhir novel The Appeal karya John Grisham). Lalu, B mencoba membalik keadaan di seri berikutnya. Nah, jadi ada jalan untuk menulis buku selanjutnya, kan?

Untuk genre lainnya, silakan kalian berkreasi sesuai plot yang sudah kalian rancang.

Kedua, fokus menulis akhir kisah untuk tokoh(-tokoh) utama. Jangan mblakrak (baca: menyimpang tidak keruan) ke tokoh-tokoh pendukung hanya karena kalian lebih suka dengan karakter mereka. Tokoh utama sudah pasti memiliki sebagian besar porsi dalam naskah, sekalipun dia nantinya tidak berumur panjang di akhir kisah. Kalau kalian membuatnya mati di tengah-tengah naskah, maka mungkin dia bukan tokoh utamamu. Kecuali, si mati ini akan muncul lagi sebagai roh/hantu. (Ehlah, Moy, malah nyebut-nyebut hantu pulak!)

Ketiga, membaca keinginan pasar. Bagi penulis yang sudah memiliki basis penggemar, tentu ini tidak sulit. Ia hanya perlu membuka diskusi dengan para penggemarnya tentang kisah seperti apa yang ingin mereka baca. Tidak bisa dimungkiri, penggemar adalah raja. Meski tidak bisa gebyah uyah (baca: pukul rata), jika penulis tidak mau mendengar saran dari penggemarnya, ia berpotensi kehilangan calon pembaca. (Tapi, Moy, kalo udah kadung ngefans, ya, pasti dibelilah. Nggak urusan kalo abis baca, bukunya malah dilempar ke kucing tetangga yang kebetulan lewat.) Namun, jika si penulis memiliki penggemar yang menyukai kejutan, ia akan mengejutkan mereka dengan akhir kisah yang luar biasa.

Bagaimana dengan penulis pemula?

Penulis pemula memang belum punya penggemar, tetapi ia bisa mencari tahu buku apa yang paling banyak terjual sepanjang tahun. Biasanya itu akan menggambarkan buku jenis apa — sekaligus akhir kisah seperti apa — yang paling diminati khalayak. Ia juga bisa bergabung dengan forum-forum diskusi untuk menyerap banyak informasi soal buku. Atau, sesimpel bergabung dengan grup-grup kepenulisan semacam Fiksiana Community. Tenang saja, Kaka-Kaka Admin serta mBer-mBer nan kece-badai akan membantu kalian menentukan pilihan. (Yaelah, iklan amat, Moy!)

Pada intinya, tidak ada pakem khusus dalam menulis fiksi. Semua disesuaikan dengan kebutuhan. Sebab, batasan-batasan mungkin saja akan membuat karya terlihat nanggung, setengah hati, tidak bernas.

Selamat menulis.

Salam lemper, eh, cilok.

(Artikel pertama tayang di Kompasiana)