“Apa yang akan terjadi
seandainya dulu aku tidak lari, Ru?”
Aku menoleh. Moy masih duduk
di sampingku, memandang lepas ke lautan. Matanya tertutup kacamata hitam.
Rambutnya berayun dimainkan angin pantai. Aku berharap ia melanjutkan
ucapannya, tetapi tidak. Itu saja kalimatnya. Kalimat yang membuat otakku
membeku.
Apa yang terjadi jika ia
tidak lari?
Entahlah. Siapa yang tahu
jawabannya? Dulu yang mana? Siapa yang mengejarnya? Akukah?
“Apa yang terjadi seandainya
hari ini tidak ada, Ru?”
Hah?
“Akan ke mana kita, Ru,
seandainya tidak ada jeda belasan tahun itu?”
Baiklah, ini harus segera
dihentikan. Aku tidak mengajaknya bertemu untuk merusak otakku.
“Moy, tidak ada satu orang
pun yang mampu menjawab itu semua.”
Moy menoleh. Ia melepas
kacamatanya, dan baru kulihat, sudut matanya basah.
“Yang jelas,” lanjutku,
“semua terjadi karena sebuah alasan.”
Moy memakai kembali
kacamatanya. Hanya Tuhan yang tahu, apakah ia akan menangis lagi atau tidak.
Sungguh, aku tidak pernah membayangkan ini bisa terjadi. Aku membayangkan hal
lain, hal-hal yang lebih menyenangkan.
Aku membayangkan senyumnya.
Aku membayangkan gelak
tawanya ketika mendengar lelucon yang kulempar.
Aku membayangkan binar
matanya ketika kuceritakan soal kucing-kucingku.
Aku membayangkan menautkan
jemariku di antara jemarinya.
Aku membayangkan merapikan
rambutnya ketika angin pantai terlalu nakal kepadanya.
Aku membayangkan mengecup
dahinya saat aku hendak kembali ke kota dengan burung besi.
Itu saja bayanganku. Namun,
semuanya tidak aku dapatkan. Ketika aku melihatnya lagi setelah sekian lama,
aku tahu, sesuatu telah terjadi. Moy terlalu sering terluka dalam rentang
belasan tahun itu. Teramat sering, hingga aku bisa melihat hal itu di matanya,
mengecap di balik senyumnya. Pahit, semuanya terlalu pahit.
Lalu, aku sadar, aku memang
seharusnya tidak membiarkannya lari.
(Artikel pertama tayang di Kompasiana)
0 comments:
Post a Comment