Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Sambel Rajang

Saya adalah penyuka makanan pedas. Dan itulah yang membuat saya kadang bereksperimen dalam membuat sambal. Berikut adalah hasil eksperimen yang saya namakan Sambel Rajang.

1352093173368386926

Bahan-bahan :
1. Cabai rawit 10 buah
2. Cabai merah besar 2 buah
3. Cabai hijau besar 3 buah
4. Bawang merah 5 siung
5. Bawang putih 2 siung
6. Kunyit
7. Jahe
8. Tomat 1 buah yang agak besar
9. Gula, garam, dan penyedap secukupnya.
10. Minyak 2 sendok makan untuk menggoreng.

Cara membuat :
1. Bersihkan seluruh bahan cabai, bawang, kunyit, dan jahe, lalu potong (rajang) kecil-kecil.
2. Panaskan minyak, kemudian goreng bahan yang sudah dirajang.
3. Tambahkan gula, garam, dan penyedap (jika suka) sesuai selera.
4. Goreng sampai matang merata. Angkat.
5. Potong tomat menjadi seukuran dadu. Lalu campurkan ke dalam sambal yang sudah matang. Aduk rata.
6. Sambel Rajang siap dihidangkan.

Selamat mencoba.

Foto koleksi pribadi.

Kami Memang Preman!!! Lantas Anda Mau Apa???




Di antara tumpukan emas ini
Kami membaurkan diri
Tak terlihat, namun terasa jika tersentuh jemari
Kami tak memiliki warna yang pasti
Hanya warna kusam yang terlihat menari
Kamilah debu-debu kehidupan
Kami ada walaupun tak ada yang sudi merasakan
Kami tak meminta belas kasihan
Bukan pula ingin merampas kemilau intan
Kami hanya ingin menyusuri gersangnya jalanan tak bertuan

***

Budong mempercepat langkahnya menuju sudut stasiun. Sekarang hampir setengah berlari. Napasnya memburu dan keringatnya sudah mulai menetes di pelipis. Kini ia telah sampai di bangunan yang diperuntukan sebagai toilet. Raut wajahnya sedikit lega karena telah menemukan yang ia cari.

“Axel!!” panggil Budong kepada seseorang tengah berdiri di beranda toilet sambil menelepon.

“Hoy!!! Ada apa, Bud?” tanya Axel sembari tetap memegang ponselnya.

“Ayo cepet jalan!!! Anak – anak udah pada nungguin di jalur empat. Sebentar lagi target kita datang,” jawab Budong.

“Oh, oke… oke….”

Axel kembali berbicara pada seseorang di ujung telepon.

“Sayang, udahan dulu telponnya ya. Abang mau kerja dulu. Ntar malem minggu kita nongkrong di pasar malem. Abang traktir molen deh. Dadah.”

Axel menekan tombol merah pada ponselnya dan memasukkannya ke saku celana jins yang sudah kumal. Rupanya tadi ia tengah menelepon sang pacar. Ia lalu menghampiri Budong yang masih dengan raut wajah tak sabar.

“Elu ngapain sih, telponan mulu sama pacar lu?”

“Yeee… suka-suka gue, dong. Elu ngiri sama gue, Bud? Cari cewek sendiri sono.”

“Nggak sih, gue heran aja. Kok ada ya cewek yang mau sama elu, yang kerjaannya gak jelas jadi apa?! Tuh cewek matanya rabun kali ya. Nggak ngeliat elu kucel gak karuan kayak gini.”

“Wah… minta dipecat jadi anak buah nih rupanya. Emang napa sih?”

“Bukannya gimana - gimana, Xel. Tapi elu kudu inget waktu dong. Masa kagak hapal – hapal sama jam kedatangan target kita.”

“Iya… iya…. Lagian kenapa jadi elu yang nyolot? Kan gue yang jadi bos di sini.”

“Hmm…, dikasi tau bener – bener, malah ngeluarin jurus andalan. Udah ah. Tuh anak – anak clingak clinguk nyariin elu.”

Axel dan Budong segera berlari menuju jalur empat. Suara berat seorang pria dari ruang kendali stasiun sudah menggema, menandakan beberapa saat lagi sebuah rangkaian gerbong akan memasuki stasiun. Sementara itu, Jupri dan Maman sudah siap di jalur empat.

Lokomotif yang berwarna putih itu sudah nampak dan jaraknya semakin dekat saja. Axel, Budong, Jupri, dan Maman sudah bersiap hendak loncat ke arah kereta yang masih berjalan. Keempat pemuda ini tidak takut dengan aksi mereka dan tidak ada satu petugas stasiun pun yang berani menegur mereka.

Sampai di dalam gerbong pertama, Axel langsung angkat bicara.

“Selamat pagi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Salam sejahtera untuk kita semua. Kami berempat mohon maaf jika kehadiran kami dianggap mengganggu oleh bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Maksud kehadiran kami di sini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk meminta keikhlasan dari Anda semua. Seberapapun besarnya, akan kami terima.”

Budong, Jupri, dan Maman mulai mengeluarkan bungkus permen yang sudah tidak terpakai dan menyodorkan kepada para penumpang kereta. Segalanya berjalan dengan lancar, walaupun tak sedikit juga penumpang yang acuh dengan kehadiran empat pemuda ini. Tapi bagi Axel dan rekan-rekannya, itu bukan masalah besar. Toh, mereka bukanlah preman-preman pemaksa seperti di luar sana. Yang terpenting bagi mereka, jangan sampai ada yang menghina atau melecehkan keberadaan mereka.

Sampai di bagian belakang gerbong pertama, Axel dan kawan-kawannya mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang penumpang yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

“Hei, dik. Mengapa kau menjadi preman?”

Axel benar – benar terkejut dengan pertanyaan itu. Namun ia cepat menguasai keadaan.

“Kami memang preman. Lantas Anda mau apa?” tanya Axel.

“Carilah pekerjaan lain,” jawab si bapak yang bertanya tadi.

“Sekarang saya akan balik bertanya kepada bapak. Apakah saya harus menjadi preman jika sebuah pekerjaan mudah di dapat?”

“Menjadi preman, bukanlah sebuah pekerjaan. Masih banyak hal lain yang bisa kau kerjakan, Dik.”

“Pak. Nenek – nenek buta huruf juga tau kalo jadi preman itu bukan sebuah pekerjaan,” celetuk Budong.

“Diam kau, Bud,” hardik Axel.

“Pak, dengarkan perkataan saya dengan baik-baik. Jangan sampai ada yang terlewat. Sejak kami berempat dilahirkan, tidak ada niatan di benak kami untuk menjadi preman. Semua orang di dunia ini pun begitu. Harapan menjadi yang terbaik pastilah ada. Tapi apa yang terjadi kemudian, Pak? Ternyata kami berempat, khususnya saya, dilahirkan dalam keluarga yang teramat miskin. Saya hanyalah anak satu-satunya dan kedua orang tua saya sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang silahkan bapak bayangkan, apa yang akan dilakukan seorang bocah yang sudah kehilangan orang tuanya, untuk menyambung hidup? Dan bapak lihat hape ini?” lanjut Axel sambil mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya yang kumal, “Ini bukanlah hasil rampasan. Silahkan percaya atau tidak. Saya menabung selama tiga tahun untuk dapat membeli hape bekas ini.”

Axel berhenti sejenak sambil menatap sekitarnya. Ketiga temannya memperlihatkan raut kecemasan. Takut ini semua akan berakhir ricuh dengan datangnya petugas kereta api.

“Dan memang benar kami adalah preman. Tapi kami tidak pernah meminta dengan paksa,” lanjut Axel. Lalu ia kembali menatap si bapak yang memberi pertanyaan padanya. “Sekarang, kami mohon diri karena ada pekerjaan yang harus kami lakukan. Ya..., menjadi preman.”

Note: Terinspirasi dari perjalanan Malang – Cirebon dengan kereta ekonomi Matarmaja

Tutorial Singkat Menambahkan Video Youtube ke Dalam Postingan Blog

Mungkin kalian sudah tahu dan mengerti bagaimana cara menambahkan video Youtube pada artikel yang ditayangkan di blog. Bahkan di antaranya ada yang sudah mahir mengutak-atik kode hingga dapat memunculkan tampilan sesuai yang diinginkan. Dan artikel sejenis ini jelas sudah banyak pula yang membuatnya. Tapi gue tetap menuliskannya. Paling tidak, ini untuk koleksi pribadi. Siapa tahu ajah, mendadak gue terkena demensia akut seperti para tersangka koruptor di tipi-tipi kekekekekeke….


  1.         Cari video yang diinginkan di situs Youtube.
  2. 2.       Klik “share”, lalu klik “embed”.
  3. 3.       Pilih “use old embed code”.
  4. 4.     Copy kode yang ada di dalam kotak, lalu salin di kolom postingan. Jangan lupa untuk menyalinnya dalam format html.
  5. 5.       Jika ingin mengubah setting video menjadi autoplay, maka ada beberapa kode yang harus di ubah. Perhatikan dua salinan kode di bawah ini.

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;hl=en_US&amp;rel=0"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;hl=en_US&amp;rel=0" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Kode yang tercetak dengan huruf tebal diganti dengan “autoplay=1”, menjadi :

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Angka satu tersebut maksudnya video itu hanya terputar otomatis sebanyak 1 kali. Selanjutkan harus dinyalakan secara manual (klik tombol play). Tapi jika ingin video terputar sebanyak dua kali, maka kode yang harus ditulis autoplay=2. Begitu seterusnya.

6.       Ukuran tampilan video bisa diubah sesuai dengan kebutuhan.

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Diubah menjadi :

<object width="320" height="220"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="0" height="0" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Ukuran tersebut adalah ukuran terkecil yang bisa ditoleransi. Jika memasukkan angka lebih kecil dari itu, video tidak akan terputar.

Selamat mencoba. Jika masih ada keluhan, silakan hubungi dokter masing-masing gkgkgkgkgk….

Aku dan Mou

13499296401587288841

“Kau sakit apa, Zee?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Mou hanya sepersekian detik setelah tiba-tiba ia membuka pintu kamarku. Dan itu membuatku melepas pandangan dari halaman gosip pada majalah yang sedang kupegang.

“Aku tidak sakit, Mou,” jawabku malas.

Well, aku memang sedang malas membahas mengapa selama dua minggu ini aku tidak muncul di kelas menulis, kelas yang selalu Mou pegang di sebuah galeri seni di kota ini. Namun rupanya Mou tidak mau percaya begitu saja jawabanku. Malah, ia memelototiku dan seolah matanya bisa berteriak, ‘Oh, come on, Zee.’

“Sungguh. Aku tidak sakit. Kalau kau tak percaya, kemarilah dan pegang dahiku,” kataku sambil kembali menekuni halaman gosip di majalah.

Dari ekor mataku, aku melihat Mou memang mendekat ke arahku. Lalu ia duduk di tepi ranjang. Mou tidak langsung bicara, ia malah sibuk memainkan jemarinya. Ia menunduk, dan masih tidak bicara. Aku jadi serba salah. Kulempar majalah ke meja kecil di samping ranjangku. Aku mendekati Mou. Kusentuh bahunya, tapi Mou masih menunduk.

“Katakan, Mou. Ada apa?”

Mou masih diam.

Please…,” tambahku sambil menyandarkan tubuhku ke punggungnya. Aku paling suka saat tubuhku merasakan hangatnya punggung Mou.

“Kembalilah ke kelas, Zee. Kelas sudah begitu hambar tanpamu. Mereka yang hadir mengeluh tidak bersemangat jika kau tak ada. Kata mereka, sulit sekali menemukan inspirasi jika bukan dari wajahmu.” Mou diam sebentar. “Kami merindukanmu, Zee. Aku… merindukanmu….”

Oh, Mou. Benarkah itu?! Kau merindukanku?! Kuharap aku salah mendengarnya. Bukankah kau yang selama ini menghindar dariku?! Ehm, tepatnya, kau tidak lagi menganggapku ada, meskipun aku hanya berjarak satu langkah dari tempatmu berdiri. Apalagi setelah kau melihatku di lorong galeri dengan Jesse. Padahal apa yang sedang aku kerjakan dengan Jesse tidak seperti yang kau bayangkan, Mou. Kau tidak pernah bertanya padaku. Kau langsung memberikan tuduhan itu lewat mata birumu. Dan kupikir, kau tidak akan tahu bagaimana sorot matamu serasa seperti sayatan pisau di nadiku.

Aku melepaskan diri dari punggung hangat Mou. Kubaringkan diri dengan punggungku menghadap ke punggung Mou. Kudekap guling merah muda dengan kesal. Itu hadiah pemberian Mou. Ketika Mou menjauhiku, aku tidak pernah berniat membuang guling itu. Karena aku masih berharap, Mou akan datang padaku dan mengatakan sesuatu tentang kerenggangan ini. Dan itulah yang seharusnya terjadi sekarang.

“Aku minta maaf, Zee.”

“Entahlah, Mou. Aku belum bisa memutuskan apa-apa,” jawabku masih dengan posisi yang sama.

Tidak ada balasan. Dan yang selanjutnya kutahu, Mou sudah mendekapku dari arah belakang. Ia mencium belikatku. Kurasakan hangatnya menembus piyama biruku yang tipis.

“Ayolah, Zee. Aku tahu, aku salah. Terlalu cemburu. Kemarin Sam bicara padaku. Entah mengapa kau lebih memilih bicara pada Sam dibanding langsung bicara padaku, Zee. Tapi aku beruntung karena bertemu Sam. Aku jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kita.”

Aku tidak menjawab. Aku sudah tahu itu. Aku memang sengaja bicara pada Sam dan meminta teman sekelasku itu bicara pada Mou. Nampaknya berhasil. Jadi aku tidak perlu kaget. Dan aku memang tidak sakit. Aku hanya malas muncul di galeri. Pekerjaanku di Stamford’s Diner benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Dan jika aku masih harus bertemu Mou di galeri, maka saat itu aku pasti akan langsung mati. Hmm…, berlebihan, ya. Tapi aku belum bisa menemukan padanan yang tepat untuk kondisi itu.

“Zee…. Bicaralah….”

Ah, suara itu semakin samar saja. Seolah datang dari tempat yang sangat jauh.

“Zee….”

Mou…. Mengapa suaramu hampir menghilang? Kau di mana, Mou?


“Zee…. Zee…. Bangun, Zee…. Kau akan terlambat kerja jika tidak bangun sekarang.”

Itu suara ibuku. Wanita itu menepuk-nepuk pipiku. Dan aku berhasil membuka mata, walaupun masih berat. Rupanya tadi aku tertidur. Kulihat ibuku segera pergi dari kamarku setelah memastikan aku benar-benar bangun.

Beberapa saat aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha membaca sekitarku sebelum aku menentukan apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, ini sudah pukul tiga sore. Kutahu itu dari jam dinding. Dan satu jam lagi aku harus berada di Stamford’s Diner untuk bekerja.

Tapi, hei, ternyata aku tertidur dengan posisi duduk. Di pangkuanku ada majalah yang terbuka pada halaman gosip. Seketika itu juga aku langsung mendapat konsentrasi penuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamarku. Lalu aku kembali lemas. Tidak ada Mou.

--- @@@ ---

@sekarmayz - 111012

Sumber gambar, klik image.

Tentang Luna



Luna membuka matanya. Kelopaknya bengkak. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Ia hanya ingat, wajahnya masih penuh air mata ketika kantuk itu menyerang. Luna bangkit dari ranjang. Ia mendapati banyak sobekan kertas di lantai kamarnya. Tidak! Itu bukan sekadar kertas! Itu foto kekasihnya. Dengan tergesa ia mengumpulkan serpihan-serpihan kecil itu dan membawanya ke meja. Ia susun lagi potongan demi potongan, hingga terlihat lagi sebentuk paras tampan yang ia cintai. Luna kembali tersenyum.

Alat pemutar compact disc di mejanya ternyata masih menyala. Samar terdengar suara penyanyi pria. Luna menekan beberapa tombol hingga suara yang dihasilkan alat itu lebih keras dari sebelumnya.

Dan terjadi lagi…
Kisah lama yang terulang kembali…
Kau terluka lagi…
Dari cinta rumit yang kau jalani…

Luna memandang lagi foto kekasihnya. Ada air mata lagi yang keluar dari liangnya. Mulanya hanya isakan samar. Lama-lama isakan itu bercampur dengan teriakan-teriakan histeris. Persis seperti yang ia lakukan sebelum ia tertidur.

“Harusnya aku tidak pernah mengenalmu, Biyan!” teriak Luna sambil menunjuk-nunjuk foto kekasihnya. “Kau hanya bisa membuat luka. Kau tidak bisa membuat aku tersenyum. Begitu bodohnya aku, sampai aku harus merasa sakit seperti ini. Dan tidak hanya sekali, Biyan! Tapi dua kali! Dua kali kau melakukannya. Apa aku tidak cukup baik untukmu? Aku memaafkanmu pada kesalahanmu yang lalu. Tapi sekarang?! Haruskah aku memaafkanmu lagi?!”

Luna membuyarkan lagi susunan serpihan foto kekasihnya. Ia biarkan serpihan-serpihan itu kembali berantakan di lantai.

Aku ingin kau merasa…
Kamu mengerti… aku mengerti kamu…
Aku ingin kau sadari…
Cintamu bukanlah dia…

Luna duduk kembali di balik mejanya. Ia membuka salah satu laci di sisi kanan meja. Ia mengambil sebuah foto dengan bingkai plastik berwarna merah muda. Ia menegakkan foto itu dan berlama-lama memandanginya. Terkadang ia membelai foto itu. Air mata Luna menetes lagi.

“Mungkin selama ini kau benar, Ariel. Sayangnya, aku terlalu egois hanya untuk mendengar ucapanmu. Jika saja, aku bisa memutar jarum jam kembali ke belakang, aku ingin sekali membenarkan ucapanmu. Tapi itu tidak mungkin, kan?! Dan tolong…. Jangan tertawakan kekonyolanku. Aku memilih Biyan karena aku punya alasan. Mungkin alasanku memang sulit kau terima. Tapi cobalah melihat dari sisiku. Kau akan mengerti, Ariel.”

Luna membelai lagi foto berbingkai itu. Ia tersenyum.

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku… dirimu…

“Terkadang aku memang mendengar suaramu, Ariel. Walau itu hanya dalam mimpiku. Tapi itu melegakan. Seolah aku telah terbebas dari gersangnya gurun tandus. Dan suaramu adalah serupa cairan yang lalu membasahi kerongkonganku. Aku menikmati setiap tetesnya.”

Luna bangkit dari duduknya sambil membawa foto berbingkai di tangannya. Sekarang ia mendekap foto itu. Tubuhnya berayun, mengikutin alunan nada dari alat pemutar compact disc. Mata Luna terpejam. Ia benar-benar menikmati bebunyian itu di telinganya.

Ku ada di sini…
Pahamilah kau tak pernah sendiri…
Karena aku selalu…
Di dekatmu saat engkau terjatuh…

“Aku ingat, saat pertama aku tahu bahwa Biyan bermain api denganku, kau datang padaku, Ariel. Kau menghapus air mataku, kau kuatkan hatiku, kau ajak aku tersenyum lagi. Dan kau memastikan bahwa aku menyelesaikan semua masalahku dengan Biyan. Ya, Biyan memang mengaku bersalah. Ia tergoda bujukan gadis itu dan Biyan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Tapi rupanya Biyan tidak bersungguh-sungguh, Ariel. Aku menjadi sakit lagi karena dia. Tidakkah kau melihat lukaku sekarang kembali menganga, Ariel?! Dan lubangnya lebih besar dari sebelumnya!”

Luna masih mendekap foto berbingkai itu. Tapi posisinya tak lagi berdiri. Ia terduduk di lantai, kakinya bersila. Lalu ia lepaskan dekapannya terhadap foto berbingkai itu. Lama sekali ia memandangi lagi foto itu. Isaknya kembali terdengar.

Aku ingin kau merasa…
Kamu mengerti… aku mengerti kamu…
Aku ingin kau pahami…
Cintamu bukanlah dia…

“Ya. Sekarang aku benar-benar paham ucapanmu sebelum kau pergi, Ariel. Biyan memang bukan orang yang tepat untukku. Tapi siapakah yang tepat untukku, Ariel? Sejak kepergianmu, aku tidak bisa lagi menemukan yang sepertimu. Jika kau kenal seseorang yang sepertimu, tolong beritahu aku, Ariel. Karena aku hanya bisa dengan seseorang yang sepertimu. Bukan dengan yang lain.”

Sejenak Luna melepas pandangannya terhadap foto berbingkai itu. Ia bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia tidak menyangka, hari telah beranjak senja. Foto berbingkai itu masih di tangannya sementara ia manjakan pandangan sejenak ke arah warana jingga yang menyeruak di langit barat.

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku… dirimu…

“Aku mendengar suaramu lagi, Ariel. Sepertinya suaramu muncul dari horizon barat. Berbaur dengan warna jingga yang indah. Aku suka itu. Oh, Ariel. Aku masih tak mengerti, mengapa kau pergi begitu saja. Kau pergi dengan kalimat terakhirmu yang masih juga menjadi tanda tanya bagiku. Kau bilang bahwa separuh dirimu adalah aku. Benarkah?! Aku masih belum memahaminya.”

Kembali Luna memandangi foto berbingkai di tangannya.

“Seandainya aku bisa melihatmu lagi, Ariel. Aku ingin berteriak lantang di hadapanmu, bahwa aku menyesal. Aku menyesal telah membuatmu pergi. Walaupun belum tentu itu karena aku. Ah, aku jadi malu, Ariel. Aku malu karena keegoisanku ternyata telah membunuh hatimu padaku.”

Dengarlah aku…
Suara hati ini memanggil namamu…
Karena separuh aku…
Menyentuh laramu…
Semua lukamu telah menjadi lirikku…
Karena separuh aku… dirimu…

Nun jauh dari tempat Luna, seorang pemuda sedang berdiri di tepi danau. Ia memandang ke arah terbitnya matahari. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket kulitnya. Di saku sebelah kanan jaket itu, ada selembar foto yang sedikit lusuh karena dibiarkan tak berbingkai. Namun Ariel menjaga foto tanpa bingkai itu dengan segenap hatinya.

“Aku tahu kau mendengarku, Luna. Di manapun kau berada, aku yakin kau mendengarku. Mengertilah, Luna. Bahwa aku punya alasan meninggalkanmu di sana. Aku biarkan kau menjelajahi ragam rasa untuk hatimu. Karena dengan begitu – ketika kau merasa terluka, yang juga aku rasakan di sini – kau akan memahami bagaimana hebatnya cintaku padamu. Dan dari setiap lukamu yang tertoreh di hatiku, terlantun kata-kata indah bak kidung surgawi. Percayalah, Lunaku.”

--- @@@ ---

Foto sunset.

Aku Nana... dan Ini Kisahku

1343770332897777518

Kolaborasi Sekar Mayang dan Miss Rochma.

Jangan salahkan aku! Salahkan bapakku. Jangan salahkan ibuku! Salahkan bapakku. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi peminta rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki.

***

“Nana. Apa benar ini handphone kamu?”

Ibu guru yang cantik itu bertanya dengan senyum yang menawan kepadaku. Kacamatanya yang berwarna merah, semakin memunculkan keayuannya. Senyumnya, menunjukkan dia ramah. Seperti ibuku.

Ibu…. Bagaimana kabarmu di sana? Meskipun kita sudah lama tidak bertemu, tapi fotomu dalam ukuran kecil masih tersimpan rapi di sela-sela dompetku. Karena aku tidak mau lagi kehilangan memori manis di masa laluku. Ibu…. Tahukah engkau kalau ibu guru ayu ini mirip denganmu? Cara tertawanya, cara berbicaranya, bahkan bentuk tubuhnya. Sungguh Ibu, aku masih belum bisa melupakan kepingan kenangan atasmu meskipun kau sudah meninggalkan aku ke dalam pelukan laki-laki jahanam itu delapan tahun yang lalu, bersama dua tas besar berisi pakaian dan dokumen-dokumen penting milikmu. Meninggalkan aku dengan boneka kelinciku karena laki-laki itu sudah mengkhianati cincin kawin yang selalu tertanam di jari manismu.

“Nana. Benar ini handphone kamu?”

Ah, aku terlalu menikmati tentangmu ibu, sampai ibu guru ayu ini mengulang pertanyaannya dua kali. Wajah ibu guru ayu ini terlihat lelah, membuatku tanpa sadar menganggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dia tanyakan.

Kulihat dia membetulkan duduknya yang sedari tadi condong ke arahku, Ibu. Sungguh gerakannya mirip dengan gerakanmu yang memiliki ribuan irama. Diutak-atik handphone coklat yang ada di genggamannya lalu menyodorkan kepadaku. Memudahkan aku melihat jalinan warna yang ada di balik layar lebar handphone milikku.

“Coba jelaskan ke Ibu. Kenapa ada video seperti ini di handphonemu?”

Aku sengaja memendam suara ini, tidak mau menjawab pertanyaan ibu guru ayu ini, Ibu. Aku jadi teringat padamu Ibu. Ketika aku melakukan kesalahan, kau selalu mengawali dengan rangkaian kata ‘coba jelaskan’.

“Nana. Bisa jelaskan pada ibu? Masalah seperti ini sudah masalah kamu yang kedua yang ditangani ibu dalam satu tahun ini.” Jeda sejanak. “Yang lalu, entah siapa yang ada di video itu. Tapi yang sekarang, yang membuat ibu kaget, ada kamu di video itu.”

Aku memandang wajah ibu guru ayu ini. Penuh harap di ujung matanya atas pertanyaan yang tak juga kunjung aku jawab. Tapi aku hanya mau diam. Bukan malas menjawab tapi karena aku terbiasa diam atas apa yang aku alami. Kucoba menyibukkan mataku memandangi gerakan-gerakan eksotisku dengan seorang remaja laki-laki yang bergerak di balik layar handphoneku.

“Nana…. Ibu tahu kamu anak yang baik. Kalau memang kamu mau ibu bantu supaya masalahmu selesai, cerita apa adanya pada ibu.”

Tapi aku tetap tidak mau bicara. Ah, lebih baik aku menunduk supaya aku tidak lihat wajah bulat ibu guru ayu ini yang mirip denganmu, Ibu.

Dalam tundukku, kuarahkan bola mataku ke atas mengintip sosok yang diam-diam aku kagumi sejak aku pertama kali masuk di SMP ini. Berulang kali dia membetulkan kaca matanya. Aku tahu dia gelisah, seperti ketika bapakku berulang kali menyisir rambutnya dengan kelima jarinya ketika dia gelisah karena aku memberontak untuk dicumbunya.

Sepuluh menit berlalu dalam diam. Harus kuakui, sepuluh menit ini seperti sepuluh hari lamanya.

“Nana. Lebih baik kamu kembali ke kelas. Besok kita lanjutkan lagi ngobrolnya.”

Jangan, Bu! Jangan suruh aku pergi! Aku sudah merasa nyaman di lingkaran perhatianmu. Kuangkat kepalaku pelan-pelan untuk memandang wajah ibu guru ayu ini. Dan tanpa terasa, aliran air mata luruh deras di wajahku.

“Nana. Menangis saja, kalau memang mau menangis. Tapi jangan hanyut dalam tangismu. Ceritakan. Ibu akan senang mendengarnya.”

Huuuuaaaahhhhh…!!!!! Aku rindu padamu, Ibu. Dan hanya pada ibu guru ayu ini aku menumpahkan semua luka masa laluku.

Bahwa jangan salahkan aku. Salahkan bapakku! Jangan salahkan ibuku! Salahkan bapakku! Laki-laki itu yang membuat aku menjadi peminta rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki. Laki-laki itu yang menggali lubang di untaian kenangan masa laluku. Laki-laki itu yang membuat aku ingin membunuhnya padahal dulu sempat aku memujanya. Laki-laki itu yang pertama kali mencium dengan paksa tubuh indahku.
“Nana…. Menangis saja tidak akan membuat ibu mengerti. Ceritakan apa yang terjadi.”

Aku ragu ibu guru ayu ini bisa langsung mengerti apa yang kurasakan, Ibu. Tidak semua orang bisa mengerti. Bahkan mungkin tidak akan ada yang mau mengerti. Mereka pikir, pasti aku yang salah. Aku yang memancing laki-laki laknat – yang seharusnya kuhormati – untuk berbuat mesum terhadapku. Bahwa aku yang mengail di air keruh, bukan laki-laki dengan tato harimau yang memenuhi punggungnya itu. Ah, mengapa aku jadi benci kepada semua orang? Dan kau, ibu guru ayu, jangan membuatku jadi ikut membencimu. Aku tahu kau pasti akan mengerti apa yang yang terjadi pada diriku. Hanya saja..., hanya saja…, ah, aku takut. Aku takut kau akan menangisiku. Padahal aku hanya perlu pelukan hangat dan usapan lembut pada rambut panjangku.

“Jika kau mau, kita bisa keluar, Nana. Mungkin kau canggung menceritakan hal itu di sini. Kita bisa pergi ke sebuah tempat yang nyaman. Ibu tahu satu tempat yang cocok.”

Ah, ibu guru ayu, tawaranmu sungguh menggiurkan. Ya. Aku memang agak canggung menceritakannya di sini. Selain karena tatapan Ibu Risna – rekan kerjamu sesama guru konseling – yang sudah pasti menghakimiku, suasana ruang konseling ini mengingatkanku pada suatu tempat mengerikan. Paling tidak, mengerikan versiku sendiri.

Ruangan konseling ini sempit dan sedikit gelap. Mungkin karena letaknya yang di sudut area sekolah – juga karena jumlah jendelanya yang hanya satu – membuatnya kurang mendapat sinar matahari. Dan kepala sekolah kita terlalu pelit untuk mengijinkan ibu guru ayu ini menyalakan lampu ketika sedang bekerja di ruangan ini. Jadilah keremangan dan keterbatasan ruangan ini mengingatkanku pada ruang kerja bapakku. Bah! Ruang kerja?! Mengapa aku jadi sok sopan menamai sebuah ruangan yang telah merenggut kehormatanku? Hmm…, mungkin karena laki-laki laknat itu adalah orang yang seharusnya aku hormati. Ya, mungkin saja.

Lalu sofa ini, sofa yang kita duduki saat ini, terkesan tua dan kumal. Seperti tempat ketika laki-laki itu pertama kali melucuti pakaianku. Dia bilang, yang pertama haruslah dia yang mendapatkan. Selanjutnya, setiap malam minggu, lelaki lain yang berdompet tebal selalu mencicipi tubuhku. Aku tidak pernah mendapat lebih dari seratus ribu untuk sekali main. Bahkan ketika bapak mendapat dua juta dari salah seorang tamu kaya raya, aku tetap mendapat seratus ribu.

Aku akhirnya jadi tahu, kenapa ibu meninggalkan bapak. Pengkhianatan cinta yang sungguh terlalu besar. Dan sampai sekarang aku tidak habis pikir, kenapa ibu tega meninggalkan aku dengan laki-laki yang mengkhianatinya. Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa membenci ibu karena hanya sosok dia yang mampu mengumpulkan kenangan indah yang semakin berserakan oleh rasa benci terhadap bapak.

“Hapus air matamu, Nana. Pergilah ke toilet untuk merapikan diri. Tunggu di sini sementara ibu mengurus ijin untuk keluar hari ini.”

Ibu guruku yang ayu, entah apa yang ada di pikiranmu tentang aku. Boleh jadi, aku buta sama sekali tentangmu. Aku hanya melihat sorot mata ibuku di matamu, lalu suara lembut ibuku di pita suaramu, dan bahasa tubuh santun ibuku yang berada di setiap otot-ototmu, serta senyum ibuku yang tergaris sempurna di bibirmu. Ah, itu sudah mewakili segalanya, kupikir.

Jadi, aku anggukkan kepalaku. Lalu mengusap mataku yang sembab dan basah dengan tisu lusuh yang sedari tadi berada di genggamanku. Yeah, paling tidak, aku bisa hunting calon pelanggan baru untuk malam minggu besok. Pelanggan-pelanggan kaya yang aku kenal juga dari klien-klien bapak. Dunia baru yang akhirnya aku pilih karena luka hati.

E N D

Sumber gambar Mount Blanc Amaryllis.

Bugar "Ala Gue" Saat Puasa


1342910880330104405

Halo, sahabat semua. Bagaimana kabar kalian pagi ini? Yang lagi puasa, tadi sahur pake menu apa ya? Boleh donk berbagi hehehe….  Eike juga mawar berbagi neh, bo. (kenapa mendadak copas banci kaleng ya bahasanya wkwkwk).Anyway, kali ini saya nggak posting fiksi dulu. Itu jatahnya ntar malem :D

Balik lagi ke menu sahur. Apa menu sahur kalian dini hari tadi? Apa kalian mengkonsumsi banyak karbo (nasi) dan sedikit serat? Apa kalian mengkonsumsi kafein setelah santap sahur? Atau tidak melupakan teh hangat dengan gula yang sedikit lebih banyak dari biasanya?

Nah…. Coba deh tips yang berikut ini.

1. Makanlah dengan porsi yang biasa. Mengurangi karbo (nasi) itu lebih baik. Dan jangan lupa mengkonsumsi serat (sayuran). Kalau serat, dibanyakin juga nggak apa-apa. Malahan bagus buat lambung karena bisa menunda rasa lapar lebih lama lagi.

2. Konsumsi buah setelah sahur. Serat kan tidak hanya sayuran, tapi juga buah. Namun, tidak semua buah bisa dikonsumsi setelah santap sahur. Uh, nggak kebayang gimana jadinya lambung kalo maksain nyantap duren abis sahur hihihi…. Kalau saya sendiri menyarankan apel atau pir. Kenapa? Karena kandungan air dalam dua jenis buah tersebut cukup tinggi, sehingga (insyaAllah) kalian tidak akan dehidrasi selama ± 14 jam berpuasa. Satu butir apel atau pir saya rasa cukup untuk membuat kita lebih bugar saat puasa.

3. Hindari kafein. Menurut sumber yang pernah saya baca, minuman seperti kopi dan teh memiliki sifat diuretic (tolong kasi tau kalo salah ketik ya). Artinya, minuman itu memancing kita untuk lebih sering buang air kecil. Nggak percaya? Awalnya saya juga gitu. Tapi setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan pengamatan terhadap diri sendiri (cieeee… berat bahasanya hihihi…), fakta itu memang benar. Kira-kira satu sampai dua jam setelah saya mengkonsumsi, saya pasti kebelet pipis. Kalau memang ngebet banget pengen ngopi, sebaiknya minumlah selepas kalian berbuka. Tapi nggak jamin kalau nantinya jadi susah tidur yak hehehehe….

Semoga apa yang saya share di sini bisa bermanfaat untuk yang sedang menjalankan ibadah puasa. Asli, bukan bermaksud menggurui, apalagi nyuruh. Hanya sekadar berbagi apa yang sudah pernah saya rasakan. :)

Salam

Cerita Nara Sang Pramuria #2




“Yoda…,” ujar Nara sambil memainkan ujung rambutnya.

“Ya…,” sahutnya Yoda yang pandangannya masih melekat pada sebuah buku di tangannya.

“Mengapa kau memilihku?” tanya Nara.

Yoda terkejut dengan pertanyaan Nara. Mau tidak mau, ia menutup buku yang sedari tadi ia baca dan meletakkannya di atas meja kerja. Ia menghampiri Nara yang tengah duduk di sofa.

“Aku tidak mengerti pertanyaanmu, Nara. Memilihmu sebagai apa?”

“Aku tahu kau mengerti maksudku. Aku ini… ehm… bukan seorang wanita baik-baik. Aku ini… pelacur kelas rendah. Tapi mengapa kau masih sudi berbicara denganku?”

“Jika yang kau maksud bicara adalah berteman denganmu, apa yang salah dengan hal itu? Bukankah aku berhak dan bebas memilih siapapun yang ingin kujadikan teman?! Dan kau, Nara…. Kau bukan sekedar teman biasa bagiku. Kau… yang telah membuatku bisa melihat seorang wanita dari sisi lain. Kau juga yang telah membuatku lebih memaknai kehadiran wanita dalam hidupku.”

“Benarkah itu?! Akhir-akhir ini, kau menjadi semakin pintar bicara, Yoda.”

“Aku tidak hanya sekedar bicara, Nara. Aku mengatakan yang sebenarnya kepadamu. Tidakkah kau mendengar nada kejujuran dalam ucapanku?!”

“Pria terkadang berbohong demi menenangkan hati wanitanya. Aku melihat hal itu sekarang.”

Yoda menggeleng-gelengkan kepala. Ia mengacak-ngacak poni Nara dan beranjak dari samping wanita itu.

“Kau selalu saja menyamakan kisahmu dengan milik orang lain. Sekali lagi kukatakan, tolong…, jangan lalukan hal itu lagi.”

“Oke. Aku tidak akan melakukannya lagi. Tapi kau seorang penulis. Aku tahu, penulis biasanya terlalu senang berkhayal. Maksudku, semakin sering kau menulis, semakin kau berkhayal sesuatu yang absurd tentang diriku. Kau menganggap aku sebagai wanita impianmu. Begitulah yang aku baca dari bukumu. Padahal aku teramat sangat tak layak menerima hal itu.”

“Aku… tak pernah menganggapmu sebagai seorang pelacur, Nara. Aku tetap menganggapmu sebagai seorang wanita seutuhnya. Apa yang terjadi padamu saat ini, aku tidak punya hak untuk mengusiknya. Kubiarkan kau dengan apa yang kau pilih. Aku menyayangimu… lebih dari yang kau tahu, Nara…. Mungkin baru kali ini aku mengatakannya, tapi kuharap kau menyadari hal itu sebelum hari ini. Dan aku menulis tentangmu, bukan berarti aku ingin kau menjadi seperti apa yang kutulis. Aku ingin semua orang tahu, bahwa seorang pelacurpun, tetaplah seorang manusia. Ia selalu menganggap dirinya tidak sempurna. Tapi ia lupa bahwa ada seseorang yang bisa membawanya menuju kesempurnaan itu.”

“Itu… terlalu berlebihan, Yoda. Aku benar-benar tak layak menerima itu semua darimu.”

“Semakin kau menolaknya, makin dekat pula hal itu menghampirimu. Kau tidak bisa hidup terus menerus dalam kesendirian, Nara. Suatu saat, kau pasti merindukan hadirnya seorang teman. Dan aku… ingin hadir mengisi peran itu untukmu. Tapi aku tidak pernah memaksakan kehendakku padamu. Tetap, kau punya hak untuk menyingkirkanku dari hidupmu. Walaupun aku tak pernah mau itu terjadi.”

Bahkan pelacur sepertikupun tetap membutuhkan seorang teman, ujar Nara dalam hati. But this is more than I expected. Yoda berhak mendapatkan yang lebih baik. Bukan wanita sepertiku yang tidak pernah memiliki masa depan. Batin Nara berkecamuk.

“Aku tahu kau berpikir bahwa aku seharusnya bersama wanita lain yang bukan sepertimu,” Yoda memulai percakapan lagi.

“Kau membaca pikiranku?!” Nara terkejut, karena apa yang dikatakan Yoda memang benar.

“Tidak. Aku bukan mind reader. Tapi aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku mengenalmu bukan satu atau dua tahun, Nara. Lebih dari itu, kan?! Dan itu waktu yang cukup untukku mengenalmu lebih jauh. Aku tahu kau sebenarnya tersiksa dengan pekerjaanmu. Dan kau ingin secepatnya lari dari kenyataan itu. Tapi semakin kau ingin lari, kau malah semakin terbelenggu dengan sumpahmu sendiri.”

“Sumpah?! Sumpah apa?”

“Kau katakan dirimu telah mati rasa. Tapi kenyataannya kau hanya ingin membalas dendam terhadap perlakuan yang kau terima di masa lalu.”

“Mengapa kau jadi membicarakan hal itu, Yoda?”

Sejenak Nara dan Yoda terdiam. Bunyi mesin pendingin udara menggantikan riuhnya percakapan mereka berdua. Yoda hanya memandang Nara dengan tatapan iba. Tapi Nara balas menatap Yoda dan seolah berteriak di antara tatapannya bahwa ia tidak butuh dikasihani. Ia hanya butuh dirinya dianggap sebagaimana mestinya, yaitu sebagai seorang pelacur jalanan. Tidak lebih. Namun Yoda tidak pernah setuju dengan hal itu.

“Nara…. Aku memilihmu karena aku yakin, kau adalah wanita yang luar biasa. Aku bisa melihat itu dari pancaran kedua matamu. Kedua mata yang selalu aku rindukan ketika kita saling berjauhan. Kedua mata yang selalu membuatku merasa nyaman di tengah kehangatan yang kau suguhkan, Nara. Kau… bukanlah seperti yang orang lain lihat.” Yoda menghela napas panjang. “Aku menunggumu… dan akan tetap menunggumu, sampai kau bisa menyayangiku dengan tulus. Aku tidak menginginkan wanita lain dalam hidupku. Aku hanya ingin dirimu.”

“Seandainya saja semua pria sepertimu, Yoda, tentu aku bisa merasakan kebahagiaan lebih awal. Rasanya aku sudah lupa bagaimana manisnya hal itu.”

Yoda kembali duduk di samping Nara. Ia merengkuh Nara ke dalam pelukannya. “Tapi jika itu terjadi, kau tidak akan pernah mengenalku, Nara,” ujarnya. “Tuhan sudah menggariskan hal ini pada hidupmu. Dan percayalah padaku, Nara. Aku bisa membuatmu kembali menikmati manisnya kebahagiaan.”

***

Sumber gambar Red Rose.
Kisah lain, cari dengan keyword “cerita nara” tanpa tanda petik.