Kami Memang Preman!!! Lantas Anda Mau Apa???




Di antara tumpukan emas ini
Kami membaurkan diri
Tak terlihat, namun terasa jika tersentuh jemari
Kami tak memiliki warna yang pasti
Hanya warna kusam yang terlihat menari
Kamilah debu-debu kehidupan
Kami ada walaupun tak ada yang sudi merasakan
Kami tak meminta belas kasihan
Bukan pula ingin merampas kemilau intan
Kami hanya ingin menyusuri gersangnya jalanan tak bertuan

***

Budong mempercepat langkahnya menuju sudut stasiun. Sekarang hampir setengah berlari. Napasnya memburu dan keringatnya sudah mulai menetes di pelipis. Kini ia telah sampai di bangunan yang diperuntukan sebagai toilet. Raut wajahnya sedikit lega karena telah menemukan yang ia cari.

“Axel!!” panggil Budong kepada seseorang tengah berdiri di beranda toilet sambil menelepon.

“Hoy!!! Ada apa, Bud?” tanya Axel sembari tetap memegang ponselnya.

“Ayo cepet jalan!!! Anak – anak udah pada nungguin di jalur empat. Sebentar lagi target kita datang,” jawab Budong.

“Oh, oke… oke….”

Axel kembali berbicara pada seseorang di ujung telepon.

“Sayang, udahan dulu telponnya ya. Abang mau kerja dulu. Ntar malem minggu kita nongkrong di pasar malem. Abang traktir molen deh. Dadah.”

Axel menekan tombol merah pada ponselnya dan memasukkannya ke saku celana jins yang sudah kumal. Rupanya tadi ia tengah menelepon sang pacar. Ia lalu menghampiri Budong yang masih dengan raut wajah tak sabar.

“Elu ngapain sih, telponan mulu sama pacar lu?”

“Yeee… suka-suka gue, dong. Elu ngiri sama gue, Bud? Cari cewek sendiri sono.”

“Nggak sih, gue heran aja. Kok ada ya cewek yang mau sama elu, yang kerjaannya gak jelas jadi apa?! Tuh cewek matanya rabun kali ya. Nggak ngeliat elu kucel gak karuan kayak gini.”

“Wah… minta dipecat jadi anak buah nih rupanya. Emang napa sih?”

“Bukannya gimana - gimana, Xel. Tapi elu kudu inget waktu dong. Masa kagak hapal – hapal sama jam kedatangan target kita.”

“Iya… iya…. Lagian kenapa jadi elu yang nyolot? Kan gue yang jadi bos di sini.”

“Hmm…, dikasi tau bener – bener, malah ngeluarin jurus andalan. Udah ah. Tuh anak – anak clingak clinguk nyariin elu.”

Axel dan Budong segera berlari menuju jalur empat. Suara berat seorang pria dari ruang kendali stasiun sudah menggema, menandakan beberapa saat lagi sebuah rangkaian gerbong akan memasuki stasiun. Sementara itu, Jupri dan Maman sudah siap di jalur empat.

Lokomotif yang berwarna putih itu sudah nampak dan jaraknya semakin dekat saja. Axel, Budong, Jupri, dan Maman sudah bersiap hendak loncat ke arah kereta yang masih berjalan. Keempat pemuda ini tidak takut dengan aksi mereka dan tidak ada satu petugas stasiun pun yang berani menegur mereka.

Sampai di dalam gerbong pertama, Axel langsung angkat bicara.

“Selamat pagi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Salam sejahtera untuk kita semua. Kami berempat mohon maaf jika kehadiran kami dianggap mengganggu oleh bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Maksud kehadiran kami di sini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk meminta keikhlasan dari Anda semua. Seberapapun besarnya, akan kami terima.”

Budong, Jupri, dan Maman mulai mengeluarkan bungkus permen yang sudah tidak terpakai dan menyodorkan kepada para penumpang kereta. Segalanya berjalan dengan lancar, walaupun tak sedikit juga penumpang yang acuh dengan kehadiran empat pemuda ini. Tapi bagi Axel dan rekan-rekannya, itu bukan masalah besar. Toh, mereka bukanlah preman-preman pemaksa seperti di luar sana. Yang terpenting bagi mereka, jangan sampai ada yang menghina atau melecehkan keberadaan mereka.

Sampai di bagian belakang gerbong pertama, Axel dan kawan-kawannya mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang penumpang yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

“Hei, dik. Mengapa kau menjadi preman?”

Axel benar – benar terkejut dengan pertanyaan itu. Namun ia cepat menguasai keadaan.

“Kami memang preman. Lantas Anda mau apa?” tanya Axel.

“Carilah pekerjaan lain,” jawab si bapak yang bertanya tadi.

“Sekarang saya akan balik bertanya kepada bapak. Apakah saya harus menjadi preman jika sebuah pekerjaan mudah di dapat?”

“Menjadi preman, bukanlah sebuah pekerjaan. Masih banyak hal lain yang bisa kau kerjakan, Dik.”

“Pak. Nenek – nenek buta huruf juga tau kalo jadi preman itu bukan sebuah pekerjaan,” celetuk Budong.

“Diam kau, Bud,” hardik Axel.

“Pak, dengarkan perkataan saya dengan baik-baik. Jangan sampai ada yang terlewat. Sejak kami berempat dilahirkan, tidak ada niatan di benak kami untuk menjadi preman. Semua orang di dunia ini pun begitu. Harapan menjadi yang terbaik pastilah ada. Tapi apa yang terjadi kemudian, Pak? Ternyata kami berempat, khususnya saya, dilahirkan dalam keluarga yang teramat miskin. Saya hanyalah anak satu-satunya dan kedua orang tua saya sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang silahkan bapak bayangkan, apa yang akan dilakukan seorang bocah yang sudah kehilangan orang tuanya, untuk menyambung hidup? Dan bapak lihat hape ini?” lanjut Axel sambil mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya yang kumal, “Ini bukanlah hasil rampasan. Silahkan percaya atau tidak. Saya menabung selama tiga tahun untuk dapat membeli hape bekas ini.”

Axel berhenti sejenak sambil menatap sekitarnya. Ketiga temannya memperlihatkan raut kecemasan. Takut ini semua akan berakhir ricuh dengan datangnya petugas kereta api.

“Dan memang benar kami adalah preman. Tapi kami tidak pernah meminta dengan paksa,” lanjut Axel. Lalu ia kembali menatap si bapak yang memberi pertanyaan padanya. “Sekarang, kami mohon diri karena ada pekerjaan yang harus kami lakukan. Ya..., menjadi preman.”

Note: Terinspirasi dari perjalanan Malang – Cirebon dengan kereta ekonomi Matarmaja

0 comments:

Post a Comment