Aku dan Mou

13499296401587288841

“Kau sakit apa, Zee?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Mou hanya sepersekian detik setelah tiba-tiba ia membuka pintu kamarku. Dan itu membuatku melepas pandangan dari halaman gosip pada majalah yang sedang kupegang.

“Aku tidak sakit, Mou,” jawabku malas.

Well, aku memang sedang malas membahas mengapa selama dua minggu ini aku tidak muncul di kelas menulis, kelas yang selalu Mou pegang di sebuah galeri seni di kota ini. Namun rupanya Mou tidak mau percaya begitu saja jawabanku. Malah, ia memelototiku dan seolah matanya bisa berteriak, ‘Oh, come on, Zee.’

“Sungguh. Aku tidak sakit. Kalau kau tak percaya, kemarilah dan pegang dahiku,” kataku sambil kembali menekuni halaman gosip di majalah.

Dari ekor mataku, aku melihat Mou memang mendekat ke arahku. Lalu ia duduk di tepi ranjang. Mou tidak langsung bicara, ia malah sibuk memainkan jemarinya. Ia menunduk, dan masih tidak bicara. Aku jadi serba salah. Kulempar majalah ke meja kecil di samping ranjangku. Aku mendekati Mou. Kusentuh bahunya, tapi Mou masih menunduk.

“Katakan, Mou. Ada apa?”

Mou masih diam.

Please…,” tambahku sambil menyandarkan tubuhku ke punggungnya. Aku paling suka saat tubuhku merasakan hangatnya punggung Mou.

“Kembalilah ke kelas, Zee. Kelas sudah begitu hambar tanpamu. Mereka yang hadir mengeluh tidak bersemangat jika kau tak ada. Kata mereka, sulit sekali menemukan inspirasi jika bukan dari wajahmu.” Mou diam sebentar. “Kami merindukanmu, Zee. Aku… merindukanmu….”

Oh, Mou. Benarkah itu?! Kau merindukanku?! Kuharap aku salah mendengarnya. Bukankah kau yang selama ini menghindar dariku?! Ehm, tepatnya, kau tidak lagi menganggapku ada, meskipun aku hanya berjarak satu langkah dari tempatmu berdiri. Apalagi setelah kau melihatku di lorong galeri dengan Jesse. Padahal apa yang sedang aku kerjakan dengan Jesse tidak seperti yang kau bayangkan, Mou. Kau tidak pernah bertanya padaku. Kau langsung memberikan tuduhan itu lewat mata birumu. Dan kupikir, kau tidak akan tahu bagaimana sorot matamu serasa seperti sayatan pisau di nadiku.

Aku melepaskan diri dari punggung hangat Mou. Kubaringkan diri dengan punggungku menghadap ke punggung Mou. Kudekap guling merah muda dengan kesal. Itu hadiah pemberian Mou. Ketika Mou menjauhiku, aku tidak pernah berniat membuang guling itu. Karena aku masih berharap, Mou akan datang padaku dan mengatakan sesuatu tentang kerenggangan ini. Dan itulah yang seharusnya terjadi sekarang.

“Aku minta maaf, Zee.”

“Entahlah, Mou. Aku belum bisa memutuskan apa-apa,” jawabku masih dengan posisi yang sama.

Tidak ada balasan. Dan yang selanjutnya kutahu, Mou sudah mendekapku dari arah belakang. Ia mencium belikatku. Kurasakan hangatnya menembus piyama biruku yang tipis.

“Ayolah, Zee. Aku tahu, aku salah. Terlalu cemburu. Kemarin Sam bicara padaku. Entah mengapa kau lebih memilih bicara pada Sam dibanding langsung bicara padaku, Zee. Tapi aku beruntung karena bertemu Sam. Aku jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kita.”

Aku tidak menjawab. Aku sudah tahu itu. Aku memang sengaja bicara pada Sam dan meminta teman sekelasku itu bicara pada Mou. Nampaknya berhasil. Jadi aku tidak perlu kaget. Dan aku memang tidak sakit. Aku hanya malas muncul di galeri. Pekerjaanku di Stamford’s Diner benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Dan jika aku masih harus bertemu Mou di galeri, maka saat itu aku pasti akan langsung mati. Hmm…, berlebihan, ya. Tapi aku belum bisa menemukan padanan yang tepat untuk kondisi itu.

“Zee…. Bicaralah….”

Ah, suara itu semakin samar saja. Seolah datang dari tempat yang sangat jauh.

“Zee….”

Mou…. Mengapa suaramu hampir menghilang? Kau di mana, Mou?


“Zee…. Zee…. Bangun, Zee…. Kau akan terlambat kerja jika tidak bangun sekarang.”

Itu suara ibuku. Wanita itu menepuk-nepuk pipiku. Dan aku berhasil membuka mata, walaupun masih berat. Rupanya tadi aku tertidur. Kulihat ibuku segera pergi dari kamarku setelah memastikan aku benar-benar bangun.

Beberapa saat aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha membaca sekitarku sebelum aku menentukan apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, ini sudah pukul tiga sore. Kutahu itu dari jam dinding. Dan satu jam lagi aku harus berada di Stamford’s Diner untuk bekerja.

Tapi, hei, ternyata aku tertidur dengan posisi duduk. Di pangkuanku ada majalah yang terbuka pada halaman gosip. Seketika itu juga aku langsung mendapat konsentrasi penuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamarku. Lalu aku kembali lemas. Tidak ada Mou.

--- @@@ ---

@sekarmayz - 111012

Sumber gambar, klik image.

0 comments:

Post a Comment