Cerita Nara Sang Pramuria



“Aku tidak pernah mengerti jalan pikiran mereka. Maksudku, para pria. Apakah mereka selalu enggan mengingat kejadian penting dalam sebuah tanggal?” Nara tiba-tiba mengoceh di tengah hiruk pikuk kencangnya dentuman musik di sebuah ruang diskotik.

“Apa maksudmu?” tanya Yoda sembari menghembuskan asap rokok dari cuping hidungnya.

“Aku pernah mengenal seorang pria. Dulu…, jauh sebelum aku bertemu denganmu, Yoda. Katakanlah… aku dan pria itu, pernah punya cerita yang ya… cukup indah. Paling tidak, itu menurut versiku. Tapi sayangnya, keindahan itu tidak bertahan lama.”

“Apa yang terjadi dengan kalian?”

“Kami menikah.”

“Kau?! Pernah menikah?! Jangan katakan itu benar!!’ Yoda setengah tak percaya.

“Itu memang benar,” ada sedikit amarah tersirat dari ucapan Nara. “Walaupun tidak berjalan lama. Hanya dua tahun.”

“Jadi kau berpisah dengannya hanya karena ia tak mampu mengingat tanggal pernikahan kalian?” Yoda melihat Nara mengangguk lemah. “Hmm…. Itu… aneh,” sambungnya lagi.

“Hahahaha…, “ tawa lepas Nara menyeruak di antara kepulan asap rokok di ruangan diskotik. “Itu bukan penyebab utama, Yoda. Butuh lebih dari sekedar itu untuk membuatku memutuskan untuk berpisah darinya.” Nara berhenti sejenak dan meneguk bir yang tersisa sedikit di gelasnya. “Dia… tidak pernah menganggapku sebagai seorang wanita yang seharusnya ia muliakan dalam hatinya. Disamakannya diriku dengan kebanyakan wanita yang pernah ia jumpai. Ia… memaksaku untuk bertingkah seperti apa yang ia inginkan. Kau boleh menyimpulkan, aku ini hanya sekedar boneka plastik pelengkap tampilannya.”

Yoda terdiam memandang Nara. Ia ingin mengomentari perkataan Nara. Tapi ia urungkan niatnya itu. Ia tahu, Nara sedang tidak ingin ucapannya dibela ataupun disanggah. Nara hanya ingin seseorang bersedia mendengar keluh kesahnya. Dan Yoda, selalu hadir mengambil peran itu. Seperti yang terjadi sekarang ini.

“Ia,” lanjut Nara, “yang menjadikan diriku seperti yang kau lihat sekarang ini.”

Yoda bingung. Ia tidak berkata apa-apa, tapi Nara melihat raut keheranan diwajahnya.

“Oh, bukan. Bukan seperti yang kau duga,” Nara buru-buru menambahkan. “Apa yang aku kerjakan saat ini… adalah buah kekesalanku padanya. Tapi ini murni keputusanku sendiri. Tidak ada intervensi dari siapapun.” Nara berhenti sejenak. “Dahulu,” katanya lagi, “sejak aku berpisah dengannya, aku selalu menganggap semua pria sama seperti dirinya. Aku menganggap semua pria berpikiran sama terhadap seorang wanita. Bahwa wanita, hanya dijadikan sebagai pemanis kehidupan pria belaka, dan tak layak untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi diri wanita itu sendiri. Ah, sungguh sesuatu yang menyakitkan untuk diingat. Aku jadi heran. Apakah Tuhan memang menciptakan wanita dengan otak yang selalu mudah menyimpan dan mengingat memori yang penuh luka? Ataukah Tuhan lupa menambahkan sebuah software yang pada otak para pria?! Sebuah software yang dapat mengingatkan mereka akan tanggal-tanggal penting dalam kehidupan mereka. Atau mungkin sebuah software yang bisa membuat pria mengerti apa keinginan seorang wanitanya, walapun sang wanita tak pernah mengatakannya secara langsung. Hmm… sounds weird, huh?!”

“Kau terlalu naif, Nara,” akhirnya Yoda angkat bicara. “Tidak semua pria seperti itu.” Yoda mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. “Kau terlalu marah terhadap masa lalumu sendiri sehingga kau tidak bisa melihat setitik warna lain pada selembar perkamen hitam,” ucapnya lagi.

“Ah, kau terlalu membela diri, Yoda,” ucap Nara yang kesal mendengar perkataan Yoda.

“Tidak. Aku tidak membela diri. Karena aku bukan seperti pria yang kau bicarakan tadi. Dan aku memang bukan dia. Jujur saja, aku pun terkadang lupa pada suatu hal yang sesungguhnya itu teramat penting di dalam kehidupanku. Aku tidak menyangkal itu. Tapi yang ingin aku katakan kepadamu, bahwa lembar kehidupan itu masih luas. Kau tidak boleh berdiam diri hanya pada satu lajur. Keluarlah sejenak dari track yang sudah sangat kau hapal itu. Lihatlah sekelilingmu, apakah ada yang menarik perhatianmu. Jika tidak, silahkan kau kembali ke lajur semula.”

“Aku berharap… ah, bukan…. Lebih tepatnya bermimpi, aku bisa kembali ke masa lalu untuk menyadarkan diriku sendiri. Apa yang menjadi pilihanku dahulu, ternyata malah menyakitiku.”

“Jadi kau menyesal dengan apa yang sudah kau jalani?” tanya Yoda.

“Hmm…. Bukankah setiap manusia pernah paling tidak satu kali mengalami rasa itu?!” sahutnya sembari tersenyum simpul. “Dengarkan aku, Yoda. Apa yang terjadi padaku saat ini, dan apa yang menjadi pekerjaanku saat ini, tak lebih karena aku sudah mati rasa, Yoda. Aku tidak bisa lagi membedakan antara nafsu dan cinta yang sesungguhnya. Termasuk kepadamu juga. Please, no offense,” ujar Nara lagi. “Pria itu… yang telah membuat hatiku tak sanggup lagi menerima secuil cinta untuk kunikmati. Tapi bukannya aku tak ingin kembali menjadi wanita normal, yang bisa merasakan cinta dari seorang pria. Aku sangat mengharap hal itu. Karena aku… tetaplah seorang wanita. Dan seorang wanita… tetap membutuhkan seorang pria di dalam hidupnya.”

Nara berlalu meninggalkan ruangan diskotik. Ia membiarkan Yoda menghabiskan sisa malam ini sendirian. Saat melangkah menyusuri jalanan yang gelap dan sepi, ia memang terlihat seperti wanita yang kuat. Padahal tidak. Raut wajah Nara memang tegar dan tubuhnya masih sanggup menjalani kerasnya hidup. Namun sesungguhnya, hatinya serapuh dedaunan kering. Jiwanya seolah hampa dan haus akan cinta. Sempat Nara berpikir, akankah dirinya terus menerus hidup dalam situasi seperti ini. Ia ingin berlari sekencang-kencangnya, tak peduli arah. Yang ia butuhkan hanyalah menemukan tempat berlindung, tempat yang bisa ia sebut sebagai rumah. Siapapun membutuhkan rumah, gumamnya dalam hati, termasuk diriku.

sumber gambar

1 comments: