Blue Dragonfly - Chapter Nine



Chapter Nine – Blue Dragonfly

kisah sebelumnya Chapter Eight

Aldo menepati janjinya mengajak Kirana ke tempat rahasianya. Mereka berangkat hari sabtu pagi selepas sarapan.

Di perjalanan, Aldo tetap tidak mau menceritakan ke mana mereka akan pergi. Aldo hanya mengatakan kalau tujuannya ada di luar Jakarta.

Kirana menurut saja. Dia percaya Aldo tidak akan membuatnya lebih penasaran lagi dari saat ini. Paling tidak, Kirana bisa menikmati waktu berdua dengan kekasihnya itu. Beberapa minggu belakangan, mereka jarang bertemu. Kirana sibuk mengerjakan laporan akhir tahun dan Aldo sibuk menjamu klien-klien yang kebetulan datang untuk liburan tahun baru di Indonesia. Bahkan saat malam pergantian tahun pun mereka tidak bertemu.

Sampai selepas tahun baru, Kirana masih sulit bertemu dengan Aldo. Walaupun begitu, mereka tetap berkomunikasi lewat telepon. Keduanya sudah saling memahami kesibukan masing-masing. Dan kepercayaan yang mereka bangun, sudah cukup kokoh untuk menghadapi tantangan seperti ini.

Saat sampai di kota Cirebon, mereka rehat sebentar untuk makan siang. Mereka memilih restoran yang menyajikan menu ikan bakar.

“Al, masih jauh ya tempat tujuan kita?” tanya Kirana semakin penasaran. “Ini udah sampai Cirebon, lho. Kalau lebih jauh dari Cirebon, berarti kita masuk Jawa Tengah, dong.”

Aldo tertawa medengar pertanyaan Kirana. “Katamu tadi gak akan tanya-tanya lagi ke mana tujuan kita. Kamu bilang mau terima beres aja.”

Kirana merengut mendengar jawaban Aldo. “Jadi tetep gak mau bilang nih.”

“Eit, jangan marah dulu dong. Gini deh, aku kasih tahu sedikit aja ya. Kita memang akan ke Jawa Tengah. Tepatnya, aku gak akan bilang nama daerahnya. Yang jelas sekitar dua sampai tiga jam perjalanan. Mudah-mudahan lancar.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Kirana tidak henti-hentinya mengamati setiap daerah yang mereka lalui. Makin lama, Kirana makin cemas. Mereka sudah memasuki daerah Slawi. Dan kawasan yang mereka masuki sekarang, sudah bukan jalanan umum. Walaupun jalanannya sudah beraspal, tapi areal di kanan dan kiri jalan adalah kebun teh yang luas.

“Ini satu hal yang belum pernah aku ceritakan padamu,” kata Aldo. Aldo memperlambat laju mobilnya dan berbelok ke sebuah pelataran yang cukup luas. Ada berbagai macam tanaman hias tertata apik di pelataran tersebut.

Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah. Rumah itu tidak besar, dan juga gaya arsitekturnya sudah cukup kuno. Tapi semua itu kelihatan pas untuk dipandang. Pelataran dan rumah tersebut didesain saling mendukung, sehingga membuat penghuninya merasa nyaman.

“Ini aset orang tuaku juga. Tidak besar. Luas kebun itu hanya 10 hektar. Ada beberapa keluarga petani yang mengelolanya. Mereka yang menikmati hasilnya. Orang tuaku hanya meminta sedikit bagian untuk dimasukkan sebagai dana tak terduga dan untuk membayar pajak bumi dan bangunan.”

Mereka memasuki beranda rumah. Ada satu set meja kursi dari kayu jati, dan tepat di atas meja, tergantung sebuah lampu hias bermodel antik.

“Tapi aku mengajakmu kemari bukan untuk menunjukkan seberapa besar kekayaan orang tuaku. Aku tidak pernah dididik menjadi pemalas yang hanya bisa menghamburkan harta orang tua. Di atas kertas, rumah ini masih milik orang tuaku. Tapi, aku sudah setengah jalan untuk memiliki rumah ini.”

“Kamu membeli rumah dari orang tuamu sendiri?! Bukannya suatu saat seluruh aset orang tuamu akan menjadi milikmu?! Kamu kan anak tunggal,” kata Kirana.

“Itu berarti, untuk mendapatkan rumah ini, secara gak langsung aku mengharapkan orang tuaku cepat mati, dong.”

“Umm…, bukan itu maksudku.”

“Ah, sudahlah. Kamu gak akan mengerti kondisinya. Ini sudah perjanjian antara aku dan orang tuaku. In fact, nothing comes for free, right?!”

Kirana tersenyum. Ya, dirinya mungkin tidak akan mengerti prinsip apa yang diyakini oleh keluarga Aldo. Yang penting, tidak ada yang merasa dirugikan di antara mereka.

“Oke. Apa kamu siap untuk melihat kejutannya?”

“Yap, I’m ready.”

Kirana dan Aldo memasuki rumah. Kesan antik sangat terasa di dalam ruangan itu. Ada satu set kursi tamu yang juga terbuat dari kayu jati. Kesan modern hanya terdapat pada perangkat home theater yang terletak di ruang keluarga. Selebihnya, Kirana yakin umur benda-benda itu sudah tidak muda lagi. Namun, semuanya itu nampak terawat.

Aldo menggandeng tangan Kirana, mengajaknya ke sebuah kamar tidur yang luas di belakang ruang keluarga.

Pada dinding ruangan itu, tergantung lukisan-lukisan hasil karya Aldo. Kirana menghitung kesemuanya ada sembilan lukisan. Ada lukisan sebuah kebun bunga, lukisan deretan gedung bertingkat, lukisan anak-anak di taman bermain, lukisan sepasang kekasih, lukisan bunga matahari, lukisan seorang ibu dan anaknya, serta tiga lukisan abstrak.

“Apa kamu bisa melihat satu kesamaan dari sembilan lukisan ini?” tanya Aldo.

“Hmm…, apa ya? Dari dulu kamu memang pandai melukis. Tapi sembilan lukisan ini berbeda satu sama lain.”

“Ada satu, Ran. Satu hal yang aku buat sama di setiap lukisan ini. Ukurannya memang berbeda pada satu lukisan dengan lukisan lainnya. Tapi benda itu sama wujudnya. Kamu bisa melihatnya?”

Kirana kembali mengamati kesembilan lukisan Aldo. Pada lukisan kebun bunga, ada dua ekor kupu-kupu, satu ekor kumbang, dan satu ekor capung yang tergambar tepat di tengah kanvas. Pada lukisan gedung bertingkat, ada gambar sekawanan burung terbang di langit kota. Tapi ternyata tidak semuanya berwujud burung. Ada satu bentuk lain. Kirana mengamati lebih dekat lagi, dan ternyata itu capung.

Kirana beralih pada lukisan taman bermain. Pada lukisan itu, Kirana langsung menangkap gambar seorang anak yang sedang mengejar kupu-kupu. Tapi, tunggu dulu. Itu bukan kupu-kupu, pikir Kirana. Lagi-lagi, itu adalah wujud capung.

Dengan cepat pandangan Kirana berlari di antara lukisan-lukisan yang tersisa. Pada lukisan sepasang kekasih, si pria menggenggam seikat bunga yang disembunyikan di balik punggungnya. Dan bunga itu dihinggapi seekor capung. Dan satu dari dua bunga matahari, juga dihinggapi capung. Dalam lukisan ibu dan anak, capung itu tergambar hinggap di jemari si anak. Sedangkan dalam tiga lukisan abstrak, Kirana melihat sebuah pola berbentuk capung.

Kirana tertegun. Lalu beralih memandangi wajah kekasihnya.

“Gimana? Udah ketemu?” tanya Aldo.

“Capung. Kamu melukis capung.”

“Dan semuanya berwarna biru,” tambah Aldo.

“Jadi, laki-laki dalam mimpiku itu ternyata… kamu,” ucap Kirana secara perlahan.

Aldo bingung dengan pernyataan Kirana. “Mimpi?! Did I miss something, Ran? Apa ada yang belum kamu ceritakan padaku?” tanya Aldo.

Pelan-pelan, Kirana mulai menceritakan tentang mimpinya tempo hari, juga tentang pertemuannya dengan Ari.

“Untung saja Femi punya inisiatif untuk memancing lelaki itu bercerita tentang tatonya,” kata Kirana. “Kalau enggak, mungkin aku akan terus penasaran dengan arti mimpiku itu.”

Aldo menyimak penuturan Kirana dengan serius. Dia tidak ingin Kirana mengira dirinya tidak tertarik mendengar tentang mimpi Kirana. Dan di akhir cerita Kirana, Aldo hanya tersenyum. Dia tahu, Femi memang senang sekali membuktikan kalau pendapatnya benar.

“Tadi kamu menyebut tentang padang rumput dalam mimpimu?!”

“Ya. Kenapa?”

Aldo beranjak menuju sebuah jendela dan Kirana mengikutinya dari belakang. Aldo membuka tirai tipis yang menutupi jendela itu.

“Mungkin padang rumput itu, wujudnya seperti ini.”

Kirana terkejut melihat apa yang ada di hadapannya. Padang rumput itu hampir mirip dengan yang ada di mimpinya.

“Al, bagaimana semua ini terjadi? Apa semua ini cuma kebetulan?”

“Aku juga tidak mengerti, Ran. Tapi perlu kamu tahu, tempat ini juga pernah singgah dalam mimpiku ketika aku masih di Melbourne. Aku langsung tahu, kalau tempat itu adalah padang rumput di belakang rumah ini. Makanya aku langsung berunding dengan orang tuaku, bagaimana caranya aku bisa memiliki tempat ini. Mereka setuju saja waktu kutawari 80% dari tabunganku untuk membayar rumah ini. Walaupun kenyataannya sampai sekarang mereka tidak pernah mengambil uang itu dari rekeningku. Dan untuk lukisan-lukisan itu, mereka semua hadir di mimpiku. Maksudku, capung itu tidak hanya satu atau dua kali masuk dalam mimpiku.”

“Benarkah?” tanya Kirana. “Jadi ini memang bukan kebetulan. Ya kan, Al?!”

Aldo menghela napas panjang. “Entah Tuhan sedang merencanakan apa untuk kita berdua lewat mimpi-mimpi itu. Aku hanya bisa mengucap syukur, bahwa Tuhan telah mempertemukan kita berdua. Dan saat ini, aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

“Apa itu, Al?”

“Kirana, maukah kau menikah denganku?”

(bersambung)

Chapter Ten

sumber gambar

artikel dapat dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment