Blue Dragonfly - Chapter Eight



Chapter Eight – Pertemuan Kedua, an Explaination

kisah sebelumnya Chapter Seven

Bulan Januari, satu minggu setelah pergantian tahun, Kirana dan Femi berada di sebuah toko kaset. Mereka biasa mengunjungi toko itu sebulan sekali sekedar untuk mendengarkan lagu-lagu keluaran terbaru atau membeli CD film.

Ketika pandangan Kirana sedang asyik menyusuri deretan kaset yang terpajang di rak, tiba-tiba saja Femi mencolek lengannya.

“Ran, coba lihat siapa itu.”

Kirana mengalihkan pandangannya pada seseorang yang Femi maksud. Tapi Kirana tidak menemukan siapapun yang ia kenal di sana. “Siapa, Fem? Gak ada, ah.”

“Itu. Laki-laki yang lagi berdiri di deretan rak lagu oldies.”

Kembali pandangan Kirana menyapu ruangan toko tersebut, mencari rak yang Femi maksud. Kirana menemukannya dan melihat seorang pria sedang berdiri sambil mengamati isi rak tersebut. Tapi tetap saja, Kirana tidak kenal siapa pria itu.

“Yang itu, maksudmu. Emangnya dia siapa? Kamu kenal?”

“Ya ampun. Kamu lupa ya? Dia kan pelayan di kafe yang sering kita datengin.”

“Hmm…, apa iya?! Aku lupa,” jawab Kirana sambil lalu. Dia kembali mengamati deretan kaset di hadapannya.

“Kita samperin, yuk,” ajak Femi sambil menarik tangan Kirana. Tapi Kirana menahannya.

“Eit, tunggu dulu. Mau apa kita nyamperin dia?”

“Ya iseng aja. Kita ajak ngobrol di food court di lantai atas.”

“Buat apa? Kita kan gak kenal dia.”

“Ran, dia emang gak mungkin jadi pacarmu. Tapi sapa tau aja dia bisa jadi pacarku.”

“Ih, desperate amat sih. Iya kalau dia mau diajak ngobrol. Kalau enggak?”

“Ya makanya kita coba deketin dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Kirana, Femi kembali menarik tangan Kirana, mengajaknya menghampiri pria yang ia maksud.

“Permisi,” sapa Femi.

Kirana berdiri di belakang Femi, nampak seperti orang yang tidak sabaran. Inilah yang tidak Kirana suka dari sahabatnya. Terkadang Femi bersikap terlalu ramah pada orang yang belum dikenalnya.

“Ya,” balas pria itu.

“Mas waiter dari Kafe Alamanda ya?”

“Iya. Maaf ya, apa kita saling kenal?” tanya pria itu.

“Ehmm…, belum sih. Nama saya Femi dan ini temen saya Kirana. Kita berdua sering ke kafe itu. Tapi kayaknya kita gak pernah ngeliat mas tugas lagi di sana.”

“Oh gitu. Saya masih kerja di sana kok. Tapi cuma part time dan waktunya terserah saya. Kebetulan kafe itu milik tante saya. Jadi saya bebas mengatur jadwal kerja saya. Mungkin pas saya tugas, kalian berdua kebetulan gak ke kafe.”

Pria itu lalu melihat Kirana. Dia mengamati Kirana sejenak, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

“Tapi saya ingat dia,” kata pria itu sambil menunjuk ke arah Kirana.

Kirana agak kaget. Mengapa pria itu malah mengingat dirinya.

“Kalau gak salah, temanmu pernah bertanya tentang tato di tangan saya.”

“Umm…, betul banget,” jawab Femi. “Gimana kalau kita ngobrolnya di food court aja. Biar lebih santai. Aku yang traktir,” ajak Femi.

“Oke. Terserah kalian aja,” jawab pria itu.

Mereka bertiga keluar dari toko itu dan beranjak menuju food court di lantai tiga. Mereka memesan minuman, lalu melanjutkan obrolan mereka.

“Oya, namamu siapa?” tanya Femi. “Maaf banget, aku lupa.”

“Ariyan. Panggil aja Ari.”

“Oke deh. Ari. Kegiatanmu apa lagi selain kerja di kafe?”

“Aku masih kuliah, baru selesai semester tiga. Sekarang lagi libur, nunggu awal semester baru.”

“Oya. Kuliah dimana?”

“Trisakti. Fakultas hukum.”

Femi dan Ari asyik berbincang. Sementara Kirana hanya memperhatikan mereka berdua. Kirana merasa tidak punya kepentingan, jadi dia memutuskan tidak ikut campur dalam obrolan itu. Tapi bukan berarti Kirana tidak tahu sopan santun. Kirana tetap membalas pertanyaan singkat yang mereka tujukan pada dirinya.

“Aku mau tanya satu lagi. Tapi ini sifatnya lebih personal. Boleh?” tanya Femi.

“Silahkan.”

“Tentang tato di tanganmu itu. Kenapa kamu milih gambar capung berwarna biru?”

Kirana kaget dengan pertanyaan Femi. Dia langsung menatap Femi dengan tajam, seolah ingin tahu apa maksud Femi menanyakan hal bodoh itu.

Femi tahu, dirinya sedang diperhatikan oleh Kirana. Tapi Femi tidak peduli. Dia berpikir, suatu saat Kirana bahkan akan berterima kasih karena dia mengajukan pertanyaan itu pada Ari.

Sementara itu, Ari nampak biasa saja menanggapi pertanyaan dari Femi. Raut wajahnya tenang, seperti sebelumnya.

“Oh ini. Tato ini dibuat setelah pengumuman kelulusan SMA. Dulu di SMA aku gabung sama geng. Tapi bukan geng sembarangan. Sebenarnya kami cuma sekumpulan murid yang menyukai komputer. Suatu hari, salah satu dari kami mengusulkan untuk membuat tato. Alasannya simpel, supaya kita punya sesuatu yang bisa diingat kemudian hari. Awalnya ini tato temporari. Karena aku dan temen-temen yakin, tato permanen akan menimbulkan masalah ketika ospek kampus. Dan waktu itu, warnanya hitam. Karena tinta temporari memang biasanya hitam. Mengenai bentuknya, kita pilih capung cuma karena iseng.”

“Terus, kapan kamu bikin tato permanen itu?” tanya Femi lagi.

“Ini aku bikin beberapa minggu setelah ospek kampus. Jujur aja, aku memang suka sama bentuknya. Jadi aku bikin yang permanen dan warnanya biru.”

“Apa ada lagi yang punya tato seperti itu selain kamu?” tanya Kirana tiba-tiba.

Sekarang giliran Femi yang terkejut.

“Hmm…, aku gak yakin. Tapi, di tempat aku bikin tato ini memang ramai pengunjung. Dan aku pikir bentuk ini banyak juga dipilih oleh orang lain. Hanya saja mungkin warna dan ukurannya berbeda. Dan pastinya anggota tubuh yang dipilih juga berbeda.”

Ari melihat jam di tangannya dan mohon pamit pada Kirana dan Femi.

“Aku pamit dulu ya. Ada yang harus aku kerjakan. Mungkin lain waktu kita bisa ketemu lagi di kafe. Thanks atas traktirannya.”

“Sama-sama,” balas Femi.

Ari pergi meninggalkan Kirana dan Femi.

Ran, I know you’ll be thank me someday.” Femi mengucapkannya dengan nada menggoda Kirana.

Kirana menghela napas panjang. Sahabatnya itu benar. Femi mengajak pria itu mengobrol bukannya tanpa tujuan. Bukan juga dengan tujuan iseng seperti yang Femi katakan sebelumnya. Femi hanya ingin membantu dirinya mencari jawaban dari pertanyaan yang sempat memenuhi otaknya.

Well done, Fem. Thank you now.”

You’re welcome.”

(bersambung)

Chapter Nine

sumber gambar

artikel dapat juga dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment