Blue Dragonfly - Chapter Five



Chapter Five – Masih Mencari Jawaban

kisah sebelumnya Chapter Four

Entah sudah berapa lama Kirana tak sadarkan diri. Matanya terbuka perlahan. Ia masih merasa lemas dan kepalanya terasa berat. Di atas meja di samping ranjang, ada beberapa bungkus obat dan segelas air putih.

Pandangan Kirana berpaling ke sisi ranjang lainnya. Aldo duduk di sana dan tersenyum kepada Kirana.

“Kamu masih di sini, Al?”

“Iya, aku masih di sini. Tadi kamu pingsan selama tiga jam lebih. Aku sempat bingung. Terus aku coba telepon dokter pribadiku. Ternyata beliau sedang ada waktu dan bisa datang ke sini memeriksamu. Dokter bilang, kamu kecapekan dan tekanan darahmu turun. Jadi dokter ngasih beberapa suplemen buat mengembalikan daya tahan tubuhmu.”

“Terima kasih, ya.”

You’re welcome.”

“Jam berapa sekarang?”

“Jam delapan. Kenapa? Kamu lapar? Aku belikan makanan ya.”

“Nggak perlu. Aku bisa menyiapkan sendiri. Lebih baik kamu pulang. Terima kasih, kamu udah mampir ke sini.”

Aldo menarik napas panjang. Nampaknya Kirana masih belum melunak sikapnya. Aldo tahu, ini akan memakan waktu yang cukup lama hingga Kirana dapat menerimanya kembali. “Baiklah. Aku pulang sekarang,” kata Aldo sambil bangkit dari ranjang. “Oya, tadi dokter menyarankan kamu istirahat penuh selama dua hari. Artinya, kamu gak perlu masuk kerja dulu. Nanti dokter akan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantormu. Kamu masih kerja di bank yang sama kan?!”

Kirana mengangguk.

“Oke. Jaga dirimu baik-baik, Ran.” Aldo melangkah menuju pintu kamar. Belum sampai Aldo menutup pintu, Kirana memanggilnya.

“Al. Boleh aku tanya sesuatu?”

“Apapun. Aku akan menjawab.”

“Duduklah dulu. Mungkin ini akan makan waktu agak lama,” kata Kirana.

Aldo menebak, pasti Kirana ingin meminta penjelasan lebih. Aldo juga sadar, alasan yang ia berikan sebelumnya, mungkin masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh Kirana. Dan sekarang, Aldo siap memberikan jawaban, meski itu dengan perlahan-lahan, apapun pertanyaan yang Kirana ajukan.

“Oke,” jawab Aldo sambil tersenyum. Ia lalu duduk di sofa di dekat jendela. “ Apa yang ingin kamu tanyakan?”

“Kemarilah, duduk di sampingku,” jawab Kirana.

Aldo setengah terkejut dengan permintaan Kirana. “Apa kamu yakin, Ran?”

Kirana tersenyum dan mengangguk pelan. Posisi Kirana masih terbaring di ranjang. Lalu Aldo duduk di sampingnya. Kirana langsung merasa ada sesuatu yang sejuk menyerbu perasaanya. Entah apa Aldo juga merasakan hal itu, yang jelas Kirana merasa ketenangan mulai bersarang di hatinya. Apa dengan begini, terjawab sudah segala pertanyaan di hatinya. Tunggu dulu, batin Kirana. Ini belum membuktikan apa-apa.

“Kamu tahu, Al?! Selama kamu pergi, sejak aku kehilangan kontak denganmu, kamu tahu apa saja yang aku lakukan?”

Aldo menggeleng. “Aku harap bukan sesuatu yang membuatmu putus asa terhadapku,” jawab Aldo.

“Well, aku memang putus asa. Selama satu minggu, ratusan sms, email, dan pesan via inbox facebook aku kirim. Tanpa lelah, aku menunggu jawaban dari kamu. Tapi, Al. Sabarku ada batasnya. Terakhir adalah usahaku menelepon keluargamu. Untung saja aku masih menyimpan nomor telepon yang pernah kamu beri. Orang tuamu sempat kaget ketika aku memperkenalkan diri. Ibumu bilang, kamu tidak pernah bercerita tentang aku. Kenapa, Al? Aku jadi nggak enak sendiri waktu itu.”

Aldo tersenyum. “Aku hanya sedang mencari momen yang tepat untuk memperkenalkan kamu kepada orang tuaku sebagai calon istriku. Dan percayalah, itu tidak akan lama lagi.”

“Benarkah?!”

“Kamu gak percaya?”

Kirana menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Seperti ingin menyingkirkan beban yang selama tertahan di jiwanya. “Terus terang, sulit untukku percaya ucapanmu hari ini. Entah seberapa besar usahamu untuk meyakinkan aku, tetap saja ini terasa sangat sulit. Tapi, akan ku coba memahami apa yang telah terjadi di antara kita.”

“Aku mengerti. Bukannya mau melebih-lebihkan, tapi ini juga berat untukku. Memutuskan untuk mengenyahkan dirimu sejenak dari otakku dan berusaha menyelesaikan apa yang telah menjadi tugasku di sana. Memang kedengarannya gak masuk akal. Seharusnya kita bisa tetap berkomunikasi. Tapi…, ah, aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Begini, Ran. Di jurusan yang aku ambil, menurut buku pedoman akademis, bisa diselesaikan dalam waktu dua tahun. Bahkan bisa kurang dari itu kalau mau ekstra kerja keras. Tapi, selama ini, lulusan dari sana rata-rata menempuh waktu dua tahun empat bulan, lima bulan, bahkan sampai lebih dari tujuh bulan. Aku gak kebayang aja kalau harus pisah dari kamu lebih lama dari dua tahun.”

Kirana tertawa mendengar penjelasan Aldo yang agak panjang ini. “Jadi cuma karena itu kamu memutuskan berhenti berkomunikasi denganku?! Aldo!! That is so ridiculous.”

“Aku tahu. Itu memang alasan yang konyol. Tapi itulah kenyataannya. Dan resikonya seperti yag sudah kita alami. Kita berdua sama-sama susah. Dan aku juga sempat punya pikiran kalau kamu akan mencari pengganti diriku.”

“Mmm…, jangan ge’er dulu ya. Aku malah gak punya pikiran untuk cari pacar lagi. Walaupun Femi pernah menyarankan seperti itu, tapi aku gak mau.”

“Lho, kenapa?”

“Gak tahu, Al. Gak kepikiran aja.”

Kirana bangkit dari posisi tidurnya. Dia menyingkirkan selimut dari kakinya. Kini posisinya sudah berhadapan dengan Aldo. Aldo pun beranjak duduk mendekati Kirana. Sejenak mereka berdua hanya terdiam tanpa kata. Saling memandang satu sama lainnya. Seolah sedang berusaha membaca pikiran.

“Kamu tahu, Al?” lanjut Kirana. “Aku hanya tidak menemukan mata ini pada wajah pria lain.” Tangan Kirana menyentuh wajah Aldo. Wajah yang selalu dirindukannya setiap hari. Wajah yang selalu memberikan senyum ketika Kirana bersedih. Senyum yang tidak berubah sampai saat ini.

Aldo menyambut jemari Kirana, mengecupnya perlahan, dan menggenggamnya dengan hangat. “Dan apa kamu tahu, Ran? Aku pun tidak menginginkan tangan wanita lain yang berada di genggamanku.”


artikel dapat juga dilihat di sini

0 comments:

Post a Comment