Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Dez dan Em

 


Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi begitulah ia dipanggil oleh teman-temannya.

Aku mengenalnya sejak dua tahun lalu ketika aku tak sengaja menonton sajian musik akustik di pelataran mal. Aku waktu itu sedang duduk di salah satu bangku kedai kopi, sendirian, menghadap laptop dengan setumpuk tenggat yang harus dituntaskan. Di antara lalu lintas tanganku dari laptop, ponsel, botol air mineral, juga gelas kopi kedua, telingaku menangkap nada-nada itu.

All I Want dari Kodaline. Aku mengenali lirik dan nadanya sebab aku juga kerap memutar lagu itu ketika bekerja. Bukan favorit, tetapi cukup mendinginkan otak saat harus bertempur dengan pekerjaan. Jadi, ketika mendengar intronya, aku benar-benar menjatuhkan pandanganku ke arah lelaki yang memegang gitar sekaligus menyanyikan lagu itu.

Suara Dez biasa saja, sama dengan para penyanyi akustik lainnya. Cukup merdu untuk ukuran siaran langsung dengan peralatan terbatas. Namun, suara itu benar-benar membuat hatiku menghangat. Dan, lepas lagu Kodaline itu, aku malah tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaanku. Ada sesuatu yang menarikku untuk diam sejenak dan menikmati dua lagu berikutnya. Di akhir lagu ketiga, matanya bertemu denganku.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi aku tidak peduli.

Bulan-bulan berikutnya, aku dan Dez cukup kerap berinteraksi. Kami membahas nyaris segalanya. Ia semacam menggilai ilmu pengetahuan, apalagi yang kelihatan rumit untuk orang lain. Sebisa mungkin aku mengimbanginya. Sebab, aku sendiri baru kali ini menemukan lelaki yang punya ketertarikan besar terhadap alam semesta, juga tidak pernah terlalu ambil pusing perihal fisik perempuan. Katanya, ia nyaris tidak peduli dengan bentuk tubuhku, asalkan otakku bisa bekerja dengan baik.

“Memangnya kenapa kalau tubuhmu tidak seperti Scarlet Witch atau Black Widow?” begitu tanyanya saat kukatakan aku benci difoto. “Aku tidak suka kalau kamu selalu insecure seperti itu. You have everything, Em. You also have me. Berhentilah bersikap seolah-olah tidak ada lagi peduli padamu.”

Tak jarang kami berdebat layaknya orang yang benar-benar berlawanan pemikiran. Matanya menyala, berisi kobaran semangat. Tangannya bergerak ke sana kemari, memperlihatkan ketertarikannya dengan topik bahasan yang kami pilih. Kata-kata yang ia gunakan mencerminkan sedalam apa ia berpikir. Jujur, sepertiga masa dari durasi obrolan itu hanya kupakai untuk mengamati bahasa tubuhnya. Ia sungguh lelaki yang berbeda.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi kurasa aku mulai menyukainya.

Oh, jangan berpikir terlalu jauh dulu. Aku sedang tidak memikirkan soal berpasangan di masa depan. Tidak, bukan itu. Belum sampai ke sana. Aku menyukai Dez karena ia mencintai seni seperti seorang ibu mencintai anaknya. Tampak tanpa pamrih, tidak mengharap orang lain memuji atau sebangsanya. Itu betulan. Sebab, tiap kali aku memujinya seusai tampil secara akustik di beberapa kesempatan, aku selalu mendapat omelan. Katanya, “Bilang saja suaraku jelek, Em.” Padahal, aku benar-benar sedang memujinya.

Sungguh, kalau ia bukan orang yang istimewa di hidupku, sudah kutinggalkan ia dari dulu. Sayangnya, aku tidak tega berbuat itu. Sekesal apa pun aku dengan Dez—biasanya gara-gara mendebatku soal alur yang kupakai dalam tulisan-tulisanku, atau soal eksistensi Tuhan, atau soal betapa aku tidak menyukai tubuhku sendiri, atau soal warna langit sore hari yang kerap berubah-ubah sesuai intensitas cahaya matahari—aku tidak pernah berpikir untuk menjauh darinya. Semakin aku kesal, semakin aku ingin tetap di dekatnya, menjadi orang yang pertama tahu kabarnya di pagi hari, dan mengucapkan selamat tidur saat malam tiba.

Namanya Dez. Bukan nama sebenarnya, tetapi terasa nyaman ketika kuucapkan.

Katanya, itu karena aku dan dirinya berada dalam vibrasi yang sama. Aku tidak mendebatnya kali ini, tetapi muncul pertanyaan dalam otakku: vibrasi apa?

 

***

 

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, supaya orang lain mudah menyebutnya.

Ya, segala sesuatu tentang Em memang mudah, termasuk awal perkenalan kami. Benar-benar semudah membalikkan telapak tangan.

Aku yang menghampirinya lebih dulu ketika ia masih duduk di salah satu bangku Starbucks. Di hadapan Em ada setumpuk kopian naskah atau semacamnya, sebuah laptop yang terbuka, dua botol air mineral yang kosong, serta dua gelas kopi yang salah satunya sudah tandas. Entah, tidak ada alasan spesifik, aku hanya ingin berkenalan dengannya. Sebab, selama aku bernyanyi, ekor mataku menangkap bahwa di sisi kiri ada seseorang yang benar-benar memperhatikanku. Namun, sesungguhnya aku takut. Aku takut mataku kali ini menipuku lebih jauh. Hanya saja, ada bisikan di tempurung kepalaku bahwa kali ini apa yang kurasakan bukan sekadar ilusi. Jadi, menjelang akhir lagu ketiga, kuberanikan diri menatap apa yang aku harap adalah masa depanku.

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, ia selalu menyukai nama dengan satu suku kata.

Sama seperti ia menyukai lagu, buku, dan kopi. Bagi Em, itu perpaduan sempurna dari aroma surga. Aku sempat mendebatnya. Bagaimana bisa aroma surga dimanifestasikan dalam bentuk lagu? Kira-kira satu jam lamanya aku mencecar Em dengan topik itu. Orang lain mungkin tidak akan tahan dengan kebiasaan burukku—kurasa—mempertanyakan segala sesuatu yang kuanggap belum logis. Akan tetapi, Em bertahan, mendengarku dengan saksama, serta menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan kesabaran luar biasa.

Aku bisa melihat dari matanya, ia bukan perempuan biasa, bukan perempuan yang mudah mengungkapkan isi hatinya kepada orang lain. Kalaupun pada akhirnya ia mau bicara, ada hal yang pasti membuatnya nyaman. Atau, versi lainnya yang tidak aku suka: terpaksa. Terpaksa, begitu ia sampaikan saat kutanya soal hubungan terakhirnya dengan seorang lelaki. Em terpaksa meninggalkan lelaki itu karena ia merasa tidak pernah dihargai. Ia mencoba bertahan dalam diamnya semata-mata tidak ingin berkonflik. Namun, rasa sakit itu membuatnya terpaksa bicara, dan pergi. Em tidak suka diamnya dimanfaatkan.

“Rasanya luar biasa lega, Dez, saat aku tahu aku terbebas dari beban seluas es Kutub Selatan. Beban yang berat dan dingin.”

Aku hanya tersenyum sembari menggenggam tangannya. Menguatkan hatinya, membuatnya bersemu lagi, dan menjadikan ia sebagai perempuan indah dalam hidupku.

Namanya Em. Penggalan dari Emily. Katanya, apalah artinya sebuah nama jika kamu tidak mencintai pemiliknya.

Itu betul. Aku tidak peduli jika Em ternyata tidak bernama Em. Aku akan tetap mencintainya sekalipun ia bernama Drew, Amanda, atau Michelle. Aku akan tetap mencintai perempuan yang selalu tahan dengan ide-ide gilaku soal alam semesta, serta kegilaan-kegilaanku lainnya. Bahkan, keluargaku sendiri selalu menyerah ketika dalam sebuah pertemuan aku tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan perihal spirit bernama cinta. Mereka akan diam sejenak, pura-pura mengambil minuman di dapur, atau mengecek ponsel mereka, lalu aku berakhir seorang diri di ruangan itu. Itu terjadi tidak hanya satu kali.

“Mereka bukan tidak mau menjawab, Dez. Mereka hanya tidak tertarik dengan tema-tema luar biasa untuk obrolan ringan acara minum teh. Kamu punya aku, Dez. Aku akan selalu mendengarmu, meski mungkin nanti kamu tinggal di sini dan aku pergi ke Venus.” Em lalu tergelak, meledekku dengan wajah tanpa dosa.

Kami berciuman setelahnya. Mempertemukan jiwa kami dalam dimensi dan vibrasi yang sama. Membuat ikatannya semakin kuat dari hari ke hari.

Aku akan tetap mencintai Em, meskipun aku tidak bisa setiap saat menyentuh tubuhnya. Kami kini berjarak satu malam perjalanan dengan bus. Pekerjaannya menuntut Em untuk menjauh dariku. Tidak apa-apa, kataku padanya saat ia bercerita mendapat tawaran bekerja di salah satu grup media besar. Kukatakan seperti itu karena aku tahu mimpi indah Em adalah bergumul dengan lebih banyak lagi naskah. Tidak apa-apa, kataku padanya saat ia menangis di pelukanku malam sebelum tubuhnya meninggalkanku. Ia sempat memintaku ikut dengannya, tetapi terpaksa kutolak. Itulah pertama kalinya aku menolak permintaan Em.

Aku tidak bisa ikut sebab jiwaku telanjur tertanam di kota ini. Biarlah aku menunggu Em menyelesaikan kontrak pekerjaannya. Hanya lima tahun, bukan waktu yang lama. Akan sangat sepadan dengan akhir yang manis nantinya. Aku tidak bisa membelenggu gerak Em dengan sebuah ikatan. Aku tidak ingin mengekang jiwanya yang aku tahu betul mendamba kebebasan. Dan, apa pun yang terjadi nanti, aku akan tetap mencintai Em.


---

SEKAR MAYANG

Editor Penerbit Jentera Pustaka

Pekerja Teks Komersial


Catatan : Cerpen ini ditulis tahun 2021. Salah satu yang akan dimasukkan ke dalam buku Kumpulan Cerpen BELATI SANG TUAN. Versi digital akan dibagikan secara gratis.

Cerpen ini juga tayang di Facebook.

Sumber gambar.

Nug dan Bibirnya

 



Ia akan datang ke kotaku, begitu katanya ketika kami bicara lewat telepon minggu lalu. Dan, ia akan datang sendirian.

Ialah Bunga, perempuan yang sudah dua tahun ini membuatku benar-benar merasakan rindu yang tak tertahankan. Ialah Bunga, yang membuatku setiap hari tak sabar menunggu sapaannya. Ialah Bunga, yang membuatku mengerti bahwa cinta perlu diperjuangkan.

Aku sudah si lobi stasiun sejak tiga puluh menit lalu. Kereta yang membawa Bunga akan datang lima menit lagi. Sungguh, ini akan jadi lima menit terpanjang dalam hidupku. Bagaimana tidak? Aku dan Bunga sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung. Selama ini kami hanya bertegur sapa lewat jaringan internet. Jadi, aku gugup, aku sedikit panik. Ini akan jadi pertemuan pertama kami setelah dua tahun.

Bunga sebenarnya bukan orang yang sama sekali asing dalam hidupku. Mungkin, dulu kami pernah berpapasan di lorong kampus, atau bersinggungan di kantor administrasi, atau bahkan bersebelahan di kedai fotokopi. Kami berada dalam satu kelompok pencinta buku dan mungkin pernah berada di satu forum yang sama, tetapi jalan kami belum pernah benar-benar bertalian.

Semuanya terjadi begitu saja. Aku lebih dulu menghubungi Bunga ketika kulihat ia baru saja memamerkan hasil karyanya. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku hanya mengikuti bisikan hati. Dan, di sinilah aku saat ini, menunggunya muncul di pintu kedatangan.

 

***

 

Keretaku melambat. Aku segera menurunkan ransel dari rak di atasku. Aku tidak akan lama di kota ini, mungkin hanya dua hari, tetapi kurasa itu akan sepadan dengan segalanya.

Aku tidak mengenal pria ini sebelumnya. Tidak, sama sekali. Aku hanya pernah mendengar namanya satu atau dua kali ketika teman yang lain bicara soal pembuat sketsa andal di kota ini. Hanya mendengar dan belum pernah melihat karya-karyanya. Oh, ya, namanya Nugroho, tetapi lebih sering dipanggil Nug. Dan, kurasa ia juga termasuk anggota kelompok pencinta buku di kampusku. Aku tidak ingat apakah pernah satu forum dengannya. Mungkin pernah, mungkin juga tidak. Entahlah. Ingatanku hanya sesekali menjangkau wajahnya yang ketika itu masih belia.

Ah, intinya, aku terkejut ketika Nug menelepon untuk membeli salah satu kumpulan cerpenku. Rasanya aneh saja. Ia yang sebelumnya tidak berselisih jalan denganku, tiba-tiba hadir, memberondongku dengan segala pesonanya, membuatku berpikir: Apakah semesta sedang bermain-main denganku? Aku yang awalnya agak membentengi diri akhirnya menyerah. Padahal, kalau saja ia tahu, aku belum lama sembuh dari luka yang lalu. Ketika ia tahu aku memiliki luka, ia berkata, “Aku ingin menyumbang luka untukmu, untuk diksimu, tetapi aku tidak tega. Tidak akan tega, Bunga.”

Dan, di sinilah aku, menunggu kereta benar-benar berhenti supaya aku bisa segera lari dan membenamkan diriku ke pelukannya.

 

***

 

Perempuan itu muncul di pintu kedatangan. Kulihat punggungnya menggendong ransel Rip Curl warna hitam—aku tahu dari logo di bagian talinya—dan di tangannya tergenggam sebuah ponsel. Ia akan berada di kota ini selama dua hari. Lima puluh jam yang akan kujalani, kunikmati, kumasukkan ke dalam memori, dan tidak akan pernah kuhapus.

Begitu melihatku, Bunga langsung berlari. Lenganku membentang, kuterima tubuhnya dengan segera. Aku tidak peduli orang-orang memberi tatapan aneh atau bahkan celetukan bernada sumbang. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendekap Bunga, menghilangkan masa dua tahun yang luar biasa perih dan tak tertahankan.

“Ehm, Bunga?”

“Ya?”

“Mau sampai kapan kita pelukan di sini?”

Bunga tertawa. Ia lalu melepaskan diri dari pelukanku. “Ayo makan. Aku lapar. Porsi makanan di kereta hanya sanggup memuaskan satu atau dua cacing. Sementara kamu tahu, kan, Nug, aku memelihara satu batalion cacing,” celotehnya, seperti biasa, sanggup membuat kepenatanku seolah-olah sirna dalam sekejap. Suara Bunga agak berbeda dengan yang biasa kudengar lewat telepon. Mendengarnya langsung terasa begitu melegakan, begitu menyenangkan.

Pukul delapan malam, aku dan Bunga sudah duduk di balkon apartemen yang kusewa selama tiga hari. Aku datang lebih dulu kemarin, dari Bandung, sementara Bunga baru bisa sampai kota ini tadi sore. Kata Bunga sewaktu kami merencanakan pertemuan ini, “Aku tidak mau di hotel, Nug. Carikan tempat lain, yang sekiranya kamu pikir aku akan nyaman menempatinya selama dua hari.”

Ah, Bunga, bukankah tempat ternyaman untukmu adalah hatiku? Kamu sendiri yang mengatakannya tepat satu bulan kita menjalin temali kisah.

Aku mendapat apa yang Bunga inginkan untuk kami menghabiskan waktu. Sebuah apartemen di pinggiran kota dengan pemandangan malam hari yang luar biasa menawan. Kami menikmati gemerlap lampu kota, menyesap teh, mendengar kisah masing-masing. Aku dengan perjalanan menggambarku, Bunga dengan segala rangkaian diksinya. Lalu, ketika semua kisah terasa nyaris habis dituturkan, kuberanikan diri menyentuh wajahnya.

 

***

 

Tangan Nug kini berada di wajahku. Rasanya hangat, dengan aroma frangipani yang berasal dari sabun tangan di wastafel. Rasanya hangat, dengan buku-buku sedikit kasar karena terlalu banyak memeluk pensil. Rasanya hangat, dengan ritme belaian yang mulai aku ingat dan aku sukai. Oh, aku tidak tahu ternyata aku begitu mengharapkan tubuhnya hadir secara nyata di hadapanku. Aku masih tidak percaya, aku benar-benar bisa menyentuh raganya malam ini. Masih terasa seperti mimpi, terasa seperti jauh dari jangkauanku. Sungguh, dua tahun yang luar biasa menyakitkan.

Kini, aku dan Nug hanya berjarak … ah, kami tak lagi berjarak. Tanganku pun sudah sedari tadi berada di wajahnya. Meneliti setiap inci kulit sawo matangnya, berusaha merekam gurat-gurat usia di sana. Iya, aku dan Nug tak lagi belia, tak lagi pantas disebut sebagai ABG yang sedang kasmaran, meskipun kami terlihat persis seperti itu.

“Apa yang kamu rasakan, Bunga?”

Aku tidak tahu. Segalanya tampak campur aduk. Aku ingin tertawa, ingin menangis, ingin waktu berhenti berjalan. Aku ingin selamanya seperti ini, aku ingin Nug untuk diriku sendiri, tidak untuk yang lain. Hanya saja, aku harus rela berbagi, rela tidak mendapat utuh.

Just … don’t ever think to leave me, Nug.”

I won’t.”

Seumur hidupku, berciuman adalah hal yang menyenangkan, menggairahkan, dan membuatku hidup. Akan tetapi, menjalaninya dengan Nug, membuatku sadar, segala sesuatunya tidak bisa begitu saja kumiliki. Namun, bukankah manusia masih berhak berharap? Aku dan Nug sudah berkali-kali membahasnya, mempelajari berbagai kemungkinan, mencari celah. Hasilnya tetap sama: aku dan Nug masih harus menunggu, entah berapa lama lagi.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami belum ingin berpisah. Kami baru saja mulai, tentu saja tak ingin selesai cepat-cepat. Memang, masih ada empat puluh lima jam lagi, tetapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Rasanya manis, sekaligus getir. Sungguh, bukan perpaduan yang indah, tetapi aku tetap ingin menikmatinya. Aku bahkan rela menunggu dua tahun demi momen ini. Dan, aku tidak pernah mendapat bibir seperti milik Nug sebelumnya. Bibir-bibir sebelumnya hanya berisi nafsu akan lubang pada tubuh bagian bawahku, berisi janji-janji manis, berisi kebohongan yang terasa nyata.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Kami membiarkan segalanya terlepas, membiarkan segalanya menemui takdir, membiarkan semesta menamatkan tugasnya. Jalan yang aku dan Nug lalui kemarin amat rumit. Orang lain mungkin akan menyerah begitu saja, mungkin akan memilih jalan lain yang lebih mudah dan tidak melelahkan, tetapi aku dan Nug bertahan.

Bibir Nug masih menempel di bibirku. Entah kapan kami bisa mendapatkan momen ini lagi. Kami benar-benar tidak bisa—dan tidak berani—memikirkannya. Sebab, ketika empat puluh lima jam nanti habis, aku dan Nug harus kembali pada kenyataan yang ada.

---

Sekar Mayang

Editor Penerbit Jentera Pustaka

Pekerja Teks Komersial


Sumber gambar