Ia akan datang ke kotaku, begitu katanya ketika kami bicara lewat telepon minggu lalu. Dan, ia akan datang sendirian.
Ialah Bunga,
perempuan yang sudah dua tahun ini membuatku benar-benar merasakan rindu yang
tak tertahankan. Ialah Bunga, yang membuatku setiap hari tak sabar menunggu
sapaannya. Ialah Bunga, yang membuatku mengerti bahwa cinta perlu
diperjuangkan.
Aku sudah
si lobi stasiun sejak tiga puluh menit lalu. Kereta yang membawa Bunga akan
datang lima menit lagi. Sungguh, ini akan jadi lima menit terpanjang dalam
hidupku. Bagaimana tidak? Aku dan Bunga sama sekali belum pernah bertatap muka
secara langsung. Selama ini kami hanya bertegur sapa lewat jaringan internet.
Jadi, aku gugup, aku sedikit panik. Ini akan jadi pertemuan pertama kami
setelah dua tahun.
Bunga
sebenarnya bukan orang yang sama sekali asing dalam hidupku. Mungkin, dulu kami
pernah berpapasan di lorong kampus, atau bersinggungan di kantor administrasi,
atau bahkan bersebelahan di kedai fotokopi. Kami berada dalam satu kelompok
pencinta buku dan mungkin pernah berada di satu forum yang sama, tetapi jalan
kami belum pernah benar-benar bertalian.
Semuanya
terjadi begitu saja. Aku lebih dulu menghubungi Bunga ketika kulihat ia baru
saja memamerkan hasil karyanya. Entah apa yang ada di pikiranku saat itu, aku
hanya mengikuti bisikan hati. Dan, di sinilah aku saat ini, menunggunya muncul
di pintu kedatangan.
***
Keretaku
melambat. Aku segera menurunkan ransel dari rak di atasku. Aku tidak akan lama
di kota ini, mungkin hanya dua hari, tetapi kurasa itu akan sepadan dengan
segalanya.
Aku tidak
mengenal pria ini sebelumnya. Tidak, sama sekali. Aku hanya pernah mendengar
namanya satu atau dua kali ketika teman yang lain bicara soal pembuat sketsa
andal di kota ini. Hanya mendengar dan belum pernah melihat karya-karyanya. Oh,
ya, namanya Nugroho, tetapi lebih sering dipanggil Nug. Dan, kurasa ia juga
termasuk anggota kelompok pencinta buku di kampusku. Aku tidak ingat apakah
pernah satu forum dengannya. Mungkin pernah, mungkin juga tidak. Entahlah.
Ingatanku hanya sesekali menjangkau wajahnya yang ketika itu masih belia.
Ah,
intinya, aku terkejut ketika Nug menelepon untuk membeli salah satu kumpulan
cerpenku. Rasanya aneh saja. Ia yang sebelumnya tidak berselisih jalan denganku,
tiba-tiba hadir, memberondongku dengan segala pesonanya, membuatku berpikir:
Apakah semesta sedang bermain-main denganku? Aku yang awalnya agak membentengi
diri akhirnya menyerah. Padahal, kalau saja ia tahu, aku belum lama sembuh dari
luka yang lalu. Ketika ia tahu aku memiliki luka, ia berkata, “Aku ingin
menyumbang luka untukmu, untuk diksimu, tetapi aku tidak tega. Tidak akan tega,
Bunga.”
Dan, di
sinilah aku, menunggu kereta benar-benar berhenti supaya aku bisa segera lari
dan membenamkan diriku ke pelukannya.
***
Perempuan
itu muncul di pintu kedatangan. Kulihat punggungnya menggendong ransel Rip Curl warna hitam—aku tahu dari logo
di bagian talinya—dan di tangannya tergenggam sebuah ponsel. Ia akan berada di
kota ini selama dua hari. Lima puluh jam yang akan kujalani, kunikmati,
kumasukkan ke dalam memori, dan tidak akan pernah kuhapus.
Begitu
melihatku, Bunga langsung berlari. Lenganku membentang, kuterima tubuhnya
dengan segera. Aku tidak peduli orang-orang memberi tatapan aneh atau bahkan
celetukan bernada sumbang. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendekap Bunga,
menghilangkan masa dua tahun yang luar biasa perih dan tak tertahankan.
“Ehm,
Bunga?”
“Ya?”
“Mau sampai
kapan kita pelukan di sini?”
Bunga
tertawa. Ia lalu melepaskan diri dari pelukanku. “Ayo makan. Aku lapar. Porsi
makanan di kereta hanya sanggup memuaskan satu atau dua cacing. Sementara kamu
tahu, kan, Nug, aku memelihara satu batalion cacing,” celotehnya, seperti
biasa, sanggup membuat kepenatanku seolah-olah sirna dalam sekejap. Suara Bunga
agak berbeda dengan yang biasa kudengar lewat telepon. Mendengarnya langsung
terasa begitu melegakan, begitu menyenangkan.
Pukul
delapan malam, aku dan Bunga sudah duduk di balkon apartemen yang kusewa selama
tiga hari. Aku datang lebih dulu kemarin, dari Bandung, sementara Bunga baru
bisa sampai kota ini tadi sore. Kata Bunga sewaktu kami merencanakan pertemuan
ini, “Aku tidak mau di hotel, Nug. Carikan tempat lain, yang sekiranya kamu
pikir aku akan nyaman menempatinya selama dua hari.”
Ah, Bunga,
bukankah tempat ternyaman untukmu adalah hatiku? Kamu sendiri yang
mengatakannya tepat satu bulan kita menjalin temali kisah.
Aku
mendapat apa yang Bunga inginkan untuk kami menghabiskan waktu. Sebuah
apartemen di pinggiran kota dengan pemandangan malam hari yang luar biasa
menawan. Kami menikmati gemerlap lampu kota, menyesap teh, mendengar kisah
masing-masing. Aku dengan perjalanan menggambarku, Bunga dengan segala
rangkaian diksinya. Lalu, ketika semua kisah terasa nyaris habis dituturkan, kuberanikan
diri menyentuh wajahnya.
***
Tangan Nug
kini berada di wajahku. Rasanya hangat, dengan aroma frangipani yang berasal
dari sabun tangan di wastafel. Rasanya hangat, dengan buku-buku sedikit kasar
karena terlalu banyak memeluk pensil. Rasanya hangat, dengan ritme belaian yang
mulai aku ingat dan aku sukai. Oh, aku tidak tahu ternyata aku begitu
mengharapkan tubuhnya hadir secara nyata di hadapanku. Aku masih tidak percaya,
aku benar-benar bisa menyentuh raganya malam ini. Masih terasa seperti mimpi,
terasa seperti jauh dari jangkauanku. Sungguh, dua tahun yang luar biasa
menyakitkan.
Kini, aku
dan Nug hanya berjarak … ah, kami tak lagi berjarak. Tanganku pun sudah sedari
tadi berada di wajahnya. Meneliti setiap inci kulit sawo matangnya, berusaha merekam
gurat-gurat usia di sana. Iya, aku dan Nug tak lagi belia, tak lagi pantas
disebut sebagai ABG yang sedang kasmaran, meskipun kami terlihat persis seperti
itu.
“Apa yang
kamu rasakan, Bunga?”
Aku tidak
tahu. Segalanya tampak campur aduk. Aku ingin tertawa, ingin menangis, ingin
waktu berhenti berjalan. Aku ingin selamanya seperti ini, aku ingin Nug untuk
diriku sendiri, tidak untuk yang lain. Hanya saja, aku harus rela berbagi, rela
tidak mendapat utuh.
“Just … don’t ever think to leave me, Nug.”
“I won’t.”
Seumur
hidupku, berciuman adalah hal yang menyenangkan, menggairahkan, dan membuatku
hidup. Akan tetapi, menjalaninya dengan Nug, membuatku sadar, segala sesuatunya
tidak bisa begitu saja kumiliki. Namun, bukankah manusia masih berhak berharap?
Aku dan Nug sudah berkali-kali membahasnya, mempelajari berbagai kemungkinan,
mencari celah. Hasilnya tetap sama: aku dan Nug masih harus menunggu, entah
berapa lama lagi.
Bibir Nug
masih menempel di bibirku. Kami belum ingin berpisah. Kami baru saja mulai,
tentu saja tak ingin selesai cepat-cepat. Memang, masih ada empat puluh lima
jam lagi, tetapi kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu.
Bibir Nug
masih menempel di bibirku. Rasanya manis, sekaligus getir. Sungguh, bukan
perpaduan yang indah, tetapi aku tetap ingin menikmatinya. Aku bahkan rela
menunggu dua tahun demi momen ini. Dan, aku tidak pernah mendapat bibir seperti
milik Nug sebelumnya. Bibir-bibir sebelumnya hanya berisi nafsu akan lubang
pada tubuh bagian bawahku, berisi janji-janji manis, berisi kebohongan yang
terasa nyata.
Bibir Nug
masih menempel di bibirku. Kami membiarkan segalanya terlepas, membiarkan
segalanya menemui takdir, membiarkan semesta menamatkan tugasnya. Jalan yang
aku dan Nug lalui kemarin amat rumit. Orang lain mungkin akan menyerah begitu
saja, mungkin akan memilih jalan lain yang lebih mudah dan tidak melelahkan,
tetapi aku dan Nug bertahan.
Bibir Nug
masih menempel di bibirku. Entah kapan kami bisa mendapatkan momen ini lagi.
Kami benar-benar tidak bisa—dan tidak berani—memikirkannya. Sebab, ketika empat
puluh lima jam nanti habis, aku dan Nug harus kembali pada kenyataan yang ada.
---
Sekar Mayang
Editor Penerbit Jentera Pustaka
Pekerja Teks Komersial
0 comments:
Post a Comment