Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Melodi Hujan




Apa yang akan kita dapat dari hujan? Tidak ada. Hanya gigil dan kuyup. Mungkin juga aroma tanah basah pada awalnya. Menyenangkan, tetapi terlalu lekas berlalu. Menyenangkan, tetapi tidak cukup menghalau sesuatu yang tak ingin kurasakan. Menyenangkan, tetapi tidak mampu mempertahankan senyum di wajahku.

Lalu, kamu datang mengacaukan pikiranku soal hujan.

Katamu, “Gigil? Pakailah jaket berlapis-lapis. Kuyup? Ya, jangan keluar rumah, Moy!”

Ingin sekali kubekap mulutmu itu, Ru, tetapi yang kaukatakan itu memang benar adanya. Aku terlalu ingin menikmati hujan hingga tak sadar sudah berada di halaman hingga aku perlu menenggak bergelas-gelas teh jahe untuk membuat tubuhku kembali normal.

Katamu, “Ada hal lain yang bisa kita lakukan saat hujan, Moy.”

Ya, oke, aku tahu semua rumusnya. Kita bisa membaca buku, memasak mi instan dengan kuah pedas, mencuci baju, membersihkan loteng, memberi makan kucing-kucing tetangga yang entah mengapa lebih suka berteduh di tempat kita daripada di rumah tuannya sendiri, menata ulang kepingan cakram film, atau sesederhana tidur demi kecantikan.

Katamu, “Itu rumus kuno, Moy.”

“Baiklah, lalu apa saranmu, Ru?”

Kamu mendekat dengan kecepatan cahaya, lalu menangkup wajahku dengan kehati-hatian super.

Ini entah kali keberapa aku bisa melihat warna matamu yang unik itu, Ru. Tidak hitam, tidak juga cokelat, tetapi tetap hangat… dan teduh. Mata yang tak pernah lelah melihat tingkahku yang mungkin amat menyebalkan bagi sebagian besar orang, mata yang selalu mencari hal baik dari diri yang hina ini, mata yang kerap menunjukkan keindahan tersembunyi bahkan dari seonggok dedaunan kering yang bertumpuk di sudut taman kota.

“Dengarkan suara hujan di luar, Moy…”

Apa? Mendengarkan hujan? Aku yakin, mataku membelalak sampai titik terjauhnya. Buat apa mendengarkan hujan? Apa kamu sudah tertular otak kacauku, Ru?

“…, lalu kita bisa berdansa dengan melodinya,” sambungmu.

Rasanya aku masih memproses ucapanmu dan baru separuh jalan ketika kamu meraih tanganku dan menaruhnya di bahumu. Kamu merengkuh tubuhku, memecah jarak yang ada. Kamu membawa kepalaku bersandar di dadamu, mengecup pelan puncak kepalaku, dan berkata, “Dengarkan saja, Moy.”

Kita pun berdansa dengan gerakan yang paling sederhana. Kamu membimbing tubuhku yang limbung ini dengan manisnya, membiarkan aku menemukan sendiri ritmeku.

Dan, ternyata kamu benar, Ru. Aku mendengarnya. Aku mulai menangkap melodi itu. Beberapa nada yang tidak asing di telingaku. Terangkai, terlantun, tersaji, membawaku menjauh dari ingar bingar pikiranku sendiri. Pikiran-pikiran yang membuatku tak pernah menikmati lantun indah dari apa pun yang ada di sekitarku. Pikiran-pikiran yang membuatku kerap merasakan denyut-denyut kesakitan di kepala. Pikiran-pikiran yang juga tak jarang membuat jemari tangan kiriku kebas, yang lalu rasa itu menjalar dengan cepat ke dadaku, tepat menuju hati. Pikiran-pikiran yang menyebalkan!

Ah, Ru, inginnya aku menikmati melodi itu lagi. Inginnya aku berdansa dalam dekapanmu lagi. Inginnya aku menghapus semua pikiran-pikiran yang membuatku terpuruk. Namun, rupanya itu terakhir kalinya aku merasakan keindahan yang kaubawa bersama jiwa manismu.