Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Two Faces - Chapter One



ku ingat pertemuan pertamaku dengan Mou. Ia datang dengan Sam ke Stamford's Diner. Saat itu sudah hampir jam sebelas malam dan mereka berdua hanya memesan dua porsi french fries dan kopi. Tidak ada yang aneh waktu itu. Mereka berdua seperti pelanggan lainnya yang mampir dalam keadaan kelaparan dan butuh tempat bersantai sebelum benar-benar pulang ke rumah. Aku bahkan tidak menganggap serius lirikan dan senyuman dari Mou karena aku mendapat perlakuan itu hampir setiap hari dari yang datang kemari.

Oke. Kejadian malam itu memang tidak bisa dikatakan sebagai pertemuan pertamaku dengan Mou. Kami baru benar-benar bertemu beberapa hari setelahnya, masih di Stamford's Diner, tapi ketika itu masih pukul empat sore.

Mou duduk di bar dan memesan chicken fillet, scrambled egg, dan segelas besar iced coke. Katanya, itu makan siangnya. Well, yeah, aku tidak peduli. Dan, ketika Mou mengeluarkan sebuah buku tebal – setelah beberapa suapan santap siangnya – dan meletakkannya di meja dengan posisi yang sepertinya sengaja untuk dipamerkan kepadaku. Ehm, aku tidak mau ambil pusing. Bahkan saat aku membaca sekilas sebuah nama yang terpajang di sampul buku tebal itu, aku tetap tidak tertarik. Walaupun sempat terlintas di otakku, nama Mourinho Sanchez pastilah seorang keturunan hispanik. Tapi, kenyataan yang kutahu belakangan, Mou bukan keturunan hispanik.

"Zee," gumam Mou setelah membaca pin yang menempel di seragamku, "nama yang lucu," katanya lagi, lalu melanjutkan lagi makannya.

Apa tadi yang ia katakan?! Lucu?! Huh! Mom dan Dad tidak menganggap nama panggilan itu 'lucu' ketika memberikannya padaku. Dan, Mou adalah satu-satunya pria yang menganggap namaku lucu. Oh ya, aku lupa. Namaku Catherine Adams. Nama yang mudah diingat, bukan?! Tapi, tentu nama Zee lebih mudah menancap di otak kalian.

Itu tadi sekilas tentang pertemuan pertamaku dengan Mou. Kami belum benar-benar berkenalan saat itu. Well, Mou tahu namaku, sementara aku belum tahu kalau ia adalah Mourinho Sanchez.


Episode aku dan Mou dimulai sesaat setelah ia menyebut namaku 'lucu'. Aku yang saat itu sedang menata gelas-gelas – yang kebetulan – tepat di hadapannya, langsung menghentikan tanganku. Aku melihatnya sudah tidak lagi memperhatikanku. Ia sudah sibuk dengan makanannya, dan juga buku tebalnya.

"Kau tertarik dengan namaku?!" tanyaku.

Mou tidak menghentikan tangannya. Pun tidak melihatku ketika menyahut, "Tidak juga."

Aku marah. Tapi, aku bisa apa? Karena tiba-tiba Mr. Stamford sudah berdiri tak jauh dariku. Meskipun pria paruh baya itu tidak sedang memperhatikan aku, tetap saja aku tidak mau mengambil risiko kehilangan pekerjaanku. Jadi, kukatakan saja pada Mou, "Kita akan bahas ini selesai jam kerja."

Aku bilang pada Mou untuk kembali ke Stamford's Diner lewat dari jam sebelas malam, saat aku akan pulang. Namun, entah apa yang ada di pikiranku ketika menyuruhnya kembali. Dan, aku hampir yakin ia tak akan datang. Jadi, begitu saatnya aku pulang, maka kuputuskan untuk benar-benar pulang. Lalu, yang terjadi, seseorang menghentikan langkahku hanya satu blok menjelang rumahku. Dari jarak beberapa kaki,  walau dalam keremangan malam, aku tahu siapa orang itu. Dia Jesse.

"Hallo, Sweetheart," sapa Jesse dengan santainya. Kulihat kedua tangannya tersembunyi di saku jaket. Bukan karena dingin, tapi itulah gaya Jesse.

"Apa kabarmu, Jesse?" tanyaku sambil melanjutkan langkahku. Kemudian Jesse mendampingiku berjalan.

"Tidak ada yang spesial," jawab Jesse. "Oya, Zee. Apa besok pagi kau sibuk? Aku ingin mengajakmu ke galeri."

"Untuk apa? Untuk memandangimu berjam-jam memperkosa tuts piano?!"

Jesse tertawa, padahal aku sedang tidak berniat berkelakar. "Kau lucu, Zee. Tapi, tidak. Bukan untuk yang kau sebutkan tadi."

Hmm.... Agak aneh juga. Hari ini ada dua pria yang menyebutku lucu. "Lalu, untuk apa? Aku tidak mau jika itu tidak ada tujuannya. Dan, kau tahu kalau aku tidak tertarik dengan seni. Apa pun bentuknya."

"Pokoknya aku jemput kau jam sembilan tepat," sahut Jesse yang langsung berlari begitu selesai bicara. Aku bahkan belum sempat memberi jawaban apa-apa.

Jesse benar-benar datang ke rumahku pukul sembilan tepat. Ibuku sedang pergi ke Bronx, jadi aku hanya sendiri di rumah. Dengan langkah malas dan setengah mengantuk, aku menuju pintu depan.

"What?" Saat itu aku belum ingat untuk apa Jesse datang ke rumahku. Ini hari Sabtu, dan aku hanya ingin tidur sepanjang hari sampai saatnya nanti aku harus pergi ke Stamford's Diner.

"Ke galeri. Ingat?"

"Ah, itu."

Maunya kututup lagi pintu depan dan kubiarkan Jesse di sana. Aku sangat ingin berbaring kembali di ranjangku. Tapi, pintu rumah tak bisa tertutup rapat. Rupanya kaki kanan Jesse mengganjal di bagian bawah pintu.

"Ayolah, Zee. Aku janji tidak akan lama," Jesse memohon. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang sejenak apa yang mungkin terjadi di galeri, aku menjauh dari pintu dan membiarkannya terbuka sehingga Jesse bisa masuk.

Oke. Baiknya aku ceritakan sedikit soal Jesse. Aku mengenalnya sejak duduk di kelas sembilan. Jesse pindah dari California karena orang tuanya bercerai dan ia lebih memilih ikut dengan ibunya. Well, nasib kami berdua benar-benar sama. Ibuku lebih memilih pindah ke Brooklyn daripada tetap satu kota dengan ayah di DC.

Rumah kami hanya dipisahkan lapangan baseball yang biasa dipakai oleh liga kecil Brooklyn. Kadang Jesse mampir ke rumahku, tapi lebih sering aku yang menginap di tempatnya. Di belakang rumah Jesse ada sebuah pohon besar – entah pohon jenis apa – yang dipasangi sebuah ban mobil yang diikatkan pada pada salah satu dahannya dengan seutas tali besar. Sebuah benda yang membuat aku selalu kembali ke rumah Jesse.

Dan, seperti remaja normal lainnya, kami pernah berkencan. Beberapa kali. Sampai akhirnya kami sadar – atau lebih tepatnya, aku yang menyadari hal itu lebih dulu – bahwa kami lebih pantas berteman.

Dan, inilah yang terjadi di galeri – kami terlambat satu jam dari janji sebelumnya – Jesse mengajakku berkeliling ke seluruh bangunan besar itu. Galeri kota ini baru saja direnovasi. Ditambah beberapa ruangan dan sebuah taman kecil di sudut galeri. Dari terakhir aku berkunjung ke galeri, bangunan ini seperti rumah hantu. Hanya suara alat musik dari kelompok Jesse yang membuat galeri itu hidup.

Salah satu ruangan baru itu diperuntukkan sebagai kelas menulis. Kabarnya, dewan kota harus mendatangkan mentor dari luar New York. Entah karena tidak ada penduduk kota ini yang qualified, atau dewan kota terlalu pelit sehingga harus berburu harga yang lebih murah.

Saat itu, kelas menulis pagi hari baru saja selesai. Beberapa remaja, juga dua wanita paruh baya, nampak keluar dari ruang itu. Aku dan Jesse menunggu sampai semua orang keluar, lalu kami masuk ke ruangan kelas. Jesse bilang, dia ingin mengenalkanku pada mentor kelas menulis. Aku bilang, untuk apa. Jesse tidak menjawab.

"Ini mentor baru kita, Zee."

Aku melihat pria di hadapanku, yang disebutkan Jesse sebagai mentor baru, dan aku seperti disentil oleh cemeti pawang singa.

"Hallo," sapa pria itu. "Aku Mourinho Sanchez."

Aku berharap sungguh-sungguh, bahasa tubuh remajaku ketika melihat pria tampan tidak akan muncul saat ini, saat aku pertama kali berhadapan dengan Mou. Bahkan aku beruntung, pikiranku bisa teralihkan pada hal lain. Dan, yang langsung kuingat adalah, pria ini yang menyebut namaku 'lucu'.

"Kau?!" gumamku. Aku masih belum bisa berkata apa-apa. Mataku masih tak percaya terhadap objek di depannya.

Mou hanya tersenyum. "Meskipun aku memakai nama hispanik. Aku adalah warga asli Amerika," jelasnya. "Sementara ini aku tinggal di Manhattan."

Kejadian memalukan di galeri sudah lewat dua minggu yang lalu. Aku pun sudah mulai melupakannya. Tapi ada yang aneh. Biasanya Mou rutin ke Stamford's Diner pukul empat sore tiap harinya. Namun, selama dua minggu ini, aku tidak melihatnya. Aku mulai khawatir. Tepatnya, kemarin aku mulai khawatir.

Aku berpikir, jika aku menelepon Jesse atau tiba-tiba ke rumahnya hanya untuk menanyakan Mou, dia pasti curiga. Jadi, aku harus membuat Jesse yang mendatangi rumahku. "Mom meminta bantuanmu membereskan gudang, Jesse. Mom bilang, dia seperti mendengar bunyi binatang ketika mencari sesuatu di sana." Padahal aku dan Mom sudah membereskan gudang minggu lalu, dan tidak terjadi apa-apa.

Jesse datang beberapa menit kemudian. Dia masuk dari pintu dapur – hal yang biasa ia lakukan – dan langsung memberikan seringai itu padaku. "Aku tahu mengapa kau memanggilku kemari, Zee."

"Apa?!" gumamku.

"Aku tidak bodoh. Kau pasti penasaran dengan Mr. Sanchez, kan?!"

Oh, tidak. Aku seperti kehilangan oksigen di seluruh tubuhku.

Aku tahu ada yang tidak beres denganku ketika pertama kali melihat Mou di galeri. Campuran antara rasa jengkel, rasa penasaran, dan kekaguman berlebihan, hinggap di otakku saat itu. Aku tidak pernah lupa bahwa Mou menganggap namaku 'lucu'. Aku merasa harus membalas ejekan itu.

Kesimpulan pertemuan saat itu: Jesse memaksaku menemaninya mengikuti kelas menulis. Aku sulit menolak saat itu. Karena tiba-tiba saja Jesse bercerita pada Mou soal naskah drama yang kubuat saat kelas dua belas untuk pertunjukkan akhir tahun sekolah. Itu, sesuatu yang ingin aku kubur dalam-dalam di gudang memoriku. Saat itu aku setuju menyusun naskah drama hanya karena Jesse memintaku untuk itu. Well, saat itu aku tidak bisa menolak permintaan pacarku!

Jadi, ketika Mou tertawa setelah selesai mendengar cerita Jesse, aku makin jengkel kepada mentor baru itu. Sungguh, aku tidak pernah dan tidak ingin membayangkan Mou bakal menjelma menjadi kekasihku nanti.

--- bersambung ---

Perjalanan ke Lain Hati


“Kopi?!” tawar Raisa kepada Jimmy.

Jimmy menggeleng tanpa memandang Raisa yang kini telah duduk di hadapannya. Mereka hanya berjarak lebar meja kantin yang penuh corat-coret. Mata Jimmy jauh memandang ke belakang tubuh Raisa, kira-kira lima meter. Raisa urung menyesap cairan coklat berjudul cappuccino dari cangkirnya, lalu menengok ke belakang, ke objek yang dilihat sahabatnya, Jimmy.

“Masih ngarepin dia?” tanya Raisa yang lalu mulai menyesap perlahan minumannya.

“Masih,” jawab Jimmy tanpa mengalihkan pandangannya.

“Nggak mau nyoba cari yang lain?”

“Nggak.”

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Jimmy beralih memandang Raisa, meninggalkan objek yang sedari tadi menyita perhatiannya: Mariana.

“Menurutmu ada yang lebih dari Mariana?” tanya Jimmy disertai kerut-kerut menghakimi pada dahinya.

“Entah,” sahut Raisa dengan santai. “Standar itu, kan, kamu sendiri yang menentukan. Kalo kamu selalu menutup diri, mungkin sampai kamu mati, Mariana tetap yang terbaik di matamu. Tapi, di dunia ini – eh, ralat, kelebaran. Di kampus ini, cewek yang bisa dipacarin, kan, nggak cuma Mariana, Jim. Bukannya kamu dulu pernah suka sama Atha. Kenapa nggak coba deketin Atha lagi? Nggak ada salahnya, kan?! Toh, Atha juga nggak lagi sama siapa-siapa sekarang.”

Jimmy menghela napas panjang. Ia menghenyakkan punggungnya ke sandaran bangku. Pandangannya kembali tertuju pada Mariana, gadis yang dua minggu lalu masih menjadi kekasihnya. Jimmy tak peduli apa lagi yang akan Raisa katakana padanya. Memang benar, ia belum mau membuka diri kepada gadis mana pun. Baginya, berusaha melupakan Mariana sama beratnya dengan berusaha mendapat nilai A pada mata kuliah Analisis Struktur. Hampir mustahil.

Dua minggu lalu, Mariana datang ke perpustakaan. Saat itu, Jimmy tengah mencari buku di salah satu rak perpustakaan. Tiba-tiba Mariana menarik tangan Jimmy dan membawanya ke sudut perpustakaan yang jarang dilewati orang. Paras Mariana dihiasi peluh, padahal ruang perpustakaan ini dipasangi alat pendingin ruangan. Jemarinya tak henti memilin-milin sapu tangan. Mariana gugup. Lalu, terlontarlah kalimat itu. Sampai beberapa menit, Jimmy belum mengerti apa yang sebenarnya dikatakan Mariana. Dan, Mariana pun berkata, “Nanti juga kamu bakal ngerti, Jim.” Kemudian, Mariana berlalu meninggalkan Jimmy seorang diri di sudut perpustakaan, membiarkan pemuda itu larut dalam kebingungan.

“Sebentar lagi Gus Eka dateng,” kata Raisa membuyarkan lamunan Jimmy. “Jangan sampe Gus Eka tau kamu lagi ngeliatin ceweknya.”

Raisa benar. Belum sampai satu menit, pemuda jangkung berparas tampan datang menghampiri Mariana dan langsung duduk di sebelah gadis berambut sebahu itu.

Mereka duduk terlalu dekat, pikir Jimmy. Dengan terpaksa, Jimmy mengalihkan pandangannya dari Mariana dan melihat lawan bicaranya sedari tadi. Raisa. Gadis dengan pashmina turquoise dan riasan wajah yang sederhana. Cantik, ucap Jimmy dalam hati. Tiba-tiba ia menegakkan duduknya. Itu sedikit mengejutkan Raisa yang tengah asyik menyantap potongan brownis kukus.

“Minggu depan, aku boleh main ke rumahmu?” tanya Jimmy tanpa berkedip.

“Mau ngapain? Nyari hotspot-an gratis?”

“Nggak. Mau nyari SIM,” jawab Jimmy.

“SIM?!”

Jimmy mengangguk. “ Iya. SIM dari ayahmu, Sa. Surat Ijin Menikah.”


Aku Si Mati


Aku adalah si mati. Sungguh, aku telah mati. Yeah, paling tidak, itu yang kurasakan ketika bercermin sehabis mandi. Aku berdiri di depan cermin tanpa rasa tertarik sedikit pun ketika melihat bayangan diriku yang tanpa jubah mandi. Bukannya aku tidak bersyukur memiliki tubuh selayaknya model Victoria’s Secret, tapi aku hanya fokus melihat wajahku tiap kali bercermin.

Aku Renata. Umurku dua puluh delapan tahun. Dan, aku adalah wanita mandiri yang layak dibilang sukses. Aku punya uang, apartemen mungil di kawasan elit, mobil kelas city car keluaran terbaru, dan juga sepatu-sepatu mahal. Aku memang sukses dan seharusnya merasa senang. Ya, seharusnya! Namun, aku tidak melihat raut itu di wajahku. Aku hanya melihat wajah aneh bak istri-istri di film Stepford Housewifes – hanya saja, rambutku tidak pirang. Mereka bisa tersenyum dan tertawa setiap saat. Mereka juga bisa melakukan banyak pekerjaan rumah tanpa merasa lelah. Lalu, di malam harinya masih harus melayani suami-suami mereka layaknya pasangan yang baru saja menikah: liar! Ternyata, di dalam otak perempuan-perempuan ‘sempurna’ itu tertanam chip. Suami-suami mereka memegang remote control untuk mengatur apa saja yang harus perempuan-perempuan itu lakukan. Bahkan, para lelaki itu bisa mengatur suara desahan dan rintihan orgasme si wanita saat mereka meliar di ranjang. Gila!

Itu membuatku berpikir, jangan-jangan di otakku pun tertanam benda kutu kupret itu. Sebab, aku melakukan banyak pekerjaan yang diperintahkan pria sialan itu setiap hari. Anehnya lagi, aku tidak merasa lelah saat melakukannya. Kupikir, harusnya aku bisa membenci bos kampret seperti dia.

Pernah suatu ketika, aku merasa kelelahan yang amat sangat. Sampai di satu titik, aku ingin melakukan satu hal: berhenti bekerja. Tapi, aku tidak bisa. Sekeras apa pun keinginanku, ujung-ujungnya aku harus menyerah pada keadaan. Kalau aku mencari pekerjaan lain, adikku tidak bisa meneruskan kuliahnya. Lalu, jika aku meneruskan pekerjaan ini, aku khawatir berubah jadi mayat hidup. Dilema!

Tapi, ehm…, tak apalah. Bukankah tadi sudah kukatakan di awal, aku adalah si mati. Itu benar. Aku sudah melihat gejalanya. Aku makin tidak peduli pada diriku sendiri. Aku hanya peduli pada tujuanku: uang. Yeah, baiknya kuteruskan melacur sampai adikku lulus kuliah.



Kamila, Kamila


Kamila menyingkap selimut biru muda yang semalaman membalut tubuh indahnya. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah meja rias. Kakinya yang tanpa alas menyentuh karpet lembut warna hijau tua yang dua tahun lalu ia beli ketika berlibur ke Bali. Tubuhnya yang terlapisi kulit kuning langsat, juga dibiarkan tanpa penutup. Kamila senang jika kulit tubuhnya – di semua bagian – dapat bernapas dengan lega tanpa halangan sehelai benang pun.

Di depan cermin meja rias, ia hanya berdiri dan melihat bayangannya sendiri. Terkadang ia menyungging senyum kecil. Lalu, ia melipat kedua tangannya di depan dada, menutupi dua gundukan kenyal yang membulat sempurna. Tidak! Ia bukan bermaksud menutupi payudaranya. Ia hanya berpura-pura memeluk sesuatu, atau… seseorang. Lalu, matanya terpejam dan membiarkan dirinya terseret menuju padang kenangan.

***

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila masih seorang pekerja kantoran. Rasa jenuh membuatnya berhenti begitu saja dari pekerjaan yang sudah memberinya sebuah rumah mungil, mobil tipe city car, dan sejumlah uang tabungan. Banyak yang melarangnya berhenti. Tapi, Kamila sudah tidak mampu lagi mengingkari keinginan untuk berhenti bekerja. Sebetulnya, Kamila hanya lelah dan butuh beristirahat. Dan, memang seperti itulah rencananya. Ia hanya akan berlibur dua minggu, lalu kembali bekerja. Posisinya sebagai manajer pemasaran sulit tergantikan. Paling tidak, itu menurut atasan Kamila. Namun, apa yang terjadi ketika ia berlibur ke Bali – kurang lebih dua tahun yang lalu – membuatnya enggan kembali ke balik meja kerja.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila memutuskan untuk mengambil cuti selama dua minggu. Ia akan memakai empat belas hari penuh untuk berlibur ke Bali. Ia sudah memesan tiket pesawat dan kamar hotel. Uang bukan masalah bagi Kamila, sehingga ia bisa mendapatkan standar yang ia mau. Sudah terbayang di benaknya kala itu, liburannya akan menjadi liburan yang memuaskan karena ia bisa sejenak melupakan pekerjaan dan rutinitas melelahkan di Jakarta. Tidak boleh ada yang mengganggu. Bahkan, ia berpikir untuk tidak membawa ponselnya. Tapi, niat itu ia urungkan. Kamila akan tetap membawa ponsel. Hanya saja, ia akan menggunakan benda mungil tersebut jika memang benar-benar dibutuhkan. Jadi, selama liburan dan tidak ada keperluan mendesak, ia akan mematikan ponsel dan menyimpannya di koper. Rencana yang cukup baik, pikirnya.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila bertemu seseorang. Saat itu, Kamila sedang duduk menunggu mobil hotel menjemputnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria muda juga duduk. Nampaknya pria itu juga sedang menunggu sesuatu, atau seseorang. Berkali-kali pria itu menolak tawaran supir taksi untuk membawanya ke tempat tujuan. Kamila merasa pernah melihat pria itu sewaktu di Cengkareng. Pria akhir dua puluhan dengan koper merah besar dan jaket kulit lusuh. Bukan seseorang yang mudah terlewatkan begitu saja. Bahkan, Kamila menengok untuk yang kedua kalinya ketika melihat pria itu. Kamila pikir, pria itu akan menuju kota lain, karena loket check-in mereka berbeda. Pun Kamila tidak melihat pria itu di pesawat yang sama yang ia tumpangi. Tapi, ternyata, semesta berkonspirasi mempertemukan kembali ia dan pria itu.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebih dua tahun lalu, Kamila pernah satu mobil dengan pria berjaket kulit lusuh dan membawa koper merah besar. Di dalam mobil itu, keduanya berkenalan. Kamila sedikit terkejut, ternyata pria itu – namanya Nathan – juga memperhatikan dirinya ketika masih di loket bandara Soekarno-Hatta. Tanpa sadar, Kamila menyungging senyum kecil. Di dalam mobil itu, keduanya duduk bersebelahan. Masih ada jarak di antara tubuh-tubuh mereka. Kelak, jarak itu akan teramputasi dengan sempurna. Entah kapan. Di dalam mobil itu, yang kini berjalan sangat pelan untuk menembus kemacetan daerah Kuta, keduanya berbincang. Tentang apa saja. Bahkan, ketika sampai di depan meja resepsionis, keduanya masih juga berbincang. Masih, tentang apa saja.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila kembali mengecap manisnya jatuh cinta. Nathan membuatnya percaya, kadang cinta datang tiba-tiba tanpa permisi, tanpa perlu melihat berapa nominal yang tercetak pada buku rekening atau benda apa saja yang mengisi sebuah rumah. Cinta hanya perlu dirasakan.

“Apa yang kau pikirkan, Nathan?” tanya Kamila sambil menenggelamkan diri ke dalam pelukan Nathan. Jarak di antara keduanya sudah teramputasi dengan sempurna.

Nathan masih diam. Dada bidangnya bergerak naik turun beberapa kali secara perlahan, dengan ritme teratur. “Penyesalan,” jawabnya kemudian.

“Penyesalan?!” Kepala Kamila bergerak dan matanya menyorot heran pada Nathan. “Menyesal soal apa?”

“Tidak.” Nathan menggeleng. “Bukan sesuatu yang buruk.”

“Lalu, apa maksudmu? Kau menyesal bertemu aku?!” Kamila kembali ke dalam dekapan Nathan.

“Tidak. Aku bersyukur menemukanmu di sini. Yang aku sesalkan… adalah jika kau menyesal bertemu aku.”

Kamila bangkit dari posisinya. Ia benar-benar terduduk di atas ranjang sekarang. Matanya menatap mata Nathan, mencari-cari maksud dari perkataan pria itu. Kamila menuntut jawab. Tidak dengan ucapan, hanya dengan sorot mata yang sangat tajam.

“Aku akan menikah bulan depan,” kata Nathan. Jelas dan tenang.

Kamila bergeming.

“Maafkan aku, Mila. Aku…. Aku terlalu terbius dengan dirimu….”

Kamila turun dari ranjang. Ia mengenakan jubah mandi yang sebelumnya tergeletak di lantai. “Aku tidak mengerti,” ujar Kamila. Ia berusaha sekuat tenaga membendung air matanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan siapapun, termasuk Nathan. “Aku tidak mengerti,” ulangnya. “Untuk apa kau memutuskan untuk bicara denganku jika nantinya kau harus bersama perempuan lain?”

Nathan duduk dan membiarkan Kamila kembali menghujani dirinya dengan tatapan liar yang menyalahkan. Lalu, ia bangkit dan mendekati Kamila, berdiri di hadapan perempuan itu, hampir tanpa jarak.

“Aku… menempatkan dirimu di sebuah tempat… di sini,” kata Nathan sambil menunjuk dadanya. “Tempat itu baru saja kubuat ketika pertama melihatmu di bandara. Dan, kuperluas tempat itu hingga detik ini.” Nathan mendekatkan bibirnya ke telinga Kamila. “Kau tenang saja, Mila. Tempat itu tidak akan terisi siapapun selain dirimu.” Lalu, Nathan menciumi otot-otot leher Kamila.

Dua tahun lalu. Ya, kurang lebihnya dua tahun lalu, Kamila menemukan cintanya. Lalu, dengan tragis, ia harus kembali melepaskan apa yang baru saja ia dapat. Ia tidak bersedih dengan kehilangannya. Ia malah tersenyum ketika melihat punggung Nathan menghilang di balik pintu kamar hotel. Ia tahu, konspirasi semesta tidak salah alamat.

***

Mata Kamila kembali terbuka. Tangannya masih terlipat di depan dada. Ia masih melihat bayangan dirinya di depan cermin meja rias… dan juga bayangan seseorang. Nathan memeluknya dari belakang dan menghadiahi bahu Kamila dengan sebuah kecupan.

“Kau tahu, Nathan?!”

“Hmm….”

“Kupikir semesta tidak sedang berkonspirasi. Semesta memang sedang mempermainkan kita saat itu. Membiarkan segalanya kacau balau.” Kamila melepaskan pelukan Nathan, lalu membalikkan badan. Ia menatap wajah Nathan, lama sekali. “Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

@sekarmayz - 131212