Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Aku Nana... dan Ini Kisahku

1343770332897777518

Kolaborasi Sekar Mayang dan Miss Rochma.

Jangan salahkan aku! Salahkan bapakku. Jangan salahkan ibuku! Salahkan bapakku. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi peminta rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki.

***

“Nana. Apa benar ini handphone kamu?”

Ibu guru yang cantik itu bertanya dengan senyum yang menawan kepadaku. Kacamatanya yang berwarna merah, semakin memunculkan keayuannya. Senyumnya, menunjukkan dia ramah. Seperti ibuku.

Ibu…. Bagaimana kabarmu di sana? Meskipun kita sudah lama tidak bertemu, tapi fotomu dalam ukuran kecil masih tersimpan rapi di sela-sela dompetku. Karena aku tidak mau lagi kehilangan memori manis di masa laluku. Ibu…. Tahukah engkau kalau ibu guru ayu ini mirip denganmu? Cara tertawanya, cara berbicaranya, bahkan bentuk tubuhnya. Sungguh Ibu, aku masih belum bisa melupakan kepingan kenangan atasmu meskipun kau sudah meninggalkan aku ke dalam pelukan laki-laki jahanam itu delapan tahun yang lalu, bersama dua tas besar berisi pakaian dan dokumen-dokumen penting milikmu. Meninggalkan aku dengan boneka kelinciku karena laki-laki itu sudah mengkhianati cincin kawin yang selalu tertanam di jari manismu.

“Nana. Benar ini handphone kamu?”

Ah, aku terlalu menikmati tentangmu ibu, sampai ibu guru ayu ini mengulang pertanyaannya dua kali. Wajah ibu guru ayu ini terlihat lelah, membuatku tanpa sadar menganggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dia tanyakan.

Kulihat dia membetulkan duduknya yang sedari tadi condong ke arahku, Ibu. Sungguh gerakannya mirip dengan gerakanmu yang memiliki ribuan irama. Diutak-atik handphone coklat yang ada di genggamannya lalu menyodorkan kepadaku. Memudahkan aku melihat jalinan warna yang ada di balik layar lebar handphone milikku.

“Coba jelaskan ke Ibu. Kenapa ada video seperti ini di handphonemu?”

Aku sengaja memendam suara ini, tidak mau menjawab pertanyaan ibu guru ayu ini, Ibu. Aku jadi teringat padamu Ibu. Ketika aku melakukan kesalahan, kau selalu mengawali dengan rangkaian kata ‘coba jelaskan’.

“Nana. Bisa jelaskan pada ibu? Masalah seperti ini sudah masalah kamu yang kedua yang ditangani ibu dalam satu tahun ini.” Jeda sejanak. “Yang lalu, entah siapa yang ada di video itu. Tapi yang sekarang, yang membuat ibu kaget, ada kamu di video itu.”

Aku memandang wajah ibu guru ayu ini. Penuh harap di ujung matanya atas pertanyaan yang tak juga kunjung aku jawab. Tapi aku hanya mau diam. Bukan malas menjawab tapi karena aku terbiasa diam atas apa yang aku alami. Kucoba menyibukkan mataku memandangi gerakan-gerakan eksotisku dengan seorang remaja laki-laki yang bergerak di balik layar handphoneku.

“Nana…. Ibu tahu kamu anak yang baik. Kalau memang kamu mau ibu bantu supaya masalahmu selesai, cerita apa adanya pada ibu.”

Tapi aku tetap tidak mau bicara. Ah, lebih baik aku menunduk supaya aku tidak lihat wajah bulat ibu guru ayu ini yang mirip denganmu, Ibu.

Dalam tundukku, kuarahkan bola mataku ke atas mengintip sosok yang diam-diam aku kagumi sejak aku pertama kali masuk di SMP ini. Berulang kali dia membetulkan kaca matanya. Aku tahu dia gelisah, seperti ketika bapakku berulang kali menyisir rambutnya dengan kelima jarinya ketika dia gelisah karena aku memberontak untuk dicumbunya.

Sepuluh menit berlalu dalam diam. Harus kuakui, sepuluh menit ini seperti sepuluh hari lamanya.

“Nana. Lebih baik kamu kembali ke kelas. Besok kita lanjutkan lagi ngobrolnya.”

Jangan, Bu! Jangan suruh aku pergi! Aku sudah merasa nyaman di lingkaran perhatianmu. Kuangkat kepalaku pelan-pelan untuk memandang wajah ibu guru ayu ini. Dan tanpa terasa, aliran air mata luruh deras di wajahku.

“Nana. Menangis saja, kalau memang mau menangis. Tapi jangan hanyut dalam tangismu. Ceritakan. Ibu akan senang mendengarnya.”

Huuuuaaaahhhhh…!!!!! Aku rindu padamu, Ibu. Dan hanya pada ibu guru ayu ini aku menumpahkan semua luka masa laluku.

Bahwa jangan salahkan aku. Salahkan bapakku! Jangan salahkan ibuku! Salahkan bapakku! Laki-laki itu yang membuat aku menjadi peminta rayuan laki-laki. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi penikmat sentuhan laki-laki. Laki-laki itu yang menggali lubang di untaian kenangan masa laluku. Laki-laki itu yang membuat aku ingin membunuhnya padahal dulu sempat aku memujanya. Laki-laki itu yang pertama kali mencium dengan paksa tubuh indahku.
“Nana…. Menangis saja tidak akan membuat ibu mengerti. Ceritakan apa yang terjadi.”

Aku ragu ibu guru ayu ini bisa langsung mengerti apa yang kurasakan, Ibu. Tidak semua orang bisa mengerti. Bahkan mungkin tidak akan ada yang mau mengerti. Mereka pikir, pasti aku yang salah. Aku yang memancing laki-laki laknat – yang seharusnya kuhormati – untuk berbuat mesum terhadapku. Bahwa aku yang mengail di air keruh, bukan laki-laki dengan tato harimau yang memenuhi punggungnya itu. Ah, mengapa aku jadi benci kepada semua orang? Dan kau, ibu guru ayu, jangan membuatku jadi ikut membencimu. Aku tahu kau pasti akan mengerti apa yang yang terjadi pada diriku. Hanya saja..., hanya saja…, ah, aku takut. Aku takut kau akan menangisiku. Padahal aku hanya perlu pelukan hangat dan usapan lembut pada rambut panjangku.

“Jika kau mau, kita bisa keluar, Nana. Mungkin kau canggung menceritakan hal itu di sini. Kita bisa pergi ke sebuah tempat yang nyaman. Ibu tahu satu tempat yang cocok.”

Ah, ibu guru ayu, tawaranmu sungguh menggiurkan. Ya. Aku memang agak canggung menceritakannya di sini. Selain karena tatapan Ibu Risna – rekan kerjamu sesama guru konseling – yang sudah pasti menghakimiku, suasana ruang konseling ini mengingatkanku pada suatu tempat mengerikan. Paling tidak, mengerikan versiku sendiri.

Ruangan konseling ini sempit dan sedikit gelap. Mungkin karena letaknya yang di sudut area sekolah – juga karena jumlah jendelanya yang hanya satu – membuatnya kurang mendapat sinar matahari. Dan kepala sekolah kita terlalu pelit untuk mengijinkan ibu guru ayu ini menyalakan lampu ketika sedang bekerja di ruangan ini. Jadilah keremangan dan keterbatasan ruangan ini mengingatkanku pada ruang kerja bapakku. Bah! Ruang kerja?! Mengapa aku jadi sok sopan menamai sebuah ruangan yang telah merenggut kehormatanku? Hmm…, mungkin karena laki-laki laknat itu adalah orang yang seharusnya aku hormati. Ya, mungkin saja.

Lalu sofa ini, sofa yang kita duduki saat ini, terkesan tua dan kumal. Seperti tempat ketika laki-laki itu pertama kali melucuti pakaianku. Dia bilang, yang pertama haruslah dia yang mendapatkan. Selanjutnya, setiap malam minggu, lelaki lain yang berdompet tebal selalu mencicipi tubuhku. Aku tidak pernah mendapat lebih dari seratus ribu untuk sekali main. Bahkan ketika bapak mendapat dua juta dari salah seorang tamu kaya raya, aku tetap mendapat seratus ribu.

Aku akhirnya jadi tahu, kenapa ibu meninggalkan bapak. Pengkhianatan cinta yang sungguh terlalu besar. Dan sampai sekarang aku tidak habis pikir, kenapa ibu tega meninggalkan aku dengan laki-laki yang mengkhianatinya. Meskipun begitu, aku tetap tidak bisa membenci ibu karena hanya sosok dia yang mampu mengumpulkan kenangan indah yang semakin berserakan oleh rasa benci terhadap bapak.

“Hapus air matamu, Nana. Pergilah ke toilet untuk merapikan diri. Tunggu di sini sementara ibu mengurus ijin untuk keluar hari ini.”

Ibu guruku yang ayu, entah apa yang ada di pikiranmu tentang aku. Boleh jadi, aku buta sama sekali tentangmu. Aku hanya melihat sorot mata ibuku di matamu, lalu suara lembut ibuku di pita suaramu, dan bahasa tubuh santun ibuku yang berada di setiap otot-ototmu, serta senyum ibuku yang tergaris sempurna di bibirmu. Ah, itu sudah mewakili segalanya, kupikir.

Jadi, aku anggukkan kepalaku. Lalu mengusap mataku yang sembab dan basah dengan tisu lusuh yang sedari tadi berada di genggamanku. Yeah, paling tidak, aku bisa hunting calon pelanggan baru untuk malam minggu besok. Pelanggan-pelanggan kaya yang aku kenal juga dari klien-klien bapak. Dunia baru yang akhirnya aku pilih karena luka hati.

E N D

Sumber gambar Mount Blanc Amaryllis.