Perjalanan ke Lain Hati


“Kopi?!” tawar Raisa kepada Jimmy.

Jimmy menggeleng tanpa memandang Raisa yang kini telah duduk di hadapannya. Mereka hanya berjarak lebar meja kantin yang penuh corat-coret. Mata Jimmy jauh memandang ke belakang tubuh Raisa, kira-kira lima meter. Raisa urung menyesap cairan coklat berjudul cappuccino dari cangkirnya, lalu menengok ke belakang, ke objek yang dilihat sahabatnya, Jimmy.

“Masih ngarepin dia?” tanya Raisa yang lalu mulai menyesap perlahan minumannya.

“Masih,” jawab Jimmy tanpa mengalihkan pandangannya.

“Nggak mau nyoba cari yang lain?”

“Nggak.”

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Jimmy beralih memandang Raisa, meninggalkan objek yang sedari tadi menyita perhatiannya: Mariana.

“Menurutmu ada yang lebih dari Mariana?” tanya Jimmy disertai kerut-kerut menghakimi pada dahinya.

“Entah,” sahut Raisa dengan santai. “Standar itu, kan, kamu sendiri yang menentukan. Kalo kamu selalu menutup diri, mungkin sampai kamu mati, Mariana tetap yang terbaik di matamu. Tapi, di dunia ini – eh, ralat, kelebaran. Di kampus ini, cewek yang bisa dipacarin, kan, nggak cuma Mariana, Jim. Bukannya kamu dulu pernah suka sama Atha. Kenapa nggak coba deketin Atha lagi? Nggak ada salahnya, kan?! Toh, Atha juga nggak lagi sama siapa-siapa sekarang.”

Jimmy menghela napas panjang. Ia menghenyakkan punggungnya ke sandaran bangku. Pandangannya kembali tertuju pada Mariana, gadis yang dua minggu lalu masih menjadi kekasihnya. Jimmy tak peduli apa lagi yang akan Raisa katakana padanya. Memang benar, ia belum mau membuka diri kepada gadis mana pun. Baginya, berusaha melupakan Mariana sama beratnya dengan berusaha mendapat nilai A pada mata kuliah Analisis Struktur. Hampir mustahil.

Dua minggu lalu, Mariana datang ke perpustakaan. Saat itu, Jimmy tengah mencari buku di salah satu rak perpustakaan. Tiba-tiba Mariana menarik tangan Jimmy dan membawanya ke sudut perpustakaan yang jarang dilewati orang. Paras Mariana dihiasi peluh, padahal ruang perpustakaan ini dipasangi alat pendingin ruangan. Jemarinya tak henti memilin-milin sapu tangan. Mariana gugup. Lalu, terlontarlah kalimat itu. Sampai beberapa menit, Jimmy belum mengerti apa yang sebenarnya dikatakan Mariana. Dan, Mariana pun berkata, “Nanti juga kamu bakal ngerti, Jim.” Kemudian, Mariana berlalu meninggalkan Jimmy seorang diri di sudut perpustakaan, membiarkan pemuda itu larut dalam kebingungan.

“Sebentar lagi Gus Eka dateng,” kata Raisa membuyarkan lamunan Jimmy. “Jangan sampe Gus Eka tau kamu lagi ngeliatin ceweknya.”

Raisa benar. Belum sampai satu menit, pemuda jangkung berparas tampan datang menghampiri Mariana dan langsung duduk di sebelah gadis berambut sebahu itu.

Mereka duduk terlalu dekat, pikir Jimmy. Dengan terpaksa, Jimmy mengalihkan pandangannya dari Mariana dan melihat lawan bicaranya sedari tadi. Raisa. Gadis dengan pashmina turquoise dan riasan wajah yang sederhana. Cantik, ucap Jimmy dalam hati. Tiba-tiba ia menegakkan duduknya. Itu sedikit mengejutkan Raisa yang tengah asyik menyantap potongan brownis kukus.

“Minggu depan, aku boleh main ke rumahmu?” tanya Jimmy tanpa berkedip.

“Mau ngapain? Nyari hotspot-an gratis?”

“Nggak. Mau nyari SIM,” jawab Jimmy.

“SIM?!”

Jimmy mengangguk. “ Iya. SIM dari ayahmu, Sa. Surat Ijin Menikah.”


0 comments:

Post a Comment