Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Memilih (episode 2)




(episode sebelumnya)


“Sayang, kita mau pergi ke mana sekarang?” tanya Al sembari menyetir mobil Peugeot 206 yang telah dimodifikasi menjadi mobil balap. Sungguh bukan mobil yang cocok untuk jalanan padat Kota Bandung. Namun, itu mobil favorit Al, hadiah dari sang ibu ketika Al lulus kuliah.
Maya tidak mendengar pertanyaan Al. Pandangannya menembus jendela gelap di sampingnya. Lampu-lampu, lalu-lalang orang, warna-warni cat pada dinding bangunan, membuatnya sedikit terlena.
Honey?” Al menyentuh bahu Maya.
“Ya?” Maya menoleh.
“Kita ke mana sekarang?”
Maya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Pilihkan saja untukku. Kamu tahu apa yang paling aku suka, Al.”
Giliran Al tersenyum. “Ya, aku tahu,” gumamnya.
Senyum Maya makin mengembang, meskipun dalam benak Al, itu bukan jenis senyuman yang biasanya. Bahkan, riasan tipis di wajahnya tak dapat menutupi rona pucat. Namun, Al tak mau berburuk sangka. Mungkin memang Maya agak lelah setelah seharian bekerja di kantor, pikir Al.
“Kita ke Lembang,” ujar Al.
“Boleh aku yang menyetir sekarang, Al?” pinta Maya setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam. “Sudah lama aku tidak merasakan sensasi mobil ini.” Wajahnya berubah, auranya berganti. Maya menjadi ceria dan itu yang membuat Al sedikit lega malam ini. Namun, detik berikutnya, Al malah cemas.
“Kamu serius, Honey? Bukannya kamu pernah bilang agak kesulitan menyetir malam hari tanpa kacamata?”
“Mataku masih normal, Al. Minus tiga per empat bukan masalah. Dan, ya, aku serius, Honey. Sekarang menepilah, dan biarkan aku menyetir,” jawab Maya tanpa beban.
Al menepikan mobilnya, berhenti, dan membiarkan Maya mengisi bangku pengemudi. Ini adalah perjalanan yang panjang, dan ini Sabtu malam. Bukan malam minggu namanya kalau jalanan tidak ramai, bahkan saat ini hampir bisa dikatakan macet. Tetapi, di situlah sensasinya. Maya sangat menyukai suasana itu.
Malam semakin tua. Jam di tangan Al menunjukkan pukul sebelas malam. “Kamu tidak mengantuk, Honey?” tanya Al.
“Belum. Kantukku hilang sendiri kalau sudah pegang setir,” jawab Maya. Lagi, gadis itu melempar senyum dengan makna aneh menurut Al. “Hei, kenapa dari arah berlawanan jalanan sepi sekali? Hanya motor-motor yang lewat,” tiba-tiba Maya mengubah topik percakapan.
“Aku kurang paham, Honey. Mungkin memang jarang orang yang bepergian ke arah kota.”
“Aku akan coba menyalip. Tanjakan ini tidak terlalu curam.”
“Kupikir sebaiknya jangan, Maya.”
Jika Al menyebut nama Maya, berarti ia sedang tidak ingin disanggah. Ucapannya serius dan ia berharap Maya menuruti apa yang ia katakan. Dan, memang, menyiap (istilah keteknikan untuk menyalip -- pen) di daerah tanjakan sangat berbahaya.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu lihat sendiri, kan, lajur sebelah sepi sekali?”
Perlahan Maya membelokkan mobil ke kanan dan melaju di lajur menuju Bandung. Dua puluh meter pertama, tidak ada hambatan. Lalu, Maya menambah kecepatan mobil Al.
“Maya, lebih baik kamu kembali ke lajur kiri,” ucap Al, lebih mirip perintah. “Bahaya, Maya. Kamu tidak tahu apa yang akan muncul di balik tanjakan itu.”
“Tenang saja, Sayang,” sahut Maya dengan santai.
Kecepatan mobil sudah lebih dari tiga puluh kilometer per jam dan masih terus bertambah. Lalu, dari balik tanjakan, muncul kendaraan besar berkecepatan tinggi. Truk itu tidak bisa mengurangi kecepatannya karena sedang dalam posisi menurun. Maya kaget dan langsung membanting kemudi ke kanan.
Hal terakhir yang Al ingat adalah pohon perindang besar yang seolah-olah menghampirinya dengan kecepatan cahaya.

***


Al menatap tubuh kaku kekasihnya. Rahang Al terkatup rapat, ia tak sanggup berkata-kata. Dua orang perawat sedang melepas seluruh alat penunjang kehidupan yang menancap di beberapa bagian tubuh Maya. Jarum-jarum itu sudah dua bulan menjajah kulit halus Maya. Seorang dokter wanita berdiri di samping Al. Berkali-kali sang dokter itu mengatakan sesuatu pada Al, tetapi Al tidak mendengarkan. Al tahu, dokter itu sedang mencoba menghibur Al dan itu sungguh sudah tidak ada gunanya lagi menurut Al. Toh perkataan sang dokter tidak dapat mengembalikan napas Maya, perempuan yang teramat Al cintai.
Perawat-perawat itu masih sibuk dengan tubuh Maya. Sejujurnya, Al tidak kuat melihat pemandangan itu, tetapi ia tidak bisa menangis. Tidak! Entah mengapa. Mungkin liang-liang di kedua matanya telanjur menderita kekeringan, karena selama dua bulan ini terus-menerus mengeluarkan isinya. Atau, mungkin Al sudah lupa caranya menangis. Namun, hatinya tetap menangis. Menangisi kepergian Maya yang begitu cepat.
Al menghempaskan diri ke sofa di kamar rawat Maya. Tatapannya masih nanar ke arah tubuh Maya. Ia melihat di tangan kiri Maya. Di jari manis wanita itu, dulu sempat tersemat cincin pertunangan. Kilau cincin itu masih tampak di mata Al, walaupun benda itu sudah tersimpan rapi di lemari pakaiannya. Warna perak kesukaan Maya dengan berlian delapan belas karat berwarna merah muda. Al sendiri yang memilihkan cincin itu untuk Maya. Walaupun sempat ragu, ternyata Maya menyukai pilihan Al. Dan, Al tidak pernah lupa seperti apa ekspresi Maya ketika ia menunjukkan cincin itu.
Siang ini matahari sedang berada tepat di atas kepala, namun sengatannya seolah-olah tunduk pada lapisan tipis awan-awan kelabu bulan April. Pusara Maya masih basah. Para pelayat sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Al masih berdiri di samping pembaringan terakhir Maya. Lagi-lagi, Al tidak sanggup berkata satu patah pun, apalagi untuk menangis.
“Menangislah, Al.” Sebentuk suara hadir di liang pendengaran Al. Ia mencari sumber suara tersebut dan ia mendapati sosok Maya berada di sisi lain pusara, tepat berhadapan dengannya.
“Maya?” Akhirnya bibir Al mengucap sesuatu, walaupun terdengar sangat lirih.
“Aku tidak pernah melarangmu menangis, kan? Dengan melihatmu menangis, berarti aku tahu, kamu memang mencintaiku dengan tulus.”
“Benar, kamu Maya?” Al masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menengok ke pusara Maya, lalu kembali memandang sosok yang berwujud seperti Maya di hadapannya.
“Iya, ini aku,” sahut sosok tadi. “Jangan takut, Al. Aku cuma ingin melihatmu sekali lagi. Karena, aku tidak suka, kamu sepertinya belum rela aku pergi dari dunia ini.”
“A—aku… tidak sanggup… untuk menangis, Maya…”
Sosok Maya itu tersenyum, lalu bergerak mendekati Al. Dan, sekarang sosok itu sudah di samping Al, ikut memandangi pusara yang masih baru itu.
“Selama hidup, aku tidak pernah punya orang-orang yang begitu mencintaiku. Orang tuaku…, kamu sudah tahu bagaimana orang tuaku. Sepertinya sudah ratusan kali kuceritakan soal mereka padamu. Mereka hanya memanjakanku dengan uang, bukan dengan kasih sayang.” Maya memandang Al. “Mengenalmu, mungkin itu bulan-bulan terindah dalam hidupku. Singkat, tapi indah.”
Tiba-tiba, satu tetes cairan bening mencuri keluar dari liangnya, membasahi pipi kiri Al, dan akhirnya jatuh ke bumi. Sosok Maya memalingkan wajahnya ke arah Al, lalu tersenyum.
“Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, Al,” ujarnya, lalu tersenyum kepada Al.
Sosok Maya memudar, lalu benar-benar hilang dari hadapan Al. Meninggalkan Al dengan satu lagi tetes bening yang meluncur dari sudut matanya.


***

Hari ini Al tidak ingin berlama-lama duduk berdoa di atas pusara Maya. Selalu teringat olehnya masa-masa ketika mereka bersama memadu cinta. Dan, itu agak menyesakkan dadanya. Aku harus bisa keluar dari dalamnya kesedihan ini. Aku tidak boleh larut terlalu lama dalam kepedihan hati ini. Bergemuruh banyak hal dalam hatinya.
Sepeninggal Maya, Al memang seperti tak punya pegangan hidup. Beberapa pekerjaannya terbengkalai, sampai-sampai sekretarisnya kerepotan menerima komplain dari pegawai lain. Selepas bekerja, Al tidak pernah langsung pulang. Ia pasti singgah ke makam Maya.
“Ini sudah hari keseratus,” Al menyentuh nisan Maya. “Apa kamu bosan, terus-terusan aku sambangi? Kuharap tidak.”
Angin membelai lembut wajah Al. Matanya terpejam. Ia menikmati embusan angin seolah-olah itu sentuhan tangan Maya. Makin lama, angin makin kencang, membawa serta arak-arakan kelabu di atas sana. Sebentar lagi air akan tumpah dari langit. Al kembali membuka mata, pusara Maya sudah dijatuhi butir-butir air hujan. Namun, Al masih saja berada di tempat yang sama.
“Kadang aku berpikir untuk terjun saja dari tepi fly over, Maya. Kupikir itu cara tercepat untuk sampai ke tempatmu.”
Tiba-tiba, di tengah hujan yang mulai menderas, suara petir menggelegar dengan gagahnya.
“Ya, ya. Aku tahu, kamu tidak akan setuju. Tapi, bagaimana kalau aku memaksa?” kata Al lagi.
Petir kedua kembali menggelegar, kali ini lebih keras. Dan, hujan juga tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin lebat.
“Kamu tahu, Sayang?” Al membelai lagi nisan Maya. “Aku lupa seperti apa rasanya kehilangan, sampai aku kehilangan kamu. Waktu ayahku meninggal tiga tahun yang lalu, aku masih bisa tertawa, masih bisa berpikir logis. Yah, masih bisa apa saja. Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang sama ketika kamu pergi, Sayang. Aku tahu, ada yang salah di otakku. Mungkin terlalu banyak terisi dirimu.”
Al tersenyum getir. Ia merasa dirinya tengah melayang-layang di sebuah tanah lapang. Ia melihat sesosok tubuh bersimpuh di dekat sebuah pusara. Air hujan menghantam tubuh tegap sosok berkemeja biru muda itu. Lalu, ada sebentuk tangan yang tiba-tiba saja menggenggam jemari Al yang masih saja melayang-layang.
“Waktumu belum tiba, Al. Masih banyak yang belum kamu rasakan.”
Itu suara Maya, batin Al. Ia melihat sosok yang ikut juga melayang-layang di sampingnya, ternyata memang Maya.
“Jangan dulu berpindah dunia, Al. Dia membutuhkanmu. Lebih membutuhkanmu dibanding aku membutuhkanmu.”
“Apa maksudnya?”
Maya tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Perlahan, sosoknya memudar, berganti sosok lain yang lebih nyata.
“Nak?” Seorang pria paruh baya menepuk-nepuk bahu Al. “Bangun, Nak.”
Mata Al perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya sore yang terang. Ia sedikit heran, benarkah ia bangun masih di hari yang sama. Bukankah tadi langit begitu gelap dan petir menyambar-nyambar, tanyanya dalam hati.
“Siapa namamu, Nak?” tanya sosok di hadapan Al.
“Nama?” Al mendadak bingung.
“Ayo, Nak. Kita hangatkan diri di rumah saya,” ajak pria tadi sambil menuntun tubuh Al yang masih belum mendapat keseimbangan berjalan.
Tak jauh dari pusara Maya, tepatnya di tepian komplek pemakaman, terdapat sebuah rumah kecil. Sederhana, namun bersih dan nyaman. Itulah kesan yang ditangkap Al sekilas setelah melihat rumah yang ternyata milik penjaga kompleks pemakaman itu. Al duduk di amben, sebuah tempat duduk lebar dan agak panjang yang terbuat dari bambu. Sementara pria tua tadi masuk ke dalam rumahnya, Al duduk bersila di amben sambil melepas pandangan ke arah kompleks pemakaman itu. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat dengan jelas pusara Maya.
Tak berapa lama, pria tua tadi kembali ke teras dan menemani Al duduk di amben. Kemudian, muncul seorang gadis yang membawa nampan. Gadis itu meletakkan satu cangkir berisi kopi hitam, satu gelas besar berisi teh hangat — masih terlihat uap mengepul dari cairan berwarna merah kecokelatan itu — dan sepiring singkong rebus.
“Duduklah dulu,” ujar pria tua tadi kepada si gadis. Rupanya gadis itu adalah anaknya. Lalu, ia beralih melihat Al. “Nama saya Dahlan dan ini putri saya. Kamu sudah mengingat siapa namamu, Nak?”
Al mengangguk, tetapi matanya belum lepas memandang gadis yang duduk di samping Dahlan. “Saya Alhatiry Nur Oktavian. Biasa dipanggil Al,” katanya sambil menengok sebentar ke arah Dahlan.
“Nak Al sedang apa di sana? Sudah tahu hujan, kok, tidak mau berteduh,” ujar Dahlan.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Apa tadi itu saya pingsan?”
“Sepertinya begitu. Lama sekali saya berusaha membangunkan Nak Al.”
Mata Al kembali ke paras putri Dahlan. Kali ini ia menjelajah paras itu lebih teliti lagi. Cantik, katanya dalam hati. Meski tidak secantik gadis-gadis yang sering ia lihat di mal atau di tempat kerjanya, tetapi Al merasa gadis itu sungguh rupawan. Dan, mata gadis itu, pikir Al, seperti mata yang sudah sangat sering ia lihat.
Seperti mata yang selalu ada untuk diriku.
“Kalau boleh tahu, siapa nama putri Bapak?” Al memberanikan diri untuk bertanya. Ia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia perlu menanyakan hal itu. Ia hanya tahu, ia harus melakukannya.
“Dia bukan putri kandungku. Percaya atau tidak, gadis ini saya temukan terbaring nyaman berselimut di dalam sebuah keranjang bayi. Seseorang meletakkan keranjang bayi di amben ini, dua puluh dua tahun yang lalu. Seseorang yang sepertinya bukan dari kalangan bawah karena keranjang bayi itu begitu bagus. Saya tidak tahu siapa yang tega berbuat seperti itu kepada gadis ini,” jelas si pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Walau begitu, saya tetap menganggapnya sebagai putri kandung saya. Di samping keranjang bayi itu, ada satu tas besar berisi pakaian bayi dan selembar kertas. Tampaknya itu surat dari ibu si bayi. Tapi, tidak bisa juga dibilang surat, sebab isinya sangat pendek, hanya beberapa kalimat saja. Si ibu minta supaya bayi itu dirawat baik-baik. Di kertas itu juga dituliskan nama si bayi.”
Dahlan diam dan memperhatikan langit-langit teras rumahnya. Matanya masih berkaca-kaca, walau tak menumpahkan apa-apa di sudutnya.
“Dan, namanya?” tanya Al.
“Kalina Mayasari,” jawab Dahlan. “Panggilannya Maya.”

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)

Memilih (episode 1)






Matahari sudah kembali ke peraduan hampir satu jam yang lalu. Namun, dua anak manusia masih saja terduduk di salah satu bangku taman. Keduanya diam. Entah memang tidak ada yang perlu dibicarakan, atau masing-masing terlalu sibuk dengan pikirannya. Si wanita menggigit bibirnya, sedangkan si pria, melipat kedua tangannya di depan dada. Kadang, si wanita pura-pura merapikan rambut panjangnya yang berombak, dan si pria menggoyangkan salah satu kakinya. Jelas, keduanya sama-sama dilanda kecemasan.
“Al?” si wanita memulai lagi percakapan yang telah terhenti cukup lama.
“Ya?” Sang pria tersentak. Ia menegakkan duduknya.
“Kamu melamun?” tanya Maya yang duduk di samping Al.
“Tidak,” jawab Al singkat.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Al?”
Al tidak menjawab. Ia malah menyandarkan punggungnya. Sandarannya dingin, dan itu terasa sampai ke kulit tubuh Al. Ia lalu menengadahkan kepalanya ke langit. Ia melihat banyak bintang malam ini, tapi bulan hanya sepotong yang tampak.
“Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Maya. “Apa kamu berpikir soal kita?” Maya melontarkan pertanyaan tadi dengan hati-hati. Ia tahu, Al seorang pria yang sensitif. Tetapi, Al bukan seorang pemarah. Jika Al tersinggung akan sesuatu hal, ia hanya diam. Al sanggup tidak bicara walaupun ia sedang di samping Maya. Dan, Maya sedang tidak ingin hal itu terjadi saat ini. Ia ingin Al bicara.
“Memangnya ada apa dengan kita?” Al malah balik bertanya.
Maya mengerutkan dahi. Ia bingung dengan sikap Al malam ini. Ia pun ikut menyandarkan punggungnya ke bangku taman. “Tidak ada. Tapi, barangkali saja kamu ingin mengatakan sesuatu. Kamu ingat, kan, malam ini tepat satu tahun kita saling mengenal? Ya, hanya… saling mengenal…” Maya menunduk, sudut matanya mulai basah.
“Kamu mau kita yang seperti apa?” Sejak tadi pertanyaan Al selalu singkat, tetapi semuanya butuh jawaban yang sebaliknya. Panjang lebar.
“Seharusnya aku yang tanya begitu, Al. Aku ini wanita yang bebas, dan kamu…, bukan seseorang dengan kebebasan seperti yang aku punya. Akulah yang pantas tanya soal status kita.”
Al kembali tegak. Ia memalingkan wajahnya sehingga kini berhadapan dengan wajah Maya Larasati. Al melihat air mata Maya sudah meluncur bebas keluar dari liangnya. “Jadi, kamu menyalahkan aku, menyalahkan statusku?”
“Tidak. Bukan itu maksudku. Tida ada bedanya apakah aku yang bebas atau kamu yang bebas. Aku cuma ingin menyalahkan takdir. Boleh, kan? Kenapa kita dipertemukan ketika salah satu dari kita sudah bersama orang lain?” Maya berhenti sejenak, mengatur napasnya, lalu mulai bicara lagi. “Dan, kamu ingat bagaimana mulanya kita saling mengenal? Kamu yang menghampiri aku saat aku duduk sendiri di bangku taman ini. Bangku yang sekarang kita tempati. Waktu itu, aku sedang merasa sakit. Lalu, kamu dengan tenangnya membanjiri aku dengan rasa nyaman yang seolah-olah tidak ada habisnya. Itu… benar-benar menenangkan hatiku.”
“Itu artinya kamu menyalahkanku,” sahut Al dengan tenang. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke bangku taman.
“Bahkan, ketika kamu sedang tidak menginginkanku seperti yang sekarang kamu lakukan, aku masih tetap merasakan Kenyamanan itu, Al. Entah dari mana datangnya.”
“Lalu, aku harus bagaimana? Aku juga masih sayang dengan gadis itu.” Suara Al mulai terpengaruh oleh emosi negatif.
“Aku tidak pernah memintamu untuk meninggalkan dia. Aku tahu, dia gadismu satu-satunya. Aku hanya… Aku… bukan siapa-siapa.”
Nyanyian binatang malam mulai ramai. Mengusir hening yang terjadi antara Al dan Maya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Maya bangkit dari duduknya.
“Mungkin memang sebaiknya aku pergi,” ujar wanita dua puluh tujuh tahun itu. “Aku sudah mengacaukan hidupmu.”
Al ikut bangkit. Ia berdiri berhadapan dengan Maya. Kedua tangannya masuk ke saku celana. Entah itu untuk melindungi tangannya dari hawa dingin, ataukah ia ingin menyembunyikan kegugupannya dari pandangan Maya.
“Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Maya.”
“Tidak apa-apa, Al. Aku memang harus pergi. Terima kasih untuk segala yang sudah kamu berikan selama satu tahun ini. Aku menghargai semuanya.”
Maya berbalik, hendak beranjak dari hadapan Al. Tetapi, ternyata Al menahan tangan kiri Maya. Maya berusaha melepaskan tangannya, namun genggaman Al terlalu kuat.
“Jangan pergi,” pinta Al. “Aku masih ingin kamu di sini.”
Maya kembali berhadapan dengan Al. “Aku tidak keberatan menemanimu berjam-jam duduk di bangku taman ini, Al. Tapi, apa kamu memikirkan hatiku? Walaupun kamu menggenggam tanganku, memelukku, dan bahkan menciumi tubuhku, aku hanya merasa pikiranmu tidak sedang bersama tubuhmu saat itu.”
“Maaf,” ujar Al lirih. Ia masih menggenggam jemari Maya. “Aku belum bisa memilih.”
“Kamu tidak perlu memilih, Al,” tukas Maya. “Aku yang akan pergi. Aku…”
Maya tidak dapat meneruskan ucapannya. Air mata telanjur meluncur dari sudut matanya. Mereka lalu duduk kembali di bangku itu. Al merebahkan lagi punggungnya ke sandaran bangku taman. Ia menengadah, menatap langit yang miskin bintang.
“Mungkin kedengarannya egois, tapi aku belum ingin kamu pergi, Maya.”
“Belum ingin?” gumam Maya. “Sempurna! Itu memperlihatkan wajah aslimu yang sebenarnya, Al. Seharusnya aku tidak pernah mengizinkan kamu duduk menemaniku waktu itu.”
Al diam saja mendengar caci maki Maya. Ia tidak menyangkal, malam ini ego lelakinya muncul mendominasi otaknya. Maya masih menunggu Al bersuara, meski ia sebenarnya tidak tahan menunggu tanpa kejelasan seperti saat ini.
“Sebenarnya kamu tidak rugi apa-apa dengan perginya aku, Al. Kita tidak sedang berkomitmen apa-apa, kan? Kamu masih punya gadismu. Aku cuma, ya, aku bisa mencari yang lain. Kamu, berbahagia sajalah dengan kekasihmu. Jangan merasa terganggu karena aku pernah singgah sebentar di hidupmu. Aku yakin, sebentar saja, kamu pasti bisa melupakanku. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan kalian. Melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku.”
Kini giliran Maya yang menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Ditatapnya langit, masih miskin bintang dan sepotong bulan yang malu-malu bersinar dari balik awan tipis. Suasana kembali menjadi sepi, seperti hati Maya. Beberapa jam yang lalu, ia masih sangat gembira karena Al mengajaknya bertemu lagi di taman ini. Ia bisa melepas rindu dua pekan yang menggebu-gebu terhadap lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Sekarang, semuanya lenyap. Kegembiraan berubah jadi senyap luar biasa. Bahkan, Maya mencari-cari ke mana hilangnya suara nyaring dari hewan-hewan malam itu.
“Maya?” Suara Al memecah sunyi. Matanya masih memandang langit.
“Ya?”
Al lalu mengubah posisi duduknya. Menatap Maya dengan tajam. “Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk…” Suara Al terputus.
Hati Maya kembali tidak menentu. Dalam hatinya, banyak sekali kemungkinan yang akan terungkap dari Al. Mungkin saat ini Al hendak mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Apakah Al akan meninggalkan kekasihnya untuk Maya? Atau, justru malah Maya yang akan ditinggalkan? Perang batin. Tetapi, Maya telah mempersiapkan diri dan hatinya andai nanti Al lebih memilih kekasihnya. Itu risiko, pikir Maya. Maya pasrah. Namun, Al masih saja bergeming.
“Oh, ayolah, Al! Katakan saja apa yang menguasai pikiranmu saat ini. Aku ingin tahu tentang…, ah, tentang aku, kamu, dan masa depan. Apa itu mungkin, sebuah masa depan untuk kita?”
Terpaksa Maya harus berkata seperti itu, agar Al paham benar dengan apa yang sedang diinginkannya. Tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang betah digantung perasaannya.
“Jujur aja,” Al membuka suara, “aku punya perasaan lebih kepadamu. Tapi…”
“Tapi, ada gadismu yang tak mungkin kamu tinggalkan. Iya, kan?” potong Maya tiba-tiba.
“Bukan, Maya. Bukan itu.”
“Lalu, apa?!” Suara Maya meninggi.
Al agak terkejut dengan sikap Maya. Gadis itu terlihat seperti pribadi lain di mata Al. Pribadi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin benar perkataan orang, pikir Al, cinta akan banyak mengubah kepribadian seseorang.
“Kalau aku bilang, aku tidak punya apa yang kamu sebut ‘gadisku’, apa reaksimu?”
“Ah,” Maya mendengus kesal, “pertanyaan apa lagi ini? Kenapa kamu tidak bisa to the point saja kalau bicara? Aku merasa hanya buang waktu mendengar ocehanmu, Al.” Maya tak lagi merasa sedih. Ia hanya merasa sedang dipermainkan.
“Tidak, Maya. Aku tidak sedang mengoceh.”
“Reaksiku, aku tetap pergi. Aku malas berurusan dengan laki-laki tidak punya pendirian macam kamu, Al. Bisa langsung kita bahas poin pentingnya, please?”
Al menghela napas.
“Tidak ada gadis lain, Maya. Aku hanya mengarang cerita. Aku bahkan lupa untuk apa aku mengarangnya. Dan, sekarang, ketika kamu menyinggung soal gadis lain, aku tetap tidak ingat.”
Maya terkejut, meski tak tampak diwajahnya. Dahinya sedikit berkerut. Sesungguhnya, ia tidak mengerti maksud ucapan Al. “Mengarang cerita?”
“Aku minta maaf.”
“Padahal, aku sudah telanjur percaya, Al,” ujar Maya setengah terisak. Ia bangkit dari bangku dan bersiap pergi. “Aku tidak pernah keberatan dengan statusmu. Aku tidak pernah mengeluh kalau kamu tidak bisa menerima ajakanku bertemu di sini. Aku tidak pernah menyinggung soal gadismu ketika sedang mengobrol. Aku tidak pernah menanyakan soal kejelasan hubungan ini. Tapi, aku tidak tahan dengan semua kepura-puraan ini, Al.”
Al tiba-tiba saja berdiri dan langsung mendekap tubuh Maya. “Setop,” bisik Al. “Jangan bicara lagi.”
Maya tenggelam dalam dekapan hangat dada bidang Al. Wangi aftershave yang Al kenakan menggelitik cuping hidung Maya. Ia merasa sedang berada di sebuah kebun bunga warna-warni dengan aneka aroma.
“Aku belum ingin kehilangan kamu, Maya.”
Suara Al membuyarkan khayalan Maya. Kalimat itu lagi, pikir Maya, bolehkan aku menyerah?
“Apa maumu?” tanya Maya yang kini sudah melepaskan diri dari dekapan Al.
“Mauku,” jawab Al, “menjadi milikmu.”
Maya diam saja. Wajahnya datar. Ia tidak sedang berpura-pura menahan emosinya. Ia memang tidak punya reaksi lain, seolah-olah hatinya sudah bebal dengan apa saja yang Al ucapkan. Sementara itu, Al tahu, ia sudah sangat keterlaluan kali ini. Ia bermain api tanpa memikirkan akibatnya. Lalu, sesuatu yang ia siramkan ke arah api itu ternyata bensin. Hasilnya, semuanya berantakan.
Tanpa pikir panjang lagi, Al meraih pinggang Maya, mendekapnya lagi. Kali ini, ia membiarkan instingnya berbicara banyak kepada Maya, lewat pagutan-pagutan lembut.
“Entah kenapa, Al,” bisik Maya, “aku seharusnya tidak mengizinkan kamu menemaniku duduk di bangku taman waktu itu.”
“Ssstt…” Al menempelkan telunjuknya ke bibir Maya. “Kamu sudah pernah bilang itu. Jangan mengulang kalimat yang sama.”
Maya tersadar, ia sudah mengatakan hal yang sama. Otaknya sedikit terlena dengan ciuman Al. Di luar itu semua, Maya hanya merasa, ciuman itu sudah sangat menjelaskan apa yang hendak Al katakan.

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)