(episode sebelumnya)
“Sayang, kita mau pergi ke mana sekarang?” tanya Al sembari menyetir
mobil Peugeot 206 yang telah
dimodifikasi menjadi mobil balap. Sungguh bukan mobil yang cocok untuk jalanan
padat Kota Bandung. Namun, itu mobil favorit Al, hadiah dari sang ibu ketika Al
lulus kuliah.
Maya tidak mendengar pertanyaan Al. Pandangannya menembus jendela
gelap di sampingnya. Lampu-lampu, lalu-lalang orang, warna-warni cat pada
dinding bangunan, membuatnya sedikit terlena.
“Honey?” Al menyentuh bahu
Maya.
“Ya?” Maya menoleh.
“Kita ke mana sekarang?”
Maya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Pilihkan saja
untukku. Kamu tahu apa yang paling aku suka, Al.”
Giliran Al tersenyum. “Ya, aku tahu,” gumamnya.
Senyum Maya makin mengembang, meskipun dalam benak Al, itu bukan jenis
senyuman yang biasanya. Bahkan, riasan tipis di wajahnya tak dapat menutupi
rona pucat. Namun, Al tak mau berburuk sangka. Mungkin memang Maya agak lelah
setelah seharian bekerja di kantor, pikir Al.
“Kita ke Lembang,” ujar Al.
“Boleh aku yang menyetir sekarang, Al?” pinta Maya setelah beberapa
saat lamanya mereka terdiam. “Sudah lama aku tidak merasakan sensasi mobil
ini.” Wajahnya berubah, auranya berganti. Maya menjadi ceria dan itu yang
membuat Al sedikit lega malam ini. Namun, detik berikutnya, Al malah cemas.
“Kamu serius, Honey?
Bukannya kamu pernah bilang agak kesulitan menyetir malam hari tanpa kacamata?”
“Mataku masih normal, Al. Minus tiga per empat bukan masalah. Dan, ya,
aku serius, Honey. Sekarang
menepilah, dan biarkan aku menyetir,” jawab Maya tanpa beban.
Al menepikan mobilnya, berhenti, dan membiarkan Maya mengisi bangku
pengemudi. Ini adalah perjalanan yang panjang, dan ini Sabtu malam. Bukan malam
minggu namanya kalau jalanan tidak ramai, bahkan saat ini hampir bisa dikatakan
macet. Tetapi, di situlah sensasinya. Maya sangat menyukai suasana itu.
Malam semakin tua. Jam di tangan Al
menunjukkan pukul sebelas malam. “Kamu tidak mengantuk, Honey?” tanya Al.
“Belum. Kantukku hilang sendiri kalau sudah pegang setir,” jawab Maya.
Lagi, gadis itu melempar senyum dengan makna aneh menurut Al. “Hei, kenapa dari
arah berlawanan jalanan sepi sekali? Hanya motor-motor yang lewat,” tiba-tiba
Maya mengubah topik percakapan.
“Aku kurang paham, Honey.
Mungkin memang jarang orang yang bepergian ke arah kota.”
“Aku akan coba menyalip. Tanjakan ini tidak terlalu curam.”
“Kupikir sebaiknya jangan, Maya.”
Jika Al menyebut nama Maya, berarti ia sedang tidak ingin disanggah.
Ucapannya serius dan ia berharap Maya menuruti apa yang ia katakan. Dan, memang,
menyiap (istilah keteknikan untuk menyalip -- pen) di daerah tanjakan
sangat berbahaya.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu lihat sendiri, kan, lajur sebelah sepi
sekali?”
Perlahan Maya membelokkan mobil ke kanan dan melaju di lajur menuju
Bandung. Dua puluh meter pertama, tidak ada hambatan. Lalu, Maya
menambah kecepatan mobil Al.
“Maya, lebih baik kamu kembali ke lajur kiri,” ucap Al, lebih mirip perintah.
“Bahaya, Maya. Kamu tidak tahu apa yang akan muncul di balik tanjakan itu.”
“Tenang saja, Sayang,” sahut Maya dengan santai.
Kecepatan mobil sudah lebih dari tiga puluh kilometer per jam dan
masih terus bertambah. Lalu, dari balik
tanjakan, muncul kendaraan besar berkecepatan tinggi. Truk itu tidak bisa
mengurangi kecepatannya karena sedang dalam posisi menurun. Maya kaget dan langsung
membanting kemudi ke kanan.
Hal terakhir yang Al ingat adalah
pohon perindang besar yang seolah-olah menghampirinya dengan kecepatan cahaya.
***
Al menatap tubuh kaku kekasihnya. Rahang Al terkatup rapat, ia tak
sanggup berkata-kata. Dua orang perawat sedang melepas seluruh alat penunjang
kehidupan yang menancap di beberapa bagian tubuh Maya. Jarum-jarum itu sudah
dua bulan menjajah kulit halus Maya. Seorang dokter wanita berdiri di samping
Al. Berkali-kali sang dokter itu mengatakan sesuatu pada Al, tetapi Al tidak
mendengarkan. Al tahu, dokter itu sedang mencoba menghibur Al dan itu sungguh
sudah tidak ada gunanya lagi menurut Al. Toh perkataan sang dokter tidak dapat mengembalikan
napas Maya, perempuan yang teramat Al cintai.
Perawat-perawat itu masih sibuk dengan tubuh Maya. Sejujurnya, Al
tidak kuat melihat pemandangan itu, tetapi ia tidak bisa menangis. Tidak! Entah
mengapa. Mungkin liang-liang di kedua matanya telanjur menderita kekeringan,
karena selama dua bulan ini terus-menerus mengeluarkan isinya. Atau, mungkin Al
sudah lupa caranya menangis. Namun, hatinya tetap menangis. Menangisi kepergian
Maya yang begitu cepat.
Al menghempaskan diri ke sofa di kamar rawat Maya. Tatapannya masih
nanar ke arah tubuh Maya. Ia melihat di tangan kiri Maya. Di jari manis wanita
itu, dulu sempat tersemat cincin pertunangan. Kilau cincin itu masih tampak di
mata Al, walaupun benda itu sudah tersimpan rapi di lemari pakaiannya. Warna
perak kesukaan Maya dengan berlian delapan belas karat berwarna merah muda. Al
sendiri yang memilihkan cincin itu untuk Maya. Walaupun sempat ragu, ternyata
Maya menyukai pilihan Al. Dan, Al tidak pernah lupa seperti apa ekspresi Maya
ketika ia menunjukkan cincin itu.
Siang ini matahari sedang berada tepat di atas kepala, namun sengatannya
seolah-olah tunduk pada lapisan tipis awan-awan kelabu bulan April. Pusara Maya
masih basah. Para pelayat sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Al masih
berdiri di samping pembaringan terakhir Maya. Lagi-lagi, Al tidak
sanggup berkata satu patah pun, apalagi untuk menangis.
“Menangislah, Al.” Sebentuk suara hadir di liang pendengaran Al. Ia
mencari sumber suara tersebut dan ia mendapati sosok Maya berada di sisi lain
pusara, tepat berhadapan dengannya.
“Maya?” Akhirnya bibir Al mengucap sesuatu,
walaupun terdengar
sangat lirih.
“Aku tidak pernah melarangmu menangis, kan? Dengan melihatmu menangis,
berarti aku tahu, kamu memang mencintaiku dengan tulus.”
“Benar, kamu Maya?” Al masih tidak
percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menengok ke pusara Maya, lalu kembali
memandang sosok yang berwujud seperti Maya di hadapannya.
“Iya, ini aku,” sahut sosok tadi. “Jangan takut, Al. Aku cuma ingin
melihatmu sekali lagi. Karena, aku tidak suka, kamu sepertinya belum rela aku
pergi dari dunia ini.”
“A—aku… tidak sanggup… untuk menangis, Maya…”
Sosok Maya itu tersenyum, lalu bergerak mendekati Al. Dan, sekarang
sosok itu sudah di samping Al, ikut memandangi
pusara yang masih baru itu.
“Selama hidup, aku tidak pernah punya orang-orang yang begitu
mencintaiku. Orang tuaku…, kamu sudah tahu bagaimana orang tuaku. Sepertinya sudah
ratusan kali kuceritakan soal mereka padamu. Mereka hanya memanjakanku dengan
uang, bukan dengan kasih sayang.” Maya memandang Al. “Mengenalmu, mungkin itu
bulan-bulan terindah dalam hidupku. Singkat, tapi indah.”
Tiba-tiba, satu tetes cairan bening mencuri keluar dari liangnya, membasahi
pipi kiri Al, dan akhirnya jatuh ke bumi. Sosok Maya memalingkan wajahnya ke arah
Al, lalu
tersenyum.
“Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, Al,”
ujarnya, lalu tersenyum kepada Al.
Sosok Maya memudar, lalu benar-benar hilang dari hadapan Al.
Meninggalkan Al dengan satu lagi tetes bening yang meluncur dari sudut matanya.
***
Hari ini Al tidak ingin berlama-lama duduk berdoa di atas pusara Maya.
Selalu teringat olehnya masa-masa ketika mereka bersama memadu cinta. Dan, itu agak
menyesakkan dadanya. Aku harus bisa
keluar dari dalamnya kesedihan ini. Aku tidak boleh larut terlalu lama dalam
kepedihan hati ini. Bergemuruh banyak hal dalam hatinya.
Sepeninggal Maya, Al memang seperti tak punya pegangan hidup. Beberapa
pekerjaannya terbengkalai, sampai-sampai sekretarisnya kerepotan menerima
komplain dari pegawai lain. Selepas bekerja, Al tidak pernah langsung pulang.
Ia pasti singgah ke makam Maya.
“Ini sudah hari keseratus,” Al menyentuh nisan Maya. “Apa kamu bosan,
terus-terusan aku sambangi? Kuharap tidak.”
Angin membelai lembut wajah Al. Matanya terpejam. Ia menikmati embusan
angin seolah-olah itu sentuhan tangan Maya. Makin lama, angin makin kencang,
membawa serta arak-arakan kelabu di atas sana. Sebentar lagi air akan tumpah
dari langit. Al kembali membuka mata, pusara Maya sudah dijatuhi butir-butir
air hujan. Namun, Al masih saja berada di tempat yang sama.
“Kadang aku berpikir untuk terjun saja dari tepi fly over, Maya. Kupikir itu cara tercepat untuk sampai ke
tempatmu.”
Tiba-tiba, di tengah hujan yang mulai menderas, suara petir
menggelegar dengan gagahnya.
“Ya, ya. Aku tahu, kamu tidak akan setuju. Tapi, bagaimana kalau aku
memaksa?” kata Al lagi.
Petir kedua kembali menggelegar, kali ini lebih keras. Dan, hujan juga
tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin lebat.
“Kamu tahu, Sayang?” Al membelai lagi nisan Maya. “Aku lupa seperti
apa rasanya kehilangan, sampai aku kehilangan kamu. Waktu ayahku meninggal tiga
tahun yang lalu, aku masih bisa tertawa, masih bisa berpikir logis. Yah, masih
bisa apa saja. Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang sama ketika kamu pergi, Sayang.
Aku tahu, ada yang salah di otakku. Mungkin terlalu banyak terisi dirimu.”
Al tersenyum getir. Ia merasa dirinya tengah melayang-layang di sebuah
tanah lapang. Ia melihat sesosok tubuh bersimpuh di dekat sebuah pusara. Air
hujan menghantam tubuh tegap sosok berkemeja biru muda itu. Lalu, ada sebentuk
tangan yang tiba-tiba saja menggenggam jemari Al yang masih saja
melayang-layang.
“Waktumu belum tiba, Al. Masih banyak yang belum kamu rasakan.”
Itu suara Maya, batin Al. Ia melihat sosok yang ikut juga
melayang-layang di sampingnya, ternyata memang Maya.
“Jangan dulu berpindah dunia, Al. Dia membutuhkanmu. Lebih
membutuhkanmu dibanding aku membutuhkanmu.”
“Apa maksudnya?”
Maya tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya.
Perlahan, sosoknya memudar, berganti sosok lain yang lebih nyata.
“Nak?” Seorang pria paruh baya menepuk-nepuk bahu Al. “Bangun, Nak.”
Mata Al perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan
diri dengan cahaya sore yang terang. Ia sedikit heran, benarkah ia bangun masih
di hari yang sama. Bukankah tadi langit begitu gelap dan petir
menyambar-nyambar, tanyanya dalam hati.
“Siapa namamu, Nak?” tanya sosok di hadapan Al.
“Nama?” Al mendadak bingung.
“Ayo, Nak. Kita hangatkan diri di rumah saya,” ajak
pria tadi sambil menuntun tubuh Al yang masih belum mendapat keseimbangan
berjalan.
Tak jauh dari pusara Maya, tepatnya di tepian komplek pemakaman,
terdapat sebuah rumah kecil. Sederhana, namun bersih dan nyaman. Itulah kesan
yang ditangkap Al sekilas setelah melihat rumah yang ternyata milik penjaga
kompleks pemakaman itu. Al duduk di amben, sebuah tempat duduk lebar dan agak
panjang yang terbuat dari bambu. Sementara pria tua tadi masuk ke dalam
rumahnya, Al duduk bersila di amben sambil melepas pandangan ke arah kompleks
pemakaman itu. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat dengan jelas pusara Maya.
Tak berapa lama, pria tua tadi kembali ke teras dan menemani Al duduk
di amben. Kemudian, muncul seorang gadis yang membawa nampan. Gadis itu meletakkan satu cangkir
berisi kopi hitam, satu gelas besar berisi teh hangat — masih terlihat uap
mengepul dari cairan berwarna merah kecokelatan itu — dan sepiring singkong
rebus.
“Duduklah dulu,” ujar pria tua tadi kepada si gadis. Rupanya gadis itu
adalah anaknya. Lalu, ia beralih melihat Al. “Nama saya Dahlan dan ini putri
saya. Kamu sudah mengingat siapa namamu, Nak?”
Al mengangguk, tetapi matanya belum lepas memandang gadis yang duduk
di samping Dahlan. “Saya Alhatiry Nur Oktavian. Biasa dipanggil Al,” katanya
sambil menengok sebentar ke arah Dahlan.
“Nak Al sedang apa di sana? Sudah tahu hujan, kok, tidak mau
berteduh,” ujar Dahlan.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Apa tadi itu saya pingsan?”
“Sepertinya begitu. Lama sekali saya berusaha membangunkan Nak Al.”
Mata Al kembali ke paras putri Dahlan. Kali ini ia menjelajah paras
itu lebih teliti lagi. Cantik, katanya dalam hati. Meski tidak secantik gadis-gadis
yang sering ia lihat di mal atau di tempat kerjanya, tetapi Al merasa gadis itu
sungguh rupawan. Dan, mata gadis itu, pikir Al, seperti mata yang sudah sangat sering ia
lihat.
Seperti mata yang
selalu ada untuk diriku.
“Kalau boleh tahu, siapa nama putri Bapak?” Al memberanikan diri untuk
bertanya. Ia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia perlu menanyakan hal itu. Ia
hanya tahu, ia harus melakukannya.
“Dia bukan putri kandungku. Percaya atau tidak, gadis ini saya temukan
terbaring nyaman berselimut di dalam sebuah keranjang
bayi. Seseorang
meletakkan keranjang bayi di amben ini, dua puluh dua tahun yang lalu. Seseorang yang sepertinya bukan dari kalangan bawah karena keranjang
bayi itu begitu bagus. Saya tidak tahu siapa yang tega berbuat seperti itu kepada gadis ini,”
jelas si pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Walau begitu, saya tetap
menganggapnya sebagai putri kandung saya. Di samping keranjang bayi itu, ada satu tas besar berisi pakaian bayi… dan selembar kertas. Tampaknya itu surat dari ibu si bayi. Tapi, tidak
bisa juga dibilang surat, sebab isinya sangat pendek, hanya beberapa kalimat
saja. Si ibu minta supaya bayi itu dirawat baik-baik. Di kertas itu juga
dituliskan nama si bayi.”
Dahlan diam dan memperhatikan langit-langit teras
rumahnya. Matanya masih berkaca-kaca, walau tak menumpahkan apa-apa di
sudutnya.
“Dan, namanya?” tanya Al.
“Kalina Mayasari,” jawab Dahlan. “Panggilannya… Maya.”
(bersambung)
Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)
0 comments:
Post a Comment