Memilih (episode 2)




(episode sebelumnya)


“Sayang, kita mau pergi ke mana sekarang?” tanya Al sembari menyetir mobil Peugeot 206 yang telah dimodifikasi menjadi mobil balap. Sungguh bukan mobil yang cocok untuk jalanan padat Kota Bandung. Namun, itu mobil favorit Al, hadiah dari sang ibu ketika Al lulus kuliah.
Maya tidak mendengar pertanyaan Al. Pandangannya menembus jendela gelap di sampingnya. Lampu-lampu, lalu-lalang orang, warna-warni cat pada dinding bangunan, membuatnya sedikit terlena.
Honey?” Al menyentuh bahu Maya.
“Ya?” Maya menoleh.
“Kita ke mana sekarang?”
Maya tersenyum sambil menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Pilihkan saja untukku. Kamu tahu apa yang paling aku suka, Al.”
Giliran Al tersenyum. “Ya, aku tahu,” gumamnya.
Senyum Maya makin mengembang, meskipun dalam benak Al, itu bukan jenis senyuman yang biasanya. Bahkan, riasan tipis di wajahnya tak dapat menutupi rona pucat. Namun, Al tak mau berburuk sangka. Mungkin memang Maya agak lelah setelah seharian bekerja di kantor, pikir Al.
“Kita ke Lembang,” ujar Al.
“Boleh aku yang menyetir sekarang, Al?” pinta Maya setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam. “Sudah lama aku tidak merasakan sensasi mobil ini.” Wajahnya berubah, auranya berganti. Maya menjadi ceria dan itu yang membuat Al sedikit lega malam ini. Namun, detik berikutnya, Al malah cemas.
“Kamu serius, Honey? Bukannya kamu pernah bilang agak kesulitan menyetir malam hari tanpa kacamata?”
“Mataku masih normal, Al. Minus tiga per empat bukan masalah. Dan, ya, aku serius, Honey. Sekarang menepilah, dan biarkan aku menyetir,” jawab Maya tanpa beban.
Al menepikan mobilnya, berhenti, dan membiarkan Maya mengisi bangku pengemudi. Ini adalah perjalanan yang panjang, dan ini Sabtu malam. Bukan malam minggu namanya kalau jalanan tidak ramai, bahkan saat ini hampir bisa dikatakan macet. Tetapi, di situlah sensasinya. Maya sangat menyukai suasana itu.
Malam semakin tua. Jam di tangan Al menunjukkan pukul sebelas malam. “Kamu tidak mengantuk, Honey?” tanya Al.
“Belum. Kantukku hilang sendiri kalau sudah pegang setir,” jawab Maya. Lagi, gadis itu melempar senyum dengan makna aneh menurut Al. “Hei, kenapa dari arah berlawanan jalanan sepi sekali? Hanya motor-motor yang lewat,” tiba-tiba Maya mengubah topik percakapan.
“Aku kurang paham, Honey. Mungkin memang jarang orang yang bepergian ke arah kota.”
“Aku akan coba menyalip. Tanjakan ini tidak terlalu curam.”
“Kupikir sebaiknya jangan, Maya.”
Jika Al menyebut nama Maya, berarti ia sedang tidak ingin disanggah. Ucapannya serius dan ia berharap Maya menuruti apa yang ia katakan. Dan, memang, menyiap (istilah keteknikan untuk menyalip -- pen) di daerah tanjakan sangat berbahaya.
“Ah, tidak apa-apa. Kamu lihat sendiri, kan, lajur sebelah sepi sekali?”
Perlahan Maya membelokkan mobil ke kanan dan melaju di lajur menuju Bandung. Dua puluh meter pertama, tidak ada hambatan. Lalu, Maya menambah kecepatan mobil Al.
“Maya, lebih baik kamu kembali ke lajur kiri,” ucap Al, lebih mirip perintah. “Bahaya, Maya. Kamu tidak tahu apa yang akan muncul di balik tanjakan itu.”
“Tenang saja, Sayang,” sahut Maya dengan santai.
Kecepatan mobil sudah lebih dari tiga puluh kilometer per jam dan masih terus bertambah. Lalu, dari balik tanjakan, muncul kendaraan besar berkecepatan tinggi. Truk itu tidak bisa mengurangi kecepatannya karena sedang dalam posisi menurun. Maya kaget dan langsung membanting kemudi ke kanan.
Hal terakhir yang Al ingat adalah pohon perindang besar yang seolah-olah menghampirinya dengan kecepatan cahaya.

***


Al menatap tubuh kaku kekasihnya. Rahang Al terkatup rapat, ia tak sanggup berkata-kata. Dua orang perawat sedang melepas seluruh alat penunjang kehidupan yang menancap di beberapa bagian tubuh Maya. Jarum-jarum itu sudah dua bulan menjajah kulit halus Maya. Seorang dokter wanita berdiri di samping Al. Berkali-kali sang dokter itu mengatakan sesuatu pada Al, tetapi Al tidak mendengarkan. Al tahu, dokter itu sedang mencoba menghibur Al dan itu sungguh sudah tidak ada gunanya lagi menurut Al. Toh perkataan sang dokter tidak dapat mengembalikan napas Maya, perempuan yang teramat Al cintai.
Perawat-perawat itu masih sibuk dengan tubuh Maya. Sejujurnya, Al tidak kuat melihat pemandangan itu, tetapi ia tidak bisa menangis. Tidak! Entah mengapa. Mungkin liang-liang di kedua matanya telanjur menderita kekeringan, karena selama dua bulan ini terus-menerus mengeluarkan isinya. Atau, mungkin Al sudah lupa caranya menangis. Namun, hatinya tetap menangis. Menangisi kepergian Maya yang begitu cepat.
Al menghempaskan diri ke sofa di kamar rawat Maya. Tatapannya masih nanar ke arah tubuh Maya. Ia melihat di tangan kiri Maya. Di jari manis wanita itu, dulu sempat tersemat cincin pertunangan. Kilau cincin itu masih tampak di mata Al, walaupun benda itu sudah tersimpan rapi di lemari pakaiannya. Warna perak kesukaan Maya dengan berlian delapan belas karat berwarna merah muda. Al sendiri yang memilihkan cincin itu untuk Maya. Walaupun sempat ragu, ternyata Maya menyukai pilihan Al. Dan, Al tidak pernah lupa seperti apa ekspresi Maya ketika ia menunjukkan cincin itu.
Siang ini matahari sedang berada tepat di atas kepala, namun sengatannya seolah-olah tunduk pada lapisan tipis awan-awan kelabu bulan April. Pusara Maya masih basah. Para pelayat sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Al masih berdiri di samping pembaringan terakhir Maya. Lagi-lagi, Al tidak sanggup berkata satu patah pun, apalagi untuk menangis.
“Menangislah, Al.” Sebentuk suara hadir di liang pendengaran Al. Ia mencari sumber suara tersebut dan ia mendapati sosok Maya berada di sisi lain pusara, tepat berhadapan dengannya.
“Maya?” Akhirnya bibir Al mengucap sesuatu, walaupun terdengar sangat lirih.
“Aku tidak pernah melarangmu menangis, kan? Dengan melihatmu menangis, berarti aku tahu, kamu memang mencintaiku dengan tulus.”
“Benar, kamu Maya?” Al masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia menengok ke pusara Maya, lalu kembali memandang sosok yang berwujud seperti Maya di hadapannya.
“Iya, ini aku,” sahut sosok tadi. “Jangan takut, Al. Aku cuma ingin melihatmu sekali lagi. Karena, aku tidak suka, kamu sepertinya belum rela aku pergi dari dunia ini.”
“A—aku… tidak sanggup… untuk menangis, Maya…”
Sosok Maya itu tersenyum, lalu bergerak mendekati Al. Dan, sekarang sosok itu sudah di samping Al, ikut memandangi pusara yang masih baru itu.
“Selama hidup, aku tidak pernah punya orang-orang yang begitu mencintaiku. Orang tuaku…, kamu sudah tahu bagaimana orang tuaku. Sepertinya sudah ratusan kali kuceritakan soal mereka padamu. Mereka hanya memanjakanku dengan uang, bukan dengan kasih sayang.” Maya memandang Al. “Mengenalmu, mungkin itu bulan-bulan terindah dalam hidupku. Singkat, tapi indah.”
Tiba-tiba, satu tetes cairan bening mencuri keluar dari liangnya, membasahi pipi kiri Al, dan akhirnya jatuh ke bumi. Sosok Maya memalingkan wajahnya ke arah Al, lalu tersenyum.
“Sekarang aku bisa pergi dengan tenang, Al,” ujarnya, lalu tersenyum kepada Al.
Sosok Maya memudar, lalu benar-benar hilang dari hadapan Al. Meninggalkan Al dengan satu lagi tetes bening yang meluncur dari sudut matanya.


***

Hari ini Al tidak ingin berlama-lama duduk berdoa di atas pusara Maya. Selalu teringat olehnya masa-masa ketika mereka bersama memadu cinta. Dan, itu agak menyesakkan dadanya. Aku harus bisa keluar dari dalamnya kesedihan ini. Aku tidak boleh larut terlalu lama dalam kepedihan hati ini. Bergemuruh banyak hal dalam hatinya.
Sepeninggal Maya, Al memang seperti tak punya pegangan hidup. Beberapa pekerjaannya terbengkalai, sampai-sampai sekretarisnya kerepotan menerima komplain dari pegawai lain. Selepas bekerja, Al tidak pernah langsung pulang. Ia pasti singgah ke makam Maya.
“Ini sudah hari keseratus,” Al menyentuh nisan Maya. “Apa kamu bosan, terus-terusan aku sambangi? Kuharap tidak.”
Angin membelai lembut wajah Al. Matanya terpejam. Ia menikmati embusan angin seolah-olah itu sentuhan tangan Maya. Makin lama, angin makin kencang, membawa serta arak-arakan kelabu di atas sana. Sebentar lagi air akan tumpah dari langit. Al kembali membuka mata, pusara Maya sudah dijatuhi butir-butir air hujan. Namun, Al masih saja berada di tempat yang sama.
“Kadang aku berpikir untuk terjun saja dari tepi fly over, Maya. Kupikir itu cara tercepat untuk sampai ke tempatmu.”
Tiba-tiba, di tengah hujan yang mulai menderas, suara petir menggelegar dengan gagahnya.
“Ya, ya. Aku tahu, kamu tidak akan setuju. Tapi, bagaimana kalau aku memaksa?” kata Al lagi.
Petir kedua kembali menggelegar, kali ini lebih keras. Dan, hujan juga tak menunjukkan tanda-tanda akan mereda, bahkan semakin lebat.
“Kamu tahu, Sayang?” Al membelai lagi nisan Maya. “Aku lupa seperti apa rasanya kehilangan, sampai aku kehilangan kamu. Waktu ayahku meninggal tiga tahun yang lalu, aku masih bisa tertawa, masih bisa berpikir logis. Yah, masih bisa apa saja. Tapi, aku tidak bisa melakukan hal yang sama ketika kamu pergi, Sayang. Aku tahu, ada yang salah di otakku. Mungkin terlalu banyak terisi dirimu.”
Al tersenyum getir. Ia merasa dirinya tengah melayang-layang di sebuah tanah lapang. Ia melihat sesosok tubuh bersimpuh di dekat sebuah pusara. Air hujan menghantam tubuh tegap sosok berkemeja biru muda itu. Lalu, ada sebentuk tangan yang tiba-tiba saja menggenggam jemari Al yang masih saja melayang-layang.
“Waktumu belum tiba, Al. Masih banyak yang belum kamu rasakan.”
Itu suara Maya, batin Al. Ia melihat sosok yang ikut juga melayang-layang di sampingnya, ternyata memang Maya.
“Jangan dulu berpindah dunia, Al. Dia membutuhkanmu. Lebih membutuhkanmu dibanding aku membutuhkanmu.”
“Apa maksudnya?”
Maya tak menjawab. Ia hanya tersenyum dan melepas genggaman tangannya. Perlahan, sosoknya memudar, berganti sosok lain yang lebih nyata.
“Nak?” Seorang pria paruh baya menepuk-nepuk bahu Al. “Bangun, Nak.”
Mata Al perlahan terbuka. Ia mengerjap-ngerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya sore yang terang. Ia sedikit heran, benarkah ia bangun masih di hari yang sama. Bukankah tadi langit begitu gelap dan petir menyambar-nyambar, tanyanya dalam hati.
“Siapa namamu, Nak?” tanya sosok di hadapan Al.
“Nama?” Al mendadak bingung.
“Ayo, Nak. Kita hangatkan diri di rumah saya,” ajak pria tadi sambil menuntun tubuh Al yang masih belum mendapat keseimbangan berjalan.
Tak jauh dari pusara Maya, tepatnya di tepian komplek pemakaman, terdapat sebuah rumah kecil. Sederhana, namun bersih dan nyaman. Itulah kesan yang ditangkap Al sekilas setelah melihat rumah yang ternyata milik penjaga kompleks pemakaman itu. Al duduk di amben, sebuah tempat duduk lebar dan agak panjang yang terbuat dari bambu. Sementara pria tua tadi masuk ke dalam rumahnya, Al duduk bersila di amben sambil melepas pandangan ke arah kompleks pemakaman itu. Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat dengan jelas pusara Maya.
Tak berapa lama, pria tua tadi kembali ke teras dan menemani Al duduk di amben. Kemudian, muncul seorang gadis yang membawa nampan. Gadis itu meletakkan satu cangkir berisi kopi hitam, satu gelas besar berisi teh hangat — masih terlihat uap mengepul dari cairan berwarna merah kecokelatan itu — dan sepiring singkong rebus.
“Duduklah dulu,” ujar pria tua tadi kepada si gadis. Rupanya gadis itu adalah anaknya. Lalu, ia beralih melihat Al. “Nama saya Dahlan dan ini putri saya. Kamu sudah mengingat siapa namamu, Nak?”
Al mengangguk, tetapi matanya belum lepas memandang gadis yang duduk di samping Dahlan. “Saya Alhatiry Nur Oktavian. Biasa dipanggil Al,” katanya sambil menengok sebentar ke arah Dahlan.
“Nak Al sedang apa di sana? Sudah tahu hujan, kok, tidak mau berteduh,” ujar Dahlan.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Apa tadi itu saya pingsan?”
“Sepertinya begitu. Lama sekali saya berusaha membangunkan Nak Al.”
Mata Al kembali ke paras putri Dahlan. Kali ini ia menjelajah paras itu lebih teliti lagi. Cantik, katanya dalam hati. Meski tidak secantik gadis-gadis yang sering ia lihat di mal atau di tempat kerjanya, tetapi Al merasa gadis itu sungguh rupawan. Dan, mata gadis itu, pikir Al, seperti mata yang sudah sangat sering ia lihat.
Seperti mata yang selalu ada untuk diriku.
“Kalau boleh tahu, siapa nama putri Bapak?” Al memberanikan diri untuk bertanya. Ia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia perlu menanyakan hal itu. Ia hanya tahu, ia harus melakukannya.
“Dia bukan putri kandungku. Percaya atau tidak, gadis ini saya temukan terbaring nyaman berselimut di dalam sebuah keranjang bayi. Seseorang meletakkan keranjang bayi di amben ini, dua puluh dua tahun yang lalu. Seseorang yang sepertinya bukan dari kalangan bawah karena keranjang bayi itu begitu bagus. Saya tidak tahu siapa yang tega berbuat seperti itu kepada gadis ini,” jelas si pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. “Walau begitu, saya tetap menganggapnya sebagai putri kandung saya. Di samping keranjang bayi itu, ada satu tas besar berisi pakaian bayi dan selembar kertas. Tampaknya itu surat dari ibu si bayi. Tapi, tidak bisa juga dibilang surat, sebab isinya sangat pendek, hanya beberapa kalimat saja. Si ibu minta supaya bayi itu dirawat baik-baik. Di kertas itu juga dituliskan nama si bayi.”
Dahlan diam dan memperhatikan langit-langit teras rumahnya. Matanya masih berkaca-kaca, walau tak menumpahkan apa-apa di sudutnya.
“Dan, namanya?” tanya Al.
“Kalina Mayasari,” jawab Dahlan. “Panggilannya Maya.”

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)

0 comments:

Post a Comment