Memilih (episode 1)






Matahari sudah kembali ke peraduan hampir satu jam yang lalu. Namun, dua anak manusia masih saja terduduk di salah satu bangku taman. Keduanya diam. Entah memang tidak ada yang perlu dibicarakan, atau masing-masing terlalu sibuk dengan pikirannya. Si wanita menggigit bibirnya, sedangkan si pria, melipat kedua tangannya di depan dada. Kadang, si wanita pura-pura merapikan rambut panjangnya yang berombak, dan si pria menggoyangkan salah satu kakinya. Jelas, keduanya sama-sama dilanda kecemasan.
“Al?” si wanita memulai lagi percakapan yang telah terhenti cukup lama.
“Ya?” Sang pria tersentak. Ia menegakkan duduknya.
“Kamu melamun?” tanya Maya yang duduk di samping Al.
“Tidak,” jawab Al singkat.
“Apa yang sedang kamu pikirkan, Al?”
Al tidak menjawab. Ia malah menyandarkan punggungnya. Sandarannya dingin, dan itu terasa sampai ke kulit tubuh Al. Ia lalu menengadahkan kepalanya ke langit. Ia melihat banyak bintang malam ini, tapi bulan hanya sepotong yang tampak.
“Aku tahu kamu sedang memikirkan sesuatu,” lanjut Maya. “Apa kamu berpikir soal kita?” Maya melontarkan pertanyaan tadi dengan hati-hati. Ia tahu, Al seorang pria yang sensitif. Tetapi, Al bukan seorang pemarah. Jika Al tersinggung akan sesuatu hal, ia hanya diam. Al sanggup tidak bicara walaupun ia sedang di samping Maya. Dan, Maya sedang tidak ingin hal itu terjadi saat ini. Ia ingin Al bicara.
“Memangnya ada apa dengan kita?” Al malah balik bertanya.
Maya mengerutkan dahi. Ia bingung dengan sikap Al malam ini. Ia pun ikut menyandarkan punggungnya ke bangku taman. “Tidak ada. Tapi, barangkali saja kamu ingin mengatakan sesuatu. Kamu ingat, kan, malam ini tepat satu tahun kita saling mengenal? Ya, hanya… saling mengenal…” Maya menunduk, sudut matanya mulai basah.
“Kamu mau kita yang seperti apa?” Sejak tadi pertanyaan Al selalu singkat, tetapi semuanya butuh jawaban yang sebaliknya. Panjang lebar.
“Seharusnya aku yang tanya begitu, Al. Aku ini wanita yang bebas, dan kamu…, bukan seseorang dengan kebebasan seperti yang aku punya. Akulah yang pantas tanya soal status kita.”
Al kembali tegak. Ia memalingkan wajahnya sehingga kini berhadapan dengan wajah Maya Larasati. Al melihat air mata Maya sudah meluncur bebas keluar dari liangnya. “Jadi, kamu menyalahkan aku, menyalahkan statusku?”
“Tidak. Bukan itu maksudku. Tida ada bedanya apakah aku yang bebas atau kamu yang bebas. Aku cuma ingin menyalahkan takdir. Boleh, kan? Kenapa kita dipertemukan ketika salah satu dari kita sudah bersama orang lain?” Maya berhenti sejenak, mengatur napasnya, lalu mulai bicara lagi. “Dan, kamu ingat bagaimana mulanya kita saling mengenal? Kamu yang menghampiri aku saat aku duduk sendiri di bangku taman ini. Bangku yang sekarang kita tempati. Waktu itu, aku sedang merasa sakit. Lalu, kamu dengan tenangnya membanjiri aku dengan rasa nyaman yang seolah-olah tidak ada habisnya. Itu… benar-benar menenangkan hatiku.”
“Itu artinya kamu menyalahkanku,” sahut Al dengan tenang. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke bangku taman.
“Bahkan, ketika kamu sedang tidak menginginkanku seperti yang sekarang kamu lakukan, aku masih tetap merasakan Kenyamanan itu, Al. Entah dari mana datangnya.”
“Lalu, aku harus bagaimana? Aku juga masih sayang dengan gadis itu.” Suara Al mulai terpengaruh oleh emosi negatif.
“Aku tidak pernah memintamu untuk meninggalkan dia. Aku tahu, dia gadismu satu-satunya. Aku hanya… Aku… bukan siapa-siapa.”
Nyanyian binatang malam mulai ramai. Mengusir hening yang terjadi antara Al dan Maya. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Maya bangkit dari duduknya.
“Mungkin memang sebaiknya aku pergi,” ujar wanita dua puluh tujuh tahun itu. “Aku sudah mengacaukan hidupmu.”
Al ikut bangkit. Ia berdiri berhadapan dengan Maya. Kedua tangannya masuk ke saku celana. Entah itu untuk melindungi tangannya dari hawa dingin, ataukah ia ingin menyembunyikan kegugupannya dari pandangan Maya.
“Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Maya.”
“Tidak apa-apa, Al. Aku memang harus pergi. Terima kasih untuk segala yang sudah kamu berikan selama satu tahun ini. Aku menghargai semuanya.”
Maya berbalik, hendak beranjak dari hadapan Al. Tetapi, ternyata Al menahan tangan kiri Maya. Maya berusaha melepaskan tangannya, namun genggaman Al terlalu kuat.
“Jangan pergi,” pinta Al. “Aku masih ingin kamu di sini.”
Maya kembali berhadapan dengan Al. “Aku tidak keberatan menemanimu berjam-jam duduk di bangku taman ini, Al. Tapi, apa kamu memikirkan hatiku? Walaupun kamu menggenggam tanganku, memelukku, dan bahkan menciumi tubuhku, aku hanya merasa pikiranmu tidak sedang bersama tubuhmu saat itu.”
“Maaf,” ujar Al lirih. Ia masih menggenggam jemari Maya. “Aku belum bisa memilih.”
“Kamu tidak perlu memilih, Al,” tukas Maya. “Aku yang akan pergi. Aku…”
Maya tidak dapat meneruskan ucapannya. Air mata telanjur meluncur dari sudut matanya. Mereka lalu duduk kembali di bangku itu. Al merebahkan lagi punggungnya ke sandaran bangku taman. Ia menengadah, menatap langit yang miskin bintang.
“Mungkin kedengarannya egois, tapi aku belum ingin kamu pergi, Maya.”
“Belum ingin?” gumam Maya. “Sempurna! Itu memperlihatkan wajah aslimu yang sebenarnya, Al. Seharusnya aku tidak pernah mengizinkan kamu duduk menemaniku waktu itu.”
Al diam saja mendengar caci maki Maya. Ia tidak menyangkal, malam ini ego lelakinya muncul mendominasi otaknya. Maya masih menunggu Al bersuara, meski ia sebenarnya tidak tahan menunggu tanpa kejelasan seperti saat ini.
“Sebenarnya kamu tidak rugi apa-apa dengan perginya aku, Al. Kita tidak sedang berkomitmen apa-apa, kan? Kamu masih punya gadismu. Aku cuma, ya, aku bisa mencari yang lain. Kamu, berbahagia sajalah dengan kekasihmu. Jangan merasa terganggu karena aku pernah singgah sebentar di hidupmu. Aku yakin, sebentar saja, kamu pasti bisa melupakanku. Aku tidak ingin menghancurkan hubungan kalian. Melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku.”
Kini giliran Maya yang menyandarkan tubuhnya di bangku taman. Ditatapnya langit, masih miskin bintang dan sepotong bulan yang malu-malu bersinar dari balik awan tipis. Suasana kembali menjadi sepi, seperti hati Maya. Beberapa jam yang lalu, ia masih sangat gembira karena Al mengajaknya bertemu lagi di taman ini. Ia bisa melepas rindu dua pekan yang menggebu-gebu terhadap lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Sekarang, semuanya lenyap. Kegembiraan berubah jadi senyap luar biasa. Bahkan, Maya mencari-cari ke mana hilangnya suara nyaring dari hewan-hewan malam itu.
“Maya?” Suara Al memecah sunyi. Matanya masih memandang langit.
“Ya?”
Al lalu mengubah posisi duduknya. Menatap Maya dengan tajam. “Mungkin sekarang adalah saat yang tepat untuk…” Suara Al terputus.
Hati Maya kembali tidak menentu. Dalam hatinya, banyak sekali kemungkinan yang akan terungkap dari Al. Mungkin saat ini Al hendak mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Apakah Al akan meninggalkan kekasihnya untuk Maya? Atau, justru malah Maya yang akan ditinggalkan? Perang batin. Tetapi, Maya telah mempersiapkan diri dan hatinya andai nanti Al lebih memilih kekasihnya. Itu risiko, pikir Maya. Maya pasrah. Namun, Al masih saja bergeming.
“Oh, ayolah, Al! Katakan saja apa yang menguasai pikiranmu saat ini. Aku ingin tahu tentang…, ah, tentang aku, kamu, dan masa depan. Apa itu mungkin, sebuah masa depan untuk kita?”
Terpaksa Maya harus berkata seperti itu, agar Al paham benar dengan apa yang sedang diinginkannya. Tidak ada satu wanita pun di dunia ini yang betah digantung perasaannya.
“Jujur aja,” Al membuka suara, “aku punya perasaan lebih kepadamu. Tapi…”
“Tapi, ada gadismu yang tak mungkin kamu tinggalkan. Iya, kan?” potong Maya tiba-tiba.
“Bukan, Maya. Bukan itu.”
“Lalu, apa?!” Suara Maya meninggi.
Al agak terkejut dengan sikap Maya. Gadis itu terlihat seperti pribadi lain di mata Al. Pribadi yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mungkin benar perkataan orang, pikir Al, cinta akan banyak mengubah kepribadian seseorang.
“Kalau aku bilang, aku tidak punya apa yang kamu sebut ‘gadisku’, apa reaksimu?”
“Ah,” Maya mendengus kesal, “pertanyaan apa lagi ini? Kenapa kamu tidak bisa to the point saja kalau bicara? Aku merasa hanya buang waktu mendengar ocehanmu, Al.” Maya tak lagi merasa sedih. Ia hanya merasa sedang dipermainkan.
“Tidak, Maya. Aku tidak sedang mengoceh.”
“Reaksiku, aku tetap pergi. Aku malas berurusan dengan laki-laki tidak punya pendirian macam kamu, Al. Bisa langsung kita bahas poin pentingnya, please?”
Al menghela napas.
“Tidak ada gadis lain, Maya. Aku hanya mengarang cerita. Aku bahkan lupa untuk apa aku mengarangnya. Dan, sekarang, ketika kamu menyinggung soal gadis lain, aku tetap tidak ingat.”
Maya terkejut, meski tak tampak diwajahnya. Dahinya sedikit berkerut. Sesungguhnya, ia tidak mengerti maksud ucapan Al. “Mengarang cerita?”
“Aku minta maaf.”
“Padahal, aku sudah telanjur percaya, Al,” ujar Maya setengah terisak. Ia bangkit dari bangku dan bersiap pergi. “Aku tidak pernah keberatan dengan statusmu. Aku tidak pernah mengeluh kalau kamu tidak bisa menerima ajakanku bertemu di sini. Aku tidak pernah menyinggung soal gadismu ketika sedang mengobrol. Aku tidak pernah menanyakan soal kejelasan hubungan ini. Tapi, aku tidak tahan dengan semua kepura-puraan ini, Al.”
Al tiba-tiba saja berdiri dan langsung mendekap tubuh Maya. “Setop,” bisik Al. “Jangan bicara lagi.”
Maya tenggelam dalam dekapan hangat dada bidang Al. Wangi aftershave yang Al kenakan menggelitik cuping hidung Maya. Ia merasa sedang berada di sebuah kebun bunga warna-warni dengan aneka aroma.
“Aku belum ingin kehilangan kamu, Maya.”
Suara Al membuyarkan khayalan Maya. Kalimat itu lagi, pikir Maya, bolehkan aku menyerah?
“Apa maumu?” tanya Maya yang kini sudah melepaskan diri dari dekapan Al.
“Mauku,” jawab Al, “menjadi milikmu.”
Maya diam saja. Wajahnya datar. Ia tidak sedang berpura-pura menahan emosinya. Ia memang tidak punya reaksi lain, seolah-olah hatinya sudah bebal dengan apa saja yang Al ucapkan. Sementara itu, Al tahu, ia sudah sangat keterlaluan kali ini. Ia bermain api tanpa memikirkan akibatnya. Lalu, sesuatu yang ia siramkan ke arah api itu ternyata bensin. Hasilnya, semuanya berantakan.
Tanpa pikir panjang lagi, Al meraih pinggang Maya, mendekapnya lagi. Kali ini, ia membiarkan instingnya berbicara banyak kepada Maya, lewat pagutan-pagutan lembut.
“Entah kenapa, Al,” bisik Maya, “aku seharusnya tidak mengizinkan kamu menemaniku duduk di bangku taman waktu itu.”
“Ssstt…” Al menempelkan telunjuknya ke bibir Maya. “Kamu sudah pernah bilang itu. Jangan mengulang kalimat yang sama.”
Maya tersadar, ia sudah mengatakan hal yang sama. Otaknya sedikit terlena dengan ciuman Al. Di luar itu semua, Maya hanya merasa, ciuman itu sudah sangat menjelaskan apa yang hendak Al katakan.

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)

0 comments:

Post a Comment