Memilih (episode 3)





Kicau burung gereja meramaikan sore, menemani Al dan Maya yang sedang duduk di teras rumah Dahlan. Di tengah-tengah amben, tersaji dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.
Al masih tetap dengan kebiasaannya mengunjungi kompleks pemakaman di daerah selatan Kota Bandung. Tapi, bukan untuk mengunjungi makam Maya Larasati — ya, itu masih ia lakukan seminggu sekali — melainkan menemui putri Dahlan, Kalina Mayasari. Entah harus menamakan apa hubungan ini, pikir Al, aku merasa nyaman berada di dekatnya.
“Siapa nama pacarmu, Al?” Maya membuka obrolan serius mereka untuk pertama kali.
“Namanya Maya Larasati.”
Mata Maya sedikit melebar.
“Iya, betul,” kata Al lagi. “Panggilannya Maya. Sama sepertimu.”
“Oke. Maya itu, bagaimana kamu menggambarkan dia?”
Al menyesap sedikit teh hangatnya. “Indah, seperti malaikat.”
Maya tersenyum geli. “Memangnya ada manusia seperti malaikat?”
“Ada. Ya, seperti dia. Juga, sepertimu.”
Maya menunduk. Ia merasa seluruh darah dalam tubuhnya sedang menuju wajah, yang menyebabkan rona merah di pipi. Ia berharap Al tidak melihatnya.
“Aku serius, Maya,” kata Al lagi.
“Terima kasih. Tapi, rasanya itu tidak benar,” balas Maya. “Maksudku, aku hanya gadis biasa yang tidak pantas disamakan dengan pacarmu.”
“Ya…, mungkin kamu anggap ini sebagai rayuan tidak bermutu, atau candaan, tapi aku tidak bohong.”
“Ah, sudahlah.”
Mereka diam lagi. Al sibuk menyesap tehnya perlahan, sementara Maya hanya diam memandang rimbun kembang sepatu di halaman. Maya merasa aneh dengan situasi ini. Tidak jelas apa yang diinginkan Al dan itu membuatnya resah.
“Maya, boleh aku tanya?”
“Tanya apa?”
“Kalau aku minta kamu menggantikan tunanganku…”
“Menggantikan?” potong Maya.
“Ehm, maksudnya…”
“Aku mengerti,” sahut Maya.
“Ya…, begitulah. Bersedia?”
“Maaf, aku tidak bisa.”
“Kenapa?” tanya Al.
“Karena aku bukan pengganti.”
“Lalu?”
“Tidak ada lanjutannya, Al.”
“Tapi…”
“Kalau aku bilang aku mengerti, berarti aku memang benar-benar mengerti, Al. Tunanganmu itu…, okelah namanya sama denganku, tapi bukan berarti aku dan dia adalah orang yang sama. Di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sama, bahkan yang kembar identik. Apa kamu pikir aku ini reinkarnasi pacarmu yang sudah meninggal itu?”
“Tidak, bukan begitu maksudku.”
“Aku pikir obrolan kita kali ini tidak ada ujungnya.”
“Ada ujungnya, kok.”
“Maksudnya?” Giliran Maya yang bingung.
“Lepaskan pikiranmu soal pacarku yang sudah…,” Al menelan ludah, “… meninggal. Yang aku ingin tahu, apa kamu bersedia kalau setelah ini aku selalu mengganggu hidupmu?”
Maya tertawa. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Ia tidak ingin tawanya terlalu meledak, walaupun ia sangat ingin melakukannya. Pria yang jatuh cinta ternyata menjadi bodoh ketika bermain dengan kata-kata, pikirnya. Setelah gelaknya mereda, Maya kembali melempar tanya. “Mengganggu hidupku, ya? Dengan apa?”
Al kikuk. Wajahnya memerah bak kepiting rebus. Beruntung ia masih memegang gelas teh, jadi ia bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Dengan apa, ya? Ah, kamu harusnya tidak perlu bertanya lagi. Seharusnya kamu sudah paham maksudku.”
“Kalau aku bilang aku belum paham, bagaimana?” Maya tersenyum simpul.
“Besok hari Sabtu. Kita jalan-jalan, yuk?”
“Hei, jangan ganti topik dulu! Pertanyaanku belum kamu jawab,” protes Maya.
Al makin kelimpungan. Ia tak pernah sekikuk ini sebelumnya di depan seorang gadis. Bahkan, tidak di hadapan Maya Larasati.
“Kenapa?” Maya membuyarkan lamunan Al.
“Tidak ada apa-apa,” Al berbohong. Sesungguhnya ia masih belum tahu harus menjawab bagaimana. Pertanyaan Maya memang mudah, tetapi cukup sulit dijawab. “Tapi, bisakah kita ganti topik?”
Maya tergelak lagi.
“Yang begitu saja kamu tidak bisa menjawab, Al.” Maya mengganti nada bicaranya. “Aku mau tanya. Apa kamu sudah ikhlas dengan kehilanganmu?”
Al mengangguk.
“Benarkah?” Maya bertanya lagi.
“Iya,” jawab Al dengan mantap.
“Tapi, aku pikir, kamu itu belum ikhlas.”
Dahi Al berkerut-kerut. “Kenapa bisa begitu?”
“Karena…” Maya berhenti bicara dan menatap Al dengan serius. “Semisal namaku bukan Maya, apa kamu juga menawarkan kesempatan itu, sesuatu tentang mengganggu hidupku?”
“Aku tidak tahu.” Mata Al hampir tak berkedip.
Dua pasang mata itu bertemu di satu titik, saling merapal rasa yang menguar darinya. Berusaha saling mengerti, saling mencari celah untuk menyatukan ingin. Detik-detik berikutnya terasa seperti perlambatan yang semakin besar, yang berusaha membekukan keduanya. Al dan Maya tidak keberatan, asal mereka tidak berada dalam dua titik yang berbeda di dalam perlambatan itu.
“Ini sudah hampir gelap, Al. Lebih baik kamu pulang.”
Al terkesiap dari lamunannya. Ia melihat sekeliling, langit hampir menjingga. Sebentar lagi ayah Maya akan pulang, gumam Al dalam hati.
“Ya, aku pulang saja,” ujar Al. “Tapi, besok…”
“Tidak bisa. Aku janji sama Bapak, akan membantunya membersihkan makam. Besok akan banyak orang datang berziarah.” Maya setengah berharap, alasan yang ia lontarkan kali ini tidak tercium janggalnya.

Maya merebahkan tubuhnya di kasur kapuk tua berlapis seprai merah muda. Ia memandang langit-langit kamarnya, lalu kembali terlintas percakapan yang baru saja terjadi antara dirinya dan Al. Yang tadi itu apa, tanyanya dalam hati. Lalu, ia sampai pada kesimpulannya sendiri. Maya ingin sekali tak percaya dengan apa yang ia pikirkan, tetapi nyatanya Al memang memintanya menggantikan Maya Larasati sebagai kekasihnya. Satu yang Maya yakini, permintaan Al adalah sebuah hal yang absurd, seabsurd ucapan Al soal malaikat-malaikat itu.
Apa benar, ada cinta yang didasari keserupaan nama? Itu aneh, pikir Maya sekali lagi. Jika saja Al memintanya dengan cara yang berbeda, tanpa sedikit pun melibatkan cinta lamanya, Maya akan mempertimbangkannya.
Ponsel Maya berbunyi. Ada pesan singkat masuk.

Maaf, Maya. Mungkin tadi bicaraku terlalu mengada-ada. Tapi, aku benar-benar ingin dekat denganmu. Bolehkah?

Kata-kata dari Al membuat Maya spontan mengembangkan senyumnya. Tetapi, ia enggan membalas pesan itu. Ia setengah melempar ponsel — yang merupakan pemberian Al beberapa hari yang lalu — ke atas meja kayu tua di sudut ruangan kamarnya. Kembali ia merebahkan diri ke kasur. Kembali ia menatap langit-langit kamarnya, sambil sesekali menyimak rekaman lantunan ayat-ayat Alquran yang keluar dari pengeras suara musala.
Maya adalah seorang gadis yang tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama kepada lawan jenis. Kecuali, sang ayah tentunya. Ia memiliki banyak teman wanita, tetapi tak ada satu pun yang bisa dijadikan tempat untuk berkeluh kesah, atau sekadar bercerita tentang hal-hal menarik seputar wanita. Justru dirinyalah yang selama ini menjadi tempat teman-temannya mencurahkan isi hati mereka. Maya berpikir, jika mereka saja bercerita dan memintanya mencarikan jalan keluar dari suatu masalah, bagaimana bisa teman-temannya itu memberi jalan keluar untuk masalah yang sedang ia hadapai sekarang. Namun, hikmahnya adalah, ia bisa mengenal banyak karakter orang dari mereka yang telah dikenalnya. Satu-satunya tempat mencurahkan isi hatinya selain sang ayah adalah buku harian yang tersimpan rapi di deretan buku-buku yang ia letakkan di atas meja.
Maya bangkit dari kasur dan segera mengambil buku hariannya. Ia duduk dan membuka halaman terakhir yang berisi tulisan. Ia melihat tanggal terakhir ia menuliskan sesuatu di buku itu, dan sedikit terkejut. Ternyata sudah satu bulan lebih ia tidak pernah menulis. Ia mengambil pena dari laci, lalu mulai menulis.

Bandung, 30 Agustus 2011
Aneh sekali rasanya, mengetahui seseorang menyukaiku karena namaku mirip dengan kekasihnya yang sudah meninggal. Aku penasaran, kalau namaku bukan Maya, apa dia masih menawarkan kedekatan itu? Aku meragukannya. Amat sangat!
Aku sendiri bukannya tidak percaya dengan apa yang namanya cinta pada pandangan pertama. Walaupun agak tidak masuk akal menurutku, tapi itu bukannya mustahil terjadi. Hanya saja, dalam kasusku ini, yang namanya kebetulan itu terlalu klise.
Ehm, tidak bisakah aku mendapat kisah cintaku dengan jalan yang normal dan lurus-lurus saja, tanpa harus merasakan drama? Yah, hidupku sudah cukup drama dengan terdamparnya aku di tempat ini. Aku tidak menyesal dipungut oleh Bapak, dibandingkan jika aku terdampar di kolong jembatan. Paling tidak, orang tua kandungku memikirkan masa depanku.
Tapi, kuburan?! Ah, sudahlah!
     
Maya berhenti menulis. Ia bangkit dari kursinya dan menutup jendela kamar, lalu berniat mengambil air minum ke dapur. Namun, saat hendak menutup jendela kamarnya, ia melihat Vios hitam masih berada di pinggir jalan, terparkir dengan nelangsa. Maya kembali ke meja dan menyambar ponselnya. Ia menekan tombol ponsel beberapa kali dan menempelkan gawai itu ke telinga kanannya.
“Halo,” sapa suara dari seberang sambungan.
“Halo, Al. Kamu di mana sekarang? Sudah sampai rumah?” tanya Maya.
Lama tak terdengar jawaban dari Al. Maya memperhatikan ponselnya sejenak, memastikan sambungan telepon masih aktif, lalu mendekatkan lagi benda itu ke telinganya.
“Al?”
“Iya, Maya. Aku sudah di rumah. Baru saja aku ingin meneleponmu, mengabari kalau aku sudah sampai rumah. Tapi, ternyata aku kalah cepat.” Lalu, terdengar suara tawa Al yang Maya pikir agak sedikit dipaksakan.
“Oh, ya? Syukurkah kalau begitu.”
“Memangnya ada apa, Maya? Suaramu kedengeran kayak orang khawatir.”
“Ah, tidak. Tolong jangan gede rasa dulu, ya.” Maya tertawa. “Aku lihat ada Vios hitam terparkir tidak jauh dari rumah. Aku pikir itu kamu, Al. Benar, kamu sudah di rumah?” Maya menegaskan lagi pertanyaannya kepada Al.
“Iya, aku sudah di rumah. Kamu tidak perlu khawatir, Maya.”
“Oke. Aku tutup dulu, ya. Sudah hampir magrib.”
Maya menekan tombol merah pada ponselnya dan meletakkan kembali benda itu di atas meja. Ia beranjak menuju jendela, tetapi tidak langsung menutupnya. Sekali lagi ia memperhatikan Vios hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Matanya memicing. Ia merasa seperti melihat seseorang di balik kemudi mobil itu, tetapi karena ini menjelang senja dan cahaya matahari sedikit tertutup awan, maka Maya tidak bisa memastikan apa yang ia lihat saat itu. Namun, ia meyakinkan hatinya sendiri. Al sudah di rumah, dan ia yakin, pria itu jujur padanya.
Maya melepas batang besi yang menyangga jendela berkaca itu dan menguncinya dengan saksama. Ia merapikan kelambu yang menutupi jendela itu dan memastikan tidak ada celah yang terlihat dari luar.
Sementara itu, Al masih saja memegang ponselnya. Sambungan sudah terputus sejak tadi, dan Al seolah-olah tak percaya apa yang baru saja ia katakan kepada Maya. Ia tersadar dari lamunannya dan memasukkan kembali ponselnya ke saku kemeja.
Al memegang kemudi, namun mesin mobilnya masih belum menyala. Ia bingung. Sebenarnya ia ingin sekali berlari ke rumah itu, mengetuk jendela kamar Maya, dan mengajaknya keluar rumah tanpa harus pamit kepada ayahnya — kembali lagi seperti remaja yang sedang kasmaran. Tetapi, ia bukan remaja, dan itu rasanya tidak mungkin terjadi.
Azan Magrib lantang tersiar dari musala yang tak jauh dari kompleks pemakaman tersebut. Al memutuskan untuk pulang saja. Toh tidak ada gunanya memaksakan kehendak saat ini juga. Maya pasti akan menganggap dirinya pria bodoh jika berbuat seperti itu. Lagi pula, ada baiknya juga ia menenangkan diri. Maya pun ada benarnya. Gadis itu bukanlah Maya Larasati, kekasihnya yang telah meninggal.

Malam harinya, Maya kembali membuka buku harian. Ini sudah hampir tengah malam, namun mata Maya belum mau terpejam. Kantuk seolah-olah hilang dan perhatiannya tersita oleh kejadian sore hari tadi. Sebenarnya tubuh Maya sudah meronta minta diistirahatkan, tetapi ada dorongan yang lebih besar dalam dirinya untuk kembali membuka buku hariannya. Dan, ia sadar, itu karena Al.

Bandung, masih di tanggal yang sama.
Seharusnya aku menghafal nomor mobilnya agar aku tahu saat dia berbohong, aku bisa langsung mencecarnya. Kenapa aku begitu yakin tadi dia berbohong, ya? Ah, sudahlah. Itu haknya. Aku tidak punya hak untuk mengatur apa yang terucap dari mulutnya karena aku bukan seseorang yang pantas untuk berbuat itu. Meskipun aku sangat berharap bisa melakukannya.
Ya, Tuhan. Kenapa aku jadi seperti ini? Dia harus bertanggung jawab terhadap rasa gelisah yang sekarang menyerangku dengan membabi buta.

Maya menutup buku hariannya, menyimpan kembali benda itu di antara berderet-deret buku di atas meja, lalu merebahkan tubuh lelahnya di kasur. Matanya belum mau terpejam, padahal ini sudah tengah malam. Ia menyalakan radio pemberian Dahlan, berharap masih ada siaran di malam yang semakin tua ini.

Dalam kamarnya di apartemen mewah yang terletak di tengah Kota Kembang, Al terduduk di sofa sambil menatap nanar foto Maya Larasati di tangan kanannya. Perlahan, rasa kehilangan yang sempat memudar karena kehadiran Maya yang baru dikenalnya, kini mulai menjalar kembali ke hatinya. Dan, itu membuatnya harus merasakan sakit lagi. Sebuah rasa sakit yang aneh, pikirnya, karena ia tidak melihat luka di tubuhnya. Ya, yang terluka adalah hatinya.
“Pipiku terlihat lebih berisi, ya, di foto itu.”
Tiba-tiba sebentuk suara hadir di pendengaran Al. Namun, Al tak lagi terkejut seperti sebelumnya. Ia sudah paham siapa yang hadir di sampingnya kini.
“Ya,” sahut Al, “kamu terlalu banyak mengunyah potato chips dan minum berliter-liter soda dalam satu minggu.”
Sosok yang duduk di samping Al tertawa malu. “Itu salahmu, Al,” katanya kemudian. “Kamu bilang aku boleh memakan apa pun saat kamu mendapat promosi sebagai kepala cabang di tempat kerjamu. Dua hal itu — potato chips dan soda — adalah surga duniaku.”
Al menengok ke samping. Ia mendapati sosok kekasihnya tengah duduk dan memandang dirinya. Wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna kuning muda, gaun pemberian Al ketika pesta pertunangan. Tubuhnya berpendar, seolah-olah ada cahaya berlebihan yang menimpa sosok bernama Maya Larasati.
“Apa kabarmu, Maya? Apa kamu bahagia dengan kehidupan barumu di sana?”
“Tidak. Aku belum bisa bahagia, Al.”
“Kenapa?”
“Sebab aku belum melihatmu bahagia.”
Al kembali menatap foto di tangannya. “Itu sulit, Sayang. Hal yang membuatku bahagia telah hilang. Kamu pasti tahu apa itu.”
“Tapi, kamu dapat yang baru, kan? Terima saja hal itu dengan ikhlas. Bisa, kan, Dear?”
Al memalingkan wajahnya kembali ke sosok Maya Larasati. Ia melihat gadis itu tersenyum. “Apa maksudmu?”
Maya Larasati tersenyum, lalu menjawab, “Kamu pasti tahu maksudku.” Lalu, sosok berpendar itu pun menghilang.

(bersambung)


Order melalui:
Penerbit Jentera Pustaka (jentera.pustaka@gmail.com)
Penulis (my.blue.flames@gmail.com)


0 comments:

Post a Comment