Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

[FF] Gadis dengan Nampan Jajan

1359767573580244669

Cantik. Itu yang aku lihat begitu wajahnya muncul di hadapanku. Aku yang sedang membolak-balik dengan bosan halaman Intisari menjadi sedikit terlonjak. Tapi, aku segera menguasai diri. Kubetulkan ritme napasku dan mencoba untuk tersenyum.

“Maaf, Mas. Saya mahasiswi dari fakultas ekomoni, menawarkan jajanan tradisional,” kata gadis itu sambil sedikit menyorongkan nampan ke arahku. “Ini sekaligus mempraktekkan konsep wirausaha yang pernah dipelajari di ruang kuliah,” katanya lagi.

Busyet. Lengkap sekali perkenalan ini. Hanya saja kurang satu hal, kau belum menyebutkan namamu, hei gadis.

Tadinya aku enggan memperhatikan apa yang tersaji di nampan plastik yang ia bawa. Aku lebih senang menonton wajahnya yang – kupikir – perpaduan antara sawo matang pribumi Jawa dan bentuk oriental mantan bangsa yang menjajah bumi pertiwi. Unik dan ehm, yah, menyenangkan untuk berlama-lama melihatnya. Tapi, oke, aku , memang sedang lapar. Ini sudah jam sepuluh dan aku belum sarapan. Secangkir kopi susu yang kutenggak habis sebelum menyetir kemari, tak sanggup menunda laparku sampai jam makan siang tiba nanti. Akhirnya kulirik juga isi nampan yang ia bawa.

“Lemper dua, risoles tiga,” kataku.

“Iya, Mas,” sahutnya.

Gadis itu berjongkok di tepi selasar, menaruh nampan di pahanya, sementara tangan kanannya cekatan memasukkan jajanan yang kupesan ke dalam sebuah kantong plastik bening.

“Sepuluh ribu, Mas,” katanya.

Aku terima bungkusan dari tangannya, kutukar dengan selembar uang sepuluh ribu. Gadis itu hendak beranjak dari hadapanku, tapi aku belum puas menikmati wajahnya. Ah, basa-basi bukan hal yang dilarang, kan?! Kadang, dari basa-basi itu muncul banyak hal yang tak terduga. Dalam kasusku kali ini, aku berharap ada gayung bersambut.

“Ini bikin sendiri?” tanyaku. Hampir saja gadis itu beranjak pergi dari hadapanku.

“Enggak, Mas. Kami – maksudnya, saya dan teman-teman di fakultas – pesan dari seorang penjual kue basah di Pasar Besar. Kebetulan penjual kue itu adalah orangtua dari salah seorang mahasiswi di fakultas ekonomi.”

Duh, formal sekali penjelasannya. Tapi, aku tetap belum puas dengannya. Sebenarnya aku ingin berlagak kepo tingkat kelurahan. Pura-pura tidak mengerti apa itu wirausaha, bagaimana konsepnya, dan seperti apa pelaksanaannya. Yeah, hanya sekadar mengulur waktu agar aku bisa lebih lama memandang wajahnya. Dan, semoga gadis itu tidak melihat wajahku – yang kurasa – teraliri lebih banyak darah dibandingkan saat normalku.

Tiba-tiba dia tersenyum, lalu menyembunyikan wajahnya dari tatapan mataku. Ehm, mungkin dia sudah menyadari wajahku memerah. Dan, aku juga baru sadar, sedari tadi aku terlalu banyak mengembangkan senyum. Ya, Tuhan. Kenapa selasar Brawijaya ini mendadak membuatku berkeringat dingin? Apa karena gadis ini? Atau, diriku saja yang sedang semakin merasa kelaparan?

Jujur, aku tidak pernah bermimpi apa-apa soal bertemu gadis pujaan hati. Aku kemari hanya untuk menemani orangtuaku yang kini sedang mengikuti acara wisuda adikku. Aku bosan. Tapi, gadis ini sudah mengusir pergi si bosan dalam otakku.

“Mari, Mas. Saya mau keliling lagi.”

“Tunggu dulu,” pintaku. “Boleh aku tahu namamu dan ehm…,  nomer hapemu?”

Dan, gadis itu pun tersenyum – lagi  – kepadaku.


Fiksi ini dalam rangka pemanasan menjelang Event Belajar Fiksi yang diadakan oleh Fiksiana Community.