Aku bermimpi. Aneh. Karena beberapa hari terakhir,
tidurku… ehm… gelap. Dan yeah, aku
memang bermimpi, saat tidur siang yang amat sangat tidak sengaja – di meja
kantor!
Kamu, duduk di seberang meja, menandaskan potongan
terakhir spicy chicken wings – favoritmu!
– dan aku hanya bisa menonton. Tangan-tanganku seolah berbobot ribuan ton. Aku
tidak bisa bergerak. Aku juga tidak tahu apa aku bisa membuat senyum dengan
otot-otot wajahku. Yang jelas, aku senang melihat wajahmu, di mimpiku.
Ingin tahu rasanya? Bayangkan saja sebidang kebun
bunga. Wangi dan warna-warni.
“Rotinya nggak dimakan?” tanyamu. Tapi, aku tidak
mendengar suaraku menjawab pertanyaanmu. Dan kamu pun membiarkan roti-roti itu,
utuh!
“Moy….” Kamu menyeka bibirmu dengan selembar tisu,
lalu mengoyak-oyaknya, seperti biasa. Seperti… kamu! “Kamu nggak lapar?”
Oh, ya. Aku sangat lapar. Bisakah kamu membawa
potongan roti bawang itu ke mulutku? Karena sepertinya, tangan-tanganku belum
mau bekerja sama.
“Moy…, bicaralah.” Sesuatu yang hangat menyelimuti
tangan kiriku. Ada jemarimu di sana. Nyaman.
“Ru….” Oke! Aku mendengar suaraku. “Bawa aku ke
tempat lain?”
“Kenapa?”
“Pokoknya, bawa saja aku ke tempat lain. Tempat yang
lebih baik dari ini.”
Kamu mengedarkan pandanganmu ke seluruh ruangan. Restoran
itu sedang ramai, tapi tetap terlihat nyaman dengan lampu-lampu lembutnya.
“Nggak ada yang salah dengan tempat ini, Moy. Aku
suka di sini….”
“Ya, tapi aku nggak suka,” potongku. Tiba-tiba saja,
satu tanganku sudah mengaduk-aduk cairan cokelat muda dalam gelas tinggi.
“Habiskan saja frappe-mu,
lalu kita pergi.” Kedua alismu hampir menyatu.
Ah, Ru…. Marah pun, kamu tetap terlihat menawan. Aku
tidak bisa membayangkan jika wajah marahmu menghilang dari memori otakku.
“Ru?”
“Ya?”
“Kenapa kita nggak pernah bertemu?”
“Memangnya kamu pikir kita lagi ngapain sekarang?”
Aku menggeleng. “Kamu tau maksudku, Ru. Jangan
mengelak. Jawab aja.”
Kamu, mengambil selembar tisu lagi. Kamu melumat tisu
itu sampai tak berbentuk. Aku tahu, kamu membantai tisu tak berdosa itu hanya
karena bingung harus berbuat apa. Papaya
float-mu sudah tak bersisa, dan kamu tetap tidak berani menyentuh roti
bawang – masih utuh dan sudah dingin!
Aku menunggu, tapi kamu belum bicara apa-apa.
Ah, inginnya aku memusnahkan saja semua orang – dan
juga benda-benda! – di ruangan ini. Atau mungkin, aku dan kamu bisa
berteleportasi ke pantai, supaya kamu bisa bicara tanpa ragu. Bukankah kita
masih berada di alam serbabisa? Penasaran, bagian otak sebelah mana yang
bertugas mengatur adegan-adegan dalam mimpi? Aku ingin sekali memanipulasinya!
“Aku rasa,” kamu mulai bicara, “kamu seharusnya
berhenti menunggu.”
Ya, ampun, Ru. Tahu apa kamu soal menunggu? Kamu
tidak pernah menunggu, karena kamu tidak pernah mengharapkan kehadiranku. Kamu
tidak perlu menunggu, karena kamu punya semua yang kamu butuhkan. Kamu tidak
suka menunggu, karena kamu tahu, dan kamu sadar, aku tidak pernah nyata untuk
kamu.
“Maafin aku, Moy. Ini semua salah.”
Aku mendapati pandanganku penuh dengan warna cokelat
muda. Tangan-tanganku nyaris membeku, menggenggam gelas berisi frappe yang dingin. Lalu, ekor mataku
menangkap gerakan piring berisi roti bawang menjauh…, mendekat ke arahmu. Dalam
beberapa menit saja, delapan potong roti bawang itu lenyap.
“Kamu tau, Ru?! Seharusnya mereka nggak menyebutnya bintang jatuh.” Kamu berhenti
mengoyak-oyak lembar tisu terakhir. Kamu mulai mendengarkanku. “Bintang nggak
pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat. Bintang nggak pernah
punya luka gores. Bintang cuma ingin tempat baru untuk… hidup lebih lama lagi.
Meskipun dengan bergerak, bintang-bintang itu harus kehilangan sebagian
tubuhnya.”
Lama sekali kamu cuma bisa diam. Kedua alismu menyatu
dengan cara yang berbeda. “Maksud kamu apa, Moy?”
Aku baru mau menjelaskan, tapi semuanya buyar!
Sial! Ponsel kampret!
“Halo….” Siapa pun yang mendengar suaraku saat itu,
pasti mengira aku baru saja menelan puluhan butir obat sakit kepala. Untungnya,
kantor masih kosong. Semua orang belum kembali dari rehat makan siang. Tapi, suara
tawa di seberang malah membuatku ingin menenggelamkan ponselku dalam semangkok
bubur basi.
“Tidurmu lucu, Moy.”
Lalu, klik!
Bah! Telepon gila itu membuat kedua mataku terbuka
sepenuhnya. Aku menyisir ruangan besar tempatku bekerja. Aku tidak menemukan
kamu! Lalu, dari mana kamu tahu kalau aku tertidur?
Ponselku berbunyi lagi. Pesan singkat masuk. “Tunggu sebentar lagi, bakal ada yang
nganterin sesuatu buat kamu, Moy.”
Aku benci teka-teki. Dan kamu tahu itu! Kuharap, saat
aku menemukan kamu, adrenalinku hanya cukup untuk mengoceh, alih-alih
menamparmu.
Pintu lift terbuka ketika aku ingin membanting
ponselku. Tidak! Bukan kamu yang muncul. Itu Beni, kurir dari ruang resepsionis.
Dan dia membawa bungkusan besar. Untukku, katanya, dari kamu. Aku tidak percaya.
Jadi kugeletakkan saja bungkusan itu dan segera berlari ke lantai satu,
berharap kamu masih ada di situ.
Tapi, seperti biasanya – uhm, yeah, mungkin aku hanya terlambat beberapa detik. Kalau saja aku
langsung sadar soal telepon itu, mungkin sekarang aku sudah memenjarakan kamu
ke dalam dekapanku.
Aku kembali ke mejaku, duduk diam memandangi
bungkusan, yang kata Beni, dari kamu. Aku bisa saja menebak apa isinya. Tapi,
aku tidak mau. Aku masih menggilai kejutan-kejutan – kalau kamu ingat, Ru.
Meskipun aku tahu, dari bulir-bulir embun yang menempel pada bungkusan, itu
pasti cold frappe, minuman favoritku.
Dan dari aroma yang masuk ke cuping hidungku, aku tahu, delapan potong roti
bawang itu siap membahagiakan lambungku. Dan juga otakku!
Ah, Ru. Sampai kapan kamu bisa berhenti menjadi
hantu? Sampai kapan kamu mengandalkan frappe
dan roti bawang untuk membuat segalanya menjadi nyata? Harusnya kita bisa
sampai di rumah, Ru. Mungkin, kita
salah mengambil rute perjalanan. Entah.
Lama-lama, Ru…, kamu seolah membiarkan aku menjadi
seperti bintang-bintang yang bergerak itu. Kamu tahu, Ru? Bergerak itu tidak semudah
kelihatannya. Bergerak, akan membuatku harus kehilangan sebagian dari diriku.
Membuatku kehilangan… kamu.
Sumber gambar dari sini.