Permintaan
untuk topik ini sebenarnya sudah beberapa waktu lalu muncul di dinding grup Facebook Fiksiana Community. Hanya saja,
saya baru bisa menyajikannya sekarang. Harap maklum, jadwal emak-emak merangkap
so(k)sialita sungguh padat merayap bagaikan cecak-cecak di dinding. *eh,
gimana?
Apalah
artinya sebuah nama?
Tentu
kalian sering mendengar pepatah itu. Ya, memang, nama bisa jadi tidak punya
arti penting, tetapi bisa juga sangat perlu dipikirkan dan disematkan dengan
saksama. Sekeren-kerennya panggilan sayang untuk pacar, ujung-ujungnya nyebut
‘Mantan’ juga kalau sudah putus. (Iya juga, ya, Moy?!) Namun, nama bisa sangat
berarti untuk seruas jalan. Kalian tidak mungkin menyebut
jalan-yang-ada-indoalfanya-sebelahan-sama-apotek-seger-waras untuk sebuah ruas
jalan. Yah, kecuali beberapa orang, mungkin masih menggunakan cara itu ketika
menerangkan ruas jalan yang ia maksud. Akan tetapi, berapa banyak orang yang
hafal bahwa Toko Indoalfa letaknya bersebelahan dengan Apotek Seger Waras?
Maka, perlu sebuah nama untuk menyingkat semua drama yang mungkin terjadi.
Lagi deh,
misalnya kalian punya binatang peliharaan seekor ayam jago yang kluruk-nya bisa menjangkau wilayah satu
kecamatan. Kalian namai ayam itu dengan sebutan Jackie the Great. Suatu hari,
kalian melihat Jackie the Great berdiri dengan anggunnya di teras. Hanya saja,
keanggunan itu musnah ketika kalian melihat ia buang hajat dengan khidmatnya.
Lalu, terjadinya. Mulut kalian merepet lebih dulu ketimbang mengingat nama si
ayam jago. “Dasar ayam dodol! Nelek nggak liat tempat!” seru kalian sambil
mengacungkan sapu tebah ke arah si ayam. Namun, nama bisa sangat berarti untuk
seorang anak manusia. Nama menjadi tak sekadar sebutan, melainkan tumpukan doa
dan harapan orang tua.
Nah,
berkaitan dengan penulisan karya fiksi, nama tokoh begitu pentingnya untuk
disematkan. Si penulis serupa orang tua yang memberi nama untuk buah hatinya:
penuh pengharapan bahwa si tokoh dapat menjalankan perannya dengan baik. Tak
jarang, pembaca bisa menduga-duga dan membayangkan seperti apa karakter si
tokoh hanya dengan melihat namanya. Lagi pula, kalian tidak bisa terus-menerus
menyebutnya dengan kata ganti sepanjang naskah. (Ho-oh, Moy, ho-oh! Bisa puyeng
baca ‘dia’ lagi, ‘dia’ lagi.)
Saya
sendiri tidak terlalu memusingkan nama-nama tokoh pada naskah-naskah yang saya
pegang. Saya menganggapnya sebagai hak prerogatif si penulis. Saya baru akan
ikut campur jika si penulis menyematkan nama aneh untuk tokohnya.
Aneh di
sini bisa berarti banyak hal. Mungkin set waktu dan lokasinya tidak pas.
Misalnya set tahun enam puluhan di Indonesia, tetapi memakai nama kekinian.
Bisa juga karena asal-usul atau leluhur si tokoh kurang sesuai. Keturunan raja
atau bangsawan biasanya punya aturan tertentu dalam pemberian nama. Jika
terjadi penyimpangan, tentu ada alasan tertentu yang bisa jadi detail menarik
untuk naskah kalian. Atau, jika si tokoh dinamai persis seperti seorang figur
publik, bisa jadi karena orang tuanya memiliki kenangan tertentu dan ingin
anaknya sesukses si figur publik.
Seorang
wanita Kaukasia bernama Deborah atau Amanda mungkin terdengar lazim, tetapi
bagaimana jika dia bernama Ajeng atau Dewi atau Laras? Kalian tidak bisa asal
memakai nama tersebut hanya karena kalian suka. Tentu ada alasan tertentu yang
melatari munculnya nama tersebut untuk seorang wanita Kaukasia. Ini bisa jadi
cerita. Misalnya, si tokoh tengah berselancar di internet dan menemukan sebuah
video tentang budaya Jawa. Ia memutuskan untuk mempelajari topik tersebut,
mendalaminya langsung di Indonesia. Ketika belajar, ia menemukan nama-nama
gadis Jawa yang menarik minatnya, lalu memilih salah satu untuk dirinya sendiri.
Sama halnya
dengan nama panggilan si tokoh. Kalian bisa saja — jika perlu — menyiapkan satu
bab khusus membahas nama panggilan. Bagaimana bisa sampai nama panggilan itu
muncul? Biasanya berkaitan dengan masa kecil si tokoh. Siapa saja yang memanggil
si tokoh dengan sebutan itu? Apakah ada nama panggilan lain ketika si tokoh
beranjak remaja/dewasa? Banyak hal yang bisa diceritakan.
Nama tidak
mesti harus sesuai dengan karakter si tokoh. Misal si tokoh adalah gadis manis
nan kalem. Rata-rata karakter seperti itu akan dinamai Linda, Putri, Wulan atau
nama-nama yang senada. Akan tetapi, bagaimana jika kita namai si gadis manis
ini dengan Tristan atau Rama? Seperti nama cowok, ya? Tidak apa-apa, asal ada
latar belakangnya.
Menarik,
bukan?
Jadi,
silakan kalian berkreasi dengan nama tokoh-tokoh yang kalian ciptakan. Bebas,
asal kalian bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah kalian tulis. Sebab,
ini bukan soal pantas atau tidaknya sebuah nama disematkan, melainkan kisah apa
yang hendak kalian sajikan melalui nama-nama tersebut.
Selamat
menulis.
Salam
lemper, eh, cilok.
PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.