Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Memilih Nama untuk Tokoh Fiksimu


Permintaan untuk topik ini sebenarnya sudah beberapa waktu lalu muncul di dinding grup Facebook Fiksiana Community. Hanya saja, saya baru bisa menyajikannya sekarang. Harap maklum, jadwal emak-emak merangkap so(k)sialita sungguh padat merayap bagaikan cecak-cecak di dinding. *eh, gimana?
Apalah artinya sebuah nama?
Tentu kalian sering mendengar pepatah itu. Ya, memang, nama bisa jadi tidak punya arti penting, tetapi bisa juga sangat perlu dipikirkan dan disematkan dengan saksama. Sekeren-kerennya panggilan sayang untuk pacar, ujung-ujungnya nyebut ‘Mantan’ juga kalau sudah putus. (Iya juga, ya, Moy?!) Namun, nama bisa sangat berarti untuk seruas jalan. Kalian tidak mungkin menyebut jalan-yang-ada-indoalfanya-sebelahan-sama-apotek-seger-waras untuk sebuah ruas jalan. Yah, kecuali beberapa orang, mungkin masih menggunakan cara itu ketika menerangkan ruas jalan yang ia maksud. Akan tetapi, berapa banyak orang yang hafal bahwa Toko Indoalfa letaknya bersebelahan dengan Apotek Seger Waras? Maka, perlu sebuah nama untuk menyingkat semua drama yang mungkin terjadi.
Lagi deh, misalnya kalian punya binatang peliharaan seekor ayam jago yang kluruk-nya bisa menjangkau wilayah satu kecamatan. Kalian namai ayam itu dengan sebutan Jackie the Great. Suatu hari, kalian melihat Jackie the Great berdiri dengan anggunnya di teras. Hanya saja, keanggunan itu musnah ketika kalian melihat ia buang hajat dengan khidmatnya. Lalu, terjadinya. Mulut kalian merepet lebih dulu ketimbang mengingat nama si ayam jago. “Dasar ayam dodol! Nelek nggak liat tempat!” seru kalian sambil mengacungkan sapu tebah ke arah si ayam. Namun, nama bisa sangat berarti untuk seorang anak manusia. Nama menjadi tak sekadar sebutan, melainkan tumpukan doa dan harapan orang tua.
Nah, berkaitan dengan penulisan karya fiksi, nama tokoh begitu pentingnya untuk disematkan. Si penulis serupa orang tua yang memberi nama untuk buah hatinya: penuh pengharapan bahwa si tokoh dapat menjalankan perannya dengan baik. Tak jarang, pembaca bisa menduga-duga dan membayangkan seperti apa karakter si tokoh hanya dengan melihat namanya. Lagi pula, kalian tidak bisa terus-menerus menyebutnya dengan kata ganti sepanjang naskah. (Ho-oh, Moy, ho-oh! Bisa puyeng baca ‘dia’ lagi, ‘dia’ lagi.)
Saya sendiri tidak terlalu memusingkan nama-nama tokoh pada naskah-naskah yang saya pegang. Saya menganggapnya sebagai hak prerogatif si penulis. Saya baru akan ikut campur jika si penulis menyematkan nama aneh untuk tokohnya.
Aneh di sini bisa berarti banyak hal. Mungkin set waktu dan lokasinya tidak pas. Misalnya set tahun enam puluhan di Indonesia, tetapi memakai nama kekinian. Bisa juga karena asal-usul atau leluhur si tokoh kurang sesuai. Keturunan raja atau bangsawan biasanya punya aturan tertentu dalam pemberian nama. Jika terjadi penyimpangan, tentu ada alasan tertentu yang bisa jadi detail menarik untuk naskah kalian. Atau, jika si tokoh dinamai persis seperti seorang figur publik, bisa jadi karena orang tuanya memiliki kenangan tertentu dan ingin anaknya sesukses si figur publik.
Seorang wanita Kaukasia bernama Deborah atau Amanda mungkin terdengar lazim, tetapi bagaimana jika dia bernama Ajeng atau Dewi atau Laras? Kalian tidak bisa asal memakai nama tersebut hanya karena kalian suka. Tentu ada alasan tertentu yang melatari munculnya nama tersebut untuk seorang wanita Kaukasia. Ini bisa jadi cerita. Misalnya, si tokoh tengah berselancar di internet dan menemukan sebuah video tentang budaya Jawa. Ia memutuskan untuk mempelajari topik tersebut, mendalaminya langsung di Indonesia. Ketika belajar, ia menemukan nama-nama gadis Jawa yang menarik minatnya, lalu memilih salah satu untuk dirinya sendiri.
Sama halnya dengan nama panggilan si tokoh. Kalian bisa saja — jika perlu — menyiapkan satu bab khusus membahas nama panggilan. Bagaimana bisa sampai nama panggilan itu muncul? Biasanya berkaitan dengan masa kecil si tokoh. Siapa saja yang memanggil si tokoh dengan sebutan itu? Apakah ada nama panggilan lain ketika si tokoh beranjak remaja/dewasa? Banyak hal yang bisa diceritakan.
Nama tidak mesti harus sesuai dengan karakter si tokoh. Misal si tokoh adalah gadis manis nan kalem. Rata-rata karakter seperti itu akan dinamai Linda, Putri, Wulan atau nama-nama yang senada. Akan tetapi, bagaimana jika kita namai si gadis manis ini dengan Tristan atau Rama? Seperti nama cowok, ya? Tidak apa-apa, asal ada latar belakangnya.
Menarik, bukan?
Jadi, silakan kalian berkreasi dengan nama tokoh-tokoh yang kalian ciptakan. Bebas, asal kalian bisa bertanggung jawab dengan apa yang telah kalian tulis. Sebab, ini bukan soal pantas atau tidaknya sebuah nama disematkan, melainkan kisah apa yang hendak kalian sajikan melalui nama-nama tersebut.

Selamat menulis.
Salam lemper, eh, cilok.

PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.

Menakar Kemampuan Diri dalam Menulis Fiksi


Tadinya saya ingin membahas soal bagaimana menuliskan akhir dari sebuah novel. Akan tetapi, saya lebih tertarik menulis soal takaran diri dalam menulis fiksi. Apa dasarnya? Tidak ada. Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Mudah-mudahan bisa membuka pemikiran kalian soal proses menulis fiksi.
Saya mengawali perjalanan mengasyikkan ini sebagai pembaca senyap. Buruan saya adalah cerpen dan cerita bersambung di laman Kompasiana. Beberapa nama langsung menjadi favorit dan selalu saya nantikan kemunculannya. Lama-kelamaan, saya tergoda untuk menulis sendiri. Awalnya cerpen, lalu cerita bersambung. Puja-puji meluap bersama rasa percaya diri saya terhadap dunia tulis-menulis ini.
Tahun 2013 pertama kali saya dengar soal UWRF (Ubud Writers dan Readers Festival). Saya menghadiri salah satu sesinya yang kebetulan digelar di Denpasar. Di situlah saya bertemu Langit Amaravati, salah satu penulis yang berhasil lolos seleksi emerging writer gelaran tersebut. Sepulang dari sana, saya berpikir, kenapa saya tidak mencoba mengikuti seleksi untuk tahun berikutnya? Toh saya punya banyak amunisi.
Tidak ingin gegabah, saya seret salah seorang admin senior Fiksiana Community untuk membantu saya memilih tulisan mana saja yang layak dijadikan portofolio.
Iya, saya pikir saya sudah memperhitungkan segalanya.
Nyatanya?
Iya, saya tidak lolos.
Belakangan saya berpikir, “Yaelah, elu siapa sih, Moy? Remahan cilok aja belagu ndaftar UWRF.” Orang lain mungkin saja mendaftar seleksi di tahun berikutnya, tetapi saya tidak. Entah apa alasan saya waktu itu, hanya saja saya tidak menyesalinya. Itu keputusan yang tepat. Sebab, jika memaksa, mungkin saya akan frustrasi dan malah sama sekali meninggalkan aktivitas menulis.
Ya, saya tetap menulis sampai sekarang, tetapi tidak mengklaim diri saya sebagai penulis. Saya editor, dan profesi itu ternyata menyelamatkan jiwa saya tepat selepas keterpurukan karena gagal lolos seleksi. (hilih, lebay lu, Moy!) Saya editor, yang sesekali membuat artikel apalah-apalah demi reward uang virtual buat jajan burger di mekdi. (Moooy…) Saya editor, yang sesekali suka pamer pekerjaan di media sosial demi meyakinkan friend list bahwa saya bukan penulis yang ditinggalkan penggemarnya. (Mooooooooyyy…) Saya editor, yang memakai cilok sebagai tameng pencitraan, padahal aslinya hobi makan nasi padang lauk rendang dobel. (Moooooooooooooyyyyyyyyy…!!!)
Tetapi, memang benar. Saya lebih menikmati aktivitas menyunting naskah orang lain ketimbang membuatnya sendiri. Ada kepuasan tersendiri ketika menemukan kejanggalan atau kekurangan dalam naskah. Otak saya seolah-olah berpindah setelan, default mencari kesalahan-kesalahan pada naskah, yang tentunya sepaket dengan mempercantiknya. Tenang saja, saya tidak pernah kehilangan kesempatan berimajinasi. Malah seringnya jadi diskusi menarik dengan si penulis. Paling tidak, saya membantu si penulis berimajinasi lebih indah lagi. Dan biasanya memang begitu, penulis terpacu untuk membuat adegan yang lebih pas.
Seiring waktu, saya seperti benar-benar kehilangan kemampuan menulis cerpen atau novel. Cerpen terakhir yang saya buat nyaris dua tahun lalu. Itu pun sudah kehilangan rasa dan nyawa. Sementara novel, terakhir kali adalah November 2013. Sebenarnya saya sedang mengolah draft lama dan mungkin akan saya luncurkan tahun depan. (Yaelah, Moy, spoiler amat dah!) Kalaupun tiba-tiba saya membagikan tautan sebuah artikel, bisa dipastikan itu hanya tip menulis novel atau cerpen-cerpen lama. Bahkan, proses pembuatan artikel tip menulis seringnya ternodai oleh keinginan untuk tampil sempurna. Tulisannya yaaaaa, bukan orangnya ngahahaha… Sebab, seperti saya bilang tadi, otak saya sudah default nyari-nyari kesalahan.
Maka, rasanya tidak salah bila saya katakan bahwa menulis itu susah. Iya, susah, apalagi kalau harus sambil meyakinkan orang lain bahwa kita bisa menulis. Tetapi, saya bisa melakukan hal itu — meyakinkan orang lain — saat saya menjadi editor. Saya bisa meyakinkan penulis-penulis tak percaya diri bahwa tulisan mereka bagus. Hidung saya biasanya bisa mengendus potensi besar, meskipun pada akhirnya hanya sedikit penulis yang percaya dengan kata-kata saya.
Menulis itu susah. Sebab, sebelum menulis, kita harus membaca. Riset, istilah kerennya, untuk memperkaya tulisan kita, sekalipun itu hanya novel. Rasanya saya sudah sering membahas soal aktivitas riset ini. Silakan ubek-ubek artikel lama saya.
Menulis itu susah. Sebab, seperti saya bilang tadi, kita harus meyakinkan pembaca bahwa karya kita masuk akal. Dari awal pembaca sudah tahu bahwa novel adalah rekaan, meskipun seringkali diambil dari kejadian sungguhan di dunia nyata. Misalnya novel bertema kriminal yang bercerita soal penyelundupan/perdagangan manusia. Karakter, setting waktu serta tempat memang fiktif, tetapi jenis kejadian itu nyata adanya. Tugas penulis adalah meyakinkan pembaca bahwa kejahatan itu nyata dan bisa menimpa siapa saja.
Menulis itu susah. Sebab, tidak setiap penulis bisa menggarap segala jenis genre. Akui saja. Sama seperti saya yang tidak bisa menulis artikel politik, apalagi resep masakan karena bisanya cuma makan. (Tumben ngaku, Moy?!) Biasanya itu bergantung pada ketertarikan si penulis terhadap salah satu genre. Si penyuka romance tentu akan berburu bacaan serupa, bahkan rela memesan lebih dulu jika penulis favoritnya kebetulan menelurkan karya. Namun, kondisi itu tidak bisa dipukul rata. Ada yang sangat menggemari novel bertema konspirasi/kriminal, tetapi selalu menulis fiksi cecintaan dengan level baper yang kebacut. (Ng… elu nggak lagi ngomongin diri sendiri, kan, Moy?!) Kalaupun maksa menulis novel bertema konspirasi, paling hebat berakhir di blog pribadinya dengan jumlah pembaca di bawah lima puluh. (Moy, gosah curcol!!!)
Susah atau mudah, semua bergantung pada si penulis sendiri dalam menakar kemampuan menulisnya. Percaya diri itu harus, tetapi tidak berlebihan. Konsultasi dengan pegiat literasi atau diskusi ringan dengan sesama rekan penulis bisa menjadi langkah yang tepat. Jika ingin mencoba jenis tulisan baru, tunjukkan dulu kepada first reader kepercayaan kalian sebelum karya itu dipublikasikan. Niscaya kesusahan yang terjadi hanyalah penantian abang cilok yang tak kunjung lewat.

Selamat menulis.
Salam lemper, eh, cilok.


PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.

Apa yang Bisa Ditulis Setelah Tanda Petik Tutup?


Kemarin saya membuat status di dinding grup Fiksiana Community. Isinya menanyakan kepada anggota grup, kira-kira apa saja kesulitan mereka dalam menulis. Kenapa saya bertanya seperti itu?

Bagi yang sudah terbiasa menulis fiksi, apalagi sampai menelurkan beberapa karya versi cetak, tentu menulis sama mudahnya dengan menghirup udara. Atau sama entengnya dengan jajan cilok di prapatan depan (eh, gimana?). Apalagi kalau isi bukunya merupakan ‘pesanan’, tinggal eksekusi, mungkin hanya tambah riset dan polesan sedikit. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang baru saja terjun ke kolam kata-kata? Saya tidak ingin semangat mereka buyar karena berbagai kesulitan yang mereka hadapi.
Beberapa kali FC mengadakan kompetisi menulis kecil-kecilan, hanya beberapa nama saja yang bisa ‘memuaskan’ mata saya sebagai juri. Ini bukan berarti karya mereka yang tidak menang adalah buruk. Saya yakin, seberapa tidak berbakatnya seseorang, tetapi jika terus berlatih dan mendapat ‘makanan’ yang baik, maka mereka akan menuai hasil yang luar biasa. Ya, sebesar itu keyakinan saya kepada seluruh anggota grup. Maka, saya bertanya, sekiranya bisa saya carikan ‘makanan’ yang tepat sehingga mereka bisa berlatih lebih giat lagi.

Di luar dugaan, pertanyaan itu mendapat reaksi luar biasa dari anggota grup. Bahkan, anggota senior (baca: yang sudah beberapa kali menelurkan karya, baik cetak maupun daring) ikut menyuarakan kegelisahan dalam menulis.

Setelah saya rangkum, muncul poin-poin sebagai berikut:
·         Ide cerita (termasuk di dalamnya membahas plot, alur, kelogisan cerita, dan penataan konflik),
·         Menjaga mood atau semangat menulis (erat kaitannya dengan disiplin diri),
·         Mengembangkan karakter serta memilih nama untuk karakter tersebut,
·         Kalimat atau paragraf pembuka,
·         Delivery/penyampaian kisah (erat kaitannya dengan gaya menulis),
·         Membuat judul, serta
·         Tanda baca.

Nah, di bagian pertama ini, saya tertarik membahas soal tanda baca. Bukan titik atau koma, melainkan tanda petik. Sebab, ada anggota grup yang mengeluhkan, “Apa yang harus saya tulis setelah tanda petik tutup?”

Kita semua tahu, tanda petik merupakan tanda baca (“…”) yang mengapit petikan langsung yang menyatakan kutipan berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain (KBBI Edisi V). Dalam cerpen atau novel, tanda petik digunakan untuk menunjukkan bagian dialog para tokohnya.
Jadi, apa yang harus ditulis selanjutnya setelah si tokoh selesai bicara?
Jawabannya, banyak.

Yang paling mudah kita tulis adalah reaksi tokoh lain yang menjadi lawan bicara. Sebab, ini bukan monolog, pastilah percakapan itu minimal melibatkan dua tokoh. Jika tokoh pertama selesai bicara, tulis saja reaksi si tokoh kedua. Bagaimana raut wajah serta bahasa tubuhnya? Apakah senang, marah, sedih, atau malah datar saja? Ketika bereaksi sedih, apa yang terlihat dari gerak tubuhnya? Jika senang, apakah si tokoh kedua ini melompat-lompat kegirangan? Kalau datar saja, apakah memang wajahnya terlalu banyak mendapat suntikan botox, atau tak lebih karena si tokoh merupakan manusia tanpa ekspresi?
Hal lain yang bisa ditulis adalah suasana ketika percakapan itu terjadi. Apakah pagi, siang, atau malam hari? Jika pagi, apakah matahari sudah muncul di atas horison?  Jika siang, seterik apa matahari menyinari? Apakah sampai membuat para tokohnya berpeluh luar biasa? Jika malam, apakah suara jangkrik-jangkrik ikut menemani percakapan tersebut? Lalu, di manakah percakapan itu terjadi? Di dalam atau di luar ruangan? Jika di dalam ruangan, apakah ada penyejuk udara di sana? Apakah ada jendela besar yang membuat angin bebas masuk sehingga menggoyang-goyangkan poni salah satu tokohnya? Apakah kursi-kursi itu cukup nyaman untuk percakapan yang serius soal masa depan para tokohnya? Jika di luar ruangan, mengapa memilih pantai sebagai tempat bercakap-cakap? Mengapa tidak di taman saja, yang lebih banyak bebungaan sehingga membangkitkan suasana hati si tokoh wanita? Atau, mengapa percakapan itu terjadi di bengkel mobil, padahal topiknya soal rencana pernikahan?
Banyak, banyak sekali yang bisa ditulis. Jika digali lagi, semua itu akan berkaitan dengan karakter tokoh-tokohnya. Kalau sudah membahas karakter tokoh, nanti akan menyambung ke ide cerita, plot, alur, dan sebagainya. Sebab, sebuah kisah sejatinya merupakan kumpulan detail yang bisa Anda persembahkan kepada pembaca. Seberapa besar persembahan itu, tentu bergantung pada seberapa luasnya imajinasi Anda.

Selamat menulis. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

Salam lemper, eh, cilok.


PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.