Apa yang Bisa Ditulis Setelah Tanda Petik Tutup?


Kemarin saya membuat status di dinding grup Fiksiana Community. Isinya menanyakan kepada anggota grup, kira-kira apa saja kesulitan mereka dalam menulis. Kenapa saya bertanya seperti itu?

Bagi yang sudah terbiasa menulis fiksi, apalagi sampai menelurkan beberapa karya versi cetak, tentu menulis sama mudahnya dengan menghirup udara. Atau sama entengnya dengan jajan cilok di prapatan depan (eh, gimana?). Apalagi kalau isi bukunya merupakan ‘pesanan’, tinggal eksekusi, mungkin hanya tambah riset dan polesan sedikit. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang baru saja terjun ke kolam kata-kata? Saya tidak ingin semangat mereka buyar karena berbagai kesulitan yang mereka hadapi.
Beberapa kali FC mengadakan kompetisi menulis kecil-kecilan, hanya beberapa nama saja yang bisa ‘memuaskan’ mata saya sebagai juri. Ini bukan berarti karya mereka yang tidak menang adalah buruk. Saya yakin, seberapa tidak berbakatnya seseorang, tetapi jika terus berlatih dan mendapat ‘makanan’ yang baik, maka mereka akan menuai hasil yang luar biasa. Ya, sebesar itu keyakinan saya kepada seluruh anggota grup. Maka, saya bertanya, sekiranya bisa saya carikan ‘makanan’ yang tepat sehingga mereka bisa berlatih lebih giat lagi.

Di luar dugaan, pertanyaan itu mendapat reaksi luar biasa dari anggota grup. Bahkan, anggota senior (baca: yang sudah beberapa kali menelurkan karya, baik cetak maupun daring) ikut menyuarakan kegelisahan dalam menulis.

Setelah saya rangkum, muncul poin-poin sebagai berikut:
·         Ide cerita (termasuk di dalamnya membahas plot, alur, kelogisan cerita, dan penataan konflik),
·         Menjaga mood atau semangat menulis (erat kaitannya dengan disiplin diri),
·         Mengembangkan karakter serta memilih nama untuk karakter tersebut,
·         Kalimat atau paragraf pembuka,
·         Delivery/penyampaian kisah (erat kaitannya dengan gaya menulis),
·         Membuat judul, serta
·         Tanda baca.

Nah, di bagian pertama ini, saya tertarik membahas soal tanda baca. Bukan titik atau koma, melainkan tanda petik. Sebab, ada anggota grup yang mengeluhkan, “Apa yang harus saya tulis setelah tanda petik tutup?”

Kita semua tahu, tanda petik merupakan tanda baca (“…”) yang mengapit petikan langsung yang menyatakan kutipan berasal dari pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain (KBBI Edisi V). Dalam cerpen atau novel, tanda petik digunakan untuk menunjukkan bagian dialog para tokohnya.
Jadi, apa yang harus ditulis selanjutnya setelah si tokoh selesai bicara?
Jawabannya, banyak.

Yang paling mudah kita tulis adalah reaksi tokoh lain yang menjadi lawan bicara. Sebab, ini bukan monolog, pastilah percakapan itu minimal melibatkan dua tokoh. Jika tokoh pertama selesai bicara, tulis saja reaksi si tokoh kedua. Bagaimana raut wajah serta bahasa tubuhnya? Apakah senang, marah, sedih, atau malah datar saja? Ketika bereaksi sedih, apa yang terlihat dari gerak tubuhnya? Jika senang, apakah si tokoh kedua ini melompat-lompat kegirangan? Kalau datar saja, apakah memang wajahnya terlalu banyak mendapat suntikan botox, atau tak lebih karena si tokoh merupakan manusia tanpa ekspresi?
Hal lain yang bisa ditulis adalah suasana ketika percakapan itu terjadi. Apakah pagi, siang, atau malam hari? Jika pagi, apakah matahari sudah muncul di atas horison?  Jika siang, seterik apa matahari menyinari? Apakah sampai membuat para tokohnya berpeluh luar biasa? Jika malam, apakah suara jangkrik-jangkrik ikut menemani percakapan tersebut? Lalu, di manakah percakapan itu terjadi? Di dalam atau di luar ruangan? Jika di dalam ruangan, apakah ada penyejuk udara di sana? Apakah ada jendela besar yang membuat angin bebas masuk sehingga menggoyang-goyangkan poni salah satu tokohnya? Apakah kursi-kursi itu cukup nyaman untuk percakapan yang serius soal masa depan para tokohnya? Jika di luar ruangan, mengapa memilih pantai sebagai tempat bercakap-cakap? Mengapa tidak di taman saja, yang lebih banyak bebungaan sehingga membangkitkan suasana hati si tokoh wanita? Atau, mengapa percakapan itu terjadi di bengkel mobil, padahal topiknya soal rencana pernikahan?
Banyak, banyak sekali yang bisa ditulis. Jika digali lagi, semua itu akan berkaitan dengan karakter tokoh-tokohnya. Kalau sudah membahas karakter tokoh, nanti akan menyambung ke ide cerita, plot, alur, dan sebagainya. Sebab, sebuah kisah sejatinya merupakan kumpulan detail yang bisa Anda persembahkan kepada pembaca. Seberapa besar persembahan itu, tentu bergantung pada seberapa luasnya imajinasi Anda.

Selamat menulis. Sampai jumpa di artikel berikutnya.

Salam lemper, eh, cilok.


PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.

0 comments:

Post a Comment