Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Menggenggam Hatimu

13763003471429675995




Aku melupakan Maura. Paling tidak, itu yang kulakukan sepanjang dua hari ini, selama aku mengerjakan tugas dari Pak Syarif. Tapi, ketika hari menggelap, kami kembali bersua walau hanya lewat jaringan pribadi. Aku meneleponnya atau sebaliknya – dia lebih suka aku yang menelepon duluan.

Kami belum bisa bertemu. Aku yang memaksa. Aku ingin semua urusan pekerjaanku selesai lebih dulu. Pernah satu kali, Maura memaksa bertemu di sela-sela aku menunggu setumpuk berkas dari kantor. Ya, memang agak lama jedanya karena berkas yang dimaksud masih berada di luar kota. Tapi, aku sudah menduga waktunya tidak akan cukup jika memaksa bertemu.

Dan, benar saja. Dua jam tidak berarti apa-apa. Apalagi ternyata Maura datang terlambat karena masih harus menyelesaikan beberapa urusan di kantornya. Ujung-ujungnya, aku yang tidak tega melihat wajah sedihnya karena ternyata lagi, jadwalku setelah itu malah bertambah padat. Belakangan aku baru sadar, kalau saja saat itu Maura tidak memaksa bertemu, mungkin kami benar-benar tidak bisa bertemu. Ya, aku akui, intuisi wanita memang lebih tajam dibanding kaumku.

Sekarang, malam kedua aku berada di pulau ini, saatnya menebas rindu dan menggantinya dengan sentuhan yang nyata. Aku menunggu telepon dari Maura. Ah, mungkin dia juga sedang menunggu telepon dariku. Baiknya bagaimana? Haruskah aku yang menelepon seperti biasanya? Sepertinya harus begitu. Maura pasti akan senang.

“Besok kita ke mana?” tanyaku setelah basa-basi yang nyaris tidak penting soal apakah aku sudah mandi atau makan, atau aku dalam posisi duduk atau berdiri.

“Terserah, Mas,” jawabnya, dengan nada yang… entah, agak lain.

“Pantai?” pancingku.

“Nggak bosen?”

Nah! Mauralah yang mulai bosan, sepertinya.

“Ade maunya ke mana?” Rupanya aku harus ekstra sabar kali ini. Ada yang aneh dengan Maura dan aku tidak tahu apa itu.

“Ehm…. Nggak tau. Bingung.”

Pembicaraan kali ini tidak menghasilkan apa-apa. Tidak ada satu tempat pun yang akan dituju esok. Mungkin satu hal yang terdengar menggembirakan – dan kupikir memang itu yang paling menggembirakan – Maura akan datang kemari, ke hotel tempatku menginap. Ya, benar. Itulah yang terpenting.

Belum jam delapan pagi ketika pintu kamarku diketuk pelan dari luar. Aku sudah bangun, tapi masih malas untuk merapikan diri. Ranjang ini seolah menyuruhku untuk tetap tinggal. Toh, aku tidak perlu ke kantor hari ini. Semua urusan sudah selesai. Semalam aku pun sudah membereskan berkas-berkas yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku hanya perlu menghabiskan waktu sebelum berangkat ke bandara sore nanti.

Pintuku terketuk lagi. Dan, itu memaksaku menyingkap selimut hotel – ini yang paling lembut sejauh aku tidur di banyak hotel di seluruh penjuru negeri ini.

Aku membuka pintu dan… ada wajah itu di sana, tersenyum, tapi terlihat sedikit dipaksakan. Begitu pun aku yang membalas senyumnya. Seharusnya, dia langsung menghambur ke pelukanku, seperti biasanya. Seharusnya, ia mulai mengoceh – banyak bertanya – soal tujuan jalan-jalan kali ini. Seharusnya, ia menagih oleh-oleh yang selalu kujanjikan tiap kali aku datang ke pulau ini – kali ini aku tidak membawa apa-apa karena aku tidak memberitahukan kedatanganku kemari, bukan karena aku pelit atau apalah, euforia akan bertemu dengannya-lah yang membuatku lupa hal itu, yang belakangan kupikir amat tidak masuk akal. Seharusnya, aku bisa menyentuhnya begitu dia menghambur ke pelukanku. Dia, Maura, hanya mematung di tempat yang sama – di hadapanku – dengan senyumnya yang sekarang mulai terlihat… sangat terpaksa.

Dari mana ia tahu kamarku? Karena aku merasa belum pernah memberi tahu nomornya. Ah, ya, pasti Maura bertanya pada pegawai hotel yang berjaga di front office. Maura bukan gadis yang akan bertindak cukup bodoh dengan membiarkan diri diam di lobi sampai aku turun atau sampai aku meneleponnya lebih dulu.

“Belum mandi?”

Dari sekian banyak hal yang kubayangkan seharusnya terjadi dengan kami berdua, dan dia hanya bertanya apakah aku belum mandi?! Ada apa ini? Ingin sekali aku menampar wajahku sendiri, mencari tahu apakah ini masih lanjutan mimpi burukku yang tadi – aku bermimpi tersesat di padang ilalang dengan tiga matahari di langit dan anehnya, aku tidak merasa kepanasan sama sekali, aku bahkan merasa amat kedinginan. Jadi, tolong seseorang teriakkan padaku bahwa ini cuma mimpi, bahwa kehadiran Maura seharusnya seperti biasanya, manis!

“Mas….”

“Ehm… belum. Mas baru bangun.” Semoga Maura tidak mendengar kekecewaan pada nada bicaraku.

Dia menunduk. Sedikit rambutnya ikut rebah, menjuntai ke depan. Maura mendongak lagi sambil membetulkan rambutnya, menyelipkannya kembali ke belakang telinga. Gerakan yang sama setiap kali aku melihatnya. Dan, itu membuatku semakin mendamba tubuhnya di pelukanku. Tapi, aku bisa apa?

“Mau masuk?” Aku menawarkan pilihan – karena nampaknya Maura agak kebingungan – dengan menggeser daun pintu, menciptakan celah yang lebih lebar lagi.

Maura menggumam sambil menggeleng.

“Kenapa?”

Maura maju selangkah, tapi hanya membuatnya cukup dekat dengan ambang pintu. Dia meraih tanganku, aku meremasnya dan merasakan ia melakukan hal yang sama. Sejenak mata Maura terpejam. Beberapa detik saja. Mungkin sedang merasa sensasi yang sama denganku: letupan-letupan konfeti, warna-warni kembang api yang menyertainya, juga gelepar ekor paus yang tiba-tiba menggetarkan sesuatu di dalam tubuh. Dan, semuanya selesai hanya dalam hitungan detik, saat matanya terbuka dan kembali menatapku dengan datar. Aku ingin sekali mengganyang apa pun itu yang membuat Maura dingin seperti ini. Sangat!

“Mas mandi dulu, deh. Biar ade tunggu di lobi. Kalo udah selesai, temui ade di lobi dan kita akan pergi ke sana,” ujarnya sambil menunjuk pantai berpasir putih yang masih termasuk wilayah hotel. Dari lantai tiga, pantai itu terlihat sangat jelas. Air biru dengan ombak bergulung-gulung kecil. Sungguh tempat yang sangat menggiurkan untuk didatangi pagi ini.

Tanpa meminta persetujuanku lebih dulu, Maura sudah menjauh dari ambang pintu. Aku bergerak ke selasar untuk melihat punggungnya menjauh. Entah kenapa, aku sudah merasakan bahwa hari ini akan berjalan sangat lambat, dan sangat… pucat.

Aku tidak mau terikat rasa penasaran terlalu lama. Aku bersiap-siap secepat yang aku bisa. Lalu, meluncur ke lobi hotel dengan kecepatan yang tidak biasa. Sangat cepat, kupikir.

Maura ada di sana, duduk di salah satu sofa di lobi. Tangan kirinya menopang tab sementara jemari kanannya lincah menyentuh di beberapa bagian benda itu. Dia belum menyadari kedatanganku. Dan, aku seolah enggan menggangunya, jadi aku menghentikan langkahku tepat sebelum memasuki area lobi. Melihatnya seperti itu membuatku… damai. Aku bahkan hampir melupakan kepanikan yang tadi mencecarku seperti guru galak yang memarahi muridnya karena lupa mengerjakan PR. Tapi, tetap saja, panik itu masih ada.

Seperti ada tangan-tangan jahil yang mengganggu rambut Maura, berulang kali ia menyelipkan rambut yang menjuntai ke wajahnya. Berulang-ulang, sampai ia sadar kehadiranku. Padahal aku masih saja berdiri di luar lobi, agak terhalang pot besar berisi jepun putih. Aku melangkah saja ke dalam lobi sambil terus memperhatikan Maura yang sibuk memasukkan tab-nya ke tas.

Dan, ah…, akhirnya dia tersenyum. Kepadaku, bukan kepada yang lain. Matanya tertuju padaku, bukan yang lain. Dan, langkahnya menuju ke arahku, bukan ke arah lain. Itu sedikit melegakan.

“Jadi, kita mau ke mana?” Aku memberanikan diri membuka percakapan. Ya, sebelum semuanya kembali menjadi muram… dan pucat.

“Ke pantai. Lupa?” katanya, masih terdengar aneh di telingaku.

“Enggak,” sahutku, mencoba melempar pandangan menggoda, alih-alih merasa tertangkap basah.

Sambil menyusuri setapak dari jalinan paving block – akses yang sengaja dibuat pemilik hotel dari lobi sampai ke pantai – aku mencoba membaca gerak tubuh Maura. Aku yakin melihat ‘permintaan’ akan sebuah sentuhan, lagi. Tapi, sedetik kemudian, seolah tubuh Maura berteriak “Jangan dekati aku lebih dari ini!”. Aku menyerah. Aku tidak bisa membaca apa-apa kali ini. Maura terlalu… tertutup.

“Kerjaannya udah selesai, Mas?”

Aku nyaris terlonjak, dan tersandung salah satu blok yang agak mencuat dari jalinannya. Itu memalukan, seolah-olah aku tidak pernah siap, untuk apa pun.

“Udah,” jawabku, berusaha tak tergagap. “Udah beres semua.”

“Jam berapa take off?”

“Jam enam.”

Maura melihat jam tangannya, lalu menggumam, “Masih cukup.”

“Masih cukup untuk apa?” tanyaku saat akhirnya kami berdua sampai ke pantai.

Maura tidak langsung menjawab. Dia malah melepas sandalnya dan menggamit talinya dengan jemari tangan kiri. “Kita duduk di bawah payung besar itu, yuk,” ajaknya, tanpa mengacuhkan pertanyaanku.

Arrrgh!!! Aku seperti remaja konyol yang menunggu-nunggu momen ciuman pertama dengan gadis yang baru saja jadi pacarku. Bahkan pasanganku sendiri – pasanganku yang sah – tidak pernah membuatku seperti ini. Tapi, Maura amat sangat bisa!

Maura mulai berjalan lagi, tapi tanganku bertindak lebih cepat dari otakku. Sampai aku sadar, ternyata Maura masih diam karena aku menahan tangannya.

“Jawab dulu pertanyaan mas,” pintaku.

Maura tersenyum, lalu menjatuhkan sandalnya. “Paling nggak,” katanya, “kita punya – mungkin – empat jam penuh sebelum mas harus berangkat ke bandara, meninggalkan pulau ini, meninggalkan… aku.” Kemudian, Maura menempelkan bibirnya ke bibirku, manis.

next


Sumber gambar, klik image.

Terbang ke Kotamu

13754718151400332306

Sore ini mulai menggila. Seharian ini – aku bahkan masuk satu jam lebih awal tadi pagi – aku mengerjakan laporan perjalanan dinasku ke Surabaya minggu lalu. Lepas makan siang, aku mempertanggungjawabkan laporan itu secara lisan kepada seseorang yang kusebut atasan. Menjelang sore, orang itu – pria tua berkumis putih, yang sebentar lagi katanya akan pensiun – memanggilku kembali ke ruangannya. Pria tua itu sedang menyandar di kursinya, seolah badannya yang pendek dan gempal itu tenggelam ke dalam tumpukan busa berlapis kulit sapi sintetik. Wajahnya yang bulat itu memperlihatkan raut yang tidak menyenangkan. Dan, itu berlanjut ketika dia mengeluarkan bundel laporan yang kuserahkan padanya tadi siang. Lalu, dia membantingnya ke meja.

“Kenapa deket-deket saya pensiun, ada aja pegawai yang menjengkelkan?” Tangannya dilipat di atas meja. Sudah jelas, ada pegawai yang merusak harinya. Bisa aku, bisa juga yang lain. Aku lebih memilih opsi kedua.

Aku belum berani berkomentar. Padahal aku ingin sekali bersuara karena seingatku, aku tidak pernah menyusahkan orang itu.

“Ah, maaf, Nak. Bukan kamu.” Lalu, wajahnya mencair. Senyumnya terulas walau sedikit. “Ayo, duduk dulu.”

Aku duduk di salah satu kursi, sementara pria tua itu setengah memutari mejanya, mendekatiku, dan menyandarkan bokongnya ke tepian meja.

“Nak Erri…..”

“Iya, Pak.”

“Coba kalo institusi ini milikku sendiri, aku inginnya langsung menyerahkan ruangan ini kepadamu. Tapi…, yah, kita harus nurut sama peraturan.”

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Harus senang? Atau, harus khawatir? Selebihnya, aku hanya bingung ke mana arah pembicaraan ini dan untuk apa aku dipanggil kemari.

“Sudahlah,” sambungnya lagi. “Itu cuma keluh kesah laki-laki tua yang sebentar lagi pensiun.”

Aku melempar senyum. Kalimat tadi cukup melegakan. At least.

Aku selalu menghormati pria tua ini. Terkadang aku malah lupa kalau dia bukan ayah kandungku. Ya, dia juga menganggap aku seperti anaknya sendiri.

Pria tua itu, Pak Syarif, melipat tangannya di dada, menatapku dengan tatapan yang sama dengan milik ayahku.

“Apa rencanamu akhir minggu ini, Nak?”

“Ehm… di rumah, main sama anak-anak.” Aku agak ragu. Sempat terlintas di otakku untuk menghabiskan akhir minggu di sebuah kafe langgananku di Kemang. Kalau bisa, ditemani seseorang seperti…. Entah, mungkin seseorang seperti… Maura?!

“Ya, mungkin kamu harus menunda rencana itu, Nak.”

Dahiku otomatis mengerut. Pria tua itu melihatnya dan langsung terkekeh. Badannya terguncang. Kedua tangannya kini menopang badan gempal itu agar tidak terhuyung.

“Ya, sudah. Saya nggak mau menambah rasa penasaran kamu, Nak. Coba kamu datangi Rani, biar dia bisa pesankan tiket pesawat buat hari Jumat nanti.”

“Ke mana, Pak?”

“Tanya Rani,” jawabnya, lalu kembali ke balik mejanya dan bersikap seolah-olah tidak ada aku di hadapannya.

Aku keluar dari ruangannya dan langsung menghampiri meja Rani. Dan, gadis itu tiba-tiba saja melempar senyum jahil begitu melihatku keluar dari ruangan Pak Syarif.

“Asyik, nih, Mas Erri. Weekend bisa jalan-jalan ke Bali lagi,” godanya sambil menekan beberapa tombol angka di pesawat telepon.

Bali?! Telingaku tidak salah dengar, kan?! Ah, Maura. Ke mana kita akan pergi kali ini?

“Mas!” Rani mencubit punggung tanganku, menyadarkanku dari kilasan wajah Maura yang tiba-tiba melintas di mataku. “Mana KTP-nya?”

“Eh, sorry.” Aku mengeluarkan KTP dari dompetku.

“Ya, udah. Tunggu di meja aja. Ntar Rani anter sekalian sama tiketnya.”

Suara Rani seperti bercampur dengan riuh gelegar konfeti dan kembang api di otakku. Potongan kertas warna-warni itu setengah menutupi pandanganku ke arah meja. Beruntung, aku sudah hapal tata letak meja-meja di ruangan ini. Aku bahkan ingat, biasanya si Budi menjulurkan kaki kirinya di lorong. Aku tidak tersandung kaki Budi! Hebat!

***

Tidak mengalami delay itu… menyenangkan! Aku keluar dari pintu kedatangan yang hanya berupa sekat tipis dari benda semacam triplek langit-langit rumah, hanya saja lebih tebal – penasaran, kapan bandara ini selesai berbenah. Aku tidak melihat Maura. Yah, karena pagi ini dia sedang bekerja. Aku pun belum bisa bebas. Aku harus menuntaskan apa yang ditugaskan Pak Syarif padaku. Tidak sedikit, juga tidak sebentar. Dari tiga hari waktuku di pulau ini, aku harus bisa mencuri waktu bertemu Maura. Dan, semoga, Maura bisa mencuri waktunya untukku.

Seperti biasanya, aku tidak memberi tahu Maura soal kedatanganku kali ini. Maura suka kejutan. Dan aku, suka memberi kejutan. Klop, kan?! Cocok, kan?! Aku dan Maura saling melengkapi. Tolong jangan iri dengan hal itu.

Ehm, mungkin aku perlu sedikit memancing keingintahuan Maura. Update lokasi lewat Foursquare sepertinya ‘seru’.

Dan, benar saja. Baru lima menit aku duduk sambil menikmati lalu lalang ratusan manusia dan menunggu mobil jemputan kantor, Maura meneleponku. Otot-otot wajahku otomatis mengulas senyum.

“Jangan bilang mas lagi di Ngurah Rai!” Nada suara Maura sedikit mengkhawatirkan. “Iya, kan?!”

“Iya, Dek.”

Lalu, hening. Aku sampai harus melihat layar smartphone-ku untuk memastikan sambungan masih berlangsung. Dan, memang masih berlangsung. Kutempelkan lagi benda kotak itu ke telingaku. Aku bisa mendengar deru napas yang tak beraturan, samar. Kenapa gadisku ini? Tak senangkah aku datang?

“Maura….”

“Nanti ade telepon lagi, Mas. Ade dipanggil manajer, disuruh ke ruangannya.”

Sambungan terputus. Aku kembali menatap lalu lalang ratusan manusia di selasar bandara.


Kisah lainnya: Cinta Pertama Maura

Sumber gambar, klik image.