Terbang ke Kotamu

13754718151400332306

Sore ini mulai menggila. Seharian ini – aku bahkan masuk satu jam lebih awal tadi pagi – aku mengerjakan laporan perjalanan dinasku ke Surabaya minggu lalu. Lepas makan siang, aku mempertanggungjawabkan laporan itu secara lisan kepada seseorang yang kusebut atasan. Menjelang sore, orang itu – pria tua berkumis putih, yang sebentar lagi katanya akan pensiun – memanggilku kembali ke ruangannya. Pria tua itu sedang menyandar di kursinya, seolah badannya yang pendek dan gempal itu tenggelam ke dalam tumpukan busa berlapis kulit sapi sintetik. Wajahnya yang bulat itu memperlihatkan raut yang tidak menyenangkan. Dan, itu berlanjut ketika dia mengeluarkan bundel laporan yang kuserahkan padanya tadi siang. Lalu, dia membantingnya ke meja.

“Kenapa deket-deket saya pensiun, ada aja pegawai yang menjengkelkan?” Tangannya dilipat di atas meja. Sudah jelas, ada pegawai yang merusak harinya. Bisa aku, bisa juga yang lain. Aku lebih memilih opsi kedua.

Aku belum berani berkomentar. Padahal aku ingin sekali bersuara karena seingatku, aku tidak pernah menyusahkan orang itu.

“Ah, maaf, Nak. Bukan kamu.” Lalu, wajahnya mencair. Senyumnya terulas walau sedikit. “Ayo, duduk dulu.”

Aku duduk di salah satu kursi, sementara pria tua itu setengah memutari mejanya, mendekatiku, dan menyandarkan bokongnya ke tepian meja.

“Nak Erri…..”

“Iya, Pak.”

“Coba kalo institusi ini milikku sendiri, aku inginnya langsung menyerahkan ruangan ini kepadamu. Tapi…, yah, kita harus nurut sama peraturan.”

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Harus senang? Atau, harus khawatir? Selebihnya, aku hanya bingung ke mana arah pembicaraan ini dan untuk apa aku dipanggil kemari.

“Sudahlah,” sambungnya lagi. “Itu cuma keluh kesah laki-laki tua yang sebentar lagi pensiun.”

Aku melempar senyum. Kalimat tadi cukup melegakan. At least.

Aku selalu menghormati pria tua ini. Terkadang aku malah lupa kalau dia bukan ayah kandungku. Ya, dia juga menganggap aku seperti anaknya sendiri.

Pria tua itu, Pak Syarif, melipat tangannya di dada, menatapku dengan tatapan yang sama dengan milik ayahku.

“Apa rencanamu akhir minggu ini, Nak?”

“Ehm… di rumah, main sama anak-anak.” Aku agak ragu. Sempat terlintas di otakku untuk menghabiskan akhir minggu di sebuah kafe langgananku di Kemang. Kalau bisa, ditemani seseorang seperti…. Entah, mungkin seseorang seperti… Maura?!

“Ya, mungkin kamu harus menunda rencana itu, Nak.”

Dahiku otomatis mengerut. Pria tua itu melihatnya dan langsung terkekeh. Badannya terguncang. Kedua tangannya kini menopang badan gempal itu agar tidak terhuyung.

“Ya, sudah. Saya nggak mau menambah rasa penasaran kamu, Nak. Coba kamu datangi Rani, biar dia bisa pesankan tiket pesawat buat hari Jumat nanti.”

“Ke mana, Pak?”

“Tanya Rani,” jawabnya, lalu kembali ke balik mejanya dan bersikap seolah-olah tidak ada aku di hadapannya.

Aku keluar dari ruangannya dan langsung menghampiri meja Rani. Dan, gadis itu tiba-tiba saja melempar senyum jahil begitu melihatku keluar dari ruangan Pak Syarif.

“Asyik, nih, Mas Erri. Weekend bisa jalan-jalan ke Bali lagi,” godanya sambil menekan beberapa tombol angka di pesawat telepon.

Bali?! Telingaku tidak salah dengar, kan?! Ah, Maura. Ke mana kita akan pergi kali ini?

“Mas!” Rani mencubit punggung tanganku, menyadarkanku dari kilasan wajah Maura yang tiba-tiba melintas di mataku. “Mana KTP-nya?”

“Eh, sorry.” Aku mengeluarkan KTP dari dompetku.

“Ya, udah. Tunggu di meja aja. Ntar Rani anter sekalian sama tiketnya.”

Suara Rani seperti bercampur dengan riuh gelegar konfeti dan kembang api di otakku. Potongan kertas warna-warni itu setengah menutupi pandanganku ke arah meja. Beruntung, aku sudah hapal tata letak meja-meja di ruangan ini. Aku bahkan ingat, biasanya si Budi menjulurkan kaki kirinya di lorong. Aku tidak tersandung kaki Budi! Hebat!

***

Tidak mengalami delay itu… menyenangkan! Aku keluar dari pintu kedatangan yang hanya berupa sekat tipis dari benda semacam triplek langit-langit rumah, hanya saja lebih tebal – penasaran, kapan bandara ini selesai berbenah. Aku tidak melihat Maura. Yah, karena pagi ini dia sedang bekerja. Aku pun belum bisa bebas. Aku harus menuntaskan apa yang ditugaskan Pak Syarif padaku. Tidak sedikit, juga tidak sebentar. Dari tiga hari waktuku di pulau ini, aku harus bisa mencuri waktu bertemu Maura. Dan, semoga, Maura bisa mencuri waktunya untukku.

Seperti biasanya, aku tidak memberi tahu Maura soal kedatanganku kali ini. Maura suka kejutan. Dan aku, suka memberi kejutan. Klop, kan?! Cocok, kan?! Aku dan Maura saling melengkapi. Tolong jangan iri dengan hal itu.

Ehm, mungkin aku perlu sedikit memancing keingintahuan Maura. Update lokasi lewat Foursquare sepertinya ‘seru’.

Dan, benar saja. Baru lima menit aku duduk sambil menikmati lalu lalang ratusan manusia dan menunggu mobil jemputan kantor, Maura meneleponku. Otot-otot wajahku otomatis mengulas senyum.

“Jangan bilang mas lagi di Ngurah Rai!” Nada suara Maura sedikit mengkhawatirkan. “Iya, kan?!”

“Iya, Dek.”

Lalu, hening. Aku sampai harus melihat layar smartphone-ku untuk memastikan sambungan masih berlangsung. Dan, memang masih berlangsung. Kutempelkan lagi benda kotak itu ke telingaku. Aku bisa mendengar deru napas yang tak beraturan, samar. Kenapa gadisku ini? Tak senangkah aku datang?

“Maura….”

“Nanti ade telepon lagi, Mas. Ade dipanggil manajer, disuruh ke ruangannya.”

Sambungan terputus. Aku kembali menatap lalu lalang ratusan manusia di selasar bandara.


Kisah lainnya: Cinta Pertama Maura

Sumber gambar, klik image.

0 comments:

Post a Comment