Asa Asha

“Yang terjadi, kau akan mencabuti kelopak bunga pucat itu satu persatu, sambil bergumam ‘datang’ dan ‘tidak’ bergantian.”

Frappe dan Roti Bawang

“Bintang nggak pernah jatuh. Bintang cuma bergerak, berpindah tempat."

Menunggu Kereta

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.”

Perjalanan ke Lain Hati

“Sayang banget,” Raisa mencibir. “Kalo aja kamu mau membuka hati untuk cewek lain, aku yakin, kamu bisa dapet yang lebih dari dia, Jim.”

Kamila, Kamila

“Call me evil. Tapi, nyatanya aku senang jika ada perempuan lain yang menderita karena tidak jadi mendapatkanmu.”

Kami Memang Preman!!! Lantas Anda Mau Apa???




Di antara tumpukan emas ini
Kami membaurkan diri
Tak terlihat, namun terasa jika tersentuh jemari
Kami tak memiliki warna yang pasti
Hanya warna kusam yang terlihat menari
Kamilah debu-debu kehidupan
Kami ada walaupun tak ada yang sudi merasakan
Kami tak meminta belas kasihan
Bukan pula ingin merampas kemilau intan
Kami hanya ingin menyusuri gersangnya jalanan tak bertuan

***

Budong mempercepat langkahnya menuju sudut stasiun. Sekarang hampir setengah berlari. Napasnya memburu dan keringatnya sudah mulai menetes di pelipis. Kini ia telah sampai di bangunan yang diperuntukan sebagai toilet. Raut wajahnya sedikit lega karena telah menemukan yang ia cari.

“Axel!!” panggil Budong kepada seseorang tengah berdiri di beranda toilet sambil menelepon.

“Hoy!!! Ada apa, Bud?” tanya Axel sembari tetap memegang ponselnya.

“Ayo cepet jalan!!! Anak – anak udah pada nungguin di jalur empat. Sebentar lagi target kita datang,” jawab Budong.

“Oh, oke… oke….”

Axel kembali berbicara pada seseorang di ujung telepon.

“Sayang, udahan dulu telponnya ya. Abang mau kerja dulu. Ntar malem minggu kita nongkrong di pasar malem. Abang traktir molen deh. Dadah.”

Axel menekan tombol merah pada ponselnya dan memasukkannya ke saku celana jins yang sudah kumal. Rupanya tadi ia tengah menelepon sang pacar. Ia lalu menghampiri Budong yang masih dengan raut wajah tak sabar.

“Elu ngapain sih, telponan mulu sama pacar lu?”

“Yeee… suka-suka gue, dong. Elu ngiri sama gue, Bud? Cari cewek sendiri sono.”

“Nggak sih, gue heran aja. Kok ada ya cewek yang mau sama elu, yang kerjaannya gak jelas jadi apa?! Tuh cewek matanya rabun kali ya. Nggak ngeliat elu kucel gak karuan kayak gini.”

“Wah… minta dipecat jadi anak buah nih rupanya. Emang napa sih?”

“Bukannya gimana - gimana, Xel. Tapi elu kudu inget waktu dong. Masa kagak hapal – hapal sama jam kedatangan target kita.”

“Iya… iya…. Lagian kenapa jadi elu yang nyolot? Kan gue yang jadi bos di sini.”

“Hmm…, dikasi tau bener – bener, malah ngeluarin jurus andalan. Udah ah. Tuh anak – anak clingak clinguk nyariin elu.”

Axel dan Budong segera berlari menuju jalur empat. Suara berat seorang pria dari ruang kendali stasiun sudah menggema, menandakan beberapa saat lagi sebuah rangkaian gerbong akan memasuki stasiun. Sementara itu, Jupri dan Maman sudah siap di jalur empat.

Lokomotif yang berwarna putih itu sudah nampak dan jaraknya semakin dekat saja. Axel, Budong, Jupri, dan Maman sudah bersiap hendak loncat ke arah kereta yang masih berjalan. Keempat pemuda ini tidak takut dengan aksi mereka dan tidak ada satu petugas stasiun pun yang berani menegur mereka.

Sampai di dalam gerbong pertama, Axel langsung angkat bicara.

“Selamat pagi, Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Salam sejahtera untuk kita semua. Kami berempat mohon maaf jika kehadiran kami dianggap mengganggu oleh bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian. Maksud kehadiran kami di sini tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk meminta keikhlasan dari Anda semua. Seberapapun besarnya, akan kami terima.”

Budong, Jupri, dan Maman mulai mengeluarkan bungkus permen yang sudah tidak terpakai dan menyodorkan kepada para penumpang kereta. Segalanya berjalan dengan lancar, walaupun tak sedikit juga penumpang yang acuh dengan kehadiran empat pemuda ini. Tapi bagi Axel dan rekan-rekannya, itu bukan masalah besar. Toh, mereka bukanlah preman-preman pemaksa seperti di luar sana. Yang terpenting bagi mereka, jangan sampai ada yang menghina atau melecehkan keberadaan mereka.

Sampai di bagian belakang gerbong pertama, Axel dan kawan-kawannya mendapat sebuah pertanyaan dari salah seorang penumpang yang tak pernah mereka duga sebelumnya.

“Hei, dik. Mengapa kau menjadi preman?”

Axel benar – benar terkejut dengan pertanyaan itu. Namun ia cepat menguasai keadaan.

“Kami memang preman. Lantas Anda mau apa?” tanya Axel.

“Carilah pekerjaan lain,” jawab si bapak yang bertanya tadi.

“Sekarang saya akan balik bertanya kepada bapak. Apakah saya harus menjadi preman jika sebuah pekerjaan mudah di dapat?”

“Menjadi preman, bukanlah sebuah pekerjaan. Masih banyak hal lain yang bisa kau kerjakan, Dik.”

“Pak. Nenek – nenek buta huruf juga tau kalo jadi preman itu bukan sebuah pekerjaan,” celetuk Budong.

“Diam kau, Bud,” hardik Axel.

“Pak, dengarkan perkataan saya dengan baik-baik. Jangan sampai ada yang terlewat. Sejak kami berempat dilahirkan, tidak ada niatan di benak kami untuk menjadi preman. Semua orang di dunia ini pun begitu. Harapan menjadi yang terbaik pastilah ada. Tapi apa yang terjadi kemudian, Pak? Ternyata kami berempat, khususnya saya, dilahirkan dalam keluarga yang teramat miskin. Saya hanyalah anak satu-satunya dan kedua orang tua saya sudah meninggal sejak bertahun-tahun yang lalu. Sekarang silahkan bapak bayangkan, apa yang akan dilakukan seorang bocah yang sudah kehilangan orang tuanya, untuk menyambung hidup? Dan bapak lihat hape ini?” lanjut Axel sambil mengeluarkan ponsel dari saku jinsnya yang kumal, “Ini bukanlah hasil rampasan. Silahkan percaya atau tidak. Saya menabung selama tiga tahun untuk dapat membeli hape bekas ini.”

Axel berhenti sejenak sambil menatap sekitarnya. Ketiga temannya memperlihatkan raut kecemasan. Takut ini semua akan berakhir ricuh dengan datangnya petugas kereta api.

“Dan memang benar kami adalah preman. Tapi kami tidak pernah meminta dengan paksa,” lanjut Axel. Lalu ia kembali menatap si bapak yang memberi pertanyaan padanya. “Sekarang, kami mohon diri karena ada pekerjaan yang harus kami lakukan. Ya..., menjadi preman.”

Note: Terinspirasi dari perjalanan Malang – Cirebon dengan kereta ekonomi Matarmaja

Tutorial Singkat Menambahkan Video Youtube ke Dalam Postingan Blog

Mungkin kalian sudah tahu dan mengerti bagaimana cara menambahkan video Youtube pada artikel yang ditayangkan di blog. Bahkan di antaranya ada yang sudah mahir mengutak-atik kode hingga dapat memunculkan tampilan sesuai yang diinginkan. Dan artikel sejenis ini jelas sudah banyak pula yang membuatnya. Tapi gue tetap menuliskannya. Paling tidak, ini untuk koleksi pribadi. Siapa tahu ajah, mendadak gue terkena demensia akut seperti para tersangka koruptor di tipi-tipi kekekekekeke….


  1.         Cari video yang diinginkan di situs Youtube.
  2. 2.       Klik “share”, lalu klik “embed”.
  3. 3.       Pilih “use old embed code”.
  4. 4.     Copy kode yang ada di dalam kotak, lalu salin di kolom postingan. Jangan lupa untuk menyalinnya dalam format html.
  5. 5.       Jika ingin mengubah setting video menjadi autoplay, maka ada beberapa kode yang harus di ubah. Perhatikan dua salinan kode di bawah ini.

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;hl=en_US&amp;rel=0"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;hl=en_US&amp;rel=0" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Kode yang tercetak dengan huruf tebal diganti dengan “autoplay=1”, menjadi :

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Angka satu tersebut maksudnya video itu hanya terputar otomatis sebanyak 1 kali. Selanjutkan harus dinyalakan secara manual (klik tombol play). Tapi jika ingin video terputar sebanyak dua kali, maka kode yang harus ditulis autoplay=2. Begitu seterusnya.

6.       Ukuran tampilan video bisa diubah sesuai dengan kebutuhan.

<object width="560" height="315"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="560" height="315" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Diubah menjadi :

<object width="320" height="220"><param name="movie" value="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1"></param><param name="allowFullScreen" value="true"></param><param name="allowscriptaccess" value="always"></param><embed src="http://www.youtube.com/v/LBTXNPZPfbE?version=3&amp;autoplay=1" type="application/x-shockwave-flash" width="0" height="0" allowscriptaccess="always" allowfullscreen="true"></embed></object>

Ukuran tersebut adalah ukuran terkecil yang bisa ditoleransi. Jika memasukkan angka lebih kecil dari itu, video tidak akan terputar.

Selamat mencoba. Jika masih ada keluhan, silakan hubungi dokter masing-masing gkgkgkgkgk….

Aku dan Mou

13499296401587288841

“Kau sakit apa, Zee?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut Mou hanya sepersekian detik setelah tiba-tiba ia membuka pintu kamarku. Dan itu membuatku melepas pandangan dari halaman gosip pada majalah yang sedang kupegang.

“Aku tidak sakit, Mou,” jawabku malas.

Well, aku memang sedang malas membahas mengapa selama dua minggu ini aku tidak muncul di kelas menulis, kelas yang selalu Mou pegang di sebuah galeri seni di kota ini. Namun rupanya Mou tidak mau percaya begitu saja jawabanku. Malah, ia memelototiku dan seolah matanya bisa berteriak, ‘Oh, come on, Zee.’

“Sungguh. Aku tidak sakit. Kalau kau tak percaya, kemarilah dan pegang dahiku,” kataku sambil kembali menekuni halaman gosip di majalah.

Dari ekor mataku, aku melihat Mou memang mendekat ke arahku. Lalu ia duduk di tepi ranjang. Mou tidak langsung bicara, ia malah sibuk memainkan jemarinya. Ia menunduk, dan masih tidak bicara. Aku jadi serba salah. Kulempar majalah ke meja kecil di samping ranjangku. Aku mendekati Mou. Kusentuh bahunya, tapi Mou masih menunduk.

“Katakan, Mou. Ada apa?”

Mou masih diam.

Please…,” tambahku sambil menyandarkan tubuhku ke punggungnya. Aku paling suka saat tubuhku merasakan hangatnya punggung Mou.

“Kembalilah ke kelas, Zee. Kelas sudah begitu hambar tanpamu. Mereka yang hadir mengeluh tidak bersemangat jika kau tak ada. Kata mereka, sulit sekali menemukan inspirasi jika bukan dari wajahmu.” Mou diam sebentar. “Kami merindukanmu, Zee. Aku… merindukanmu….”

Oh, Mou. Benarkah itu?! Kau merindukanku?! Kuharap aku salah mendengarnya. Bukankah kau yang selama ini menghindar dariku?! Ehm, tepatnya, kau tidak lagi menganggapku ada, meskipun aku hanya berjarak satu langkah dari tempatmu berdiri. Apalagi setelah kau melihatku di lorong galeri dengan Jesse. Padahal apa yang sedang aku kerjakan dengan Jesse tidak seperti yang kau bayangkan, Mou. Kau tidak pernah bertanya padaku. Kau langsung memberikan tuduhan itu lewat mata birumu. Dan kupikir, kau tidak akan tahu bagaimana sorot matamu serasa seperti sayatan pisau di nadiku.

Aku melepaskan diri dari punggung hangat Mou. Kubaringkan diri dengan punggungku menghadap ke punggung Mou. Kudekap guling merah muda dengan kesal. Itu hadiah pemberian Mou. Ketika Mou menjauhiku, aku tidak pernah berniat membuang guling itu. Karena aku masih berharap, Mou akan datang padaku dan mengatakan sesuatu tentang kerenggangan ini. Dan itulah yang seharusnya terjadi sekarang.

“Aku minta maaf, Zee.”

“Entahlah, Mou. Aku belum bisa memutuskan apa-apa,” jawabku masih dengan posisi yang sama.

Tidak ada balasan. Dan yang selanjutnya kutahu, Mou sudah mendekapku dari arah belakang. Ia mencium belikatku. Kurasakan hangatnya menembus piyama biruku yang tipis.

“Ayolah, Zee. Aku tahu, aku salah. Terlalu cemburu. Kemarin Sam bicara padaku. Entah mengapa kau lebih memilih bicara pada Sam dibanding langsung bicara padaku, Zee. Tapi aku beruntung karena bertemu Sam. Aku jadi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kita.”

Aku tidak menjawab. Aku sudah tahu itu. Aku memang sengaja bicara pada Sam dan meminta teman sekelasku itu bicara pada Mou. Nampaknya berhasil. Jadi aku tidak perlu kaget. Dan aku memang tidak sakit. Aku hanya malas muncul di galeri. Pekerjaanku di Stamford’s Diner benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Dan jika aku masih harus bertemu Mou di galeri, maka saat itu aku pasti akan langsung mati. Hmm…, berlebihan, ya. Tapi aku belum bisa menemukan padanan yang tepat untuk kondisi itu.

“Zee…. Bicaralah….”

Ah, suara itu semakin samar saja. Seolah datang dari tempat yang sangat jauh.

“Zee….”

Mou…. Mengapa suaramu hampir menghilang? Kau di mana, Mou?


“Zee…. Zee…. Bangun, Zee…. Kau akan terlambat kerja jika tidak bangun sekarang.”

Itu suara ibuku. Wanita itu menepuk-nepuk pipiku. Dan aku berhasil membuka mata, walaupun masih berat. Rupanya tadi aku tertidur. Kulihat ibuku segera pergi dari kamarku setelah memastikan aku benar-benar bangun.

Beberapa saat aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha membaca sekitarku sebelum aku menentukan apa yang harus aku lakukan. Yang jelas, ini sudah pukul tiga sore. Kutahu itu dari jam dinding. Dan satu jam lagi aku harus berada di Stamford’s Diner untuk bekerja.

Tapi, hei, ternyata aku tertidur dengan posisi duduk. Di pangkuanku ada majalah yang terbuka pada halaman gosip. Seketika itu juga aku langsung mendapat konsentrasi penuh. Kuedarkan pandangan ke seluruh kamarku. Lalu aku kembali lemas. Tidak ada Mou.

--- @@@ ---

@sekarmayz - 111012

Sumber gambar, klik image.