Menunggu Kereta



Bangunan hijau itu sudah di depan mataku. Aku berhenti sejenak untuk melihat wujud raksasa tempat singgahnya para kuda besi. Ada sesuatu yang ingin membuncah begitu saja di dadaku. Seperti sudah bertahun-tahun terpendam begitu saja. Padahal, aku tidak sedang merindukan apapun. Kecuali – ya, ada yang kurindukan, aku baru ingat – suara-suara bising di peron tempat aku menunggu satu kuda besi yang akan membawaku menjauh dari hiruk pikuk ibukota.

Aku sampai di pintu masuk. Terakhir aku kemari, hanya ada dua orang yang berjaga memeriksa karcis. Sekarang tidak lagi. Bahkan kulihat ada tiga orang anggota Brimob yang berdiri di sana sambil ikut memeriksa karcis. Ya, sistem boarding pass yang baru ditetapkan institusi ini membuat antrian sedikit mengular di pintu masuk menuju peron. Tapi, aku tidak kaget. Aku sudah tahu. Jadi, langsung saja kubuka dompetku, kuambil tiket dan KTP, lalu ikut mengantri.

Sudah berjarak jauh dari tempat aku berdiri tadi, sekarang aku berada di depan seorang petugas Kereta Api. Wajahnya menunjukkan lelah dan jemu secara bersamaan. Tapi, agak aneh kupikir. Dia seperti tidak melihatku. Mungkin dia hanya berkonsentrasi melihat tiket dan tanda pengenalku. Ah, toh aku tidak peduli. Yang penting aku sudah bisa masuk peron dan segera menuju lantai tiga.

Itu dia. Sebuah bangku kosong di dekat pilar. Aku bergegas sebelum ada orang lain yang memakai bangku itu. Kuhempaskan tubuhku, lalu kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Ramai, tapi tidak seramai biasanya. Mungkin karena ini masih pagi. Kereta jarak jauh biasanya baru akan muncul siang nanti. Sedangkan keretaku baru akan tiba satu jam lagi.

“Mama bilang juga apa?!”

Sebuah suara tiba-tiba saja menyeruak ke dalam indera pendengaranku. Aku mencari sumber bunyi itu dan mendapati seorang ibu berdiri tak jauh dari bangku yang aku duduki. Di hadapan wanita tambun itu, berdiri seorang gadis berrambut panjang yang berpakaian sedikit mencolok, celana panjang warna kuning terang dan kaos oblong merah muda menyala. Aku bertanya dalam hati, apakah sang ibu tidak mengajari anaknya dalam memadukan warna pakaian.

“Kan, Mama udah ingetin dari semalem! Siapin semuanya dengan teliti!”

Suara itu menggetarkan gendang telingaku lagi. Aku merasakan dahiku berkerut secara otomatis. Apa gerangan yang terjadi hingga sang ibu tega memarahi anaknya di depan orang banyak? Apa ada yang tertinggal?

“Boneka beruang itu, kan, kado untuk sepupumu. Apa gunanya kita ke Cirebon tanpa bawa kado itu?”

Ah, benar rupanya, ada yang tertinggal.

“Dion sudah memesan dari sebulan yang lalu. Apa kamu tega lihat sepupumu yang masih umur lima tahun itu nangis gara-gara boneka itu lupa kita bawa?”

Aku lihat gadis itu hanya menunduk, menekuni flat shoe hijau terang. Ya ampun, setelah kupikir-pikir lagi, gadis itu lebih mirip traffic light berjalan. Aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tapi urung kulakukan. Suara sang ibu kembali memenuhi liang telingaku.

“Kamu selalu saja begitu, Mirna! Nggak pernah menyiapkan segala sesuatunya dengan benar. Kamu selalu saja lupa sesuatu. Bahkan hampir setiap hari, ada saja buku pelajaranmu yang tertinggal.”

Oke! Kupikir ada yang salah dengan sang ibu. Wanita dengan jilbab motif macan tutul itu terlalu menyalahkan anaknya. Bukankah dia juga harus mengecek kembali semua barang bawaan? Kalau dia merasa anak gadisnya tidak bisa diandalkan, apa salahnya menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Toh si anak – aku menduga – baru berumur sebelas atau dua belas tahun. Jika aku jadi wanita itu, aku akan mengambil ponselku dan meminta seseorang di rumah membawakan boneka itu ke stasiun. Kereta Cirebon Ekspres – yang juga akan kunaiki pagi ini – baru akan datang satu jam lagi. Kupikir itu waktu yang cukup. Ya, kecuali jika ibu dan anak itu hanya tinggal berdua di rumah, siapa yang akan membawakan boneka itu kemari.

Kutinggalkan pandanganku pada ibu dan anak itu. Mereka masih saja berdebat soal boneka beruang. Membuatku sedikit penasaran dengan bentuknya.

Tiba-tiba seseorang sudah berdiri tepat di hadapanku. Seorang pria dengan celana denim dan kemeja abu-abu dan sebuah buket bunga di tangan kanannya. Tatapannya sendu, juga setengah sedih. Tapi, bibirnya menyungging senyum tulus. Dia melihat ke arahku. Ah, tidak! Dia melihat kursi yang aku duduki!

***

“Nggak bawa tas, Mas?” tanya petugas pintu masuk padaku. Kuperhatikan petugas itu hanya sekilas saja memeriksa tiket dan tanda pengenalku. Lalu, ia membubuhkan stempel ‘SESUAI IDENTITAS DAN TELAH DIPERIKSA’ pada tiketku.

“Nggak, Pak,” kujawab meski enggan.

“Mau ke Cirebon?” tanyanya lagi.

“Iya.”

Ayolah. Sudahi saja basa-basi ini. Aku ingin segera sampai ke peron.

“Bunga mawarnya nggak takut layu duluan sebelum sampai ke Cirebon?”

“Ah, tidak. Aku hanya butuh satu jam saja. Setelah itu bunga ini bisa berpindah tangan.”

Kulihat sambil lalu, wajah petugas itu mendadak seperti orang yang baru saja melihat hantu. Bingung dan penasaran menjadi satu. Tapi, aku tidak peduli. Aku langsung beranjak menuju eskalator. Toh aku tidak ingin menyumbat antrian di pintu masuk.

Aku sampai di peron. Suasana sudah mulai ramai, meskipun tidak sepadat sore hari. Ah, itu dia! Bangku panjang di dekat pilar. Kupercepat langkahku ke sana. Kebetulan bangku itu kosong. Jadi aku bisa berlama-lama memandang bangku itu.

“Ngapain kursi diliatin gitu, Mas?”

Sebentuk suara renyah membuyarkan lamunanku. Seorang pemuda yang bekerja sebagai petugas kebersihan di stasiun hijau ini sudah berdiri di sampingku sambil tetap memegang gagang sapu.

“Eh…, oh…, nggak apa-apa.” Ah…. Mengapa aku harus tergagap seperti ini?

“Itu bunga, buat siapa?” tanya pemuda itu sambil mengerutkan dahinya.

“Ini…. Ini… untuk kekasihku.”

“Terus, sekarang pacarnya di mana? Belum dateng? Atau lagi ke toilet?”

Rupanya aku terlalu menarik perhatian dengan membawa beberapa kuntum mawar ini di tanganku. Sungguh, aku tidak berniat seperti itu. Tidak bisakah aku melalui pagi ini sesuai apa yang aku inginkan?

“Dia… ada di tempat yang indah,” jawabku.

***

“Pram….”

“Ya, sayang. Ada apa?”

“Sakit…,” ujar Nita lirih.

Pram menarik napas panjang. Hatinya teriris melihat kekasihnya menderita seperti ini. Ia lebih merengkuh Nita ke dalam pelukannya. Ia tahu Nita sangat butuh kenyamanan. Paling tidak, ia tidak boleh menderita terlalu jauh lagi.

“Sebentar lagi kita sampai di Stasiun Gambir, Sayang.” Pram berharap kata-katanya bisa menghibur Nita.

Dua puluh menit berlalu, taksi yang mereka naiki sudah sampai di depan Stasiun Gambir. Pram turun lebih dulu dan membiarkan Nita masih terduduk di jok penumpang. Sepuluh menit kemudian, Pram kembali menjemput Nita.

“Aku sudah dapat tiketnya, Sayang. Keretanya satu jam lagi.”

Nita tersenyum. Pram melihatnya. Dan, ia tahu, gadisnya mengeluarkan banyak tenaga untuk tersenyum seperti itu. Setelah menyelesaikan pembayaran taksi, perlahan Pram membantu Nita keluar dari taksi. Sang supir taksi rupanya seorang yang sigap. Tadi ia berlari ke lobi untuk mengambil kursi roda.

“Pakai ini saja, Mas,” ujarnya pada Pram.

“Tidak.” Suara lirih Nita lebih dulu terdengar.

“Kau yakin, Sayang? Perjalanan ke peron akan terasa sangat jauh untukmu.”

“Tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya.”

Pram melihat ke arah supir taksi, seolah mengucap maaf dengan pandangan matanya. Dan, sang supir pun sudah mengerti.

“Nggak apa-apa, Mas. Nanti saya kembalikan lagi ke tempatnya.”

Pram mengangguk, lalu mulai berjalan pelan sambil memapah Nita.

Perlu waktu hampir tiga puluh menit untuk menuju peron di lantai tiga. Pram langsung menuju sebuah bangku yang terletak tak jauh dari tangga, juga bersebelahan dengan salah satu pilar besar penyangga atap. Ia dudukkan Nita di sana, kemudian merapatkan cardigan warna marun yang membungkus tubuh kurus gadis itu. Setelah itu, Pram menempatkan diri di sisi gadis yang baru bulan lalu menjadi tunangannya.

“Pram…. Masih lamakah?”

Suara Nita hampir tak terdengar di antara keramaian peron pagi ini. Atau mungkin Nita sudah hampir kehabisan tenaga untuk sekadar mengeluarkan kalimat singkat?! Pram hanya berharap dugaan terakhirnya salah total. Ia percaya, kekasihnya masih sanggup bertahan.

“Setengah jam lagi, Sayang.”

“Cukupkah untukku, Pram?”

Pram memejamkan mata. Hatinya menangis. Pedih rasanya, seperti luka yang terkena air laut. Ia memohon dalam hati agar Nita berhenti bicara.

“Setengah jam lagi keretanya datang, Sayang. Bersabarlah.”

Pram tidak menjawab pertanyaan Nita. Bukan karena tidak bisa, ia hanya tidak sanggup. Ia ingat apa perkataan dokter tahun lalu. Dengan kanker paru-paru stadium empat, Nita diprediksi hanya bertahan selama lima bulan. Tapi, Nita berhasil melalui satu tahun penuh dengan semangat yang luar biasa. Bahkan hari ini, ia minta diantar ke Cirebon hanya untuk berkunjung ke Taman Ade Irma Suryani, tempat di mana semasa kecil ia sering menghabiskan waktu akhir minggu di sana.

“Senang rasanya bisa duduk lagi di peron ini, Pram, menunggu kereta yang akan membawaku ke Cirebon.” Napas Nita terengah-engah. “Ini sudah setengah jam sejak kita duduk di sini. Sebentar lagi, keretanya pasti datang. Bukankah menunggu kereta itu mengasyikkan, Pram?!”

Pram tahu, ini bukan waktunya ia menjawab. Nita hanya butuh pendengar. Dan itu adalah kalimat-kalimat terpanjang yang Nita ucapkan dalam beberapa bulan terakhir. Kalimat-kalimat yang rupanya menjadi rangkaian kata terakhir yang Nita ucapkan. Karena selepas itu, bersamaan dengan datangnya rangkaian kereta Cirebon Ekspress, Nita memejamkan matanya. Dan, mata itu tidak pernah terbuka lagi.




0 comments:

Post a Comment