Carousel

1370924458669536741

Aku kembali lagi ke tempat ini. Sebentar, kuhitung dulu. Satu, dua, tiga, empat…. Ya, lima tahun. Lima tahun lamanya aku baru melihat lagi tempat ini. Tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah danau kecil di tepian kota, yang aku nikmati dari tempat duduk favoritku, sebuah tonjolan akar pohon yang cukup besar. Tidak banyak juga yang berubah dari tempat ini, kecuali menjadi lebih sepi. Entah mengapa. Mungkin karena manusia-manusia itu lebih memilih bersantai di sebuah kafe atau bar. Atau juga, mereka hanya tidak peduli dengan danau ini. Dingin dan membosankan, sepertinya itu pikir mereka. Tapi tidak dengan pikirku. Meskipun memang kenyataannya udara di sini lebih dingin, tapi aku tidak pernah bosan dengan danau ini.

Akar pohon itu masih ada, dan pohon itu sudah pasti lima tahun lebih tua dibanding terakhir kali aku melihatnya. Kuhempaskan bokongku di atas akar itu, dan langsung saja kusapukan pandanganku sejauh-jauhnya. Ini sore yang damai. Danau sangat tenang, dengan sekumpulan angsa putih berenang di antara teratai yang tumbuh liar. Dan pendengaranku dimanjakan dengan ceracau beberapa burung gereja yang hinggap di ranting pohon. Itu sedikit meramaikan tempat ini.

Aku dan tempat ini seperti burung jalak dan kerbau. Bersimbiosis, saling membutuhkan. Tempat ini membutuhkan aku agar tetap bernyawa, agar terlihat ini bukan sesuatu yang mati dan tak punya jiwa. Sedangkan aku membutuhkan tempat ini untuk menyepikan hatiku, mengistirahatkan pikiranku, dan memutar kembali pita rekaman yang terlanjur menumpuk di otakku. Aku senang mengingat-ingat banyak kejadian di masa lalu. Dan aku lebih senang lagi ketika bisa tersenyum – atau bisa juga menangis – karena memori itu. Dan satu lagi, tempat ini sudah memberiku banyak cinta.

Banyak?! Tidak! Hanya dua. Tapi dua itu sudah cukup banyak untukku. Karena sejatinya aku hanya butuh satu, bukan dua. Maka harus ada yang mengalah. Ah, baiknya aku runut lagi pita rekaman itu. Aku ingin – sekali lagi – tenggelam dalam kotak kenanganku.

Sekarang aku ingin membuka loker memori masa kecilku. Dulu, selama satu bulan penuh setiap tahunnya – selalu di bulan April – ada pasar malam. Di sana, aku menyukai satu permainan klasik. Carousel. Hampir tiap malam aku menaiki komidi putar itu. Jika ayah dan ibuku melarang, aku akan menelepon temanku. Aku menyuruhnya datang ke rumahku dan mengajakku pergi ke pasar malam. Rencana itu selalu berhasil. Jadi, setelah temanku kembali pulang ke rumahnya, aku akan mengantri sendiri membeli tiketnya. Aku rela tidak memakai uang jajanku agar aku bisa membeli tiket permainan itu. Waktu itu harga tiketnya masih seribu rupiah.

Tahu bagaimana carousel bekerja?! Ya, benda besar itu hanya berputar-putar. Tidak ada gerakan lain yang bisa membuatmu berdecak kagum. Aku masih ingat, kuda-kuda itu banyak yang mengelupas catnya. Rombongan itu sudah puluhan tahun memakai benda itu. Rupanya uang hasil penjualan tiket belum bisa untuk memperbaiki cat pada kuda-kuda itu. Tapi aku tidak mempermasalahkannya. Aku yang saat itu berumur delapan tahun, hanya tahu bahwa permainan itu menyenangkan.

Ketika benda itu berputar, di satu titik aku selalu melihat pedagang gula kapas berdiri di balik kios kecilnya. Lelaki kurus itu kelihatan seolah tertimbun benda aneh berwarna merah muda. Ia, lelaki itu, selalu tersenyum ketika melihatku naik carousel. Sepertinya ia sudah hapal betul dengan wajah mungilku saat itu. Well, aku tidak heran. Karena selama tiga tahun berturut-turut, ia selalu berada di sana. Dan setiap ada kesempatan untuk melihat permainan yang aku naiki, ia tersenyum untukku. Aku dan lelaki kurus itu tidak pernah saling mengenal. Pun aku tidak pernah membeli gula kapas padanya – ibuku bilang, makanan itu bisa membuat gigiku menghitam. Tapi seolah ada belasan tahun – atau mungkin puluhan tahun – yang terbentang dan berisi sebuah kenangan pertemanan. Jika kuingat lagi, wajah lelaki kurus itu tidaklah rupawan. Tapi senyumnya benar-benar membuatku merasa tenang. Aku selalu sabar meniti 360 derajat putaran carousel itu hanya untuk melihat senyum ramah si penjual gula kapas.

Terkadang, ketika carousel terhenti di tengah putaran untuk menaikkan penumpang, aku menjadi sangat kesal. Mengapa harus terhenti di tengah jalan? Aku sangat ingin melihat lagi senyum si penjual gula kapas itu. Dan meskipun nantinya dia tidak tersenyum kepadaku – mungkin karena ia tengah sibuk melayani pembeli – aku tetap ingin melihat lelaki kurus itu. Paling tidak, aku merasa tenang karena ia masih berada di tempat yang sama.

Suatu hari, saat malam terakhir keriaan di sana, suasana benar-benar sangat ramai. Aku di sana menaiki carousel itu – well, ada ibuku di luar pagar wahana itu, dia tidak mau anak perempuannya pergi sendirian di tengah keramaian yang luar biasa itu. Sesuatu terjadi dengan lelaki kurus itu. Seorang bapak yang membawa putri kecilnya datang menghampiri kios kecil lelaki penjual gula kapas itu. Pria itu marah-marah. Aku melihat putri kecilnya penuh bintik-bintik agak besar dan berwarna merah di wajah dan tangannya. Seperti iritasi kulit, aku tidak paham saat itu. Tapi yang aku lihat, lelaki kurus itu hanya menunduk ketika ia dimarahi. Lalu aku lihat lagi si penjual gula kapas itu menunjukkan botol kecil berisi cairan warna merah. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi saat itu. Baru setahun kemudian, ketika akupun sudah sedikit lebih mengerti tentang banyak hal, aku memberanikan diri bertanya kepada wanita yang menjual tiket di wahana carousel. Wanita penjual tiket itu berkata, ketua rombongan pasar malam itu tidak mengijinkan lagi lelaki penjual gula kapas bergabung dengan mereka. Lalu aku bertanya, mengapa?

Tapi, jawaban yang kudapat tidak seperti yang kuharapkan. Wanita penjual tiket itu hanya mengangkat bahu. Entah ia benar-benar tidak tahu, atau hanya malas menjelaskan pada anak kecil sepertiku. Dan baru bertahun-tahun kemudian ada seorang tetangga yang bercerita padaku soal rumor penggunaan pewarna tekstil pada gula kapas itu.

Aku tidak tahu apakah itu sebuah fakta, atau hanya kabar burung yang tidak jelas asalnya. Tapi hatiku berontak. Aku tidak terima. Meskipun akhirnya aku hanya bisa diam. Bingung, dan tidak tahu apa yang harus aku lalukan. Toh, sudah bertahun-tahun juga lelaki kurus itu tidak pernah muncul lagi di pasar malam. Beberapa kali aku mencari tahu soal lelaki itu. Aku bertanya pada penjaga wahana lainnya, atau pada beberapa pedagang di rombongan itu. Tapi mereka hanya menggelengkan kepala. Aku jengkel, aku marah, dan aku ingin menampar wajah-wajah mereka yang seolah menyepelekan lelaki penjual gula kapas itu. Entah mengapa, tapi aku yakin lelaki kurus itu tidak bersalah.

Aku tidak pernah melihatnya terlibat obrolan dengan para pedagang lain. Bahkan tidak dengan si penjual balon warna-warni yang berada satu meter darinya. Dan terkadang aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apa mungkin aku bisa melihat lelaki penjual gula kapas itu di kemudian hari? Jika iya, aku akan memberanikan diri untuk bicara padanya. Mungkin aku akan membeli sebungkus gula kapas miliknya, walaupun aku tidak mungkin memakannya.


Hei! Langit mulai menjingga. Pemandangan yang indah. Aku baru menyadari warna jingga itu begitu mempesona. Ah, ke mana saja kau, Nita?! Terlalu sibuk dengan urusan cinta membuatmu tidak pernah melihat dunia dari sisi lain. Hahaha…. Kadang aku serasa gila bicara dengan diri sendiri. Tapi memang benar. Lima tahun terakhir adalah tahun-tahun terberat dalam hidupku. Jika tadi aku dengan ringannya bercerita soal carousel di masa kanak-kanakku, seharusnya aku juga bisa melakukan yang sama dengan kisah cintaku. Bukankah hidup ini adalah carousel raksasa?! Buktinya, aku bisa kembali ke titik dimana aku mulai menaiki carousel raksasa ini.

Tidak percaya?! Awalnya aku pun tidak percaya. Dan aku sangat berharap hidupku tidak perlu berputar-putar lagi. Lima tahun belakangan ini, putarannya terlalu kencang. Aku bahkan sampai tidak bisa melihat apa yang terjadi di sekitar carousel raksasa ini. Sedikit menyesal, tapi itu percuma. Yang harus aku hadapi sekarang adalah satu detik di depanku. Dan untuk saat ini, aku hanya berharap tempat kosong pada akar pohon di sampingku segera terisi.

“Hai….”

Aku melihat seseorang yang sudah duduk di sampingku. Ia tersenyum padaku. Apakah akhir-akhir ini keinginanku lebih cepat terkabul?! Hmm…, tidak juga. Aku memang sedang menunggunya.

“Kamu terlambat,” kataku.

“Benarkah?!”

Raut wajah menyebalkan itu ia munculkan lagi. Berlagak heran tapi sesungguhnya ia sadar kesalahannya. Benar-benar menyebalkan, sekaligus membuatku merindukan wajah bengalnya.

“Tidak,” jawabku. “Maksudku, aku tidak peduli. Toh, kamu sudah datang.”

Pria itu, yang sekarang duduk di sampingku, tiba-tiba saja meraih tanganku. Ia mengecupnya lalu lama sekali memandangi wajahku. Aku sampai kikuk dibuatnya. Aku ingin bertanya, tapi jujur saja, aku malu. Bodoh sekali aku masih saja membawa bahasa tubuh remajaku. Dan sepertinya pria itu menyadari apa yang aku rasakan.

“Kamu yakin dengan keputusanmu, Nita?”

Haahh…. Pria ini rupanya senang bermain bara api. Baiklah, akan kutemani dia bermain. Akan kulihat sampai sejauh mana ia sanggup bermain-main denganku.

“Janu…. Jika aku tidak yakin dengan yang terjadi sekarang, pastilah aku masih memakai cincin dari Pram. Benda bulat dengan berlian biru muda itu tentu masih melingkar di jari manisku. Dan, kita…. Kita tidak mungkin sedang duduk di sini. Kamu tidak mungkin bisa menyentuh jemariku. Dan, angsa-angsa di sana tidak punya penonton atas atraksi mereka yang membosankan.”

Janu tersenyum lagi. Segaris senyum liar yang selalu mengajakku menjelajah lebatnya belantara kehidupannya. Belantara yang sepertinya belum habis kujelajahi. Belum habis, karena masih ada banyak langkah untuk menghabiskannya.

“Apa kamu sudah siap?” tanyanya.

“Siap untuk apa?”

“Siap melihat wajahku selama sisa hidupmu?”

“Hanya wajahmu saja? Tidak ada wajah lain?”

“Ya. Hanya wajahku saja.”

“Itu akan sangat membosankan, Janu,” gumamku. “Lalu, bagaimana dengan wanitamu?”

“Satu anak tangga lagi, maka aku adalah pria bebas.”

“Pram akan sangat membencimu, Janu. Terlebih lagi Rania. Dua kakak beradik itu akan membenci kita selamanya,” kataku serius.

“Itu bukan masalah besar. Kita bisa pergi dari kota ini.”

“Semudah itu?”

“Ya. Memang mudah, kan?!”

“Kamu selalu saja menganggap semuanya mudah. Ke mana kamu, ketika aku hendak kembali menikmati indahnya hidup? Kamu rela menemaniku selama tahun-tahun terpahitku hidup dengan tubuh rusak. Tapi, setelah satu ginjalmu tertanam di tubuhku, kamu malah menghilang. Itukah yang kamu rencanakan? Jawab saja, Janu. Ke mana kamu, ketika aku sedang sekarat?”

Aku marah. Bukan sesuatu yang ingin aku rasakan sekarang. Tapi ini terjadi begitu saja.

“Aku minta maaf, Nita. Sungguh. Bukan maksudku meninggalkanmu. Tapi, aku pun butuh menenangkan diri. Aku hanya berniat menyepi selama beberapa bulan. Tapi, ketika aku hendak kembali lagi ke kota ini, aku tidak dapat menahan cinta yang aku dapat dari Rania.”
“Hmm…. Kamu memang tidak bisa menahan cinta dari siapa pun, Janu.”

Itu pun seperti aku yang tak dapat menolak cinta dari Pram. Di tempat ini pula, aku bertemu Pram. Aku yang kala itu lebih sering menangis daripada tersenyum, menerima begitu saja kehangatan yang Pram tawarkan. Aku pun seperti seorang bocah yang mendapat selimut tebal untuk musim dingin yang entah kapan akan berakhir. Aku memakai selimut itu ke mana pun aku melangkah. Sampai akhirnya aku berniat menjadikan selimut itu sebagai pakaianku.

“Ya, itu betul.” Janu membuyarkan lamunanku tentang Pram. “Terlebih lagi cinta darimu, Nita.”

Oh, tidak. Kuharap ini adalah mimpi. Sebab aku mulai ragu. Bagaimana Janu bisa berucap soal cintaku tapi ia malah meninggalkan aku yang sedang berjuang untuk kembali hidup? Apa pria harus selalu seperti Janu yang punya dua sisi lidah yang berlawanan?

“Kamu tahu, Janu?! Di hari ketika aku tahu kamu pergi, aku mendatangi tempat ini. Aku duduk di akar pohon ini sejak siang. Aku terus duduk sampai aku tidak dapat melihat lagi teratai-teratai yang mengapung di sana. Bulan sepotong yang bertengger di atas juga seolah enggan menemaniku di tepi danau ini. Aku duduk…, berpikir…, dan menunggu. Berharap kamu tiba-tiba duduk di sampingku. Persis seperti yang hari kamu lakukan.”

Janu hanya diam. Ia menunduk dan nampak sedang menekuni dedaunan kering di dekat sepatunya.

“Aku duduk dan berpikir di sini,” kataku lagi. “Mencari-cari apa yang salah selama ini. Mungkinkah aku yang salah? Jika memang benar aku yang salah, tolong beritahu aku. Karena aku tidak dapat menemukannya.”

“Tidak, Nita. Kamu tidak salah.”

“Terus, kenapa kamu pergi?”

Aku memandang wajahnya, kuselami tatapan bengalnya, dan meniti kerut bingung di dahinya. Ia membalas tatapanku. Terlihat di sana, ia berusaha meminta maaf lewat tatapan matanya.

“Menikahlah denganku, Nita.”

“Bagaimana jika aku menolak?”

Ya, Tuhan! Mengapa pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku?

“Jika kamu menolak…. Entahlah…. Mungkin aku akan menunggu sampai kamu tidak lagi menolak permohonanku.”

Janu memohon?! Pria bertampang pongah dan bengal ini memohon padaku?! Benarkah?! Ia memohon, bukan meminta. Kuharap aku salah mendengar.

“Aku…. Aku tidak tahu, Janu. Bisakah kamu memberiku waktu sedikit lagi? Aku ingin memikirkan segalanya.”

“Tidak.”

Apa?! Kenapa aku tidak boleh meminta waktu untuk berpikir?

“Kamu harus menjawabnya sekarang, Nita.”

“Kenapa harus?”

“Karena aku tidak mau kehilangan dirimu lagi. Yang pertama kali, begitu menyakitkan. Yang kedua kalinya pasti akan membuatku mati perlahan. Itu bukan cara yang keren untuk meninggalkan alam fana ini, Nita. Kamu pasti mengerti itu.”

Oke. Itu artinya aku harus menerima permohonannya. Ya, Tuhan. Ini sangat konyol. Jadi, inilah akhirnya. Aku kembali lagi ke titik awal – sebuah titik lawas – di mana aku untuk pertama kalinya menaiki carousel raksasa. Di sini, sepuluh tahun yang lalu, aku bertemu Janu. Lima tahun kemudian, aku harus kehilangan dia, setelah satu ginjalnya tertanam di tubuhku. Dan sekarang, aku kembali bersamanya. Atau lebih tepatnya, dia yang menginginkan kebersamaan itu lagi. Apakah nanti aku akan berpisah lagi dengannya, lalu bertemu untuk yang ketiga kalinya? Ah, kehidupan memang gila! Berputar seenaknya, lalu berhenti seenaknya pula. Seperti carousel. But I think, I love the way I live.


Sumber gambar, klik image.

0 comments:

Post a Comment