Menangkup Rona Merah Mudamu

1378355640837385379


Angin beraroma garam mengganggu penciumanku sedari tadi. Sentuhan lembut dari bibir Maura masih saja aku rasakan selama beberapa jenak. Manis. Ya, bibir kami masih saling menempel. Tidak, bukan dengan cara yang liar. Segalanya – yang menyangkut Maura – adalah murni kelembutan yang absolut. Aku hampir selalu jatuh cinta padanya setiap saat. Itu… bukan hal yang wajar, tapi menyenangkan, dan juga menenangkan.

Perlahan, kami saling menjauh, tapi hanya sampai aku bisa melihat wajahnya yang terpoles riasan sederhana. Aku masih menangkup wajahnya di tanganku. Ingin sekali membawanya lebih dekat lagi, namun aku tergoda untuk menelisik sorot matanya. Aku ingin tahu, apa yang terjadi padanya hari ini.

“Ade…,” aku mengangkat dagunya dan akhirnya ia membalas tatapanku.

“Mas…,” gumamnya, menahan senyum.

“Ada apa?” Aku tak sanggup membendung rasa penasaran ini lebih lama lagi.

Tapi, Maura hanya menggeleng dan berkata, “Nggak ada apa-apa.”

“Ade…. Mas bisa liat, mata ade nggak sekadar bicara ‘nggak ada apa-apa’. Mas masih di sini. Mas bakal denger semuanya, kalo ade mau cerita ke mas.”

Lagi-lagi, Maura tidak langsung bicara. Ia malah menjauh, mengambil sandalnya yang tadi ia jatuhkan, lalu berjalan ke bawah payung besar. Aku mengikuti langkahnya dengan perasaan sedikit teriris. Punggung Maura begitu menggoda untuk kujamah. Tapi, itu belum bisa kulakukan. Maura harus bicara, Maura harus memberiku alasan atas yang terjadi pagi ini.

Kami duduk di kursi santai tepat di bawah payung besar. Biasanya, kami duduk tanpa jarak, tidak satu senti pun. Sekarang, kami berjarak. Tapi, aku segera merengkuh tubuh Maura, dan perlahan kepalanya rebah ke bahu kiriku. Tubuh Maura sedikit bergoncang: ia menangis. Kudekap ia lebih erat lagi, kusalurkan panas tubuhku untuknya, kutumpahkan semua rasa peduliku padanya. Dan, aku menunggu. Menunggu ia bicara.

“Ade takut, Mas….”

Hmm…, kalimat pembuka yang menyayat hatiku. “Ade takut kenapa? Cerita ke mas.”

“Takut kita nggak bisa ketemu lagi,” ujarnya disela isakan samar.

“Ade,” desahku mencoba menyingkirkan sakit yang tiba-tiba menghujam ke dadaku. “Ade nggak boleh ngomong gitu. Walaupun mas juga nggak bisa ngasi tau kapan pastinya mas ke sini lagi, tapi tetep, ade harus percaya, akan ada waktu yang tepat buat kita.”

“Waktu yang tepat buat apa, Mas? Ade nggak pernah bisa liat kemungkinan itu berpihak ke kita. Enggak, pada saat Mas masih bukan lelaki yang bebas.”

Aku membuang semua kekesalanku lewat hembusan napas. Aku memandang lepas ke arah kumpulan air asin itu. Serasa melihat, mencoba menangkap, gumpalan ketenangan di sana. Tapi, tidak ada ada. Di mataku saat ini, laut hanya… ‘laut’. Mereka gerombolan air asin berombak, yang menyembunyikan energi besar – kegundahan – yang tak jarang malah menghancurkan semua yang menghalangi. Tidak. Rasa tenangku tidak ada di sana. Rasa itu ada di sini, pada tubuh dengan jiwa indah yang aku kasihi. Aku mencintai Maura, sangat. Tapi, aku belum sanggup menggenggam hatinya lebih erat lagi.

Dilema, jelas. Aku harus memilih. Dan, dua pilihan itu sama-sama enggan aku singkirkan dari hidupku. Seandainya bisa merengkuh keduanya…, tapi aku tidak mau. Aku tetap harus memilih.

“Mas bisa undur kepulangan mas ke Jakarta,” kataku, tanpa mencari suara protes dari Maura. Ini keputusanku.

Lagi, Maura hanya menggeleng. Tak jelas apa maksudnya kali ini.

“Mas nggak boleh gitu,” sergahnya. “Ade memang butuh mas di sini, tapi ada yang lebih membutuhkan mas di Jakarta.”

Sial! Tidak bisakah Maura bersikap seperti biasanya, ketika ia tahu akan mendapatkan waktu lebih banyak bersamaku?! Mana sikap manja yang biasanya ia tunjukkan? Kenapa ia sekarang harus bertopeng? Padahal ia selalu bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersamaku. Topengnya kali ini sungguh memuakkan!

Aku melepas dekapanku, bangkit, dan menuju bibir pantai. Langit berawan, memberi keteduhan yang hangat. Selama beberapa menit, aku hanya menatap gulungan ombak-ombak kecil yang pecah tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu, ada sepasang tangan yang menyusup di antara lenganku. Dua lengan halus itu sekarang mendekap tubuhku dari belakang. Dan, aku bisa merasakan hangat wajahnya menembus kemejaku, menjalar ke kulit punggungku.

Ah, Maura. Jadilah perempuanku seperti yang biasa kau lakukan.

“Maafin ade ya, Mas. Ade nggak pengen bikin mas khawatir.”

Aku melepaskan dekapan Maura dan membawanya ke hadapanku. Kurebahkan kepalanya ke dadaku, kubiarkan Maura menikmati detak jantungku – sesuatu yang senang sekali ia dengarkan, katanya, detak jantungku serupa simfoni yang menenangkan.

“Apa yang ade denger?” tanyaku.

“Musik yang merdu,” jawabnya.

“Ingin mendengar itu setiap hari?”

Maura mengangguk.

“Tau apa yang harus kita lakukan?” tanyaku lagi.

Maura menggeleng. “Jangan diteruskan. Please…,” pintanya. Kini ia menatapku dengan mata sendunya yang – kali ini – sangat memelas.

“Kenapa? Bukannya itu yang ade pengen?!”

“Iya, tapi….”

“Mintalah pada Sang Pemberi Napas,” potongku. “Doamu akan didengar. Dan kita…, tinggal menunggu hasilnya.” Aku menyusupkan jemariku di antara lebat rambutnya. “Keinginan mas sama kayak ade, ingin kita bisa bareng… sampai napas terakhir.”

Aku menciumnya, untuk yang ke-entah-puluhan-atau-ratusan kalinya. Sentuhanku, tidak melulu berbalut nafsu, bahkan hampir tidak pernah. Aku mencoba merenggut kekhawatiran Maura atas takdir, masa depan, dan cita-cita yang terhambat macam-macam penghalang. Aku ingin Maura kembali merasa yakin atas hubungan ini. Seyakin aku menggenggam hatinya saat ini, esok, dan seterusnya.

“Mas nggak jadi pulang sore ini,” kataku setelah pagutan kami terlepas.

“Mas yakin?”

“Iya. Dan, mas pikir, harusnya ade seneng dengan hal itu.”

Maura tertunduk. Sekilas, sebelum membenamkan wajahnya kembali ke dadaku, aku melihat rona itu: rona yang menyegarkan dan sangat merah muda. Ya, dia senang dengan keputusanku menunda kepulangan. Dan, memang sudah seharusnya begitu. Boleh jadi, aku hanya bisa merasakan dua hal saat ini: tenang dan nyaman, sesuatu yang kadang jarang kudapatkan di satu tempat lainnya.

“Apa yang bikin mas bertahan sama ade?” tanyanya, masih bergelung dalam dekapanku.

“Nyaman,” sahutku. “Mas… nyaman sama ade. Mas percaya ade, dan mas merasa tenang di dekat ade.”

Maura mendongak, lalu ia pun tersenyum. “Simpan ade di sini ya,” katanya sambil meletakkan telapaknya di dadaku, “jangan dipindah ke tempat lain.”

“Selalu,” sahutku. “Dan, mas juga akan terus ada di sini, di hati ade.”


Sumber gambar, klik image.

0 comments:

Post a Comment