Kejutan harus ‘mengejutkan’.
Iya, kan?! Dan, memang iya. Itulah yang terjadi hari ini. Runutan peristiwa
sejak Jumat sore sampai detik ini – Sabtu siang – adalah kejutan yang
direncanakan. Maksudnya, Maura yang merencanakan. Mulai dari memilih tempat tujuan
bersantai sampai hal sepele soal membeli cemilan apa yang enak disantap di tengah
hawa dingin Ulun Danu Beratan. Well
organized. And I like it.
Ya, di sinilah kami – aku dan Maura – akan
menghabiskan detik-detik bersinar-matahari. Sebuah tempat wisata yang berada di
dataran tinggi, tepat di tengah-tengah Pulau Bali. Aku belum pernah kemari
sebelumnya. Sering, aku mendengar soal tempat ini dari teman-teman kantor yang
sudah pernah kemari. Tapi, aku tidak pernah sedikit pun tertarik untuk
mengunjunginya. Selain letaknya di luar Denpasar, untuk apa aku kemari
sendirian? Iya, kan?! Dan, sekarang, Maura yang memaksaku menikmati keindahan
ini. Aku beruntung sekali. Kapan lagi ada sebentuk paksaan yang mengasyikkan
seperti ini?
“Ade. Mas mau nelpon orang dinas dulu ya. Mau ngecek,
berkasnya udah siap apa belum buat besok.”
Maura tersenyum, lalu menyahut, “Oke.” Ia kemudian
mengambil sebuah novel yang sengaja ia bawa di tasnya.
Aku menjauh, tapi masih cukup dekat untuk mata
minusku memandang wajah Maura. Sebenarnya, aku tidak perlu menelepon. Aku cukup
menanyakan hal tadi lewat pesan singkat. Tahu kenapa?! Tiba-tiba saja aku ingin
memandang Maura dari jarak yang agak jauh. Entah. Ingin saja.
Hari ini Maura berpakaian agak lain. Kalau biasanya
ia tak pernah lepas dari celana jeans,
sekarang Maura memilih rok bermotif bunga-bunga kuning. Sedangkan atasannya
hanya mengenakan blus tanpa lengan sederhana berwarna putih gading – membiarkan
kulit lengannya terpapar hawa dingin danau ini. Dan, mataku mengatakan: ia
sempurna.
Di bangku panjang itu, tepat di tengah taman, Maura
duduk dengan santai sambil menyilangkan kakinya. Di pangkuannya, sebuah buku
tebal terbuka. Kepalanya tertunduk, menekuni bacaannya. Sejumput rambut
menjuntai, menambah manis segalanya. Lalu, caranya membalik halaman-halaman
buku itu, seperti ia sedang membelai punggung tanganku, hangat.
Sesaat, aku merasa berdosa karena dulu membiarkan
Maura menjauh dari genggamanku. Harusnya aku memaksa, harusnya aku mengikatnya,
harusnya tidak dengan gampangnya aku mengabulkan inginnya menjelajah hati lain.
Tapi, yah, inilah yang terjadi. Bahkan, aku pun akhirnya mengijinkan diri
sendiri untuk menjelajah hati perempuan lain. Bukan untuk pelarian, hanya ingin
menebus sesuatu yang salah saat itu. Hanya saja, semuanya makin nampak salah.
Maura membetulkan posisi duduknya, menyamankan
dirinya dengan udara dingin. Tangannya menyelipkan rambut yang menjuntai tadi
ke balik telinga, lalu membalik halaman bukunya. Tangan kanannya menahan buku,
sementara tangan kirinya tertekuk di depan dada. Aku tidak tahu sudah berapa
menit sejak aku menjauh dari bangku taman. Pun, Maura tidak menoleh ke arahku.
Aku makin asyik memperhatikan tiap gerak-geriknya. Dan, ia melakukan itu,
membasahi bibirnya. Bohong besar jika aku mengatakan: aku tidak tertarik. Maura
selalu menarik!
Mendadak udara menghangat. Ada yang menarik tanganku,
mengajakku melintasi gerombolan ilalang setinggi pinggangku. Pucuk-pucuk kuning
pucat itu menyentuh ujung jemariku. Tangan yang menarikku terus saja berlari
kecil, sambil tertawa manja. Aku mengenal suara itu, sudah tertanam sempurna
rekamannya di otak belakangku. Kadang, aku memutarnya di saat aku teramat jenuh
dengan pekerjaan di kantor. Itu, membuatku bisa menarik napas sedikit lebih
lega. Dan, sekarang, suara itu malah membuat jantungku berdegup lebih kencang.
Akan dibawa ke mana aku?
Aku memang mendengar suaranya, menikmati tawa
manjanya, tapi aku juga ingin melihat wajahnya. Sudah terbayang, dan akan
selalu terbayang raut itu di mataku. Raut itu yang seharusnya menghias
foto-foto pada dinding rumahku, rumah kami. Raut itu yang seharusnya aku lihat
pertama kali ketika membuka mata di pagi hari. Raut itu pula yang seharusnya
mendapat julukan ‘Bunda’ dari anak-anakku.
Sial! Kenapa ia masih saja terus menarik tanganku?
Tidak bisakah ia berhenti sejenak? Aku tidak lelah berlari. Aku hanya ingin…,
ah, ingin memperbaiki isi dari kotak-kotak memori milikku. Ingin kuganti satu
raut yang ada dengan raut wajah miliknya, milik Maura.
“Mas….”
Padang ilalang itu kini menghilang, berganti dengan
lansekap taman di tepi danau. Hawa hangat sekejap berubah sejuk. Kelewat sejuk,
malah. Dan, di hadapanku… ada Maura.
“Mas ngelamun ya?! Dari tadi ade panggilin kok diem
aja.”
Begitu ya?! Yah…, aku hanya bisa membalas dengan
senyuman karena memang begitulah adanya. Semua lamunanku beberapa tahun
terakhir ini hanya berisi Maura. Selalu Maura.
“Kita pulang yuk,” ajak Maura. “Biar bisa ngejar sunset di pantai Balangan.”
Ya, hari ini memang harus sempurna.
gambar koleksi pribadi
0 comments:
Post a Comment