Tadinya
saya ingin membahas soal bagaimana menuliskan akhir dari sebuah novel. Akan
tetapi, saya lebih tertarik menulis soal takaran diri dalam menulis fiksi. Apa
dasarnya? Tidak ada. Saya hanya ingin berbagi pengalaman. Mudah-mudahan bisa
membuka pemikiran kalian soal proses menulis fiksi.
Saya
mengawali perjalanan mengasyikkan ini sebagai pembaca senyap. Buruan saya
adalah cerpen dan cerita bersambung di laman Kompasiana. Beberapa nama langsung
menjadi favorit dan selalu saya nantikan kemunculannya. Lama-kelamaan, saya
tergoda untuk menulis sendiri. Awalnya cerpen, lalu cerita bersambung.
Puja-puji meluap bersama rasa percaya diri saya terhadap dunia tulis-menulis
ini.
Tahun 2013
pertama kali saya dengar soal UWRF (Ubud
Writers dan Readers Festival). Saya menghadiri salah satu sesinya yang
kebetulan digelar di Denpasar. Di situlah saya bertemu Langit Amaravati, salah
satu penulis yang berhasil lolos seleksi emerging
writer gelaran tersebut. Sepulang dari sana, saya berpikir, kenapa saya
tidak mencoba mengikuti seleksi untuk tahun berikutnya? Toh saya punya banyak
amunisi.
Tidak ingin
gegabah, saya seret salah seorang admin senior Fiksiana Community untuk membantu saya memilih tulisan mana saja
yang layak dijadikan portofolio.
Iya, saya
pikir saya sudah memperhitungkan segalanya.
Nyatanya?
Iya, saya
tidak lolos.
Belakangan
saya berpikir, “Yaelah, elu siapa sih, Moy? Remahan cilok aja belagu ndaftar
UWRF.” Orang lain mungkin saja mendaftar seleksi di tahun berikutnya, tetapi
saya tidak. Entah apa alasan saya waktu itu, hanya saja saya tidak
menyesalinya. Itu keputusan yang tepat. Sebab, jika memaksa, mungkin saya akan
frustrasi dan malah sama sekali meninggalkan aktivitas menulis.
Ya, saya
tetap menulis sampai sekarang, tetapi tidak mengklaim diri saya sebagai
penulis. Saya editor, dan profesi itu ternyata menyelamatkan jiwa saya tepat
selepas keterpurukan karena gagal lolos seleksi. (hilih, lebay lu, Moy!) Saya
editor, yang sesekali membuat artikel apalah-apalah demi reward uang virtual buat jajan burger di mekdi. (Moooy…) Saya
editor, yang sesekali suka pamer pekerjaan di media sosial demi meyakinkan friend list bahwa saya bukan penulis
yang ditinggalkan penggemarnya. (Mooooooooyyy…) Saya editor, yang memakai cilok
sebagai tameng pencitraan, padahal aslinya hobi makan nasi padang lauk rendang
dobel. (Moooooooooooooyyyyyyyyy…!!!)
Tetapi,
memang benar. Saya lebih menikmati aktivitas menyunting naskah orang lain
ketimbang membuatnya sendiri. Ada kepuasan tersendiri ketika menemukan
kejanggalan atau kekurangan dalam naskah. Otak saya seolah-olah berpindah
setelan, default mencari
kesalahan-kesalahan pada naskah, yang tentunya sepaket dengan mempercantiknya. Tenang
saja, saya tidak pernah kehilangan kesempatan berimajinasi. Malah seringnya
jadi diskusi menarik dengan si penulis. Paling tidak, saya membantu si penulis
berimajinasi lebih indah lagi. Dan biasanya memang begitu, penulis terpacu
untuk membuat adegan yang lebih pas.
Seiring
waktu, saya seperti benar-benar kehilangan kemampuan menulis cerpen atau novel.
Cerpen terakhir yang saya buat nyaris dua tahun lalu. Itu pun sudah kehilangan
rasa dan nyawa. Sementara novel, terakhir kali adalah November 2013. Sebenarnya
saya sedang mengolah draft lama dan
mungkin akan saya luncurkan tahun depan. (Yaelah, Moy, spoiler amat dah!) Kalaupun tiba-tiba saya membagikan tautan sebuah
artikel, bisa dipastikan itu hanya
tip menulis novel atau cerpen-cerpen lama. Bahkan, proses pembuatan artikel tip
menulis seringnya ternodai oleh keinginan untuk tampil sempurna. Tulisannya
yaaaaa, bukan orangnya ngahahaha… Sebab, seperti saya bilang tadi, otak saya
sudah default nyari-nyari kesalahan.
Maka,
rasanya tidak salah bila saya katakan bahwa menulis itu susah. Iya, susah,
apalagi kalau harus sambil meyakinkan orang lain bahwa kita bisa menulis.
Tetapi, saya bisa melakukan hal itu — meyakinkan orang lain — saat saya menjadi
editor. Saya bisa meyakinkan penulis-penulis tak percaya diri bahwa tulisan
mereka bagus. Hidung saya biasanya bisa mengendus potensi besar, meskipun pada
akhirnya hanya sedikit penulis yang percaya dengan kata-kata saya.
Menulis itu
susah. Sebab, sebelum menulis, kita harus membaca. Riset, istilah kerennya,
untuk memperkaya tulisan kita, sekalipun itu hanya novel. Rasanya saya sudah sering membahas soal aktivitas
riset ini. Silakan ubek-ubek artikel lama saya.
Menulis itu
susah. Sebab, seperti saya bilang tadi, kita harus meyakinkan pembaca bahwa
karya kita masuk akal. Dari awal pembaca sudah tahu bahwa novel adalah rekaan,
meskipun seringkali diambil dari kejadian sungguhan di dunia nyata. Misalnya
novel bertema kriminal yang bercerita soal penyelundupan/perdagangan manusia.
Karakter, setting waktu serta tempat
memang fiktif, tetapi jenis kejadian itu nyata adanya. Tugas penulis adalah
meyakinkan pembaca bahwa kejahatan itu nyata dan bisa menimpa siapa saja.
Menulis itu
susah. Sebab, tidak setiap penulis bisa menggarap segala jenis genre. Akui saja.
Sama seperti saya yang tidak bisa menulis artikel politik, apalagi resep
masakan karena bisanya cuma makan. (Tumben ngaku, Moy?!) Biasanya itu
bergantung pada ketertarikan si penulis terhadap salah satu genre. Si penyuka romance tentu akan berburu bacaan
serupa, bahkan rela memesan lebih dulu jika penulis favoritnya kebetulan
menelurkan karya. Namun, kondisi itu tidak bisa dipukul rata. Ada yang sangat
menggemari novel bertema konspirasi/kriminal, tetapi selalu menulis fiksi
cecintaan dengan level baper yang kebacut. (Ng… elu nggak lagi ngomongin diri
sendiri, kan, Moy?!) Kalaupun maksa
menulis novel bertema konspirasi, paling hebat berakhir di blog pribadinya
dengan jumlah pembaca di bawah lima puluh. (Moy, gosah curcol!!!)
Susah atau
mudah, semua bergantung pada si penulis sendiri dalam menakar kemampuan
menulisnya. Percaya diri itu harus, tetapi tidak berlebihan. Konsultasi dengan pegiat
literasi atau diskusi ringan dengan sesama rekan penulis bisa menjadi langkah
yang tepat. Jika ingin mencoba jenis tulisan baru, tunjukkan dulu kepada first reader kepercayaan kalian sebelum
karya itu dipublikasikan. Niscaya kesusahan yang terjadi hanyalah penantian
abang cilok yang tak kunjung lewat.
Selamat
menulis.
Salam
lemper, eh, cilok.
PS: Artikel pertama tayang di Kompasiana.
0 comments:
Post a Comment